Penerjemah: San
Proofreader: Keiyuki


Ketika Mu Yu menemukan Qiu Ci, Qiu Ci sudah keluar dari kantor polisi dan kembali ke rumah.

Di jalan yang luas, terparkir beberapa mobil asing. Mu Yu bahkan belum sempat melangkah masuk, sudah terdengar suara dari dalam rumah.

“Ini urusan keluarga Yu!”

Segera setelah itu, terdengar suara Qiu Ci.

“Urusan keluarga? Paman Yu tidak merasa ucapan itu menggelikan? Cobalah tanyakan pada hati nuranimu terlebih dahulu, pernahkah kamu benar-benar menganggap dia sebagai putrimu? Saat dia paling membutuhkan keluarga, di manakah kamu berada?”

“Kamu bilang itu karena mendiang istrimu, jadi kamu dendam dan membencinya. Kamu membanggakan kasih sayangmu yang mendalam, tapi bukankah akhirnya kamu juga menikah lagi dan memiliki anak? Kamu bahkan tidak peduli dengan putri mendiang istrimu.”

“Putri kandungmu sendiri terluka, namun kamu justru membela putri tiri yang kejam. Jangan-jangan Yu Xueya itu putri kandungmu di luar nikah? Bahkan aku mulai meragukan, kematian bibi pada waktu itu—”

Saat Mu Yu melihat pandangan ke dalam ruangan, dan dia melihat Qiu Ci berdiri melindungi Yu Shan di belakangnya, sambil mencemooh dengan tawa dingin seorang pria paruh baya yang wajahnya memerah karena murka.

“Diam!” bentak Tuan tua Qiu.

Semakin lama semakin tak pantas. Hal-hal seperti ini cukup disimpan dalam hati, bagaimana bisa diucapkan langsung di depan semua orang? Tidak kamu melihat wajah seisi keluarga itu yang sudah memerah gelap seperti hati babi?

Mendapatkan teguran dari seorang junior, siapapun tentu merasa terhina.

Bukan hanya ayah Yu yang wajahnya menghitam, istri barunya, serta putri yang dibawanya masuk sebelum menikah, Yu Xueya, juga sama-sama berwajah pucat kebiruan.

Andai sepasang anak kembar mereka juga hadir, besar kemungkinan satu keluarga itu akan dituding oleh Qiu Ci sebagai “seluruh anggota keluarga berhati busuk”.

Qiu Ci sendiri tahu bahwa kata-kata itu sebenarnya terlalu tajam, namun dia tetap menambahkan dengan dingin: “Aku bahkan lebih layak menjadi ayahnya daripada dirimu.”

Yu Shan yang sejak tadi menahan kepedihan, tak kuasa bergumam lirih: “Aku menganggapmu kakak, ternyata kamu ingin menjadi ayahku?”

Qiu Ci, yang berdiri paling dekat dengannya, segera menoleh dengan tatapan tajam. “Diam, cepat tunjukkan dirimu yang menyedihkan.”

Jangan keras kepala saat ini. Apa kamu tidak melihat ibu dan anak yang kejam itu berpura-pura lemah dengan air mata berlinang sepanjang waktu? Jika perlu bertahan, maka harus pandai memainkan peran.

“Cukup.” Suara berat Nyonya Yu yang tua akhirnya terdengar. Sorot matanya tajam mengarah kepada anak laki-laki di hadapannya, lalu beralih menatap Tuan tua Qiu. “Anak-anak memang sulit menahan emosi, tapi harus tahu menempatkan diri sesuai keadaan.”

Qiu Ci menahan dorongan untuk membalas ucapan sang nenek, lalu berbisik mendesak, “Bodoh, cepat menangis.”

Yu Shan mengerti maksudnya, seketika air matanya jatuh tanpa bisa ditahan.

“Jadi… Nenek benar-benar berniat mengabaikan aku?”

Pertanyaan itu tulus dari lubuk hatinya. Andai anggota keluarga Yu lainnya tidak peduli padanya, dia masih bisa menerima. Tapi mengapa nenek juga…

Di antara menjaga kehormatan keluarga dan membela cucu perempuan, neneknya memilih yang pertama.

Qiu Ci pernah mengatakan bahwa kasih sayang nenek pada Yu Shan sesungguhnya demi menjaga wibawa ayahnya di mata keluarga besar. Karena itu, Yu Shan sempat berselisih paham dengan Qiu Ci. Kini terbukti bahwa dirinya memang terlalu naif.

Melihat wajah cucu perempuan penuh air mata dan rasa terhina, nenek hanya bisa menghela napas panjang. “Shanshan, kamu selalu menjadi anak yang paling pengertian. Xueya adalah kakakmu, memperbesar persoalan ini tidak akan membawa kebaikan bagi keluarga Yu.”

Memandang tatapan neneknya yang jelas menuntutnya mengorbankan diri demi kepentingan besar keluarga, Yu Shan tertegun. Dia menutup mata, air mata mengalir tanpa suara.

“Aku mengerti.”

Baru saja kata-kata itu terucap, wajah anggota keluarga Yu lainnya langsung menunjukkan kegembiraan. Nenek pun tampak lega, berpikir bahwa di masa mendatang dia harus memberi kompensasi lebih kepada cucunya itu.

Namun Qiu Ci hanya berkerut kening, menunggu kelanjutan sikap Yu Shan.

“Aku tidak akan kembali bersama kalian. Perbuatan Yu Xueya yang menyakitiku, akan kutuntut hingga tuntas. Kesalahan harus ditanggung dengan hukuman, bukankah itu yang selalu Ayah ajarkan padaku?”

Sudut bibir Qiu Ci terangkat tipis, akhirnya terdengar kata-kata yang sesuai dengan harapannya.

“Yu Shan.” Suara nenek segera berubah dingin, sarat peringatan sekaligus kekecewaan.

“Nenek, aku lelah.”

Gadis itu mengangkat wajah yang penuh luka, selain memar juga terdapat goresan panjang.

Itulah jejak yang ditinggalkan oleh orang yang dia sukai, demi menyenangkan Yu Xueya, sang pujaan hati, dia menahan perlawanan Yu Shan, lalu membiarkan Xueya menggores wajahnya.

Melihat wajah cucunya yang penuh luka, sang nenek terdiam.

Ketika dia hendak kembali membujuk, terdengar suara lantang dari Qiu Ci: “Paman Jian, antar tamu keluar.”

Paman Jian adalah kepala pelayan keluarga Qiu. Saat para orang tua tidak ada, dialah yang mengurus semua urusan besar dan kecil di rumah itu.

Karena tuan rumah sendiri telah memerintahkan untuk mengusir, keluarga Yu tentu tidak mungkin memaksa bertahan. Jika sampai tersebar kabar, bukankah akan menjadi bahan tertawaan?

Dengan wajah masam, mereka terpaksa beranjak. Sebelum pergi, ayah Yu masih sempat mengancam: “Jika hari ini kamu tidak pulang, maka jangan pernah berpikir untuk kembali!”

Qiu Ci kemudian membawa Yu Shan ke lantai tiga, memintanya beristirahat di kamarnya sendiri.

Saat hendak keluar, barulah dia menyadari bahwa Mu Yu sudah kembali.

Dia melirik jam. Jika dia tidak salah, seharusnya belum waktunya pulang sekolah. Bocah penurut ini kabur dari kelas?

Namun Qiu Ci tidak menanyakan alasan, hanya memberi isyarat agar mengikutinya. “Temani aku keluar sebentar.”

Mu Yu pun mengikuti Qiu Ci ke toko kue, membeli aneka macam manisan.

Qiu Ci sendiri sebenarnya tidak menyukai yang manis. Tentu saja semuanya itu dipersiapkan untuk Yu Shan.

Mu Yu sedikit melamun, samar-samar mendengar suara Qiu Ci bertanya: “Kamu ingin makan sesuatu?”

Dia tidak segera merespons, hanya mengedipkan mata.

Melihat tampang linglung itu, Qiu Ci merasa sedikit terhibur, bahkan tersenyum tipis. “Kenapa menatapku begitu? Bukankah kamu menyukai makanan manis? Apa yang ingin kamu makan?”

“Yang ini, bagaimana?” Qiu Ci menunjuk kue stroberi. Si bodoh kecil ini gemar makan permen kapas stroberi, seharusnya juga menyukai kue stroberi, bukan?

Qiu Ci tidak tahu bahwa insiden di supermarket dulu hanyalah kesalahpahaman. Melihat Mu Yu tak berbicara, dia mengira perkiraannya salah. “Tidak mau? Kalau begitu—”

“Mau!” Mu Yu buru-buru memotong, bahkan menekankan, “Aku sangat suka.”

Karena tidak mengendalikan nada suara, beberapa orang di sekitar menoleh dengan rasa heran.

Wajah Mu Yu memerah, sementara Qiu Ci menutup bibir dengan punggung tangannya, batuk kecil untuk menutupi senyum. “Kalau begitu, kita beli yang ini.”

Karena toko kue yang mereka tuju tidak terlalu jauh, Qiu Ci ingin sekalian menenangkan diri, maka keduanya memutuskan berjalan kaki.

Dalam perjalanan pulang, Mu Yu sesekali melirik kue stroberi di tangannya, lalu kembali menoleh pada tangan kosong Qiu Ci.

Angin dingin membuat jemari terasa kaku. Qiu Ci baru hendak memasukkan tangan ke dalam saku mantel untuk menghangatkannya, ketika tiba-tiba tangannya digenggam.

Jantungnya berdebar, dia menoleh ke samping.

Tampak pemuda yang berjalan di sisinya menatap lurus ke depan, tangannya berusaha menyelip masuk di sela jemari.

Dari sudut mata, Qiu Ci melihat seseorang berjalan melewati mereka. Dia tidak menarik diri, hanya menatap lurus ke depan, lalu diam-diam menggenggam lebih erat.

“Hanya sebentar saja.”

Udara sedingin ini membuat orang jarang berjalan-jalan. Jika hanya sebentarlalu melepaskannya saat hampir sampai di rumah, seandainya tidak kebetulan bertemu kenalan.

Namun harapan Qiu Ci ternyata salah.

Sun Jialu juga tinggal di kawasan itu. Karena bosan, dia keluar berjalan-jalan dengan anjingnya. Dari kejauhan, dia sudah melihat Qiu Ci dan Mu Yu, semula ingin menyapa. Siapa sangka pada detik berikutnya dia menyaksikan kedua orang itu berpegangan tangan.

Di tengah hembusan angin, Sun Jialu mengucek matanya tak percaya, memastikan dirinya tidak berhalusinasi.

Aku benar-benar buta? Atau memang buta? Pasti buta!

Ci Ge diam-diam berpacaran dengan seorang pria, dan orang itu ternyata Mu Yu!

Qiu Ci belum menyadari bahwa keberuntungan yang dia harapkan justru membuat dirinya secara tidak sengaja terbuka di depan seorang teman.

Sesampainya di rumah, kakeknya entah pergi ke mana, sementara Yu Shan yang kelelahan sudah terlelap. Qiu Ci tidak mengganggunya, hanya menaruh kue di meja, lalu menuju kamar Mu Yu.

Dengan hati-hati, Mu Yu membuka tutup transparan kue itu, kemudian menyendok sedikit. Begitu manisnya krim meleleh di lidah, wajahnya pun senyum puas.

Melihat raut bahagia itu, Qiu Ci menyandarkan kepala pada satu tangan, lalu bertanya, “Benarkah selezat itu?”

Mu Yu mengangguk, menyodorkan sendok ke mulutnya, memberi isyarat agar dia ikut mencicipi.

“Aku tidak makan yang manis-manis.” Dia bahkan tidak minum soda, apalagi krim manis.

Menatap Mu Yu yang menghabiskan kue, Qiu Ci akhirnya mengingatkan, “Ada krim di sudut bibirmu.”

Qiu Ci awalnya hendak menghapusnya untuknya, tapi sebuah ide terlintas di benaknya, dan sebelum dia bisa memutuskan apakah akan melakukannya atau tidak, dia sudah bergerak maju.

Perasaan ujung lidah meluncur di sudut mulutnya membuat Mu Yu berdiri di sana dengan linglung, tidak dapat kembali sadar untuk waktu yang lama.

Menyadari apa yang baru saja dia lakukan, Qiu Ci meremas tangannya yang ada di meja, lalu berwajah datar berkomentar, “Benar saja, terlalu manis.”

“Ada lagi?” tanya Mu Yu dengan wajah memerah. Sepertinya dia sudah menemukan trik kecil agar A-Ci menciumnya.

Qiu Ci melirik, melihat sisa krim, lalu sekali lagi mendekat tanpa sadar.

Manis sekali, namun entah mengapa dia tidak merasa terganggu.

Qiu Ci mencuimnya sangat ringan, seolah dia menikmatinya dengan saksama. Ketika rasa manis di bibirnya memudar, dia mulai menggali lebih banyak rasa manis di dalamnya.

Aroma krim menyatu di antara napas keduanya, membuat momen itu semakin memabukkan.

Itu adalah ciuman mereka yang paling dalam, dan juga terpanjang.

Keduanya bergeser dari kursi, Qiu Ci kini duduk di sofa ujung ranjang, dengan bobot seseorang di pangkuannya membuat bantalan sofa menjorok ke bawah.

Langit di luar sudah gelap, lampu kamar belum dinyalakan. Cahaya senja yang remang membuat mereka semakin merasakan kehadiran satu sama lain, juga perubahan tubuh yang tidak bisa disembunyikan.

“Jangan bergerak.” Qiu Ci menghentikan gerakan, lalu memeluknya

Dia menyandarkan wajah di pundak Mu Yu. Aroma jeruk nipis yang biasanya segar kini justru menyalakan bara yang semakin membakar.

Mu Yu pun merasakannya. Karena tidak bisa menyembunyikan, tubuhnya panas memerah.

Sekitar satu menit kemudian, Qiu Ci mendengar suara gugup di telinganya.

“Pe-perlu bantuan?”

Dia memeluk lebih erat, suara rendah penuh ketegasan, “Tidak perlu!”

Hal semacam itu mustahil dia biarkan dilakukan orang lain.

“Benarkah tidak perlu?” wajah Mu Yu merah sampai seperti berdarah, tapi dia tetap belum menyerah.

“Tutup mulutmu!”

Langit sudah benar-benar gelap, kamar semakin pekat.

Dalam gelap, setiap indra terasa berlipat. Ketika tiba-tiba disentuh, Qiu Ci menegang, segera menangkap tangan yang nakal.

“Apa yang ingin kamu lakukan?” tanyanya di sela gigi terkatup.

Gagal mencapai kesepakatan, jadi dia langsung melakukannya? Apa dia masih si bodoh kecil yang penurut dan pemalu itu?

Karena tirai tidak ditutup, cahaya tipis dari luar membuat wajah mereka samar terlihat, juga sorot mata yang berkilau.

Mu Yu membenamkan wajahnya dan berbisik, “Tahan saja rasa tidak nyaman ini.” Dia sendiri juga merasa tidak nyaman.

Mereka sudah berciuman, berpegangan tangan, seharusnya boleh lebih jauh, bukan?

Qiu Ci mengutuk dalam hati, lalu memperingatkan, “Tidak nyaman pun harus ditahan.” dia sendiri tidak pernah melakukan itu, mustahil membiarkan orang lain melakukannya.

Setelah menarik napas dalam, dia berkata, “Bangunlah.”

Dengan enggan, Mu Yu turun dari pangkuannya, duduk di samping.

Tanpa menoleh pun, Qiu Ci bisa merasakan tatapan lengket yang menempel padanya.

Untuk mengalihkan perhatian, dia menyalakan musik lembut dari ponsel, lalu membuka aplikasi percakapan, membaca obrolan di grup.

Saat menggulir layar, dia menemukan pesan dari Sun Jialu.

Ada dua pesan.

Yang pertama, sebuah foto.

Yang kedua, rangkaian panjang “hehehe” disertai stiker wajah menyeringai nakal.

Bahkan melalui layar, Qiu Ci bisa merasakan bau busuk yang menyebalkan dari orang itu.

Dia mencengkeram ponselnya, tubuhnya telah benar-benar tenang, namun hatinya justru—

Sialan!!!

Apakah masih sempat untuk membungkamnya sekarang?


KONTRIBUTOR

Keiyuki17

tunamayoo

San

Leave a Reply