English Translator : foxghost @foxghost tumblr/ko-fi (https://ko-fi.com/foxghost)
Beta : meet-me-in-oblivion @meet-me-in-oblivion tumblr
Original by 非天夜翔 Fei Tian Ye Xiang


Penerjemah Indonesia : Keiyuki17
Editor : _yunda


Buku 1, Chapter 7 Part 3

“Untuk apa kau mempelajari pedang?”

“Aku adalah Cai, namaku adalah Cai Yan…”

Alis Li Jianhong berkerut. “Aku tidak tertarik dengan namamu. Yang aku tanyakan adalah untuk apa kau mempelajari pedang.”

“Kakak laki-lakiku adalah seorang perwira militer. Aku khawatir dia berada dalam bahaya, dan aku ingin mempelajari sesuatu.”

Li Jianhong sepertinya mengingat sesuatu dan menoleh ke Duan Ling, “Kakak laki-lakinya adalah Cai Wen yang sebelumnya mengetuk pintu kita pada hari bersalju itu?”

Duan Ling mengangguk, dan Li Jianhong berkata pada Cai Yan, “Kami berhutang budi pada kakakmu; mempertimbangkan hutang budi yang harus dikembalikan. Tapi kau harus ingat bahwa tidak peduli seberapa banyak kau berhasil untuk belajar, kau tidak boleh menggunakannya untuk melawan putraku.”

“Kami adalah teman baik,” kata Duan Ling.

“Berdiri di belakangnya dan ikuti,” kata Li Jianhong. “Untuk saat ini, ambillah tongkat dan gunakan sebagai pedang.”

Cai Yan mengangguk dan bergerak untuk berdiri di belakang Duan Ling. Kemudian Li Jianhong hanya berpura-pura Cai Yan tidak ada di sana dan mengajari Duan Ling secara langsung, seperti yang dia lakukan sebelumnya. Kali ini Duan Ling lebih mengerti. Dua jam berlalu sebelum Li Jianhong menghilang lagi seperti semalam.

Cai Yan mengangguk pada Duan Ling untuk menunjukkan rasa terima kasihnya, dan Duan Ling balas tersenyum, sedikit malu; bagaimanapun juga, ayahnya terlalu kasar pada Cai Yan. Namun Cai Yan tampaknya sama sekali tidak keberatan, dia bertanya pada Duan Ling, “Apa nama gaya pedang ayahmu ini?”

Duan Ling berkata dengan hampa, “Aku tidak tahu.”

Cai Yan terlihat seperti menemukan lapisan perak. “Aku juga akan pergi mencari pedang untuk diriku besok. Ijinkan aku melihat pedangmu.”

Duan Ling menyerahkannya padanya. Cai Yan melihatnya. Pangkalnya bertatahkan banyak batu permata, dan jelas sangat berharga, tapi tak satu pun dari anak muda itu yang tahu apa yang spesial darinya. Pada akhirnya, Cai Yan berkata, “Pedang yang bagus.”


Perang berlangsung hari demi hari. Ini adalah pertama kalinya Duan Ling mengalami perang secara langsung, dan itu adalah perasaan yang tidak terlukiskan. Pada awalnya, semua orang tampak sangat cemas, tapi begitu prajurit Mongol mulai mengepung kota, alih-alih menjadi lebih panik, semua orang terbiasa dengan hal itu sedikit demi sedikit, dan Akademi Biyong menjadi semakin tidak ketat terhadap mereka. Pada hari kedua Cai Yan mencuri pedang upacara dari paviliun buku, berencana untuk melakukannya sekarang, dan menunggu Li Jianhong di malam hari bersama Duan Ling.

“Itu adalah gaya pedang yang aku buat sendiri.”

Ketika dia ditanya apa namanya, Li Jianhong hanya menjawab seperti itu sebelum mendorong Duan Ling untuk berlatih lebih banyak.

Selama beberapa hari pertama Duan Ling sering merasa sangat sakit sehingga dia bahkan tidak bisa mengangkat tangannya, dan bahunya mulai terasa sakit. Li Jianhong akan sepenuhnya mengedarkan qi-nya sendiri lalu memijatnya sedikit. Anehnya, keesokan harinya ketika Duan Ling bangun, dia akan menyadari bahwa rasa sakitnya sudah hilang.

Li Jianhong selalu datang dengan tergesa-gesa dan pergi dengan tergesa-gesa, dan dengan Cai Yan di samping mereka, Duan Ling tidak bisa langsung keluar dan bertanya apa yang sedang dilakukan oleh ayahnya. Tapi dia juga sudah terbiasa; patokannya diturunkan sehingga dia merasa sangat puas selama dia bisa melihat Li Jianhong setiap hari. Dan begitu saja, sebulan penuh berlalu. Kota Shangjing mengalami serangkaian perubahan, dan meskipun para anak muda yang menghabiskan hari-hari mereka belajar tidak benar-benar tahu apa yang secara spesifik terjadi, seseorang bisa melihat perubahan ini dari banyak detail kehidupan mereka.

Misalnya, pada waktu makan mereka tidak bisa lagi makan sampai kenyang. Setiap orang hanya bisa mengambil satu mangkuk makanan.

Makan siang sudah diubah menjadi bubur.

Tidak ada lagi daging saat makan malam, hanya ada sayuran.

Setelah sebulan dikepung oleh prajurit Mongol, kota itu mulai menghadapi bahaya akan kehabisan makanan.

Saat Li Jianhong kembali, dia akan membawa paket berisi daging panggang bersamanya. Dia akan melemparkannya pada Duan Ling dan berkata, “Makanlah.”

Duan Ling akan duduk dan makan terlebih dulu, sesekali berbagi sedikit dengan Cai Yan. Li Jianhong akan menunggu, menanyakan apa yang dia pelajari di sekolah hari itu dan buku apa yang dia pelajari, kemudian setelah Duan Ling selesai makan, Li Jianhong akan mengajarinya bagaimana bertarung dengan pedangnya lagi.

Pertempuran semakin mendesak dari hari ke hari; orang-orang di dalam Shangjing mulai menjadi cemas lagi. Hari ini adalah hari di mana para siswa seharusnya dibawa pulang, namun dengan perang yang berkecamuk, Ketua sudah memutuskan untuk tidak membiarkan siapa pun pergi. Setiap orang harus terus tinggal di Akademi Biyong.

Itu karena distrik timur, selatan, dan barat kota dilanda panah nyasar, sementara hanya gerbang utara yang tetap menjadi tempat yang teraman. Bahkan jika wali siswa berbicara sampai wajah mereka membiru, Ketua hanya akan mengulangi hal yang sama berulang kali dengan cara yang ramah — saya tidak akan membiarkan mereka pulang tidak peduli apa pun yang Anda katakan kepada saya.

Saat senja, hujan deras pertama di musim gugur turun di Shangjing, dan hanya ada bubur bahkan saat makan malam. Di luar kisi jendela adalah lautan orang yang membagikan makanan pada orang-orang yang ada di dalam. Sebagian besar roti pipih dengan perut babi yang diawetkan sebagai isian, karena pejabat dan rumah pedagang kaya pun sudah kehabisan daging. Daging adalah sesuatu yang tidak bisa dibeli dengan uang; yang tersisa hanyalah nasi dan tepung yang mereka timbun secara teratur dan perut babi yang diawetkan dengan dikeringkan.

Cai Yan dan Duan Ling makan bubur dan makan sedikit sayuran asin. Perut bergemuruh, mereka berdiri di koridor mengintip ke luar, tapi Cai Wen tidak datang.

Setiap kali dia mendengar tapak kaki kuda, Cai Yan akan segera berjalan ke tengah hujan untuk menatap melalui kisi jendela, tapi saat dia menyadari itu bukan Cai Wen, dia harus minggir untuk membiarkan siswa lain mengambil tempatnya. Beberapa kali melakukan hal ini dan harapan Cai Yan sudah berubah menjadi kekecewaan, lalu dia mulai marah.

“Aku akan pergi tidur. Bangunkan aku nantinya saat ayahmu ada di sini.”

Duan Ling ingin mengatakan sesuatu yang menghibur pada Cai Yan, tapi Cai Yan murung dan tampak pucat, berbaring di tempat tidur begitu dia kembali ke kamar mereka. Duan Ling mengambil beberapa belokan lagi di depan koridor, dan pada saat seseorang datang dengan lentera berseru, “Cai Yan! Cai Yan!” Satu jam sudah berlalu, dan hari sudah benar-benar gelap di luar.

Duan Ling langsung berlari. “Tunggu! Aku akan memberitahunya untuk bangun sekarang.”

Namun, pria di luar bukanlah Cai Wen, melainkan seorang prajurit dari patroli penjaga kota. “Jenderal Cai memintaku untuk membawakan adik laki-lakinya sesuatu untuk dimakan. Tolong berikan padanya. Dia tidak akan bisa datang malam ini.”

Duan Ling mengambil paket itu darinya. Ada daging asap di dalamnya, dan kertas itu dicap dengan segel penjaga kota, jelas jatah yang disimpan Cai Wen untuknya. Dia hanya bisa kembali untuk mengguncang Cai Yan. “Cai Yan, kakakmu datang.”

Cai Yan demam, mengerang begitu dia dipanggil. Duan Ling langsung memeriksa dahinya.

“Dimana dia?” Cai Yan berkata dengan lemah, “Dia masih hidup, kan?”

“Dia baik-baik saja. Dia ingin kau makan lebih banyak. Katanya dia akan datang menemuimu di lain waktu.”

Cai Yan baru saja bisa mengangguk. Tampaknya, dia merasa cukup untuk mengetahui bahwa Cai Wen masih hidup, dan tidak ada hal lain yang penting. Sesaat berlalu sebelum dia berbalik sekali lagi ke arah Duan Ling. “Apakah dia harus meninggalkan kota untuk bertempur?”

Duan Ling memeriksa denyut nadi Cai Yan, mencoba mendiagnosis penyakitnya. Dia menggeleng. “Aku tidak tahu. Tunggu sebentar, aku akan mengambilkan obat untukmu. Tetaplah di tempat tidur untuk saat ini.”

Duan Ling keluar dari halaman belakang. Hujan terus turun tanpa henti; Shangjing sangat sunyi di malam ini.

Seseorang bersiul ke arahnya dari luar, suara yang merdu dan indah seperti kicauan burung, menyeret ujung nada, dan tiba-tiba menaikkan nada akhirnya.

Duan Ling tertawa dan bergegas keluar. Di halaman belakang, seorang prajurit dengan cepat masuk, sambil tersenyum mengangkat pinggang Duan Ling, membawanya ke koridor.

Li Jianhong mengenakan zirah lengkap hari ini, tampak luar biasa dalam jubah tempur yang disusun dengan pelat mengkilap, masing-masing terlihat berkilauan seperti sisik naga, dan dia mengenakan helm1 qilin di kepalanya, diikat di bawah dagunya dengan jumbai merah. Dia meletakkan pedang besi meteorik yang berat itu dengan santai di tanah, lalu berbalik untuk duduk di samping Duan Ling, meregangkan kakinya di depannya.

“Wah—!”

“Ssst…”

“Apa ini?” Pertama-tama, Duan Ling mengulurkan tangannya untuk merasakan zirah ayahnya, lalu dengan rasa ingin tahu mengangkat tangannya.

“Ini adalah sarung tangan,” Li Jianhong menjelaskan, melepaskan satu untuk ditunjukkan padanya. Duan Ling menyentuh helmnya dan Li Jianhong berkata, “Jangan melepasnya, lihat saja. Mudah untuk dilepas tapi sulit untuk dipakai.”

“Bagaimana dengan ini?” Duan Ling bertanya dengan rasa ingin tahu.

“Tentu saja itu sepatu bot.” Li Jianhong tertawa.

“Kenapa ada paku besi di sana?” Ini pertama kalinya Duan Ling memeriksa baju zirah prajurit dari dekat. Pemandangan megah Li Jianhong yang diselimuti dengan zirah secara penuh membuatnya praktis terjungkal karena kekaguman.

“Mereka adalah taji. Mereka untuk menikam kuda musuh selama pertempuran jarak dekat saat menunggang kuda.”

“Apakah kau akan pergi berperang? Bisakah kau tetap bergerak dengan halus dengan zirah berat seperti ini?”

Li Jianhong menginjak tanah dengan kaki kirinya dan melompat ke udara. Dia memamerkan beberapa gerakan menggunakan tombak panjang sebelum dia duduk kembali di lantai dengan bersila.

Li Jianhong mengeluarkan bungkusan yang dibungkus dengan kertas dan menyerahkannya pada Duan Ling. “Makanlah. Tidak ada latihan pedang hari ini.”

Ada daging panggang di dalam bungkusan, dipotong dengan rapi. Duan Ling melahapnya, memberi sebagian untuk dimakan Li Jianhong. “Anggurnya sudah habis, kita sudah memakan makanan lezat apa pun yang kita miliki. Kita sudah menunggu selama satu setengah bulan. Hari ini kita akan pergi ke luar kota untuk mengalahkan barbarian itu.”

Duan Ling merasa agak khawatir. Li Jianhong menepuk kepalanya dan berkata padanya dengan serius, “Ayah mengajarimu pertarungan pedang selama satu setengah bulan, dan itu semua untuk hari ini. Apakah kau ingat semua gerakannya?”

Duan Ling mengangguk. “Apakah aku akan berperang denganmu? Ayo pergi!”

Li Jianhong meletakkan satu tangan ke dahinya, bahkan tidak yakin harus berkata apa. “Yang Mulia, apa yang kau pikirkan? Kami belum berada pada saat di mana kami membutuhkanmu untuk mengambil alih secara pribadi!”

“Kita harus melakukan hal ini bersama-sama! Apakah aku akan mendapatkan zirah?”

Li Jianhong mencolek Duan Ling dengan jarinya. “Akulah yang harus meninggalkan kota malam ini, bukan kau. Satu jam sebelum tengah malam, Yelü Dashi dan aku akan berpencar menjadi dua kelompok untuk menyerbu perkemahan musuh dan membakar perbekalan mereka. Mengerti?”

“Lalu apa yang harus aku lakukan?” Tanya Duan Ling, tidak mengerti.

Li Jianhong memberitahunya dengan sungguh-sungguh, “Begitu aku meninggalkan kota untuk menyerbu perkemahan mereka, tidak ada yang akan menjagamu sampai akhir. Jika ada yang tidak beres… meskipun kemungkinan terjadi hal seperti itu sangat kecil, kau tidak boleh menurunkan kewaspadaanmu. Kau harus tetap membuka mata dan telingamu.”

“Lalu?” Duan Ling mengangguk.

“Dan kemudian kau akan membawa pedang Kublai Khan ini…”

“Di mana itu?”

Li Jianhong menatap Duan Ling tanpa berkata-kata dengan ekspresi yang tak terlukiskan, dan menunjuk pedang di pinggang Duan Ling, wajahnya menggambarkan apa yang harus aku lakukan padamu.

“Kubilai Khan memberikannya pada Ögedei, dan ayahmu mengambilnya langsung dari tangan Ögedei pada hari pertama. Hanya itu saja.”

“Oh.” Duan Ling mengangguk.

Li Jianhong menambahkan, melatihnya, “Jika ada seseorang yang memberimu masalah, pertimbangkan terlebih dulu — jika kau bisa mengalahkannya, kalahkan saja, tapi jika kau tidak bisa mengalahkannya, maka lari dan sembunyilah. Oke?”

“Apakah akan terjadi sesuatu pada Akademi Biyong?”

“Mungkin tidak, tapi untuk berjaga-jaga, apa pun yang terjadi, kau tidak boleh mencoba untuk menjadi berani. Ayah tidak bisa membawamu dalam penyerangan kamp. Putraku, kau harus memastikan bahwa kau harus tetap hidup. Jika kau mati, ayah juga tidak akan bisa hidup.”

“Baiklah baiklah.” Duan Ling mengerti sekarang – meskipun Li Jianhong yakin dia bisa mengusir musuh, dia tidak bisa sepenuhnya yakin apakah orang Mongolia tidak akan melakukan serangan balik sebelum mereka kalah. Dia tidak bisa berada di sisi putranya untuk menjaganya tetap aman, jadi dia menghabiskan satu setengah bulan untuk mengajarinya serangkaian keterampilan bertarung pedang yang hampir tidak bisa digunakan untuk tujuan pamer. Dia tidak bisa benar-benar menindas musuh di medan perang dengan itu, tapi jika itu hanya untuk menghunuskan pedangnya untuk menghadapi bahaya secara langsung dan memanfaatkan momen ketika musuh meremehkannya untuk melarikan diri dengan nyawanya secara utuh, itu bisa berhasil.

Li Jianhong kemudian membahas ini berkali-kali: apa yang harus dilakukan jika gerbang utara kalah dan prajurit Mongol bergegas menuju ke kota, apa yang harus dilakukan jika ada kebakaran, apa yang harus dilakukan jika ada panah nyasar, apa yang harus dilakukan jika ketapel raksasa melontarkan bebatuan, apa yang harus dilakukan jika tembok kota runtuh… dia memikirkan setiap kemungkinan dan membahas masing-masing dari itu dengan Duan Ling sampai dia memastikan dia menghafal semuanya, dan kemudian dia menggambar peta untuk merencanakan rute pelarian untuknya. Duan Ling sudah mendengar begitu banyak di akhir cerita sehingga dia hampir mengira orang-orang Mongolia sudah bertarung untuk mencapai gerbang Akademi Biyong, dan semua yang mereka perlukan untuk datang padanya adalah dengan satu teriakan perintah.

“Seberapa besar kemungkinan mereka akan bertarung di sini?” Tanya Duan Ling dengan gugup.

“Kurang dari satu dari sepuluh.” Li Jianhong memberitahunya, “Tapi bahkan jika ada kemungkinan terkecil, kau tidak boleh menganggapnya enteng.”

Duan Ling bahkan tidak tahu harus berkata apa padanya.

“Jika sesuatu terjadi padamu…” Li Jianhong memulai.

“Kau juga tidak akan bisa hidup.”

Duan Ling benar-benar tersentuh saat pertama kali mendengarnya, tapi omelan yang berulang-ulang sudah membuatnya benar-benar mati rasa.

“Benar sekali. Tepat seperti itu. Menepuk telapak tangan sebagai sumpah — kau harus tetap hidup.”

Duan Ling dan Li Jianhong menepuk kedua telapak tangan mereka. “Ayah akan pergi berperang. Aku akan kembali saat fajar dan membawamu pulang besok.”

Duan Ling tiba-tiba memeluk leher Li Jianhong. Li Jianhong tersenyum. “Kau sudah berusia tiga belas tahun. Jangan ragu-ragu sekarang.”

Duan Ling melepaskan Li Jianhong, dan Li Jianhong bergegas keluar dari halaman belakang dan naik kudanya. Duan Ling memanjat pagar untuk bergelantungan di atasnya, mengawasinya. Li Jianhong mengendarai Wanlibenxiao, dengan sarung pedang diikat di bagian belakang pelana. Dia meletakkan tombak di punggungnya dan berkata pada Duan Ling, “Turunlah. Berhati-hatilah agar kau tidak jatuh.”

“Kau juga berhati-hatilah!” Duan Ling memberitahunya.

Li Jianhong menyelipkan kakinya di sisi kuda, dan bersandar ke arah Duan Ling. Menempatkan satu kaki di atas pelana untuk menjaga keseimbangan, dia mencium kening Duan Ling. Duan Ling juga, mencium pipi Li Jianhong, dan segera Li Jianhong menggoyangkan tali kekang dan berteriak, “Hup!” Dan mereka berpacu seperti embusan angin, menghilang di ujung gang.


Bab Sebelumnya | Bab Selanjutnya

KONTRIBUTOR

yunda_7

memenia guard_

Footnotes

  1. Seekor Qilin adalah binatang mitologi keberuntungan, hitam, dengan tanduk di atas kepalanya. Helmnya mungkin bertanduk kembar.

This Post Has One Comment

  1. yuuta

    aku tandain kmu ya Cai yan awas aja klo sampe beneran ngelawan Duan dimasa depan..
    ini pedang kublai khan beda sama pedang yg sebelumnya disebutin sama li jianhong kah??
    pak janji beneran pulang loh ya

Leave a Reply