Penerjemah: San
Proofreader: Keiyuki, Rusma


Kata “suami” yang dalam dan penuh daya tarik itu, bercampur dengan hembusan angin laut, entah mengapa terdengar sangat menggoda.

Qiu Ci yang berbaring di sofa masih saja terngiang-ngiang pada panggilan penuh emosi itu. Di detik itu juga, dia benar-benar merasa… dirinya sedang digoda habis-habisan.

Dia menyipitkan mata dan mendengus pelan.

Setelah kegilaan mereka semalam, ditambah kejadian pagi tadi—Mu Yu sudah kelelahan luar biasa dan kini tengah beristirahat di kamar Qiu Ci.

Qiu Ci hanya perlu mengangkat sedikit pandangan, dan wajah tidur Mu Yu langsung terlihat. Melihat wajah itu, dia mendadak ingin merokok lagi.

Padahal, ada rokok di kamarnya. Tapi karena sudah berniat berhenti, dia hanya membayangkannya. Dia mengeluarkan sepotong terakhir permen karet rasa mint dan mengunyahnya. Sensasinya tajam menyegarkan, membuat pikirannya jernih kembali.

Sejak kemarin, dia menjadi semakin tidak waras.

Hampir enam tahun tidak bertemu, dan baru beberapa saat setelah bertemu kembali, mereka langsung berakhir di ranjang—bahkan lebih gila lagi, mereka membuat perjanjian “menikah” secara lisan.

Andai ibunya, Nyonya Chu tahu bahwa anaknya mau menjadikan sahabatnya sebagai pasangan sah secara hukum, entah sapu macam apa yang akan dipakai untuk memukulnya sampai babak belur.

Dulu, saat dia mencium Mu Yu dan menekannya ke pintu, Nyonya Chu hampir saja melihatnya. Untung bisa dia bisa menipu ibunya.

Masa-masa saat berpacaran dengan si bodoh itu, semuanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Sekarang jika dipikir, itu benar-benar konyol… tapi juga menggemaskan.

Pria itu menopang pipinya dengan satu tangan. Mengingat kembali, dan dia tak bisa menahan tawa.

Mu Yu terbangun saat malam telah tiba. Karena tidur terlalu lama, kepalanya terasa sedikit pusing.

Lampu kamar belum dinyalakan. Dia meraba ke samping—dingin. Tidak ada siapa pun.

Dia sempat mengira semua yang terjadi sebelumnya hanyalah mimpi—bermimpi Ah Ci berkata ingin menikah dengannya. Walau bukan karena cinta, tapi setidaknya itu sudah merupakan langkah besar yang belum pernah terjadi.

Dan yang lebih luar biasa lagi…

Dia memanggilnya suami.

Wajah Mu Yu langsung memanas. Sebenarnya dalam mimpinya yang tak terhitung, dia sudah menjadi pasangan Ah Ci. Kata “suami” itu pun sering terucap. Di mimpi itu, Ah Ci selalu tersenyum menyebalkan dan membalas, “Istriku memang manis.”

“Mu Yu!”

Suara rendah dan marah itu meledak di dalam kamar, membuat Mu Yu mengira pikirannya telah ketahuan, dan membuat orang yang dia suka marah karenanya.

“Hmm?” Dia memberanikan diri menjawab.

Ternyata Ah Ci ada di sini. Jadi kejadian siang tadi bukan sekadar mimpi.

“Tunggu saja sampai aku menangkapmu, kamu akan mati!”

Suara itu penuh dengan amarah.

Mu Yu melongo di atas ranjang. Dia mencoba berpikir keras, tapi tetap tidak mengerti di mana dia telah membuat Ah Ci marah.

Saat pikirannya jernih, barulah dia sadar—Qiu Ci sedang mengigau.

Kalau dia sedang sadar, mana mungkin hanya menggerutu seperti itu?

Dia menyalakan lampu tidur, mengatur ke tingkat keterangan paling rendah. Lalu melihat Ah Ci terbaring di sofa dengan tangan terlipat di atas dada.

Karena kakinya panjang, sebagian terjulur sampai keluar dari sandaran. Matanya terpejam dan keningnya berkerut.

Benar-benar sedang bermimpi.

Mu Yu ingin menyelimuti tubuhnya, baru saja hendak membetulkan posisi selimut, pria itu kembali bicara, “Omong kosong. Mana mungkin aku menyukai dia.”

“Dia”? Yu Shan?

Mu Yu mendengus pahit. Bahkan dalam mimpi pun, Ah Ci tetap keras kepala.

Dia berjongkok di sisi sofa, menatap pria yang kini jauh lebih dewasa dan stabil dari masa mudanya. Menatap lama, lalu mendekat ke telinganya dan berbisik dengan nada kesal, “Ah Ci brengsek.”

Aku sangat menyukaimu, kenapa kamu tidak bisa melihat itu dan hanya menyukai Yu Shan?

Rasa kesal menumpuk, dia kembali menggerutu, “Brengsek.”

“Siapa yang kamu bilang brengsek?”

Suara itu terdengar berat dan serak karena baru terbangun, Qiu Ci memalingkan kepala, memandangi Mu Yu yang seketika membatu, dengan ekspresi setengah tersenyum.

Ketika hendak mengucap kalimat ketiga dalam mimpinya, Qiu Ci terbangun karena kesal. Dalam keadaan setengah sadar, dia merasakan seseorang sedang menatapnya. Dia ingin tahu apa yang orang itu rencanakan, jadi dia tetap memejamkan mata.

Tak lama kemudian, dia mendengar si bodoh ini diam-diam memakinya.

Kalau ingin memaki, maka maki saja—kenapa terdengar seperti anak kecil yang tersinggung? Padahal wajahnya dingin seperti es batu.

“Kapan kamu bangun?” tanya Mu Yu gugup sambil batuk ringan, tidak berani menatapnya.

Sungguh memalukan!

Qiu Ci menutup matanya lagi dan menjawab datar, “Saat pertama kali kamu mengatakan aku brengsek.”

“Apa yang kamu mimpikan?” Mu Yu penasaran—apa yang membuat Qiu Ci marah sampai di dalam mimpi pun ingin menghajarnya?

Pria itu langsung cemberut, memelototinya dan mendengus, “Bukan apa-apa.”

Hanya mimpi lama yang terulang kembali. Dia begitu kesal sampai ingin memukul orang. Lalu mimpi berubah menjadi Yu Shan yang mengatakan sesuatu, yang membuatnya terbangun karena kesal.

Mengingat mimpinya—dan kejadian barusan—Qiu Ci benar-benar ingin memukulnya sekarang.

Menanggalkan celananya, dan menghajar pantatnya habis-habisan, sampai dia menangis dan menjerit minta ampun: Tuan Ci, aku salah, aku tidak berani lagi!

Berani-beraninya meninggalkan surat perpisahan dan pergi ke luar negeri tanpa sepatah kata pun. Bahkan berani mencampakkanku terlebih dahulu.

Berani bertingkah genit saat baru bertemu. Saat bermain sendiri sambil memikirkannya, dia bahkan berani mengutukku, lihat saja nanti, apakah aku tidak bisa membuatmu menangis!

Semakin dia memikirnya, semakin dia merasa puas. Sudut bibir pria itu terangkat tinggi, seolah dalam mimpi benar-benar telah menghajar seseorang.

Mu Yu semakin penasaran—apa sebenarnya yang Ah Ci pikirkan? Kenapa wajahnya menjadi sangat senang?

Pria itu sadar sedang diperhatikan. Tatapannya turun ke arah tertentu, lalu tersenyum licik.

Jika suatu hari aku sedang kesal, aku akan memukulmu untuk melampiaskan amarahku.

Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Mereka telah tidur sejak pukul dua atau tiga sore. Tidur lagi pun tidak akan bisa.

Setelah mandi, Qiu Ci keluar dan mendapati seseorang masih saja duduk di sofanya, menonton film. Film yang dia bintangi dua tahun lalu—genre misteri, dia memerankan tokoh antagonis utama. Film itu memenangkan banyak penghargaan, baik di dalam maupun luar negeri.

Qiu Ci membuka kulkas, mengambil sekaleng bir, lalu bersandar di dinding sambil menatap Mu Yu. Pria itu menatap layar lekat-lekat, sampai tidak sempat berkedip. Wajah seriusnya membuat seolah ia sedang menonton dokumenter pendidikan.

Padahal Mu Yu sudah menonton film ini berulang kali. Dia bahkan sudah mengoleksi semua film yang pernah dibintangi Qiu Ci sejak masuk industri hiburan.

Dia akan mengedit rekaman apa pun yang menampilkan Qiu Ci, bahkan wawancara, dan menaruhnya di komputer pribadinya, untuk dilihat kapan pun dia merindukannya.

Qiu Ci di layar berbeda dari yang dia kenal… tapi tetap saja membuatnya jatuh hati.

Sekali Ah Ci memutuskan untuk melakukan sesuatu, ia akan berusaha sekuat tenaga.

Seperti dulu, saat mengejar Yu Shan—ia belajar mati-matian, dari siswa ranking terbawah menjadi peringkat teratas. Dia merasa kasihan padanya ketika melihat betapa kerasnya ia bekerja.

Memasuki dunia hiburan pun sama saja—padahal jelas-jelas dia berwatak keras dan mudah meledak, tapi anehnya selama enam tahun ini tidak pernah terdengar skandal besar apa pun. Dia fokus berakting, tidak terlibat gosip murahan, tidak bersikap sombong, dan menjaga citra diri seolah itu keahliannya.

Sudah sejak lama sebenarnya dia tahu, Ah Ci memang luar biasa.

Qiu Ci tahu betul seberapa hebat dirinya. Tapi melihat Mu Yu begitu tenggelam dalam karyanya, sisi kecil dalam hatinya pun mendongak dengan sombong.

Seolah berkata, “Lihat ‘kan? Aku memang hebat. Apakah kamu sekarang jatuh cinta lagi padaku? Kamu menyesal, ‘kan? Sayangnya sudah terlambat. Keputusan paling bodoh yang kamu buat adalah terburu-buru memutuskan hubungan duluan.”

Film pun sampai di bagian akhir. Karakter penjahat yang diperankan Qiu Ci tewas di tangan pemeran utama yang memerankan tokoh baik.

Diiringi suara “Dor!”, tubuh itu jatuh di atas hamparan daun kering. Mu Yu menatap layar lebar dengan wajah sedikit pucat.

Untung saja itu hanya sebuah film.

Melihat orang itu tidak menunjukkan niat akan pergi, Qiu Ci pun angkat suara. “Belum mau pergi juga?”

Rasa bangga adalah satu hal, tapi mengusir orang itu adalah hal lain. Ini kamarnya, tapi orang itu sama sekali tidak sadar diri. Masih juga betah disini.

Qiu Ci bukan tipe yang pandai berkata halus jika ingin mengusir orang. Jadi dia bicara langsung.

“Kita sudah menikah secara lisan, jadi bisa tinggal bersama,” ucap Mu Yu, benar-benar berniat untuk tetap tinggal.

Qiu Ci mengingatkan tanpa ampun, “Itu hanya pura-pura, akting. Bahkan jika kita benar-benar sudah mendapatkan surat nikah, kamu tidak perlu sampai bersikap seperti pasangan sungguhan. Cukup tipu ayahku saja.”

“Tapi aku ingin.”

“Aku tidak ingin.”

Satu duduk, satu berdiri, tidak ada yang mau mengalah.

“Mu Yu.”

“Ya?”

“Setelah sekian tahun, kulit wajahmu makin tebal saja.”

“Aku tahu Ah Ci suka aku yang berkulit tebal.”

Kalau bukan karena itu, bagaimana mungkin dia berani bertahan sebagai kekasih Ah Ci selama hampir dua tahun di tengah bayang-bayang keberadaan Yu Shan?

Qiu Ci menyipitkan mata, lalu beberapa saat kemudian melangkah mendekat. Dia membungkuk, jarak di antara mereka pun mendadak menghilang.

Di dalam ruangan yang hening, Mu Yu bahkan bisa mendengar detak jantung mereka. Jantungnya berdetak kencang seperti genderang perang, sedangkan detak jantung Ah Ci tenang dan kuat.

“Nah, bos besar Mu yang katanya berkulit tebal, kenapa telingamu memerah? Dan wajahmu panas?”

Saat telapak tangan menempel di pipinya, bulu mata Mu Yu sedikit bergerak. Wajahnya makin memerah.

Tangan Qiu Ci dingin, sangat kontras dengan panas di pipinya. Sentuhan itu terasa jelas, cukup untuk mengacaukan pikirannya.

Mu Yu menggesekkan pipinya lembut pada telapak tangan itu, begitu manja, seperti seekor kucing yang sedang bermanja.

Seperti kucing yang mulai dipelihara Qiu Ci tahun lalu—manja, suka menggosokkan tubuhnya, dan selalu mengeong meminta perhatian. Saat Qiu Ci duduk, si kucing akan langsung melompat ke pangkuannya dan mulai menggesek-gesekkan tubuhnya.

Manis sampai menusuk hati.

Di bawah cahaya lampu yang terang, sorot mata Mu Yu terlihat semakin jernih dan tajam—terang, menyilaukan, dan menyengat.

Dengan sorot mata lembut, dia menatap pria yang jaraknya hanya sejengkal darinya. Dia terkekeh pelan, lalu memiringkan kepala dan mengecup telapak tangan yang masih menempel di pipinya yang panas.

Ah Ci.”

“Hmm?”

“Aku masih sangat menyukaimu. Bahkan lebih dari sebelumnya. Apa kamu tahu?”

“Aku tahu.”

Terlalu jelas. Hanya orang buta yang tidak bisa melihatnya.

Ah Ci, aku ingin memberitahumu satu rahasia.”

“Apa?” Apa lagi yang dia tidak tahu?

“Sejak pertama kali melihatmu, aku langsung jatuh cinta. Cinta pada pandangan pertama.”

Yang ini, Qiu Ci memang benar-benar tidak tahu.

Selama ini dia pikir Mu Yu jatuh cinta karena kedekatan dan pesonanya yang luar biasa tak tertandingi.

Dulu dia bahkan sempat bingung. Jika si kutub es bisa dia cairkan menjadi musim semi, kenapa gadis seperti Yu Shan tidak juga tertarik padanya?

Pikirannya melayang terlalu jauh. Sorot mata Qiu Ci sedikit menggelap, lalu mendengus, “Dangkal. Cinta pada pandangan pertama hanyalah nafsu semata. Kamu jatuh cinta pada wajahku.”

Mu Yu tidak menyangkal. Senyumnya tidak luntur, dan dia mengaku dengan suara rendah, “Ya, Ah Ci memang tampan. Saat itu ketampananmu langsung menancap di hatiku.”

Mu Yu menyukai Qiu Ci—itu sudah lama Qiu Ci tahu.

Tapi apakah Qiu Ci juga menyukai Mu Yu? Siapa yang tahu.


KONTRIBUTOR

Keiyuki17

tunamayoo

San
Rusma

Meowzai

Leave a Reply