Penerjemah: San
Proofreader: Keiyuki


Ketika Qiu Ci tiba di rumah utama, semua orang sudah berdiri di luar aula leluhur, masuk satu demi satu sesuai dengan senioritas mereka untuk memberi penghormatan kepada leluhur mereka.

Memanfaatkan momen ketika tak ada yang memperhatikan, Qiu Ci menyelinap ke dalam kerumunan, ikut masuk untuk memberikan penghormatan. Saat keluar, dia tetap tenang dan langsung berjalan menuju orang tuanya.

Qiu Wei, dengan sorot mata yang sejak lahir tampak garang, melirik putranya sekilas, lalu berkata dengan suara dingin, “Jangan membuat masalah nanti.”

Saat makan malam Tahun Baru, pertikaian terselubung hampir tak terelakkan. Salah satu bentuk paling umum adalah membandingkan anak-anak.

Qiu Ci dikenal sebagai anak yang tidak menekuni hal yang semestinya dan kerap menimbulkan masalah. Keluarga lainnya kemungkinan besar menanti-nanti momen untuk membandingkan anak mereka dengannya agar merasa lebih unggul.

Qiu Wei khawatir jika emosi Qiu Ci terpancing, maka tak seorang pun akan bisa makan dengan tenang.

Dia sangat mengenal sifat putranya. Anak ini sama persis seperti dirinya di masa muda, penuh masalah, temperamen buruk, dan tidak menghormati siapa pun.

“Akan aku usahakan,” jawab Qiu Ci, tanpa benar-benar berjanji. Dia bukan tipe yang bisa duduk diam menerima hinaan.

Mungkin karena mereka sudah pernah merasakan sendiri betapa buruk temperamen Qiu Ci, ditambah lagi perusahaan milik Qiu Wei sekarang jauh lebih berkembang, mereka kini justru butuh bantuan dari “adik” atau “kakak” satu ini. Tak hanya tidak mencari-cari kesalahan Qiu Ci, mereka bahkan menunjukkan kepedulian terhadapnya, si ‘iblis kecil’ keluarga.

“Sebentar lagi Qiu Ci akan masuk tahun terakhir SMA, bukan? Beban belajar pasti semakin berat. Bibi punya beberapa suplemen bagus di rumah, bisa membantu menutrisi otakmu. Nanti biar pamanmu yang mengantarkannya.”

Qiu Ci meletakkan sumpit, tersenyum tipis, “Sepertinya bibi menganggap aku tidak punya otak.”

Dia masih ingat, tiga tahun lalu, wanita ini duduk di sebelahnya dan tak henti-hentinya melontarkan sindiran sepanjang makan. Hanya tinggal menunjuk hidungnya dan menyebutnya ‘sampah’, maka lengkaplah penghinaan malam itu.

Saat itu, ‘secara tidak sengaja’ Qiu Ci menumpahkan semangkuk sup berminyak ke tubuh si bibi.

Melihat senyum di wajah remaja itu, si bibi langsung teringat peristiwa tiga tahun lalu dan bergidik. Dia tertawa canggung. “Bibi tidak bermaksud begitu.”

Walau kata-kata Qiu Ci tadi tepat mengenai hatinya, dia jelas tidak berani mengakuinya.

Anggota keluarga lainnya yang diam, tampak menanti kejadian yang lebih seru. Kakek yang duduk di posisi utama hanya berkata dengan datar, “Makan.”

Melihat si remaja melanjutkan makan seolah tak terjadi apa-apa, bibi sama sekali tidak berani bernapas lega. Dia khawatir Qiu Ci tiba-tiba ‘keceplosan tangan’ lagi dan membuatnya basah kuyup.

Karena sebelumnya sudah makan sedikit, Qiu Ci hanya menyendok beberapa suapan sebelum meletakkan sumpit. Dia mengambil gelas di samping, bukan untuk langsung diminum, melainkan mengetukkan gelasnya ke gelas di sebelahnya, lalu mengangkat alis ke arah laki-laki yang duduk di samping.

“Minumlah.”

Mu Yu mengangkat gelas dan mencoba meneguk sedikit. Seketika, tenggorokannya terasa seperti terbakar.

Dia curiga Qiu Ci sengaja menjebaknya.

Detik berikutnya, Qiu Ci berbatuk beberapa kali dan mengumpat: “Sialan, si idiot itu yang membuat minuman keras. Apa dia tidak tahu caranya peduli kepada remaja?”

Sambil menahan rasa tidak nyaman, Qiu Ci mendengar tawa lirih di sebelahnya. Dia mengangkat kepala dan langsung menangkap senyuman yang belum sempat disembunyikan dari wajah Mu Yu.

Berani-beraninya dia menertawakannya? Qiu Ci menyeringai dingin, lalu mengangkat gelas untuk bersulang lagi. “Lanjut.”

Mu Yu hanya bisa pasrah. Dia tahu Qiu Ci sedang ‘menarget’ dirinya.

Di sendiri hanya pernah mencicipi sedikit bir. Karena takut mabuk dan kehilangan kendali, dia menolak, “Aku tidak bisa minum.”

Detik berikutnya, ekspresi jijik anak laki-laki itu terlihat jelas, dan tampaknya dia tidak akan memperhatikannya lagi.

Sorot mata Mu Yu meredup.

Apakah dia benar-benar seburuk itu?

Dia teringat kelembutan dan sikap memanjakan Qiu Ci saat bersama Yu Shan. Rasa tidak nyaman itu kembali muncul, penuh rasa masam yang sulit dijelaskan. Hatinya pun terasa sesak.

Di meja makan yang membosankan, Qiu Ci sudah berjanji pada Qiu Wei untuk tidak membuat keributan dan tidak bisa kembali lebih awal.

Dia cukup percaya diri dengan kemampuan menahan minuman kerasnya, paling jika mabuk, dia hanya akan mengantuk.

Setelah makan malam, dia harus ikut berjaga menyambut pergantian tahun di ruang tamu. Kakek sudah lebih dulu pergi istirahat, para orang dewasa sibuk bersosialisasi, sementara anak-anak muda sibuk mengobrol dan main ponsel.

Qiu Ci yang sudah mabuk hanya ingin tidur. Melihat kondisi anaknya yang mengantuk berat, Chu Qing hanya bisa pasrah dan memintai tolong Mu Yu untuk membantunya membawa Qiu Ci ke kamar.

Dalam keadaan setengah sadar, Qiu Ci mendengar namanya dipanggil. Dia bangkit dan mengikuti, tapi jalannya mulai oleng. Hampir menabrak dinding jika Mu Yu tidak cepat menariknya.

Anak laki-laki yang mabuk itu lalu menggantungkan lengannya ke leher Mu Yu, keningnya berkerut, dan lupa apa yang tadi ingin dia katakan.

Jarak keduanya terlalu dekat, Mu Yu bahkan bisa merasakan napas Qiu Ci menyapu telinga.

Setelah akhirnya membantu anak laki-laki itu masuk ke kamar tidur, Mu Yu terkejut dan dibawa ke tempat tidur oleh Qiu Ci. Anak muda itu menekannya hingga dia tidak bisa bergerak sama sekali.

Atau mungkin, tidak ingin bergerak.

Sunyi di dalam kamar membuat detak jantung Mu Yu terdengar jelas.

Dia memejamkan mata, bernapas dalam dan perlahan beberapa kali, mencoba menenangkan diri.

Mungkin dia sudah kehilangan akal sehat.

“Qiu Ci, bangunlah,” dia berusaha membangunkannya.

Qiu Ci hanya menggumamkan sesuatu dengan dahi berkerut, tidak bergerak sama sekali. Suara kembang api dan petasan yang tiba-tiba meledak di luar akhirnya memecah keheningan, membuat Qiu Ci bangkit dengan bertumpu pada lengannya.

Dia memijat pelipisnya, mencoba menjernihkan pikirannya, lalu menoleh pada Mu Yu yang masih di tempat tidur. “Sudah tengah malam?”

Belum sempat Mu Yu menjawab, ponsel berbunyi. Qiu Ci menjawab sambil menyipitkan mata. “Hmm… Bao Shan-ku, selamat tahun baru.”

Lalu dia bergumam, “Terlalu ngantuk. Aku tutup dulu ya.”

Setelah itu, dia melempar ponsel dan kembali merebahkan diri.

Mu Yu yang baru saja ingin bangkit, merasa pahanya tertimpa sesuatu. Dia melihat kepala Qiu Ci sudah berada di atas pahanya.

Dia menunduk menatap wajah itu. Berbeda dari sosok liar yang biasa terlihat, dalam tidur, Qiu Ci tampak lembut dan jauh dari kesan agresif.

Tanpa sadar, tangan Mu Yu mengusap lembut telinga Qiu Ci. Tersadar, dia seperti tersetrum, buru-buru menarik tangannya.

Tanpa suara kembang api, satu-satunya suara yang terdengar adalah detak jantungnya sendiri yang tak karuan.

Melihat Qiu Ci tetap tertidur, dia mengangkat tangan kembali, menyentuh pipinya, lalu jari-jarinya berhenti di sudut bibir.

Seketika, ingatannya kembali ke momen yang dia lihat di lapangan tembak tempo hari.

Tenggorokannya bergolak, dia tak bisa menahan diri untuk tidak mendekat, pelan-pelan menunduk.

“Buumm!”

Kembang api meledak di luar, mengejutkan Mu Yu yang langsung menegakkan tubuhnya. Cahaya indah itu hanya berlangsung sekejap, namun detak jantungnya tak kunjung kembali normal.

Dia menghela napas panjang, malu atas niat yang bahkan belum sempat dia wujudkan.

Dan demikianlah, dalam tidur nyenyaknya, Qiu Ci berhasil menjaga ciuman pertamanya.

Saat Qiu Ci bangun, hari sudah hampir siang.

Melihat seseorang tidur di sampingnya, dia mencoba mengingat kejadian semalam. Yang dia ingat hanya Mu Yu membawanya ke kamar, selebihnya kosong.

Melihat Mu Yu yang masih tertidur pulas, Qiu Ci tidak mengganggunya seperti sebelumnya. Di turun dari ranjang dengan hati-hati dan masuk ke kamar mandi untuk mandi dan menghilangkan bau alkohol.

Setelah mandi, pikirannya terasa lebih segar. Saat keluar, Mu Yu kebetulan terbangun dan memandangnya dengan ekspresi kaget, seolah tak menyangka dengan apa yang dilihat.

Qiu Ci menunduk dan baru menyadari jika dia belum berpakaian lengkap.

Melihat Mu Yu mengalihkan wajah, Qiu Ci tetap tenang mengenakan pakaian.

Mereka sama-sama laki-laki, melihat sedikit pun bukan masalah besar. Tidak ada alasan untuk malu.

“Mau makan?” tanya Qiu Ci setelah berpakaian, kepada Mu Yu yang masih menolak menatapnya.

“Hmm,” jawab Mu Yu acak, bahkan tidak benar-benar mendengar apa yang dikatakan.

Setelah menarik napas dalam-dalam, dia akhirnya berani menoleh.

Saat melihat butiran air masih menetes dari leher Qiu Ci dan mengalir mengikuti lekuk tubuhnya, tenggorokan Mu Yu terasa kering. Dia merasa ingin minum.

Qiu Ci bukan orang yang peka, jadi tidak menyadari perubahan sikap Mu Yu. “Aku turun dulu.”

Dia sadar bahwa tidurnya terlalu lama hingga melewatkan waktu makan siang.

“Kenapa kamu tidak menunggu waktu makan malam saja,” ujar Chu Qing entah dari mana muncul. “Lalu, di mana Xiao Yu?”

Karena tidak melihat dua anak itu, dua jam lalu Chu Qing sempat memeriksa ke kamar dan melihat mereka masih tertidur. Dia tidak membangunkan karena merasa pemandangannya sangat hangat dan manis. Dia bahkan memotret mereka diam-diam.

Momen indah harus dibagikan, jadi dia menunjukkan fotonya pada Qiu Ci.

“Bagaimana kemarin? Lain kali bawa dia bermain juga. Dia lebih muda, anggap saja adik. Bukankah dulu kamu bilang ingin punya saudara?”

“Yang kuinginkan adalah adik perempuan. Kandung,” jawab Qiu Ci sambil menatap foto yang ditunjukkan.

Mungkin karena cahaya yang masuk dari jendela tepat, foto itu memang terlihat sangat hangat. Orang di sebelahnya pun terlihat cukup enak dipandang, benar-benar seperti saudara.

Sayangnya, Mu Yu bukan adiknya, melainkan anak seumuran yang entah dari mana datangnya.

“Anggap saja mulai sekarang dia adalah adikmu,” kata Chu Qing, merebut kembali ponsel dan melanjutkan nasihat sebelum Mu Yu muncul. “Saat sekolah dimulai, kalian akan sekelas. Sebagai kakaknya, kamu harus menjaga adikmu.”

“Apakah ada uang jaganya?” Qiu Ci tidak sebaik itu, bagaimana mungkin dia melakukan hal baik tanpa alasan? Dia harus diberi beberapa keuntungan.

“Apa yang kamu inginkan?”

“Aku belum memikirkannya,” jawab Qiu Ci yang sudah biasa dimanja. Apa yang tidak pernah dia dapatkan? Dia berpikir sejenak, “Jadikan saja itu utang.”

“Oke, setuju.” Chu Qing mengenal putranya, sekali ia berjanji, pasti akan ditepati.

Dia mengulurkan tangannya: “Janji.”

Qiu Ci tampak jijik dan berkata, “Nona Chu, kmau sudah sangat tua, tapi masih melakukan trik yang bahkan tidak akan dilakukan anak berusia tiga tahun, benar-benar kekanak-kanakan.”

Sambil berkata demikian, dia tetap mengulurkan tangannya, dan mereka berdua pun menyepakati tujuan mereka.

Saat Mu Yu turun ke bawah, dapur telah penuh dengan makanan yang disiapkan untuk mereka.

Anak laki-laki yang sedang minum sup meletakkan mangkuknya dan menatapnya.

Ada sup di bibirnya, dan Mu Yu tak bisa berhenti menatapnya. Memikirkan perilakunya yang tidak pantas tadi malam, dia merasa sangat bersalah hingga tidak berani menatap Qiu Ci.

Qiu Ci, yang tidak menyadari situasi sebelumnya, mengetuk meja: “Jika kamu tidak memakannya sekarang, ini akan menjadi dingin, Mu Yu——”

Dia sengaja mengulur-ulur nada akhir, dan baru ketika orang yang bersangkutan menoleh, Qiu Ci mengangkat sudut mulutnya.

“Adik.”

Qiu Ci tidak tahu bahwa dalam hati Mu Yu saat ini, panggilan yang mengandung perasaan buruk dan sarkastis ini kedengarannya terlalu provokatif baginya.

Dia duduk berhadapan dengan Qiu Ci, mengambil mangkuk dan sumpit, diam-diam melirik Qiu Ci yang sedang makan sambil melihat ponselnya, dan sudut mulutnya melengkung diam-diam.

Bila pikiranmu kacau, kamu tidak bisa tenang.


KONTRIBUTOR

Keiyuki17

tunamayoo

San

Leave a Reply