Penerjemah: Rusma
Proofreader: Keiyuki
Sheng Renxing bertengkar hebat dengan ayahnya di pagi hari, dan itu berakhir dengan buruk. Dia tentu saja tidak pergi ke rumah sakit. Meski tidak bisa datang, ia memilih dua karangan bunga krisan putih di toko bunga untuk menyampaikan permintaan maafnya.
Pada saat bunganya dikirim, dia sudah dalam perjalanan kembali ke Xuancheng.
Di Xuancheng masih mendung, dan sopir tidak mengucapkan sepatah kata pun. Lagu-lagu di radio sudah terdengar tua serta usang, dan Sheng Renxing hampir tertidur.
Sampai dia dibangunkan oleh panggilan telepon.
Dia menjawab dengan lesu dan menyadari itu adalah panggilan dari Xing Ye.
Di pagi hari, dia sangat marah sehingga dia keluar rumah dan segera menelepon Xing Ye.
Xing Ye masih tidur saat itu, dan dengan sedikit rasa kantuk, dia bertanya, “Ada apa?” Sheng Renxing memegang ponsel sebentar, lalu berkata dia sedang dalam perjalanan kembali ke Xuancheng dan meminta Xing Ye untuk menjemputnya.
Setelah mengatakannya, dia segera menyesalinya dan memberi tahu Xing Ye bahwa dia salah bicara dan maksudnya adalah menjemput dia di lantai bawah, bukan di Anzhou.
Xing Ye samar-samar menjawab dengan “Oke,” mencurigai pihak lain mungkin belum sepenuhnya bangun dan mengira itu adalah percakapan dalam mimpi.
“Jam berapa kamu akan tiba?” Dia tampak sedikit lebih terjaga.
“Aku tidak tahu, ayo kita makan lalu kembali.” Dia baru saja sangat marah pada Sheng Yan dan hampir tidak menyentuh makanannya.
“Kamu mau makan di jalan?” Suara Xing Ye memiliki nada hangat yang hanya terdengar saat dia bangun tidur.
Sheng Renxing segera mengubah rencananya dari makan di tempat menjadi membawa pulang dalam pikirannya. “Baiklah, kamu harus tidur lebih lama. Kamu tidak melihat pemandangan tadi malam, kenapa kamu belum bangun?”
“Yah,” napas Xing Ye terdengar di telinganya, “Aku akan keluar sebentar nanti. Aku tidak akan tidur lagi, dan akan menunggumu bangun, beri tahu aku saat kamu sudah di dalam mobil.”
Sheng Renxing berdiri di jalan mengobrol dengannya sebentar, hampir melupakan kemarahannya sebelumnya setelah menutup telepon.
Sambil menunggu mobil, dia membuka chat dengan Xing Ye, mengetik beberapa kata, lalu menghapusnya, merasa kata-katanya tidak mengungkapkan apa yang ingin dia katakan.
Setelah berpikir sejenak, dia membuka Baidu dan mencari “kata-kata romantis”. Itu hanya pencarian biasa, tapi saat dia membacanya, dia merasa beberapa kalimat yang sebelumnya tidak terdengar bagus tiba-tiba terasa cukup bagus?
Dia dengan hati-hati memilih beberapa kalimat dan mengirimkannya ke Xing Ye.
[/mawar.]
[Tidak ada orang yang perhatian sepertimu, jadi aku akan memberimu skor sempurna. Jarang sekali memiliki pasangan yang penuh kasih sayang!]
[Aku tidak memiliki keberuntungan dalam cinta pada pandangan pertama, atau kesabaran untuk menumbuhkan cinta seiring berjalannya waktu. Untungnya, aku memilikimu!]
[Ada tiga hal di dunia yang tidak ada bandingannya: air mata, berlian, dan kamu!]
Setelah mengirim pesan, Sheng Renxing terus bolak-balik, merasa semakin terharu. Jika perannya dibalik, dia pasti akan meneteskan air mata.
Xing Ye tidak menjawab, dan Sheng Renxing tidak bisa menahan diri untuk tidak membuka obrolan Qiu Datou.
[Tidak bisa berkata-kata.]
[Aku baru menyadari betapa bahagianya punya pacar.]
[Aku menyarankanmu untuk punya pacar juga ^^]
Setelah berbagi kebahagiaan ini, dia memasukkan ponselnya kembali ke sakunya.
Sekitar satu menit kemudian, dia menerima dua pesan sekaligus.
Xing Ye: [?]
Qiu Datou: [???]
“Belum sampai,” Sheng Renxing menguap dan berkata ke telepon.
Sopir melihat ke arah navigasi dan mengingatkannya, “Masih setengah jam lagi.”
Sheng Renxing berkata, “Aku akan meneleponmu ketika aku sudah dekat.”
Sesampainya di depan pintu masuk kompleks perumahan, gerimis mulai turun. Dia awalnya hanya melirik dengan santai, berpikir untuk membiarkan sopirnya langsung menuju lantai dasar.
Namun, di bawah pohon di samping gerbang, ia melihat sosok yang dikenalnya. Mengenakan pakaian serba hitam, kepala tertunduk, memegang payung di satu tangan dan melihat ponsel. Lengan baju kanannya digulung hingga ke lengannya, memperlihatkan kulit yang hampir pucat di balik kain warna hitam, menonjolkan otot dan bekas luka di lengannya.
Lalu lintas pejalan kaki sepi, tapi setiap kali Sheng Renxing lewat, dia sengaja berjalan setengah lingkaran, menghindari melihat ke arah itu.
Sopir itu melirik ke luar, “Hujan, apakah kamu ingin menunggu sampai orang yang menjemputmu tiba sebelum keluar? Aku bisa mencari tempat untuk parkir.”
“Tidak perlu,” Sheng Renxing memotongnya, di mana Xing Ye berada, “Kamu bisa berhenti di sana.”
Begitu mobil berhenti, dia bergegas turun, berlari dua langkah ke arah payung Xing Ye, berpura-pura mengeluh, “Mengapa kamu menungguku di sini!”
“Bukankah kamu memintaku untuk datang menjemputmu?”
“Aku memintamu turun untuk menjemputku, dan kamu berdiri di tempat terpencil. Bagaimana jika aku tidak menyadarinya dan langsung masuk?” kata Sheng Renxing.
Xing Ye tersenyum dan mengangkat bahu ringan.
Sheng Renxing menoleh dan melihat bahwa sopir itu sudah pergi.
Tidak ada seorang pun di sekitar.
Ekspresinya menjadi rileks, dan dia tiba-tiba memeluk Xing Ye, mengusapnya, “Sial, aku merindukanmu.”
Mereka hanya berpisah selama sehari, tapi mungkin karena mereka tahu bahwa mereka tidak selalu dekat, atau mungkin sesuatu yang berkesan telah terjadi hari itu, membuat hari itu terasa seperti seminggu.
Xing Ye didorong mundur selangkah olehnya dan memeluknya kembali dengan satu tangan.
Payung itu pada akhirnya tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Mereka berdua berjalan terhuyung-huyung, basah kuyup oleh hujan. Sheng Renxing bahkan menggunakannya untuk memercikkan air ke wajah Xing Ye, terus bermain-main hingga mereka mencapai lorong, di mana Xing Ye tiba-tiba mengangkatnya.
Dia diangkat ke bahunya seolah-olah dia adalah sekarung tepung.
Sheng Renxing, yang lengah, tergantung terbalik beberapa saat, “Apa-apaan ini?”
“Masih mau bermain air?”
“Turunkan aku, Xing Ye!” Dia tidak bisa mengerahkan kekuatan apa pun. Dia tidak berani berjuang terlalu keras saat menaiki tangga, takut tetangga yang sudah makan terlalu banyak akan keluar dan melihat mereka. Itu akan memalukan. “Cepatlah, aku sudah selesai bermain, sungguh!”
Mengabaikannya, Xing Ye menggendongnya tanpa sepatah kata pun.
“Persetan, aku mau muntah!” Tulang bahu Sheng Renxing menekan perutnya. Dia hampir memuntahkan semua makanan yang dia makan di dalam mobil. Dia mencoba menggunakan kekuatannya untuk bangun, tapi sebelum dia bisa mengetahuinya, Xing Ye sudah membawanya ke dalam rumah dan melemparkannya ke sofa.
Kemarahan melonjak dalam dirinya. Dia melingkarkan kakinya di pinggang Xing Ye, mencegahnya bangkit, dan mencoba mencekiknya.
Tapi Xing Ye dengan mudah menaklukkannya, meraih pergelangan tangannya dan menggunakan kekuatannya untuk menekannya dengan kuat di sofa, “Siapa persetan?”
Sheng Renxing: “Kamu persetan!”
Xing Ye menatapnya dengan tenang, lalu menekan dengan lembut, “Seperti ini?”
Sheng Renxing: “…”
Sheng Renxing mengertakkan gigi, “Xing Ye!”
Keduanya hampir saling menempel melalui beberapa lapis pakaian, dan gerakan satu sama lain sudah memicu responsnya.
Namun, Xing Ye tidak menahan diri. Pinggangnya perlahan bergesekan dengannya, dan sensasi ditekan sedikit demi sedikit membuatnya merasa seperti dia bisa merasakan kehangatan dari sisi lain melalui kain, menyebabkan dadanya terasa geli mulai dari rompi hingga rambutnya.
“Apa kamu tidak menginginkanku?” Xing Ye menatapnya.
Sheng Renxing tidak dapat berbicara. Dadanya naik turun, matanya sedikit tidak fokus, menatap langsung ke mata Xing Ye, satu-satunya tanda kewarasan yang tersisa menjerit di dalam kepalanya.
Tidak mendapat jawaban, Xing Ye mendorong lebih keras.
“Bukankan kamu akan memberitahuku sesuatu?” Sheng Renxing segera berusaha mendorongnya menjauh.
Xing Ye tetap diam, diam-diam mengarahkan tangannya ke pinggangnya, menariknya ke dalam pakaiannya.
Kehangatan langsung menempel di ujung jarinya, otot-otot yang kuat namun fleksibel sedikit bergelombang seiring napasnya.
Garis otot memanjang dari pinggang ke perut, lalu ke dada, akhirnya bertumpu pada ikat pinggang, bergesekan dengan telapak tangan.
Tidak dapat menahan godaan, Sheng Renxing dan Xing Ye “saling membantu” di ruang tamu di siang hari bolong. Ketika dia mendongak dan melihat ekspresi terdistorsi pada lukisan di dinding, ekspresinya sendiri berubah sejenak.
Xing Ye pergi mengupas apel, sementara Sheng Renxing duduk di sofa dan dengan santai menyalakan TV. Tatapannya tanpa sadar tertuju pada tangannya sendiri, menggosokkan jari-jarinya, tampak berpikir.
“Apa yang kamu pikirkan?” Xing Ye memberikan setengah apel padanya.
“Tentangmu,” Sheng Renxing berkata tiba-tiba. Karena dia telah mengatakannya, dia tidak repot-repot berpura-pura sebaliknya. Tatapannya beralih ke belakang leher Xing Ye. “Apa itu di belakang lehermu? Rasanya berbeda saat aku menyentuhnya.” Dia mengulurkan tangan untuk menyentuhnya.
Rambut Xing Ye agak panjang, menjuntai di lehernya, menutupi siluet hitam samar yang tampak seperti tato yang tersembunyi di balik rambut hitamnya.
Tapi Xing Ye tidak memiliki tato.
Tanpa menjawab, Xing Ye hanya menggigit apel tersebut dan menggunakan satu tangan untuk mendorong rambutnya ke atas, memunggungi Sheng Renxing.
Sheng Renxing memandangnya dengan heran.
Polanya sangat familiar: atas, kiri, kanan, kiri bawah, kanan bawah, lima titik.
Jika dihubungkan bersama-sama, itu akan membentuk bentuk bintang.
Sheng Renxing menatap kosong untuk beberapa saat. “Kapan kamu membuat tato ini?”
“Tadi malam,” Xing Ye membiarkan rambutnya tergerai, menggigit apel lagi, wajahnya tanpa ekspresi, seolah dia baru saja potong rambut. “Setelah aku selesai berbicara denganmu di telepon.”
Dia duduk bersandar di sofa. “Kamu menuliskan puisi untukku, tapi aku tidak pandai menulis, jadi aku memikirkan ini.” Dia menunjuk ke belakang lehernya.
“Kapan kamu belajar untuk menjadi begitu perhatian?” Tatapan Sheng Renxing terus beralih ke leher Xing Ye, lalu kembali, tidak mampu menggambarkan perasaan di hatinya. Seolah-olah, pada saat itu, dia telah berkomitmen pada seseorang. “Puisi itu hanya sesuatu yang aku tulis untuk bersenang-senang. Kamu bahkan memberiku anting-anting.”
Xing Ye menggelengkan kepalanya. “Aku sudah memikirkannya ketika aku membuat tato untukmu, hanya saja aku belum memutuskan desainnya.”
Sheng Renxing mendekati Xing Ye perlahan dan mengangkat rambutnya lagi. Xing Ye dengan patuh menundukkan kepalanya.
Tato bintang hitam sederhana, tanpa pola tambahan apa pun, ditato di lehernya. Saat dia menundukkan kepalanya, bintang itu akan menonjol, seolah bergetar karena nafas Xing Ye.
Xing Ye berkata, “Puisi yang kamu ceritakan kemarin, kamu bilang tidak ada judulnya.”
Sheng Renxing menjawab, “Ya.”
Xing Ye bertanya, “Bolehkah aku memberinya judul?”
“…” Sheng Renxing melepaskan rambutnya, menahan rasa malunya. “Itu adalah hadiah untukmu, kamu bisa menamainya sesukamu.”
Xing Ye mengatupkan bibirnya, tersenyum, dan berkata, “Sebut saja ‘Untuk Bintang-Bintang’.”1Xing yang artinya bintang sama dengan karakter Xing dalam nama Sheng Renxing, 星.
Sheng Renxing mencubit telinganya sendiri, lalu membungkuk dan menciumnya tanpa mengatakan apapun.
Di luar, gerimis terus berlanjut, tapi di dalam, bintang-bintang telah terbit.
Di malam hari, Sheng Renxing menatap kosong ke luar.
“Jika di sebutkan dengan kasar, kalian berdua tidak berasal dari dunia yang sama, kalian bahkan tidak dapat menemukan topik untuk dibicarakan.”
Suara Sheng Yan kembali terlintas di benaknya.
Dia belum kuliah, belum bekerja, dan belum mengubah lingkungannya. Dia dan Xing Ye punya banyak hal untuk dibicarakan sekarang, dan bahkan jika mereka tidak berbicara, mereka sangat nyaman satu sama lain.
Tapi hanya satu kalimat dari Sheng Yan yang membuatnya memikirkannya lama sekali.
Itu bukan karena apa yang dikatakan Sheng Yan tepat sasaran, tapi karena perkataannya menunjukkan kemungkinan yang sangat kecil di masa depan, kemungkinan mereka berpisah. Dia belum pernah memedulikan orang seperti ini sebelumnya, jadi meskipun kemungkinan itu masih kecil, mau tak mau dia merasa khawatir dan cemas.
Namun di sore hari, saat dia melihat bintang di belakang leher Xing Ye, semua pikirannya mengkristal, dan dia membuat keputusan akhir.
Dia ingin bersama Xing Ye, kuliah bersama, bekerja bersama.
Dia ingin menarik Xing Ye keluar dari ‘Jalan Yanjiang’ ini.