Penerjemah: San
Proofreader: Keiyuki


Pada penghujung bulan Desember, suhu udara menurun dengan drastis.

Begitu cuaca menjadi dingin, Qiu Ci semakin bermalas-malasan. Dia paling bersemangat di musim panas, sampai-sampai berharap sepanjang tahun hanyalah musim panas yang menyengat.

Ketika alarm berbunyi, dia masih tertidur lelap.

Sebelum dia sempat mengeluarkan tangannya dari selimut, bunyi alarm itu mendadak berhenti.

Sesaat kemudian, sebuah tubuh hangat menempel di punggungnya, suara lembut berbisik di telinganya:

Ah-Ci, bangunlah.”

Hembusan napas itu mengenai telinganya, menimbulkan rasa geli yang gatal. Dia pun menutup telinga itu dengan selimut dan berkata dengan suara mengantuk, “Kamu keluar dulu.”

Sejak Qiu Ci menyetujui hubungan mereka, sikap Si Bodoh Kecil berubah seratus delapan puluh derajat.

Meskipun dia masih mudah tersipu dan sering kali wajahnya memerah, tindakannya tidak pernah setengah hati. Dia selalu senang menempel pada Qiu Ci, bahkan permen karamel pun tidak semelekat ini.

Untungnya Qiu Ci telah membuat kesepakatan dengannya.

Untuk sementara mereka tidak boleh memberi tahu siapa pun bahwa mereka sedang menjalin hubungan. Di luar rumah, mereka pun tidak boleh melakukan tindakan intim, sebaiknya tetap menjaga jarak agar tidak menimbulkan kecurigaan.

Hanya ketika tidak ada orang, barulah Qiu Ci bersedia memeluk dan menciumnya.

Kebetulan, karena Chu Qing dan Qiu Wei tidak berada di rumah, keduanya tidur di ranjang yang sama semalaman.

Sudah lebih dari sebulan mereka diam-diam menjalin kedekatan di rumah, namun tidak seorang pun menyadari adanya sesuatu yang berbeda.

“Kalau tidak bangun sekarang, kita akan terlambat.” Mu Yu mengingatkan.

Namun Qiu Ci tetap tenang. Baginya, terlambat bukanlah masalah besar.

Melihat Qiu Ci tetap tidak bangun, Mu Yu tidak lagi mendesak. Dia malah memeluk pinggang Qiu Ci.

Pada saat dia memeluknya, tubuh Qiu Ci sempat menegang, lalu perlahan-lahan mengendur, membiarkan dirinya dipeluk.

Masih belum terbiasa, kah?

Mu Yu menutupi rasa kecewanya, tapi lengannya tetap erat. Seolah dengan begitu dia bisa merasakan kepastian.

Ketika Qiu Ci hampir kembali terlelap, tiba-tiba terdengar ketukan pintu. Namun tidak ada suara yang menyusul.

Keduanya sontak merasa jantungnya mengencang. Qiu Ci adalah yang paling gugup. Dengan suara rendah dia bertanya, “Apakah kamu mengunci pintu ketika kamu masuk kemarin?”

Mu Yu mengangguk.

“Berbaring saja, jangan bicara.” Qiu Ci segera bangkit duduk, menutupi tubuh Mu Yu dengan selimut, lalu dengan gugup merapikan piyamanya dan mengacak rambutnya dengan tangan.

Saat itu, ketukan di pintu kembali terdengar.

Qiu Ci merasa janggal, lalu berseru, “Siapa?”

“Aku.”

Suara itu terdengar familiar. Qiu Ci kembali memastikan Mu Yu tertutup rapat oleh selimut, baru kemudian membuka pintu.

Di ambang pintu berdiri seorang lelaki tua berambut putih, wajahnya masih segar dan berwibawa.

Qiu Ci terbatuk pelan.

“Kakek, kapan kakek datang?”

Mengapa tiba-tiba datang ke rumah? Apakah keluarga besar paman kembali berselisih, sehingga kakek datang kemari untuk menenangkan diri?

Tuan Tua Qiu mendengus dingin, menatap cucunya yang berpenampilan berantakan dan berambut kusut. “Sekarang sudah pukul berapa? Kenapa belum berangkat sekolah?”

“Aku baru saja bangun.” Qiu Ci cepat-cepat merapikan rambutnya.

Dibandingkan dengan wanita tua yang sudah meninggal, hubungan Qiu Ci dan pria tua itu terbilang cukup baik. Di hadapannya, Qiu Ci selalu sedikit menahan sikapnya.

Tatapan pria tua itu cukup tajam. Sekilas saja dia bisa melihat bahwa cucunya bertingkah tidak wajar.

Sejak kecil, cucu ini memang nakal dan berani. Di hadapannya pun tidak pernah gentar. Kini justru tampak canggung, jelas sekali tidak biasa.

Pria tua itu mengerutkan kening dan berkata, “Rapikan dirimu, lalu sarapan dan segera berangkat sekolah.”

Begitu yakin kakeknya sudah turun ke lantai bawah, Qiu Ci bergegas kembali masuk ke kamar.

Dengan nada penuh peringatan, dia berkata kepada Mu Yu yang tidak tau apa-apa, “Nanti saat turun, jangan menatapku, jangan tersipu, dan jangan sekali pun mencoba mengaitkan jari kelingkingku di bawah meja.”

Untuk berjaga-jaga, Qiu Ci menambahkan dengan tegas, “Kalau bisa, jangan berbicara. Meski kecil kemungkinannya, jika kakek menanyaimu sesuatu, cukup anggukkan kepala atau jawab singkat saja.”

Mu Yu tidak banyak bertanya, hanya mengangguk patuh. Di hadapan orang lain, dia selalu berusaha menahan diri, agar tidak menimbulkan masalah.

Melihat kepatuhan itu, hati Qiu Ci sedikit tergerak. Dia menunduk dan mengecupnya singkat sebagai hadiah.

Itu adalah kali pertama sejak menjalin hubungan, Qiu Ci dengan sadar mengambil inisiatif untuk mencium dirinya. Mu Yu terharu, segera hendak memeluk lehernya untuk memperdalam ciuman.

Namun Qiu Ci menahannya dengan tangan, tegas berkata, “Patuhlah.” Bagaimana jika ciuman itu terlalu intens dan meninggalkan bekas?

Karena ini pertama kalinya dia mengambil inisiatif saat sadar, meskipun Qiu Ci berwajah serius, telinganya yang merah menampakkan rasa malunya.

Mengetahui hal itu, Mu Yu mengubah siasat, menggigit lembut telinganya. Sebenarnya lebih tepat disebut menggesek ringan dengan gigi.

“Baiklah, aku akan menuruti Ci Ye.”

Setelah turun ke bawah, pria tua yang sudah duduk di meja makan hanya menoleh sekilas, lalu berkata datar, “Makanlah.”

Sepanjang sarapan, pria tua itu benar-benar menerapkan pepatah tidak berbicara ketika makan dan tidak bergunjing1Bergunjing artinya membicarakan keburukan, kekurangan, atau aib orang lain di belakangnya. saat tidur. Mu Yu menunduk makan tanpa suara.

Sebaliknya, Qiu Ci merasa tegang sepanjang waktu, hingga tidak bisa merasakan kenikmatan makanan sama sekali.

Dia tidak tahu berapa lama kakeknya akan tinggal. Asalkan mereka tidak berbuat macam-macam, bukankah kakeknya tidak akan menyadari hubungan mereka?

“Sudah siang.”

Pria tua itu melirik jam, mengingatkan cucunya yang tampak melamun.

Mendengar itu, Qiu Ci segera mempercepat makannya. Beberapa suap saja, dia langsung berdiri. “Aku sudah kenyang, Kakek, aku berangkat dulu.”

Pria tua itu mengangguk, menatap punggung dua anak muda yang berlalu. Melihat langkah cucunya yang terburu-buru, dia pun mengerutkan alis.

Sudah beberapa bulan ulang tahun kedewasannya, kenapa masih begitu ceroboh? Entah kapan dia benar-benar akan matang.

Begitu tiba di sekolah, Qiu Ci langsung menelepon Nyonya Chu, menanyakan kapan dia dan Si penguasa Qiu akan pulang.

Selama kedua orang tuanya kembali, perhatian kakek akan teralihkan, sehingga dia tidak perlu terus-menerus waspada.

Jawaban Chu Qing untuk putranya adalah, dia dan Qiu Wei sangat sibuk dengan pekerjaan, setidaknya baru dapat kembali sekitar akhir tahun. Dia pun berpesan agar Qiu Ci tidak pergi ke mana pun saat akhir pekan, melainkan lebih banyak menemani sang kakek.

Setelah menutup telepon, Qiu Ci kembali dari atap menuju kelas, lalu berbaring di meja, seolah merasa langit sedang bersekongkol untuk menjatuhkannya.

Ah-Ci, ada apa denganmu?”

Melihat sekeliling dan memastikan tidak ada yang memperhatikan, Mu Yu ikut menunduk di meja. Tumpukan buku yang menjulang tinggi menutupi pandangan dari arah depan. Dia lalu menyodorkan tangan, hendak mencolek pipi Qiu Ci.

Qiu Ci menoleh menatapnya, kemudian bangkit, mengambil pena, dan dengan cepat menuliskan sebuah kalimat di buku catatannya:

[Sebelum Kakek pergi, kita harus tetap menjaga jarak saat di rumah.]

Setelah memastikan Mu Yu membacanya dengan jelas, Qiu Ci langsung menggunakan pena untuk menutupi tulisan itu dengan coretan hitam. Dalam hati dia tidak kuasa bertanya-tanya, apakah memperlakukan si bodoh kecil  seperti ini tidaklah terlalu kejam? Bagaimanapun, siapa yang suka menjalin hubungan asmara tapi sangat terkekang?

Andai posisinya dibalik, jika Mu Yu berani memperlakukannya demikian, dia pasti akan sangat marah dan mungkin meninjunya sekali, lalu memutuskan hubungan saat itu juga. Namun, bila hubungan mereka terbuka, dan keluarga sampai mengetahuinya…

Qiu Ci tiba-tiba ingin mencari Yu Shan, gadis cengeng itu, sekadar untuk mencurahkan isi hati. Namun, dia juga tidak ingin gadis itu tahu bahwa dia sendiri berpacaran dengan si bodoh kecil. Jika sampai ketahuan, Yu Shan pasti akan menampakkan ekspresi penuh kemenangan, seolah berkata, “Lihat, benar, ’kan dugaanku?”

Selain itu, persoalan yang begitu pribadi seperti ini, memang tidak pantas disebarkan.

Mengingat Yu Shan, Qiu Ci baru menyadari bahwa akhir-akhir ini dia hampir tidak pernah berinteraksi dengan gadis itu. Karena kelas mereka berada di lantai yang berbeda, bahkan di sekolah, mereka nyaris tak pernah berpapasan.

Dia menghela napas. Sudah punya pacar lalu melupakan sahabat, benar-benar contoh klasik dari istilah ‘melupakan teman demi cinta’.

Sementara itu, di kelas satu, Yu Shan yang sedang duduk sambil bersin kecil saat angin dingin berhembus masuk.

Otot-otot di wajahnya terpengaruh dan dia merasakan nyeri tumpul di pipi kanannya. Jika diperhatikan lebih dekat, bisa melihat jejak telapak tangan yang samar.

Mengingat asal-usul bekas tamparan itu, Yu Shan hanya bisa menertawakan dirinya sendiri dengan getir. Menyadari ada seseorang yang berjalan mendekat, dia segera menundukkan wajah, membiarkan rambut tergerai menutupi sisi pipinya yang memar.

Qiu Ci sama sekali tidak mengetahui hal ini. Pikirannya hanya dipenuhi dengan pertanyaan: apa yang harus dia lakukan agar mampu menghadapi kakeknya dengan sempurna?

Malam harinya, saat kembali ke rumah, pria tua itu belum tidur. Beliau duduk seorang diri di paviliun taman, bermain catur dengan dirinya sendiri. Melihat punggung yang renta itu, hati Qiu Ci terasa sedikit kosong. Dia tidak segera masuk rumah, melainkan duduk di hadapan sang kakek.

“Udara sedingin ini, kakek masih bermain catur di luar. Apa kakek merasa tubuh kakek terlalu kuat hingga harus diuji?”

Pria tua itu menggenggam biji catur hitam cukup lama sebelum perlahan meletakkannya. Suara batu catur menyentuh papan terdengar pelan, lalu dengan nada datar beliau bertanya, “Mau main satu babak?”

Setelah satu permainan, Qiu Ci kalah. Ia tidak terlalu suka catur, jadi kekalahan adalah hal yang wajar bagi seorang amatir.

“Kudengar belakangan ini kamu semakin rajin belajar?”

“Lumayan,” jawab Qiu Ci singkat.

“Anak yang dibawa ibumu tidak ikut pulang bersamamu?”

Qiu Ci terdiam sejenak, lalu segera bangkit membereskan papan catur. “Dia sudah masuk untuk tidur lebih dulu. Sekarang sudah larut malam, kakek juga sebaiknya beristirahat. Di usia seperti ini, tubuh perlu dijaga baik-baik.”

Pria tua itu menegaskan wajah, pura-pura marah. “Sekarang kamu malah berani menasihati orang tua?” Namun sesaat kemudian, mata beliau menampilkan seulas senyum samar.

“Di antara semua orang, justru kamu yang paling tidak berhak berkata begitu. Kamu sudah dewasa, seharusnya mulai stabil dan bijaksana. Jangan sampai setelah menikah pun masih berperilaku tidak serius seperti ini.”

Qiu Ci terdiam, tidak tahu harus berkata apa. “Aku baru berusia delapan belas, masih terlalu muda untuk menikah. Bahkan pasangan pun belum ada, mengapa harus memikirkan hal sejauh itu?”

Pria tua itu menaikkan alis, perlahan berkata, “Bukankah kamu menyukai anak dari keluarga Yu itu?”

Dia memang pernah bertemu Yu Shan, bahkan cukup mengenal nenek dari pihak keluarga Yu. Kesannya terhadap gadis itu selalu baik.

“Beberapa waktu lalu aku sudah membicarakan hal ini dengan nenek dari keluarga Yu. Kami sepakat agar kalian bertunangan terlebih dahulu, lalu menikah ketika usia sudah cukup.”

Qiu Ci yang tengah meneguk air seketika tersedak hebat. Sambil terbatuk-batuk, dia tergagap, “Ber… bertunangan?!”

Pria tua itu mengira cucunya terlalu gembira sampai terkejut, lalu menatapnya dengan pandangan penuh celaan, “Beberapa hari lagi saat bertemu nenek dari keluarga Yu, jangan sampai bertingkah berlebihan seperti ini.”

“Kenapa tidak memberitahukanku terlebih dulu?”

Apakah Yu Shan tahu soal ini? Sepertinya tidak. Kalau tahu, dia pasti sudah panik dan datang mencarinya untuk membicarakan langkah selanjutnya.

Pria tua itu tampak heran. Menurut logikanya, Qiu Ci seharusnya bahagia sampai lupa diri, bukan justru bereaksi dengan pertanyaan. Namun karena ini cucunya sendiri, dia masih bersabar.

Mengira Qiu Ci hanya belum matang dan masih ingin bermain-main, dia berkata dengan datar, “Sekarang pun belum terlambat. Lagi pula, nenek dari keluarga Yu juga belum memberi jawaban pasti. Jadi jangan buat masalah. Jika nanti pihak sana tidak berkenan, aku pun akan kesulitan memohon bagi pihakmu.”

“Tapi—”

“Aku akan masuk tidur. Kamu sendiri pikirkan baik-baik. Jika kamu melewatkannya, tidak ada obat penyesalan di dunia ini.” Nada bicara pria tua itu berubah sendu ketika mengatakannya.

Kembali ke kamar, Qiu Ci masih belum bisa menerima kenyataan itu. Bertunangan dengan Yu Shan, lalu menikah dengannya? Hal semacam ini, memang pernah terlintas di benaknya dahulu. Tapi sekarang…

Sangat menyebalkan!

Dia gelisah, membenamkan wajah ke bantal hingga hampir kehabisan napas, kemudian berpaling menatap sisi ranjang yang kosong. Malam tanpa ada seorang pun di sampingnya membuatnya merasa dingin. Dia berguling ke kanan dan ke kiri hampir dua jam sebelum akhirnya tertidur.

Sebelum benar-benar terlelap, dalam kesadaran yang samar dia masih sempat berpikir: Sebelum si bodoh kecil itu mengetahui segalanya, aku harus segera mencari Yu Shan untuk mendiskusikan jalan keluarnya.

Dua hari kemudian, kabar tentang pertunangan Qiu Ci dan Yu Shan menyebar cepat di kalangan mereka, secepat angin. Teman-teman yang mendengarnya segera datang memberi ucapan selamat, bahkan ada yang sudah menyiapkan hadiah pertunangan, hanya menunggu Qiu Ci mengakui kebenarannya.

Di kelas delapan, banyak yang memperbincangkan hal tersebut.

“Cinta masa kecil akhirnya berbuah, sungguh manis sekali.”

“Aku jadi iri, kenapa aku tidak punya teman masa kecil yang bisa tumbuh bersamaku.”

“Pertama-tama, kamu harus punya wajah secantik Yu Shan. Dia bukan hanya cantik, tapi juga pintar.”

“Kalian dengar dari siapa? Aku sendiri bahkan belum mendengar kabar ini dari ibuku.”

Ibu salah seorang siswi di kelas itu memang paling gemar mengikuti gosip keluarga-keluarga kaya. Begitu ada sedikit saja kabar dari kalangan tersebut, dia hampir selalu menjadi orang pertama yang mengetahui.

“Aku juga tidak tahu pasti, hanya mendengar dari orang lain. Katanya, kabar itu pertama kali tersebar dari pihak keluarga Yu.”

“Menurut anak-anak kelas satu, Yu Shan sudah beberapa hari tidak masuk sekolah. Sepertinya memang sedang sibuk mempersiapkan acara pertunangan.”

“Aku baru sadar, hari ini Qiu Ci juga tidak hadir! Pasti sedang menemui orang tua kedua belah pihak.”

“Bukankah sekarang Mu Yu tinggal di rumah Qiu Ci? Dia mungkin tahu lebih banyak soal ini. Bagaimana kalau kita tanya saja?”

“Dia terlalu dingin, aku tidak berani.”

“Biar aku saja!”

Tak lama kemudian, sekelompok siswa yang penasaran mengelilingi meja paling belakang. Seorang yang cukup berani mengajukan pertanyaan terlebih dahulu:

“Mu Yu, benarkah Qiu Ci akan bertunangan dengan Yu Shan?”

Mu Yu yang sedang mengerjakan soal, terpaksa berhenti. Wajahnya tetap datar, suaranya tanpa emosi, “Tidak tahu.”

Sikapnya yang terlalu dingin membuat beberapa siswa terus bertanya, tapi tidak mendapatkan jawaban apa pun. Akhirnya mereka bubar dengan kecewa. Tak seorang pun menyadari bahwa kertas coretan di hadapan Mu Yu sudah dipenuhi goresan tinta hitam tak beraturan.

Berpikir kembali saat anak laki-laki yang berpakaian formal ragu untuk memberitahunya sebelum pergi, mengatakan bahwa dia ada sesuatu yang harus dilakukan dan tidak akan pergi ke sekolah bersamanya hari ini.

Jadi itu alasannya

Sementara itu, Qiu Ci sudah tiba di kediaman nenek keluarga Yu. Dia duduk di samping kedua orang tua itu, meneguk cangkir demi cangkir teh. Tanpa menyadari bahwa gosip telah sampai ke telinga si bodoh kecil, dia memperhatikan sekeliling rumah sambil mendengarkan percakapan kedua orang tua itu.

Aneh. Ke mana perginya si gadis cengeng itu? Seharusnya sudah muncul, bukan?

Nenek Yu melirik sekilas ke arah cucu lelaki itu, dan kakek Qiu segera berdeham, seolah memberi isyarat.

Merasa ada yang janggal, Qiu Ci langsung bertanya, “Nenek Yu, di mana Yu Shan?”

Dua hari sebelumnya, dia sudah berusaha menemui Yu Shan terkait kabar pertunangan, namun gadis itu tidak datang ke sekolah dan teleponnya pun tak dapat dihubungi. Qiu Ci sempat menduga, mungkin Yu Shan membuat keributan lebih dulu, lalu dihukum berdiam diri di rumah. Bagaimanapun, meski neneknya sangat menyayanginya, menjaga nama baik keluarga tetaplah prioritas.

Wajah nenek Yu sedikit berubah ketika mendengar pertanyaan itu. “Tadi malam dia masuk angin dan demam. Aku memintanya beristirahat.”

“Kalau begitu, biarkan aku melihatnya.” pikir Qiu Ci, mungkin saja gadis itu hanya berpura-pura sakit demi mencari celah untuk melarikan diri. Kalau dia datang, setidaknya bisa membantu.

Baru saja hendak berdiri, nenek Yu menahan, “Sekarang dia sedang tidur.”

Kakek Qiu berdeham beberapa kali, memberi isyarat agar cucunya tidak bertindak gegabah.

Namun rasa curiga membuat Qiu Ci tidak tenang. Sekitar sepuluh menit kemudian, dia berpura-pura hendak ke kamar kecil karena terlalu banyak minum teh. Lalu, dengan mengandalkan ingatannya, dia mencari kamar Yu Shan.

Setelah memastikan tidak ada orang yang melihat, dia mengetuk pintu perlahan.

“Bao Shan?”

Dia mengetuk beberapa kali, tapi tidak ada jawaban. Jangan-jangan dia memang tidak ada di rumah?

Baru hendak berbalik pergi, dia mendengar suara barang pecah dari dalam kamar. Seketika dia melangkah cepat ke depan pintu, mengetuk keras-keras.

“Yu Shan! Kalau kamu ada di dalam, cepat buka pintu!”

Jelas ada sesuatu yang terjadi.

Dari dalam akhirnya terdengar suara lemah, “A-Ci, aku sedang tidak enak badan, kamu pulang saja dulu.”

Bersandar pada pintu yang dingin, Yu Shan berusaha keras menahan getaran pada suaranya. Dia melanjutkan, “Urusan pertunangan itu aku juga baru tahu. Tenang saja, aku tidak akan menikah denganmu.”

“Hal itu bisa kita bicarakan nanti. Sekarang buka pintu dulu,” desak Qiu Ci dengan nada gelisa. Perasaan tidak tenang semakin kuat. “Kalau kamu tidak membukanya, aku akan mendobrak. Kamu tahu sifatku. Aku hitung sampai tiga. Satu… dua—”

Begitu hitungan “tiga” terucap, pintu yang tidak terkunci segera didorong Qiu Ci.

Saat melihat kondisi Yu Shan, wajahnya langsung dipenuhi keterkejutan, yang segera berubah menjadi amarah membara.

“Siapa yang berani melakukan ini!”

Sore itu juga, kabar bahwa Qiu Ci membuat keributan di SMA No.1 langsung tersebar luas hingga ke Jiangbei.

Menurut saksi, dia langsung masuk ke sekolah itu dan memukuli seorang siswa kelas tiga bernama Xiang Ran. Banyak yang menonton, bahkan ada yang merekam video kejadian tersebut.

Di antara suara meja kursi yang terguling dan teriakan panik para siswa, terdengar bentakan penuh amarah, ”Kamu memasang jebakan pada Yu Shan dan mempermainkan perasaannya, ’kan?”

“Kamu pikir kamu siapa?! Aku bahkan tidak berani menyentuh sehelai rambut pun di kepalanya, bagaimana mungkin kamu berani menyentuhnya!”

“Aku tidak memukul perempuan. Tapi kalau kamu begitu menyukainya, maka penderitaan yang dia alami akan kukembalikan padamu!”

Tidak ada yang tahu persis apa yang sebenarnya terjadi. Mereka hanya tahu pihak sekolah sampai harus melapor ke polisi, dan Qiu Ci akhirnya dibawa pergi.

Mu Yu masih di kelas ketika melihat video itu. Dia baru mengetahui tentang video itu di kelas karena mendengar para siswa yang duduk di depannya mendiskusikannya.

“Mu Yu! Kamu mau ke mana?”

Guru yang tengah mengajar baru saja menoleh ketika melihat murid yang selama ini tidak pernah bolos, tiba-tiba berlari keluar dari pintu belakang. Tak lama kemudian, sosoknya menghilang dari pandangan.


KONTRIBUTOR

Keiyuki17

tunamayoo

San

Leave a Reply