Penerjemah: San
Proofreader: Keiyuki, Rusma


Hari pertama Tahun Baru adalah waktu yang tepat untuk berkunjung dan menyampaikan salam tahun baru. Pagi-pagi sekali, Peng Xingwang bahkan sudah membuka rekening bank baru. Kartunya edisi khusus dengan gambar Ultraman Gaia.

Jiang Wang, yang semalam bermain gim hingga larut, awalnya berniat tidur sampai siang. Namun, pada pukul delapan pagi, dia sudah bangun setengah mengantuk untuk menemani Xingwang mengunjungi beberapa rumah.

Xingwang selalu tahu cara bersikap di saat seperti ini. Dia tidak berisik atau membuat orang jengkel. Sebaliknya, dia hanya duduk di tepi ranjang, memandang Jiang Wang seperti seekor anak anjing kecil. Pandangannya begitu polos dan penuh harap hingga sulit untuk ditolak.

Awalnya, Jiang Wang memilih menarik selimut untuk tidur lagi, lalu berpura-pura tidak melihat. Tapi pandangan penuh harap itu seakan menembus segalanya.

Akhirnya, dia menyerah. “Baiklah, baiklah, aku bangun.”

Tahun Baru Imlek adalah momen spesial bagi anak-anak di Tiongkok. Mereka mendapat angpao berisi uang sungguhan, bukan sekadar mainan kecil seperti di perayaan lain. Di Yuhan, biasanya angpao bernilai ratusan yuan. Setelah mengunjungi tiga rumah di timur dan tiga rumah di barat, tas kecil Xingwang sudah penuh. Akhirnya, mereka harus menyimpan uang itu di tas cadangan di mobil.

Sementara itu, Jiang Wang hanya menemani untuk mengobrol dengan kenalan lama. Dia diam-diam mengamati Xingwang yang dengan lihai berpura-pura menolak angpao, memasang wajah malu-malu, namun akhirnya menerima semuanya tanpa ragu. Gayanya sangat terampil dan menggemaskan.

Melihat itu, Jiang Wang hanya bisa tersenyum. “Sama persis seperti aku dulu. Kalau aku di posisinya, pasti juga begitu.”

Di saat yang sama, Du Wenjuan sibuk di rumah membuat telur dadar goreng dan bakso yang terbuat dari akar teratai. Dia bersenandung pelan, terlihat sangat gembira.

Ketika ponselnya berdering, dia menjawabnya sambil mengawasi minyak mendidih di wajan. “Chang Hua?”

“Yinyin baik-baik saja di rumah neneknya, bahkan sudah menerima beberapa angpao,” jawab Chang Hua sambil meminta keluarganya menjauhkan bayi itu agar tidak terganggu. Dia kemudian bertanya tentang keadaan Wenjuan.

Karena tarif panggilan antar kota cukup mahal, percakapan mereka singkat dan formal. Sebelum menutup telepon, Du Wenjuan memindahkan bakso matang ke keranjang bambu. Dengan suara rendah, dia berkata, “Aku ingin membawa Xingwang tinggal bersamaku.”

Suara di telepon terdiam beberapa saat sebelum akhirnya menjawab. “Kenapa kamu membicarakan ini lagi?”

“Aku tahu ini sulit… Tapi, Yinyin masih bayi, belum genap satu tahun. Kita harus mengajarinya bicara, berjalan, dan menjaganya. Bagaimana mungkin punya waktu untuk merawat anakmu juga?”

Nada bicara Du Wenjuan berubah tidak senang. “Aku sanggup menanggung semuanya. Di rumah juga ada tempat untuknya.”

“Chang Hua, jika kamu langsung menolak ide ini, aku mungkin akan mempertimbangkan untuk membawa Yinyin pindah ke Yuhan. Xingwang baru sembilan tahun.”

Chang Hua mendesah, terdengar kesal. “Kamu bahkan baru memberitahuku tentang Xingwang beberapa bulan sebelum kita menikah, Wenjuan. Aku tidak pernah menyalahkanmu, tapi kamu juga harus mengerti posisiku.”

Mendengar itu, hati Du Wenjuan terasa berat. Dia memikirkan bagaimana Xingwang selalu dekat dengannya, tapi juga mengingat Yinyin di seberang sana. Rasanya seperti berdiri di persimpangan jalan tanpa tahu ke mana harus melangkah.

Dia mematikan kompor dan berkata dengan tenang, “Bulan lalu, rekening bankku berkurang seribu lima ratus yuan. Ada apa?”

Suara di telepon terhenti sesaat sebelum Chang Hua menjawab dengan cepat. “Berapa? Seribu lima ratus? Aku tidak tahu. Mungkin kamu salah ingat.”

“Aku sudah mengganti kata sandinya,” kata Du Wenjuan dengan tenang. “Chang Hua, aku baru saja mendapatkan promosi. Tapi jika kamu melanggar kepercayaan lagi, aku tidak akan ragu membawa Yinyin pergi.”

Sebelumnya, dia tidak pernah berani mengatakan hal seperti ini, bahkan membayangkannya pun tidak. Namun sekarang, meskipun Yinyin baru berusia kurang dari setahun, dia merasa mampu mengambil keputusan besar dan bahkan menghadapi Chang Hua secara langsung.

Ternyata, seseorang benar-benar bisa berubah menjadi lebih kuat.

Chang Hua tampak terpojok, hanya bisa menggatakan alasan sebelum buru-buru menutup telepon.

Du Wenjuan memandang saldo pulsa di ponselnya, lalu mengambil satu bakso dan memasukkannya ke mulut. Sambil mengunyah, dia menghela napas. “Kenapa aku harus menikah? Semua laki-laki sama saja.”

Sementara itu, Jiang Wang kembali dari kunjungan Tahun Baru dengan mulut kering karena terlalu banyak mengobrol. Dia membawa Xingwang ke toko buku miliknya untuk minum teh susu Hong Kong.

Toko buku dan bisnis pendidikan miliknya terus berkembang pesat, dengan cabang di berbagai kota. Meskipun dia sudah mencapai standar hidup yang nyaman, Jiang Wang tetap berhati-hati. Dia tahu bahwa di dunia bisnis, tidak ada yang benar-benar aman. Kompetisi dan risiko selalu ada, jadi dia harus terus bergerak maju.

Karena keberhasilan toko buku dan pendidikan yang tidak terlupakan, sekarang Yuhan mengalami situasi yang sama persis dengan Hongcheng –

Toko buku baru, toko teh susu, dan kelas bimbingan muncul dengan cepat, bahkan ada yang ingin membuka toko tepat di sebelah perusahaannya. Mereka tidak hanya menyalin model dan perencanaan, bahkan meniru nama menu secara langsung.

Belum sempat karyawan Toko Buku marah, pelanggan tetap di toko teh, pemegang kartu emas di toko sekitar, dan orang tua yang sering mengunjungi kelas bimbingan segera memberikan keberatan.

“Perhatikan toko teh susu itu – namanya harus Teh Susu Wang – mereka bahkan menjual bubble tea lychee seperti di toko kalian, tanpa mengubah nama!”

“Hei, kelas bimbingan di Guangji juga sangat berani, mereka diam-diam menyalin materi kalian untuk diajarkan kepada siswa. Betul-betul tidak tahu malu!”

Jiang Wang langsung mengajukan permohonan paten untuk berbagai produk, dan bersama karyawan, mereka berterima kasih kepada orang-orang yang peduli ini.

Penyusup dan tikus kecil di lubang kotor, mana bisa dibasmi bersih?

Meniru orang lain dan merugikan diri sendiri, mereka akan merasakan akibatnya.

Namun, Jiang Wang punya urusan yang lebih penting.

Tahun Baru adalah waktu yang sangat baik untuk promosi dan pemasaran, sangat cocok untuk menarik pelanggan baru dan meningkatkan hasil penjualan.

Tiga bulan sebelumnya, Jiang Wang sudah menyusun rencana matang untuk meluncurkan acara blind box1blind box,” sebuah konsep yang populer dalam budaya konsumen, terutama di kalangan kolektor. Blind box adalah kemasan atau kotak yang berisi barang-barang koleksi (misalnya mainan, figure, atau barang lainnya) yang tidak terlihat isinya sampai kotak tersebut dibuka. Biasanya, produk yang ada di dalam blind box memiliki tema tertentu, dan konsumen tidak tahu item mana yang akan mereka dapatkan sampai mereka membuka kemasannya. Tahun Baru saat suasana ramai.

— Setiap pembeli yang berbelanja di toko buku dan membuat kartu keanggotaan dengan total belanja minimal 66 yuan akan mendapatkan kesempatan untuk mengambil salah satu dari dua belas penanda buku bergambar shio2Shio adalah istilah dalam budaya Tionghoa yang merujuk pada 12 lambang atau tanda yang berhubungan dengan sistem astrologi Tionghoa.. Jika berhasil mengumpulkan satu set lengkap, mereka bisa menukarnya dengan hadiah besar seperti kamera digital atau laptop.

Penanda buku tersebut dibuat dengan teknik ukiran rumit, dihiasi dengan tassel perak dan manik-manik gantung. Setiap desain menampilkan shio yang menggemaskan, dengan warna dan bahan yang sedikit berbeda satu sama lain.

Anak-anak yang tidak berniat mengumpulkan semua bisa mendapatkan satu penanda buku gratis dengan membeli buku. Sedangkan mereka yang bertekad untuk mengumpulkan semua bisa membeli dalam jumlah besar dan saling menukar penanda buku yang sama dengan teman-teman mereka.

Kasir-kasir yang sudah terlatih dengan baik juga menawarkan alternatif lain, seperti mendaftar kursus tambahan atau kelas bahasa. Semua cabang toko bekerja sama, sehingga pelanggan tetap bisa berbelanja dan membuat kartu untuk mendapatkan blind box.

Setiap hari, ada satu atau dua anak yang berhasil mengumpulkan seluruh 12 jenis penanda buku. Mereka dengan gembira menukar koleksi mereka dengan hadiah besar, seperti action figure edisi terbatas, dan pulang dengan senyum lebar.

Melihat hal ini, pelanggan lain yang semula ragu pun tergoda untuk mencoba peruntungannya.

Awalnya, mereka hanya ingin mengambil satu blind box untuk melihat isinya. Namun, tanpa sadar mereka sudah membeli 10 kali lipat. Ketika sadar, mereka sudah mendaftar kursus fonetik atau fisika.

“Tunggu… Bukankah tadi aku hanya ingin membeli kamus?”

“Uang angpaoku ke mana? Bagaimana bisa habis? Tidak mungkin!”

“Aku hanya butuh satu penanda buku bergambar naga untuk melengkapi koleksiku. Siapa yang punya? Aku akan bayar mahal!”

Kegiatan ini diadakan secara serentak di Yuhan dan Hongcheng, membuat omset toko-toko tersebut melonjak hingga tim akuntansi harus lembur untuk menghitung keuntungan.

Bos Jiang sangat puas melihat hasilnya. Ia merasa bahwa uang angpao anak-anak memang paling baik jika diubah menjadi pengetahuan dan prestasi belajar.

Karyawan yang terus-menerus menerima uang angpao pelanggan tetap lembur setiap hari. Dalam hati, mereka berpikir, “Bos kami benar-benar hebat. Senyumnya terlihat sangat ramah, tapi strateginya benar-benar licik.”

Meski begitu, Jiang Wang tetap memberi mereka waktu untuk merayakan Tahun Baru dari hari pertama hingga ketujuh. Kebanyakan karyawan hanya datang untuk bekerja setengah hari secara sukarela, mengerjakan tugas ringan sebelum pulang untuk makan malam. Tidak ada kewajiban dari divisi HR, tapi siapa pun yang datang tetap mendapat angpao. Suasananya santai dan menyenangkan.

Namun, ada satu orang yang tetap bekerja penuh, dari pukul 10 pagi hingga 8 malam setiap hari—Fu Er.

Fu Er tampaknya sudah siap pindah ke kantor. Dia bahkan hanya butuh membawa kasur lipat, bantal, sikat gigi, dan selimut untuk menetap di sana.

Sementara itu, orang tuanya sedang menikmati keindahan Prancis dan berencana melanjutkan liburan ke Amerika Serikat.

Fu Er, sambil mendorong kacamata, berkata, “Pergi saja sesuka hati. Aku hanya ingin bekerja dan menghasilkan uang. Tujuan hidupku hanya itu.”

Ia menikmati suasana kantor yang sepi. Bahkan ketika memainkan musik rock dengan speaker besar, tidak ada yang protes.

Pada hari ketiga Tahun Baru, saat ia sedang mempersiapkan materi lomba, seseorang mengetuk pintu.

“Permisi, ada orang di sini?”

Fu Er segera mendongak, mengira itu rekannya dari cabang lain. Ia berjalan ke pintu dengan sandal berbulu dan membuka pintu.

Di hadapannya, berdiri seorang perempuan tinggi dengan jaket kerja dan celana jeans cokelat tua. Perempuan itu terlihat karismatik dengan tatapan tajam.

“Halo,” Fu Er melihat perempuan itu tidak mengenakan kartu identitas. “Siapa kamu?”

Ternyata, perempuan itu adalah Tao Yingqi, wali kelas dan guru bahasa Mandarin Peng Xingwang. Karena liburan, ia iseng berjalan-jalan untuk melihat apakah Xingwang ada di sana.

“Apakah Xingwang ada di kantor atau toko buku?” tanyanya.

Fu Er terdiam sejenak sebelum menjawab, “Kamu siapa? Perlu aku hubungi dia?”

“Oh, aku adalah wali kelas sekaligus guru bahasanya,” jawab Tao Yingqi. Ia sadar mungkin terkesan arogan dan tersenyum sopan, “Maaf, aku hanya mampir untuk memastikan. Tidak ingin merepotkan.”

“Tidak apa-apa,” Fu Er cepat-cepat membuka pintu lebar-lebar. “Mau masuk? Aku yang akan menyambutmu.”

Sebagai staf yang kompeten, Fu Er tahu setiap orang yang datang berpotensi mendatangkan keuntungan, jadi ia tidak ingin melewatkan kesempatan untuk menunjukkan performa terbaiknya.

“Silakan lihat-lihat dulu,” katanya ramah sambil memimpin Tao Yingqi ke dalam.

Tao Yingqi mengikuti Fu Er ke dalam kantor, sambil mengamati sekeliling. Ia merasa Fu Er tampak sangat bersemangat, berbeda dari kesan awalnya yang terlihat santai.

Dalam percakapan ringan, Tao Yingqi bertanya, “Jadi, ini karena Bos Jiang meminta kalian lembur, atau kamu memang suka bekerja saat liburan?”

Sambil menyiapkan informasi mengenai perangkat pengajaran terbaru dan materi pelengkap, Fu Er menjawab sambil tersenyum, “Aku suka bekerja, begitu suka belajar. Lembur saat liburan itu menyenangkan.”

Tao Yingqi tertawa, “Menjadi guru di sekolah pun sering harus lembur, meski saat libur musim panas atau dingin. Tapi tetap saja, tidak ada jaminan akan dibayar lebih.”

Fu Er menoleh, menatap Tao Yingqi beberapa saat, lalu tiba-tiba berkata, “Kamu berbakat.”

Penampilan Tao Yingqi yang rapi dan gaya bicara yang tegas menunjukkan bahwa ia adalah sosok guru yang berpengalaman. Fu Er langsung terpikirkan ide yang lebih besar.

“Bagaimana kalau bergabung dengan kami?” tanyanya dengan serius.


KONTRIBUTOR

Rusma

Meowzai

San
Keiyuki17

tunamayoo

Leave a Reply