Penerjemah: San
Proofreader: Keiyuki, Rusma


Setelah pindah kamar, Qiu Ci pergi ke pantai dan bermain voli pantai bersama beberapa orang.

Di bawah sinar matahari, dia hanya mengenakan celana pendek pantai. Butiran pasir halus menempel di kulitnya, otot perutnya terbentuk jelas. Wajahnya tegas, dan ketika dia tersenyum, dia tampak seperti matahari yang bersinar, begitu memukau hingga sulit untuk mengalihkan pandangan.

Di mana pun dia berada, dia selalu menjadi pusat perhatian.

Saat Yu Shan muncul menggandeng suaminya, matahari mulai terbenam. Dari kejauhan, dia melihat Qiu Ci mengenakan kacamata hitam, duduk bersila di pasir, membantu sekelompok anak kecil membangun istana pasir.

Tidak disangka, hasilnya benar-benar menyerupai sebuah istana.

Melihatnya begitu serius, Yu Shan tidak bisa menahan tawa.

Bertahun-tahun berlalu, semua orang tampaknya telah berubah, tapi Xiao1panggilan untuk yg lebih muda atau kecil Qiu tetap sama seperti dulu.

Di layar kaca, dia mungkin terlihat elegan dan berwibawa sebagai seorang aktor pemenang penghargaan. Namun, di dalam dirinya, dia tetaplah Xiao Qiu yang liar dan penuh semangat.

Qiu Ci melihatnya, mengangkat kacamata hitam ke atas kepala, lalu bersiul ke arahnya. “Cengeng, ayo sini!”

Pria itu menampakkan deretan giginya yang putih bersih, seperti remaja yang dulu selalu tersenyum di lapangan basket, menatap Yu Shan yang duduk di meja pencatat skor.

—“Cengeng, buka matamu lebar-lebar dan lihat baik-baik. Aku akan memenangkan pertarungan ini dengan mudah, kalau menang, jadilah pacarku!”

Yu Shan selalu menolak mentah-mentah.

Dia tahu lebih baik dari siapa pun bahwa Qiu Ci tidak benar-benar menyukainya. Semua kejaran dan perhatian itu hanya karena dia terbiasa mendapatkan apa yang dia inginkan.

Itulah harga diri Qiu Ci. Dia tidak pernah membiarkan sesuatu pergi begitu saja sebelum dia memutuskannya sendiri.

Yu Shan tumbuh bersama Qiu Ci dan hanya pernah melihatnya benar-benar menyukai seseorang satu kali dalam hidupnya.

Sayangnya…

“Aku tidak kekanak-kanakan seperti dirimu, Qiu Ci.”

Yu Shan menggandeng Mu Feng, suaminya, dan berjalan mendekat. Namun, dalam pandangannya, seseorang sudah lebih dulu melangkah ke arah Qiu Ci.

Orang itu berjongkok di sampingnya, berbicara pada seorang gadis kecil berambut cokelat dan berbintik di pipinya, lalu mengambil sekop pasir berwarna merah muda miliknya dan mulai menggali pasir.

Yu Shan berhenti melangkah dan menahan Mu Feng agar tidak maju lebih jauh.

Laki-laki di samping Qiu Ci menggali saluran air kecil yang belum berbentuk dengan bibir terkatup rapat.

Saat Qiu Ci berdiri hendak pergi, dia dengan sigap menarik ujung celana Qiu Ci.

Jika Qiu Ci berjalan terlalu cepat, celananya bisa terlepas di depan umum.

Qiu Ci mengangkat alis dan menepuk tangan yang mengganggunya dengan keras. Apa-apaan ini? Aku bisa membuat tanganmu bengkak sekarang, lihat saja kamu masih berani memegangku atau tidak.

Mu Yu keras kepala, meskipun tangannya ditepuk hingga sakit, dia tidak mengeluh. Dia hanya mendongak menatap Qiu Ci. Mata hitamnya yang jernih bersinar lembut di bawah sinar matahari senja.

Di hadapan orang lain, tatapannya sedingin es.

Namun, pada Qiu Ci, matanya menyiratkan kehangatan musim semi.

Suara Mu Yu rendah dan serak, “Ah Ci, jangan pergi.”

Nada suaranya tidak lagi lembut seperti dulu. Kini, ada sentuhan kedewasaan yang lebih berat.

Kalimat itu, sudah lama ingin dia ucapkan.

Namun, dia tahu bahwa, baik dia mengatakannya atau tidak, setiap kali Yu Shan membutuhkan sesuatu, Qiu Ci akan selalu pergi tanpa ragu.

“Lepaskan.” Alis Qiu Ci berkerut tajam.

Mu Yu melirik Yu Shan yang hanya berjarak beberapa langkah, lalu bergumam, “Tidak mau.”

Jika dia melepaskan sekarang, mungkin dia tidak akan pernah punya keberanian untuk memegangnya lagi.

Sekarang ini, genggaman kecilnya adalah hasil dari keberanian yang telah dia bangun selama enam tahun.

Enam tahun yang terlalu panjang. Tidak terhitung berapa kali dia berbaring sendirian di malam hari, merindukan Qiu Ci yang tidak pernah menyisakan tempat untuknya. Merindukannya sampai hatinya sakit, mencintainya dan membencinya sekaligus.

Dia bisa menghabiskan enam tahun mengamatinya dari kejauhan, tapi tidak pernah cukup berani untuk menyeberangi lautan dan berdiri di hadapannya.

Mu Yu takut hasilnya akan sama seperti dulu—menghancurkan semua harapannya, membuatnya kehilangan keberanian untuk mencintai Qiu Ci lagi.

Keduanya terdiam dalam kebuntuan. Anak-anak kecil di sekitar mereka mengomel dalam bahasa Prancis, mengingatkan bahwa istana pasir mereka belum selesai dan menyuruh mereka berhenti mengobrol.

Qiu Ci tersenyum dan mengiyakan permintaan mereka, lalu kembali ke tempatnya semula.

Dari kejauhan, Yu Shan melihat pria bernama Mu Yu itu diam-diam tersenyum tipis.

Dia teringat masa lalu, ketika Mu Yu yang masih remaja diam-diam mencium Qiu Ci di ruang belajar, lalu dengan bangga melirik ke arahnya di pintu.

Saat itu, Mu Yu dan Qiu Ci baru mulai berpacaran. Yu Shan belum mengetahuinya.

Yu Shan mengalihkan pandangannya, menghela napas pelan, lalu menarik suaminya yang ingin mengatakan sesuatu untuk pergi ke tempat lain.

Ketika istana pasir hampir selesai, namun anak-anak sudah pulang bersama orang tua mereka.

Qiu Ci menatap hasil karya mereka, lalu melirik Mu Yu yang masih berjongkok. Tiba-tiba, dia mengayunkan kakinya dan menghancurkan istana itu dalam sekejap.

Kali ini, dia pergi dengan tegas, tanpa memberi Mu Yu kesempatan untuk menahannya.

Karena terlalu lama berjongkok, Mu Yu merasa pusing saat ingin berdiri. Dia butuh waktu lama untuk menenangkan diri.

Orang-orang berlalu-lalang di sekitarnya, tapi sosok Qiu Ci sudah tidak terlihat lagi.

Mu Yu tetap berdiri di tempatnya, rambut dan ujung bajunya berkibar tertiup angin laut, tapi kesedihan yang memenuhi hatinya tak juga pergi.

Qiu Ci baru saja masuk ke kamarnya ketika bel pintu berbunyi. Tanpa melihat, dia langsung membukanya.

Begitu melihat siapa yang berdiri di ambang pintu, reaksi pertamanya adalah menutup pintu lagi. Tapi seseorang tidak tahu diri, malah menahan pintu dengan tangannya.

Qiu Ci menghela napas. Haruskah dia memberi penghargaan atas kegigihan orang ini?

Mu Yu berdiri di luar pintu, matanya gelap penuh emosi. Tanpa mengatakan apa pun, dia mendorong Qiu Ci masuk, lalu menutup pintu di belakangnya.

Mereka berdiri berhadapan, tinggi yang hampir sama. Yang satu tenang tanpa ekspresi, yang satu penuh gejolak emosi.

Detik berikutnya, Qiu Ci mengangkat alisnya dan bersiul pelan.

Karena di saat yang sama, Mu Yu menatapnya lekat-lekat, lalu mulai meraih dasinya, napasnya tersengal. Dia mendekat dan berbisik lirih, “Bantu aku lepaskan.”

“Di mana serunya kalau kamu melepasnya sendiri?” Qiu Ci menyandarkan tubuh ke dinding, senyumnya santai dan tak terburu-buru.

Sama seperti dulu, di dalam kelas, saat dia duduk di samping Mu Yu, satu kaki terjulur santai di atas meja, sandaran kursi dimiringkan ke belakang—seorang pemuda yang selalu terlihat acuh tak acuh.

Mu Yu mengatupkan bibir, lalu menundukkan kepala dan membuka dua kancing teratas kemejanya.

Saat Qiu Ci sedang melamun, Mu Yu tiba-tiba mengulurkan tangan, mencengkeram kerah bajunya, menariknya ke depan, lalu mendekat dan menciumnya dengan keras.

Napasnya membawa panas yang membakar, dan di telinga pria yang biasa bersikap acuh tak acuh itu, dia bergumam dengan gigi terkatup, “Persetan dengan kesabaran! Ah Ci, serang saja aku, saat ini juga.”

Kesabaran yang telah mencapai batas akhirnya, begitu meledak menjadi tak terbendung.

Dia sangat menginginkan dirinya—sudah bertahun-tahun, sepanjang masa mudanya, hingga kini, dan semua perasaannya hanya semakin bertambah, tidak pernah berkurang.

Qiu Ci adalah matahari. Mu Yu mengejar matahari itu meski tahu dia akan terbakar, sementara matahari itu hanya tahu mengejar orang lain.

Dengan susah payah dia berhasil menyusul, menahan sakit karena terbakar, ingin menggenggamnya erat-erat, tapi tetap saja tidak bisa menggenggamnya.

Dia melepaskan, namun saat bajingan itu kembali muncul di hadapannya, hatinya kembali kacau. Meski dia sangat sangat kejam, tapi dia tetap mencintainya dan sangat merindukannya.

Qiu Ci memandangi sosok di hadapannya, perasaan yang tak bisa diungkapkan membebani dadanya.

“Mu Yu, sejak kapan kamu, si anak manis, mulai pandai berkata kasar seperti ini?”

Mu Yu menyeringai dingin, “Sejak kapan kamu, si Tuan Xiao Qiu yang tak kenal takut, menjadi begitu ragu-ragu?”

Meski berbicara, tangannya tidak berhenti bergerak, dia telah mencabik-cabik pakaian Qiu Ci hingga berantakan, tinggal selangkah lagi menanggalkan celananya.

Di saat kritis, Qiu Ci meraih pergelangan tangannya dan mengingatkan dengan datar, “Mu Yu, hubungan kita sudah berakhir. Aku tidak menginginkannya lagi.”

Wajah Mu Yu langsung membeku, suaranya gelap dan mengancam, “Tapi tubuhmu tidak berkata begitu. Tubuhmu bilang, itu menginginkanku.”

Qiu Ci tidak tahu harus tertawa atau menangis. “Mengapa kamu semakin…,”

Dia tidak tahu harus bagaimana menggambarkan pria yang sudah bertahun-tahun tidak ditemuinya ini.

Dulu, dia yang impulsif dan arogan, sementara Mu Yu tenang dan kalem. Tapi enam tahun tidak bertemu, semuanya terbalik.

Mu Yu menghentikan gerakannya, wajahnya tidak lagi menunjukkan ketenangan yang biasa dia pertahankan selama bertahun-tahun. Sudah berusaha menahan, namun akhirnya tetap tak bisa.

“Yu Shan adalah sosok masa mudamu, putri kecil kesayangan yang kamu manja sampai mati.”

“Qiu Ci, sementara kamu adalah seluruh masa mudaku. Aku bermimpi dijepit sampai mati olehmu di tempat tidur.”

“Tapi kenapa, kenapa kamu sama sekali tidak pernah menoleh padaku?”

“Enam tahun lalu kamu menolakku, dan sekarang kamu tetap tidak menginginkanku. Yu Shan sudah punya hidupnya sendiri. Apa kamu masih mengharapkannya? Ingin memanfaatkan celah?”

“Dia tidak pernah menyukaimu. Dulu tidak, sekarang tidak, dan selamanya tidak. Tapi aku, dari dulu sampai sekarang, mencintaimu sampai ke tulang!”

Dengan nada paling tajam, dia meluapkan perasaan paling pilu dalam hatinya.

Di belakang Qiu Ci adalah dinding yang dingin, sementara di hadapannya wajah seorang pria dengan ujung mata yang tampak basah.

“Mu Yu, kamu menangis?”

Mengesampingkan peristiwa “berkelahi di atas ranjang”, ini adalah ketiga kalinya Qiu Ci melihatnya menangis.

Pertama kali, karena Yu Shan mengucapkan omong kosong yang menyebalkan. Mu Yu minum diam-diam, lalu duduk di sampingnya, perlahan-lahan matanya memerah.

Saat itu ia berkata, “Ah Ci, berhentilah menyukai dia. Sukai saja aku, aku ini gampang ditaklukkan.”

Sialan, waktu itu dia terlalu manis, dan entah kenapa Qiu Ci pun menciumnya.

Siapa sangka, setelah ciuman itu, tidak bisa dilepaskan lagi.

Kedua kali, pada hari ulang tahun Mu Yu, Qiu Ci pergi karena Yu Shan.

Saat dia menoleh tanpa sadar, pria itu berdiri diam di tempat dengan mata merah. Seminggu kemudian, dia pergi bersama ayah kandungnya ke luar negeri tanpa sepatah kata.

Ketiga kalinya adalah sekarang.

Setiap kali matanya memerah, semua demi Qiu Ci.

Ah Ci, aku sudah mengungkapkan perasaanku sejauh ini. Bisakah kamu memberikan sedikit balasan?”

Suara Mu Yu bergetar, air matanya tetap keras kepala enggan jatuh dari matanya.

Bisakah setidaknya satu kali saja, pria ini benar-benar memperhatikan kata-katanya? Bisakah tidak selalu menghindar?

Siapa pun bisa melihat bahwa dia sedang menangis. Bisakah jangan bertanya, tapi langsung memeluk wajahnya dan menciumnya sambil berkata, “Anak baik, jangan menangis, aku juga ikut sakit hati.”

Dulu saat pria itu membujuk Yu Shan, semua rayuan dikeluarkan. Tapi pada dirinya, tidak ada apa pun. Berbohong sedikit pun tak apa baginya.

Qiu Ci tidak menjawab. Dia hanya memalingkan wajah, membuka kancing terakhir pada pakaian Mu Yu, lalu menyeringai nakal, “Masih ingin lanjut? Yang hanya urusan fisik, tanpa melibatkan hati.”

Kalimat pertama saja sudah cukup. Tapi tetap saja dia menambah kalimat yang menyakitkan.

Memang begitulah sifat Ah Ci.

Tatapan Mu Yu menyala, seolah ingin membakar pria di depannya bersama dirinya. Dia menerjang, menggigit bibir pria yang menyebalkan itu, “Mau!”

Apa pun hasilnya, lakukan saja dulu!

Bagaimana cara pria dan pria “berkomunikasi”, Qiu Ci tidak tahu.

Selain Mu Yu, dia tak pernah menyentuh pria lain. Lagi pula, tanpa Mu Yu, dia tidak akan pernah bisa menyentuh laki-laki.

Namun hubungan mereka selalu berakhir kacau, seperti habis berperang, benar-benar habis-habisan.

Bagaimanapun, setiap pertarungan antara dia dan Mu Yu selalu berakhir kacau, bagaikan peperangan, yang mengakibatkan keduanya menderita kematian.

Qiu Ci selalu keras dalam segala hal, baik saat mencium maupun saat ‘melakukan’. Sejak awal bersama Mu Yu, dia memang seperti itu—dan Mu Yu menyukainya.

Mu Yu yang awalnya canggung, lalu sepenuhnya dikuasai, kemudian bisa melawan sedikit, hingga akhirnya dengan rela menyerahkan dirinya untuk dilumat habis.

Enam tahun tidak bertemu, perasaan yang dipendam selama enam tahun akhirnya meledak. Apa pun yang terjadi, semuanya harus dibayar lunas.

Mati pun tak masalah. Toh selama enam tahun ini, ia hampir mati karena kerinduan.

Suara “Tuan Ci” terus bergema di telinga Qiu Ci

Dengan nada rendah yang menggoda, Mu Yu berbisik di telinganya, “Tuan Ci, kamu membuatku sangat bahagia.”

Qiu Ci menyipitkan mata, menutup mulut pria itu agar tidak berkata manis lagi.

Mau tak mau, meski telah terpisah enam tahun, pria ini di pelukannya tetap sepatuh dulu.

Begitu patuh hingga membuat orang ingin terus menyiksanya.

Waktu berlalu, Mu Yu mengerang beberapa kali, pandangannya mendadak kosong.

Setelah cengkeraman di mulutnya dilepaskan, dia mengulurkan tangannya yang lemas, memeluk Qiu Ci, berusaha membuat suaranya terdengar lembut dan manis:

Ah Ci, ayo kita bersama kembali.”

Di pantai, Yu Shan dan suaminya berjalan bergandengan tangan

Mu Feng menahan diri cukup lama, namun akhirnya tetap memilih untuk bertanya, “Apakah Mu Yu dan Qiu Ci memiliki cerita masa lalu?”

Itulah pertama kalinya dia melihat Mu Yu kehilangan ketenangannya demi seseorang.

Dia masih mengingat jelas saat pertama kali bertemu dengannya—seluruh tubuhnya dipenuhi hawa dingin, bersikap acuh tak acuh kepada siapa pun.

Meski bertahun-tahun telah berlalu, hubungan antara dirinya dan Qiu Ci pun tak pernah mencapai tahap teman dekat.

Pertahanan psikologis Mu Yu sangat kuat, tak seorang pun bisa menembusnya, namun dalam tatapan dingin Qiu Ci dan ucapannya yang tanpa maksud apa pun, pertahanan itu runtuh seketika.

Mu Yu seperti gunung es, hanya mencair saat berada di dekat Qiu Ci, hanya menunjukkan musim semi yang hangat kepadanya. Namun Qiu Ci…

Mu Feng merasa, mungkin Qiu Ci tidak pernah benar-benar peduli.

Ia memang tidak sering bertemu Qiu Ci, namun secara samar ia merasakan bahwa Qiu Ci adalah tipe orang yang hanya mementingkan dirinya sendiri dan tidak pernah mempertimbangkan perasaan orang lain.

Yu Shan melangkah di atas pasir yang telah dibasahi ombak, menatap ke langit yang memerah dan tersenyum, “Mereka berdua adalah orang-orang bodoh.”

Sejak awal hingga akhir, keduanya saling mencintai.

Yang satu mencintai dengan jelas, namun selalu merasa rendah diri, merasa dirinya tidak berarti apa-apa; sementara yang satu lagi terlalu angkuh, enggan mengakui isi hatinya, menyakiti orang lain berulang kali tanpa menyadarinya.

Pada akhirnya, satu menyerah dalam diam, yang lain tidak mau mengejar karena gengsi.

Sebagai orang yang tidak benar-benar berada di luar lingkaran mereka, Yu Shan bisa melihat semuanya dengan jelas, namun dua orang bodoh itu, selama bertahun-tahun tetap tidak juga mengerti.

Banyak orang mengira Mu Yu adalah pihak yang mencintai namun tidak mendapat balasan, padahal hanya sedikit yang menyadari satu hal—yakni:

Qiu Ci sebenarnya juga menyimpan seseorang itu dalam hatinya.


KONTRIBUTOR

Keiyuki17

tunamayoo

San
Rusma

Meowzai

Leave a Reply