Penerjemah: San
Proofreader: Keiyuki, Rusma


Saat pertama kali Qiu Ci bertemu dengan Mu Yu adalah ketika libur musim dingin di tahun kedua SMA, menjelang akhir tahun.

Hari itu salju turun perlahan, Qiu Ci dan teman-temannya baru saja pulang dari liburan ke luar negeri.

Setelah pulang ke rumah, mereka masih sempat keluar bermain lagi sebelum akhirnya kembali.

Anak laki-laki yang duduk di kursi penumpang depan melihat ponselnya dan tertawa pelan, “Dasar gadis tak punya hati.”

“Ci-ge, kamu sedang bicara dengan siapa?” goda seseorang dari kursi belakang.

“Masih perlu ditanya? Dia pasti sedang mengobrol dengan Shan jie.”

“Yu Shan tidak ikut liburan bersama kita kali ini, jadi Ci-ge hanya bisa mengobati kerinduannya lewat internet.”

Setelah mengirimkan angpao besar kepada Yu Shan, Qiu Ci pun menyimpan ponselnya dan mengumpat sambil tertawa, “Enyahlah, jangan bergosip seenaknya.”

Siapa pun tahu, gadis paling disayang Qiu Ci tak lain adalah Yu Shan.

Mereka adalah sahabat masa kecil sejati, dari taman kanak-kanak hingga SMP selalu duduk sebangku, dan sekarang pun satu sekolah di SMA.

Semua orang menganggap mereka pasangan. Meskipun sekarang belum, suatu saat pasti akan menjadi pasangan.

Saat anak laki-laki itu hendak melanjutkan ejekan mereka, tiba-tiba seseorang berkata heran, “Ci ge, itu bibi Chu, ‘kan?”

Qiu Ci mengikuti suara itu dan melihat ke luar gerbang rumahnya. Benar saja, dia melihat Nyonya Chu, ibunya sendiri, Chu Qing.

“Siapa anak laki-laki di samping Bibi Chu itu ? Ci ge, apa kamu kenal?”

Qiu Ci menggeser pandangannya. Karena sudut pandang yang terbatas, dia tidak bisa melihat wajah anak itu dengan jelas. Dia mengangkat alis dan berkata, “Belum pernah lihat.”

Ketika mobil sampai di depan rumah, Nyonya Chu sudah membawa anak laki-laki itu masuk. Setelah berpamitan dengan teman-temannya, Qiu Ci pun berjalan pelan menuju rumah.

Orang yang sedang menyapu salju di halaman memanggil saat melihatnya, “Tuan Muda Qiu.”

Qiu Ci mengangguk, lalu teringat anak laki-laki di samping ibunya dan bertanya, “Apakah kita kedatangan tamu?”

Dia sendiri baru tiba pagi tadi. Saat itu rumah kosong, hanya ada koper hitam di ruang tamu. Dia kira milik orangtuanya yang belum sempat dibereskan setelah pulang dari perjalanan dinas.

“Ya, dua hari lalu nyonya membawa pulang seorang anak laki-laki,” orang itu menjawab, lalu menambahkan, “sepertinya akan tinggal lama.”

Qiu Ci mendengus kecil, sulit diartikan maksudnya.

Saat masuk ke dalam rumah, dia melihat ibunya sedang duduk di sofa, berbincang dengan anak laki-laki tidak dikenal.

“Soal pindah sekolah, Paman Qiu-mu yang akan mengurusnya. Saat semester baru dimulai, kamu bisa masuk sekolah bersama Qiu Ci.”

“Qiu Ci lahir tiga bulan lebih dulu darimu, jadi anggap saja dia kakakmu. Anak itu memang agak buruk tempramennya, tapi baik hati. Saat di sekolah nanti, aku akan memintanya untuk—”

Tiba-tiba terdengar suara mengejek pelan, “Bu, jangan berikan aku tugas yang asal-asalan.”

Mendengar suara itu, dua orang yang ada di sofa itu menoleh bersamaan.

Saat melihat anaknya akhirnya pulang, Chu Qing segera memperkenalkan, “Ini Mu Yu. Mulai sekarang dia akan tinggal di rumah, dan nanti masuk kelas yang sama denganmu. Jangan sampai Ibu dengar kamu menindas dia.”

Putranya terkenal di kalangan teman-temannya sebagai bocah bandel yang tidak bisa diatur.

Apalagi sejak putranya lahir prematur dan tubuhnya lemah saat kecil, dia selalu memanjakannya tanpa henti. Namun semakin bertambah usia, tubuh anaknya justru makin kuat, dan tempramennya pun semakin keras.

Ketika mereka tumbuh dewasa dan menjadi cukup kuat, sudah terlambat untuk mengendalikan mereka.

“Mu Yu?” Qiu Ci mengulang namanya, lalu mengangkat alis dan tersenyum nakal, “Siapa dia? Jangan-jangan anak haram Ayah, ya? Wah, Bu, Ibu dermawan sekali.”

Wajah Qiu Ci dipenuhi sikap sembrono, dan saat dia menyadari Mu Yu menatapnya, dia justru membalas dengan angkuh, mengangkat alis seolah menantang.

Qiu Ci menilai anak laki-laki itu yang seumuran dengannya.

Tak bisa dipungkiri, anak bernama Mu Yu itu memang cukup tampan. Jika dia masuk sekolah, pasti banyak gadis menyukainya. Tapi sayangnya, auranya terlalu dingin dan terkesan kutu buku, sungguh menyebalkan.

Namun Yu Shan-nya imut, pandai belajar dan memiliki kepribadian yang ceria.

“Omong kosong apa yang kamu bicarakan, dasar bajingan kecil!”

Sebelum Chu Qing bisa mengatakan apa pun, suara laki-laki yang kasar terdengar dari tangga. Seorang pria berjas tengah menatap tajam ke arah putranya yang nakal.

Anak haram? Berani-beraninya dia berkata begitu!

“Qiu Ci, jangan cari gara-gara,” kata Chu Qing dengan nada lembut, sangat berbeda dengan suaminya. “Dia anak dari sahabat Ibu, mulai sekarang anggap saja adikmu. Sebagai kakak, kamu harus melindunginya, mengerti?”

Perkataan itu jelas tidak menyenangkan bagi Qiu Ci. Sesama laki-laki, mengapa bicara soal melindungi segala?

Lagi pula, mereka juga tidak saling kenal.

“Bu, kalau Ibu memperkenalkan Yu Shan kepadaku dan bilang dia istriku, maka aku pasti melindunginya. Tapi kalau yang ini, si adik kecil Mu Yu…”

Nada akhirnya sengaja dipanjangkan, menyiratkan penghinaan.

Mu Yu yang sejak tadi diam, kini menundukkan kepala. Bibirnya terkatup rapat, dan kulit pucatnya tampak semakin pucat.

“Qiu Ci!” Qiu Wei berkata tegas, mengandung peringatan.

Dengan wajah yang memang terkesan galak sejak lahir, satu kerutan alis saja sudah cukup membuat lawan diam. Qiu Ci pun langsung tutup mulut.

Dulu saat dia terlalu nakal, tidak jarang dia dipukul habis-habisan oleh ayahnya yang kejam itu. Pria garang itu menyimpan semua kelembutan hanya untuk istrinya.

“Kalian mengobrol saja, aku tidak akan ikut campur, oke?”

Tuan Muda Qiu sedang tidak senang. Dia sangat teritorial, dan kedatangan “adik” asing ke rumah membuatnya sangat terganggu.

Saat sampai di lantai tiga, Qiu Ci hendak membuka pintu kamarnya, tapi sudut matanya menangkap pintu seberang yang terbuka setengah, membuatnya mengernyit.

Dia mengubah langkah, mendorong pintu kamar itu.

Seluruh lantai tiga awalnya milik Qiu Ci seorang, termasuk kamar di seberang, yang dulu disiapkan untuk Yu Shan menginap. Namun, belakangan jarang digunakan.

Selama dia pergi liburan, kamar itu kini dipenuhi barang pribadi yang tidak dikenalnya. Di meja belajar bahkan ada buku latihan.

Qiu Ci mengambil salah satu buku dan melihat coretan rumus-rumus rumit, lalu melemparnya kembali.

Kamar itu dulunya berdekorasi ala putri dengan nuansa merah muda, penuh boneka lucu, bahkan kepala ranjangnya dihiasi telinga kelinci yang manis.

Namun kini, semua berubah. Warna kamarnya menjadi dingin dan tenang, sementara telinga kelinci di kepala ranjang tampak sangat tidak cocok dengan suasana kamar.

Meskipun tidak ada seorang pun yang tinggal di ruangan ini selama empat atau lima tahun kecuali Qiu Ci sendiri, Qiu Ci tetap saja merasa sangat tidak bahagia.

Dengan perasaan kesal yang ditekan, Qiu Ci berbalik hendak keluar, namun mendapati anak laki-laki itu sudah berdiri di ambang pintu entah sejak kapan.

Mu Yu menatapnya diam-diam, tidak tampak marah meski Qiu Ci sembarangan masuk ke kamarnya.

Tertangkap basah oleh pemilik kamar, Qiu Ci sama sekali tidak merasa bersalah, apalagi berniat meminta maaf.

Saat keluar, dia dengan sengaja membenturkan bahunya pada tubuh kurus Mu Yu.

Hanya karena tidak bisa memukulnya, bukan berarti dia tak bisa mengekspresikan ketidaksenangannya dengan cara lain.

Suara pintu dibanting keras menggema di belakangnya, penuh dengan penolakan dari Tuan Muda Qiu.

Berdiri di depan pintu kamar, Mu Yu menoleh menatap pintu yang tertutup rapat, dan baru setelah satu menit kemudian dia menutup pintu itu secara perlahan.

Qiu Ci, yang sekujur tubuhnya tampak jelas sedang sangat kesal, mengurung diri di kamar sepanjang sore hanya untuk bermain game, bahkan tidak turun untuk makan malam.

Hingga terdengar suara dari luar kamar: “Tuan Muda Qiu, Tuan Qiu memintamu ke ruang teh.”

Melihat layar permainan yang berwarna abu-abu, Qiu Ci berkata kepada rekan satu timnya di sisi lain: “Aku tidak ingin bermain lagi.”

Begitu permainan dimatikan dan headset dilepas, barulah dia keluar dari kamarnya.

Sebelum pergi, dia sempat melirik ke kamar yang ada di seberangnya, dan rasa kesalnya semakin menjadi.

Mengapa kamar orang itu harus ditempatkan di lantai yang sama dengannya?

Rumah teh tidak berada di bangunan ini, tapi di sebuah bungalow bergaya Cina di seberang taman. Tuan Qiu terkadang tinggal di sini selama beberapa bulan, dan rumah ini dibangun khusus untuknya.

Saat Qiu Ci tiba, dua patung Buddha besar1Ayah dan Ibu Qiu Ci keluarga itu sudah duduk di sana.

“Apa ada hal apa yang sangat penting sampai harus dibicarakan di sini?” Dia duduk di dekat mereka, dengan gaya yang sopan menuang secangkir teh untuk dirinya sendiri, menyeruput sedikit sebelum berkata, “Mungkinkah benar bahwa dia itu anak haram?”

Bagaimanapun juga, kemungkinan besar ini berkaitan dengan anak itu.

“Xiao Ci,” ujar Chu Qing dengan nada tegas, “Jangan bicara sembarangan. Anak itu sangat malang.”

Mendengar ini, Qiu Ci tersenyum dan berkata, “Ada begitu banyak orang menyedihkan di dunia ini, aku tidak bisa bersimpati dengan mereka semua.”

Anak itu tidak ada hubungannya sama sekali dengannya, tapi dia tiba-tiba menjadi anggota keluarga tanpa alasan yang jelas. Akan aneh jika dia bisa menerimanya.

Melihat suaminya hendak marah, Chu Qing memberi isyarat agar dia tenang.

“Mu Yu adalah putra dari sahabatku. Ibunya meninggal belum lama ini, dan ayah tirinya memperlakukannya dengan buruk. Ibu pikir, paling aman jika dia tinggal di sini saja.”

“Di mana ayah kandungnya?” Qiu Ci memahami poin pentingnya. Mungkinkah dia sudah meninggal juga?

“Meninggal,” jawab Chu Qing dingin. Tapi dari ekspresi Chu Qing, Qiu Ci bisa menebak kalau kemungkinan besar bukan meninggal, melainkan telah melakukan sesuatu yang menjijikkan.

“Apa? Meninggalkan istri dan anak?” Dia menebak, dan ujung-ujungnya pasti alasan klise seperti itu.

Qiu Wei melotot ke arahnya, “Kenapa kamu begitu peduli? Kamu akan mati jika tidak mendengarkanku.”

Ucapan itu membuat Qiu Ci kesal, lalu bertanya, “Orang asing yang tidak jelas asal-usulnya tinggal di rumah ini, sebagai anggota keluarga aku tidak punya hak untuk tahu?”

“Kamu—” Qiu Wei adalah orang yang temperamental, dan sebagian besar sifat Qiu Ci jelas diwarisi darinya, mudah sekali terpancing emosi.

“Cukup kalian berdua!” Chu Qing akhirnya marah.

Dia menarik napas panjang, wajahnya serius.

“Qiu Ci, kamu tidak menyukai Mu Yu, ibu tidak memaksamu untuk akur dengannya. Tapi, kamu tidak boleh diam-diam menindas dia.”

“Kalau terang-terangan, boleh?” Melihat ibunya yang biasanya lembut kini menunjukkan wajah serius, Qiu Ci langsung mengubah ucapannya, “Baiklah, aku mengerti. Apakah putra Ibu ini orang yang pendendam begitu?”

Padahal dia baru saja, beberapa jam lalu, menabrak orang itu dengan bahunya.

Pasangan itu menatap putra mereka secara diam-diam, seolah mengatakan bahwa dia adalah orang yang berpikiran sempit.

Qiu Ci membaca ekspresi itu dan sudut bibirnya sedikit berkedut.

Dia bukan orang yang tidak tahu aturan. Jadi dia berkata, “Tenang saja, selama si Mu Yu itu tidak mencari masalah denganku, aku malas peduli padanya, apalagi sengaja menggertaknya. Kalian teruskan saja obrolannya, aku ada janji, pergi dulu.”

Lusa adalah malam tahun baru Imlek. Dia harus kembali ke rumah utama keluarga Qiu, dan malam ini dia ingin bersenang-senang dulu.

Saat dia kembali ke rumah, sudah larut malam, Qiu Wei dan Chu Qing sudah tidur.

Qiu Ci yang agak mabuk, melangkah terhuyung ke kamarnya dan membuka pintu.

Ruangan itu gelap gulita dan dia tidak dapat menemukan cahaya untuk waktu yang lama. Jadi dia meraba-raba jalan menuju tempat tidur dalam keadaan linglung dan terjatuh.

Begitu berbaring, tangannya menyentuh sesuatu yang lembut, lalu mengeluarkan suara bingung. Hm? Lembut sekali, seperti bantal peluk?

Dalam kegelapan, Mu Yu yang tiba-tiba dipeluk dengan erat menjadi kaku seketika.

Dia bisa mencium bau alkohol dan rokok, keduanya tidak enak.

“Qiu Ci?” Dia mencoba memanggil dengan ragu.

Mendengar namanya, Qiu Ci menggumam pelan sebagai respons.

“Kamu salah masuk kamar,” Mu Yu mengingatkan.

Tak ada jawaban. Anak laki-laki itu justru memeluknya makin erat, bahkan menggosokkan wajah ke lehernya.

Tubuh Mu Yu menegang, dia berusaha mendorong orang itu dan mencoba menyalakan lampu.

Qiu Ci yang sedang tidur gelisah menepuk-nepuknya dengan perasaan tidak puas: “Jangan bergerak.”

Dan tempat yang ditepuknya adalah… pantat Mu Yu.

Setelah ditepuk seperti itu, Mu Yu makin tidak berani bergerak, juga tidak berani tidur. Bahkan napasnya pun hati-hati.

Di dalam kamar gelap itu, dua remaja laki-laki tidur dalam posisi intim.

Yang satu sudah tertidur pulas, sementara yang satu lagi pikirannya kacau balau, degup jantungnya terdengar sangat keras di tengah keheningan malam.

Dia punya satu rahasia kecil.

Saat pertama kali melihat Qiu Ci di siang hari, jantungnya seperti berhenti satu detik, lalu berdetak keras seperti genderang.

Saat itu dia juga tidak tahu kenapa, pikirannya melayang, wajahnya panas.

Kini, saat sedang dipeluk erat seperti ini, tubuhnya memanas luar biasa. Tapi saat teringat betapa terang-terangannya Qiu Ci menunjukkan rasa tidak suka, dia perlahan kembali tenang.

Seiring waktu berjalan, kelopak matanya makin berat, dan sebelum benar-benar tertidur, dia samar-samar mendengar Qiu Ci menggumam menyebut satu nama:

—“Yu Shan, kamu…”

Itu adalah kedua kalinya Mu Yu mendengar nama Yu Shan dari mulut Qiu Ci.

Yu Shan… apakah dia gadis yang disukai Qiu Ci?


KONTRIBUTOR

Keiyuki17

tunamayoo

San
Rusma

Meowzai

Leave a Reply