Penerjemah: San
Proofreader: Keiyuki
Kelas olahraga.
Qiu Ci berjalan dari lapangan basket menuju area istirahat, menerima sebotol air yang disodorkan seseorang. Di lapangan seberang, kelas lain baru saja selesai berlari tiga putaran mengelilingi lapangan.
Di antara kerumunan siswa yang terengah-engah, seorang gadis dengan tenang melakukan peregangan.
Menyadari ada yang memperhatikannya, dia mengangkat kepala dan menoleh ke arah sana. Namun, orang di seberang itu segera mengalihkan pandangannya, seolah sama sekali tidak menganggap keberadaannya penting.
Tampaknya masih dalam suasana hati yang buruk.
Yu Shan tersenyum kecil dan menyikut gadis di sampingnya. “Meng Meng, kamu masih punya permen?”
Banyak orang menyadari bahwa hubungan antara Qiu Ci dan Yu Shan sedang tidak baik-baik saja.
Pasangan teman masa kecil yang selama ini diakui sebagai pasangan serasi, tampaknya tengah bersitegang. Setidaknya, sejak awal semester lebih dari sebulan lalu, tidak ada yang melihat mereka berinteraksi.
Bahkan ketika kebetulan bertemu, Yu Shan hendak mengajaknya bicara pun, Qiu Ci langsung mengabaikannya.
Banyak yang bertanya-tanya, apakah mereka benar-benar sedang bertengkar?
Mu Yu duduk di samping Qiu Ci, memperhatikan anak laki-laki di sebelahnya yang tampak sedikit canggung itu memejamkan mata, bersandar pada bangku panjang di samping lapangan basket, bibirnya terkatup rapat, jelas-jelas sedang kesal.
Kulitnya memerah karena olahraga, keringat menetes dari lehernya dan menghilang ke dalam kerah bajunya.
Mu Yu memandangi dia dalam-dalam, hingga menyadari bahwa Yu Shan sedang berjalan ke arah mereka. Barulah dia menurunkan pandangan dan menatap tangannya sendiri.
Dengan membelakangi matahari, Yu Shan berdiri di hadapan anak laki-laki yang sedang memejamkan mata. Dia menutupi sinar matahari yang menyilaukan itu, tapi Qiu Ci tetap tidak membuka matanya.
“Aku salah,” ucap Yu Shan.
Qiu Ci tidak menggubris.
“Aku benar-benar bersalah.”
Angin meniup dedaunan di sekeliling hingga menimbulkan suara gemerisik. Qiu Ci tetap diam, hanya membuka mata perlahan.
Yang tampak dalam pandangannya adalah telapak tangan yang terbuka, di atasnya ada sebutir permen susu, dan pemilik tangan itu tersenyum padanya.
Dengan dengusan pelan yang nyaris tak terdengar, Qiu Ci mengambil permen dari tangan Yu Shan, wajahnya menunjukkan rasa tak suka. “Aku benci yang manis-manis.”
“Sudah tidak marah?” tanya Yu Shan sambil tersenyum tipis, melihat dia mau menerimanya.
“Siapa?” Qiu Ci menggenggam permen itu dan melirik ke arah kelas satu yang kini sepi.
Tiba-tiba mengalihkan topik, membuat pikiran Yu Shan terhenti sejenak. Dia melihat anak laki-laki itu menyipitkan mata, mencoba mencari siapa yang mencurigakan di seberang sana, dan dia pun merasa sedikit pusing.
Dia menggigit bibir, lalu mendekat ke Qiu Ci dan berbisik pelan, “Untuk sementara ini rahasia. Nanti kalau aku sudah yakin, akan kukatakan padamu, oke?”
Mu Yu tidak bisa mendengar apa yang dikatakan Yu Shan, dia hanya melihat Qiu Ci mengerutkan kening, lalu Yu Shan kembali berdiri, menyelipkan satu butir permen lagi ke tangan Qiu Ci sebelum kembali ke barisan kelas 2-1.
“Huh—”
Mendengar suara tawa sinis di sebelahnya, Mu Yu tidak tahan untuk tidak menoleh. Qiu Ci menatap punggung Yu Shan yang menjauh dengan penuh kekesalan, seluruh tubuhnya seolah berkata: Aku benar-benar sedang kesal.
“Untukmu.”
Sesuatu dilemparkan ke arahnya, dan Mu Yu secara refleks menangkapnya. Saat dia menatap benda di tangannya, itu ternyata adalah dua butir permen yang tadi diberikan Yu Shan pada Qiu Ci.
“Bukankah kamu suka yang manis?” ucap Qiu Ci datar saat melihat Mu Yu menatapnya, lalu kembali ke lapangan untuk bermain basket.
Saat jam pelajaran selesai dan mereka berjalan kembali ke gedung kelas, Mu Yu melangkah sangat lambat.
Dia memandang ke arah Qiu Ci yang berjalan di antara sekumpulan siswa laki-laki, lalu menunduk menatap dua butir permen itu.
Setelah kerumunan yang ribut itu bubar, dia berdiri di depan tong sampah di pinggir jalan, menatapnya beberapa detik, lalu melemparkan kedua permen itu ke dalam.
Itu permen dari Yu Shan, dan dia tidak menginginkannya.
“Qi Meng, apa yang kamu lihat?”
Terdengar suara anak laki-laki yang tidak senang. Mu Yu reflek menoleh. Tidak jauh dari sana, seorang gadis berponi dan berekor kuda melirik ke arahnya sambil menyunggingkan senyum.
Anak laki-laki di samping gadis itu menatap Mu Yu dengan waspada, melangkah maju sedikit, seolah ingin menghalangi pandangan Qi Meng.
Mu Yu kini bisa dibilang cukup terkenal di sekolah. Saat ujian awal semester, dia meraih peringkat pertama di kelas reguler, dengan selisih nilai cukup jauh dari posisi kedua.
Wali kelas 2-1, setelah mengetahui hal itu, memintanya mengerjakan soal khusus ujian awal dari kelas satu. Hasilnya juga bagus, dan guru tersebut berniat memindahkannya ke kelas satu. Tapi Mu Yu menolak.
Beberapa orang mulai penasaran pada siswa pindahan ini, lalu diam-diam mengintip ke kelas 2-8. Setelah mengetahui bahwa penampilannya sangat tampan, nama Mu Yu pun makin menyebar. Di mejanya, kerap muncul makanan dan catatan kecil tak dikenal.
Mu Yu tidak percaya Qi Meng mengetahui semua itu, maka dia pun berpaling dan pergi dengan wajah datar.
Qi Meng berjalan ke tempat sampah, memiringkan kepala memandangi dua permen yang belum terbuka itu, lalu menghembuskan napas dengan makna yang sulit diartikan.
Ternyata dugaannya waktu itu bukan sekadar ilusi.
Festival Qingming* akan segera tiba.
*Festival Qingming (Hanzi sederhana: 清明节; Hanzi tradisional: 清明節; Pinyin: qīng míng jié) atau Cheng Beng (bahasa Hokkian; KBBI: Cengbeng) adalah ritual tahunan etnis Tionghoa untuk bersembahyang dan ziarah kubur sesuai dengan ajaran Khong Hu Cu.
Mu Yu harus pulang ke kampung halaman untuk membersihkan makam. Chu Qing meminta Qiu Ci ikut, karena dia dan Qiu Wei juga akan kembali ke keluarga Qiu untuk membersihkan makam nenek yang sudah wafat.
Sejak neneknya meninggal, Qiu Ci tidak pernah mau ikut berziarah, karena dia tidak menyukai nenek yang kejam itu.
Neneknya tidak menyukai Chu Qing, menantu yang tidak punya status, tidak punya latar belakang, dan dibesarkan di panti asuhan.
Dulu, sang nenek menggunakan hak waris sebagai alat tekanan agar Qiu Wei putus dengan Chu Qing dan menikah dengan putri keluarga Zhao.
Namun Qiu Wei langsung meninggalkan rumah keluarga Qiu dan melepaskan semua warisannya, hanya demi bersama wanita yang dicintainya.
Neneknya yakin Qiu Wei akhirnya akan menyerah. Tapi dia tidak menyangka Qiu Wei justru semakin sukses, dan akhirnya menikahi Chu Qing secara terbuka dan memiliki anak.
Semasa hidup, sang nenek sering menjelek-jelekkan Chu Qing di depan Qiu Ci, membuat Qiu Ci membenci nenek yang suka membalikkan fakta dan memecah belah itu. Apalagi setelah nenek itu meninggal, dia semakin tidak sudi datang untuk berziarah.
Kampung halaman Mu Yu adalah sebuah kota kecil di selatan. Setelah turun dari bandara di kota, mereka masih harus menempuh perjalanan beberapa jam dengan bus untuk sampai ke kota kecil itu.
Bus yang sempit dipenuhi berbagai bau campur aduk, membuat Qiu Ci yang biasanya tidak mabuk kendaraan akhirnya mabuk juga kali ini.
”Kapan kita akan sampai?” tanya Qiu Ci lemas, bersandar di jendela bus. Untuk pertama kalinya, dia merasa dirinya benar-benar lemah.
Melihat dia tampak kesakitan, Mu Yu dipenuhi rasa bersalah.
Andai saja dia menolak dengan tegas, Bibi Chu pasti tidak akan membiarkan Qiu Ci ikut. Namun karena sedikit keegoisan yang sempat melintas di benaknya, dia tidak melakukan hal itu.
”Sebentar lagi sampai.”
”Bersandarlah padaku sebentar”
Baru saja kata-kata itu diucapkan, Mu Yu merasa pundaknya tiba-tiba berat.
Entah mengapa, ada sesuatu dari tubuh Mu Yu yang membuat Qiu Ci merasa tidak terlalu mual. Campuran aroma bensin dan asap rokok di dalam kendaraan yang seperti siksaan itu, perlahan tak terlalu menyiksa saat dia bersandar pada Mu Yu.
Dalam ketidaknyamanannya, Qiu Ci tak menyadari tubuh Mu Yu sedikit menegang. Dia juga tidak melihat rona merah yang perlahan menjalar dari ujung telinga hingga ke pangkalnya.
Qiu Ci menyesal. Seharusnya dia tidak menemani Mu Yu dalam perjalanan ini hanya karena penasaran.
Di tangga luar terminal bus, anak laki-laki itu memeluk koper dan menyandarkan wajah, wajahnya tertunduk, tampak seperti kehilangan harapan hidup. Guncangan perjalanan membuat rambutnya kusut, beberapa helai mencuat ke atas menyerupai antena kecil.
Saat kembali dari membeli sesuatu, Mu Yu melihat pemandangan itu dan tak kuasa menahan senyum di sudut bibirnya.
Itulah pertama kalinya dia melihat Qiu Ci dalam keadaan seperti itu dan terlihat menggemaskan.
”Minumlah sedikit air.”
Qiu Ci, yang menyesal dan ingin memutar balik waktu, mendongak memandang anak laki-laki yang tidak tampak lelah sedikit pun, lalu menerima botol air darinya.
Beberapa saat kemudian, dia bertanya, “Kamu memang tinggal di sini sejak dulu?”
Mu Yu mengangguk. Setidaknya sejauh yang dia ingat, dia pernah tinggal di sini.
”Apa ada tempat hiburan di sini?” Tiket pulang baru tiga hari lagi. Jika tidak ada hal menarik untuk mengisi waktu, Qiu Ci akan semakin menyesali keputusannya.
Mu Yu menggeleng. Dibandingkan dengan berbagai hiburan yang ada di Kota Jiang, kota kecil ini memang terasa membosankan.
Melihat ekspresi kecewa Qiu Ci, dia menambahkan, “Tapi ada banyak makanan ringan yang enak.”
Qiu Ci yang masih setengah mabuk kendaraan, hanya mendengar kata ‘makan’ dan langsung merasa mual. Dia mengangguk asal-asalan.
Setelah beristirahat hampir satu jam, barulah Qiu Ci bersedia naik mobil ke hotel.
Tidak ada hotel mewah di sini, dan Qiu Ci pun sudah menurunkan ekspektasinya. Begitu masuk kamar, dia langsung merebahkan diri ke ranjang.
Dia ingin tidur siang, tapi seluruh tubuhnya berbau seperti jalanan, jadi dia harus bangun, mandi, dan berganti pakaian, lalu dia jatuh dengan nyaman di tempat tidur.
Mu Yu pun ikut mandi. Saat dia keluar, Qiu Ci sudah terlelap.
Mereka memesan kamar tipe twin, artinya mereka akan tinggal di ruang yang sama selama beberapa hari ke depan.
Setelah mengeringkan rambut, Mu Yu berbaring di ranjang seberang, menatap pemuda yang tertidur pulas itu tanpa berkedip. Sebuah senyum halus tanpa sadar muncul di wajahnya.
”Ah Ci…”
Diam-diam dia menyebut nama panggilan itu, teringat bahwa Yu Shan sering memanggilnya begitu. Mu Yu pun mengatupkan bibirnya.
Orang-orang di sekitar Qiu Ci memanggilnya dengan berbagai sebutan: ada yang menyebut nama lengkapnya, ada yang memanggilnya Tuan Muda Qiu, ada juga yang memanggilnya Ci Ge. Sementara Yu Shan selalu memanggilnya Ah Ci.
Mu Yu ingin punya panggilan yang belum pernah digunakan oleh orang lain. Dia mengernyit, berpikir cukup lama, lalu akhirnya wajahnya sedikit rileks.
”Ci Ye…” gumamnya pelan.
Detik berikutnya, Qiu Ci berguling ke samping. Mu Yu nyaris menahan napas.
Setelah memastikan Qiu Ci tidak terbangun, Mu Yu menenggelamkan wajah ke dalam bantal. Bagian belakang lehernya sudah memerah hebat.
Perjalanan yang melelahkan membuat mereka tidur hingga malam.
Qiu Ci adalah yang pertama terbangun. Dia melamun beberapa detik sebelum sadar bahwa dia tidak berada di rumah.
Karena Mu Yu masih tertidur, Qiu Ci hanya menatap langit-langit, melamun tanpa arah. Baru ketika mendengar suara gerakan di sampingnya, dia menoleh.
”Hei, apa kamu punya orang yang kamu suka?”
Qiu Ci bertanya asal, tidak menyadari kegugupan yang sekejap muncul di mata Mu Yu.
”Tidak ada?” Qiu Ci menyipitkan mata penuh curiga.
”Ada.” Mu Yu sama sekali tidak berani menatap Qiu Ci, takut dia bisa membaca isi hatinya.
”Kalau orang yang kamu sukai ternyata tidak menyukaimu, malah menyukai orang lain, bagaimana perasaanmu?”
Qiu Ci bertanya tanpa tahu bahwa hati lawan bicaranya sedang dilanda badai. Tangannya diletakkan di belakang kepala, pandangannya tertuju pada lampu di langit-langit.
”Rasanya sesak, seperti ada rasa masam.” Mu Yu menahan napas, menjawab sangat hati-hati.
Meski dia sudah mengingatkan diri untuk tidak banyak bicara, mulutnya tetap tidak bisa berhenti. “Akan sulit untuk tidak merasa cemburu, bahkan bisa jadi benci pada orang yang disuka.”
Dia menenangkan dirinya sendiri, selama dia tidak mengatakan apapun, Qiu Ci tidak akan pernah tahu bahwa dia menyukainya.
”Serumit itu?” Qiu Ci mengeluarkan suara jijik setelah mendengar ini.
Dia sendiri hanya merasa kesal saat tahu Yu Shan menyukai orang lain, sangat kesal dan tidak senang.
Mu Yu tahu kenapa dia mengajukan pertanyaan itu. Dia ingin membalas dengan, lalu kamu sendiri bagaimana?
Dia mencubit telapak tangannya, mengatakan pada dirinya sendiri untuk tetap tenang dan tidak bertindak impulsif.
”Siapa yang kamu suka? Apa dia dari sekolah kita?” Qiu Ci mengesampingkan rasa tidak senangnya dan fokus pada Mu Yu.
Pertanyaan yang datang bertubi-tubi membuat Mu Yu yang menyimpan perasaan tidak berani semakin gelisah. “Boleh tidak kujawab?”
Qiu Ci menaikkan alis. “Terserah.”
Memang benar, mereka belum kenal lama. Bahkan belum sampai pada tahap bisa membicarakan hal-hal seperti ini.
Mu Yu merasa ekspresi Qiu Ci tampak lebih datar, dia tak tahu apakah itu artinya Qiu Ci sedang marah. Dia merasa kecewa, tapi tidak berani bertanya, juga tidak bisa mencairkan suasana.
”Jangan menyukai Bao Shan.”
Suara dingin yang terdengar menusuk itu membuat Mu Yu langsung terdiam.
Melihat reaksi itu, Qiu Ci merasa dirinya benar-benar menebak dengan tepat. Wajahnya langsung berubah gelap. “Kamu benar-benar suka Yu Shan?”
Bahkan sempat terlintas di benaknya, jangan-jangan orang yang disukai Yu Shan memang Mu Yu. Tapi banyak hal terasa tidak cocok.
”Aku tidak menyukainya.”
Jawaban itu terdengar tenang dan sangat tegas.
Qiu Ci masih setengah percaya. “Serius?”
”Ya. Aku tidak menyukainya.” Bahkan, sedikit tidak menyukainya.
Mungkin karena tatapan Mu Yu terlalu tulus, Qiu Ci menatapnya beberapa detik, akhirnya mempercayai kata-katanya.
Hening menyelimuti ruangan. Ketika Qiu Ci mulai berpikir bahwa mungkin dia telah menyinggung perasaan Mu Yu, tiba-tiba anak laki-laki itu bicara:“Qiu Ci, apa kamu percaya cinta pada pandangan pertama?”
Qiu Ci menjawab tanpa ragu, “Tidak. Singkatnya, itu cinta pada pandangan pertama. Terus terang, itu nafsu terhadap wajah orang lain.”
Qiu Ci hanya percaya pada cinta yang tumbuh dari kebersamaan sehari-hari.
Sambil menjawab, pikirannya mulai berputar. Wajahnya tiba-tiba berubah serius, dia menatap ke arah Mu Yu dengan ekspresi aneh.
Menyadari tatapan itu, jantung Mu Yu langsung berdegup kencang. Jangan-jangan dia menyadarinya…?
”Jangan-jangan kamu—”
Mata Mu Yu langsung menghindar, tubuhnya mulai berkeringat dingin.
Qiu Ci mengusap dagunya, meneliti ekspresi Mu Yu, lalu menyelesaikan pertanyaannya:
”Kamu menyukai Qi Meng?”
Mu Yu: ?????