Penerjemah : Keiyuki17
Editor : _yunda
“Mulai sekarang, ini bukan lagi medan perangmu.”
Dalam sekejap, semakin banyak prajurit menyerbu dari utara, di mana mereka terus melancarkan serangan tanpa henti. Dalam keheningan singkat, mata Lu Xu membelalak lebar. Hampir semua anggota kavaleri itu membawa taji, dan berlari menyerbu ke arah keduanya. Hongjun berpikir bahwa mereka tidak akan bisa bertahan melawan itu, tapi saat dia akan turun untuk membantu —
Lonceng berdentang, dan musuh mulai menyerbu ke depan di sepanjang jalan utama. Hongjun mengumpulkan kekuatannya, namun saat dia akan melawan mereka sampai mati, ribuan kuda berlari di belakangnya, mengguncang bumi dengan tapal kaki mereka.
Bala bantuan Tang entah dari mana, pada saat yang sama, mulai menyerbu ke arah jalan utama!
Jalan utama Luoyang yang luas bagaikan sungai, dan kedua pasukan, layaknya dua banjir yang saling menerjang. Teriakan perang menenggelamkan semua jeritan.
Saat Hongjun berbalik untuk melihat ke belakang, dunia seolah menjadi gelap dan suram. Dengan tangan kiri memegang tombak panjang, komandan pasukan terdepan itu mengulurkan tangan kanannya ke arah Hongjun. Dalam sekejap mata, tangan mereka yang terulur bertemu, dan Hongjun seketika ditarik ke atas kuda.
Li Jinglong meraung, “Tahan! Serang!”
Ribuan pasukan berkuda Tang mengangkat tombak mereka secara bersamaan, dengan sengit menghantam para pemberontak!
Sedangkan Lu Xu merasakan tarikan di kerahnya saat Serigala Abu-abu mencengkeramnya dengan rahangnya. Dengan lompatan tinggi, Serigala Abu-abu melompati atap, di mana secara bersamaan melemparkan Lu Xu ke atas. Lu Xu berputar di udara dan A-Tai, yang berada di punggung Serigala Abu-abu, mengulurkan tangan dan menariknya kembali!
A-Tai: “Dimana saozi-mu?!”
“Tidak tahu!” Lu Xu balas berteriak.
Sembari membawa Hongjun, Li Jinglong dengan kuat mengayunkan tombaknya. Akibat serbuan dari pasukan Tang ini, penunggang serta kuda di kedua sisi tumbang sekaligus. Bagaimanapun, pasukan Tang sudah siap untuk ini, dan dengan tombak di tangan, mereka menyerang balik.
Tidak jauh di belakang mereka, terdengar suara siulan. Saat Hongjun berbalik untuk melihat, Ashina Qiong berdiri di sana dengan baju zirah prajurit Tang, menjaga sisi belakang Li Jinglong.
Gerbang kota utara sudah runtuh, dan jumlah pemberontak semakin bertambah. Li Jinglong berteriak, “Jangan gunakan sihir! Jangan memperhatikan hal lain! Ikuti saja aku!”
Pasukan Tang berkurang jumlahnya saat pertempuran berlanjut, dan mereka tidak bisa lagi bertahan. Lu Xu, Mo Rigen, dan A-Tai tersebar lurus di atas atap. Lu Xu dan Mo Rigen dengan cepat menembakkan panah demi panah, sementara A-Tai melemparkan genteng ke bawah.
Mo Rigen berteriak, “A-Tai!”
“Aku tidak tahu cara memanah!” protes A-Tai. “Ditambah lagi, kita tidak bisa menggunakan sihir! Bagaimana lagi aku bisa membantu?!”
“Berdiri saja di sana! Jangan melempar genteng!” Lu Xu berteriak. “Jika kau melempar semua genteng, di mana aku akan berdiri?!”
Jalan utama telah berubah menjadi penggiling daging raksasa. Baik pasukan Tang maupun para pemberontak mengalir tanpa henti ke dalamnya, dan sulit untuk mengatakan berapa banyak yang kehilangan nyawa di sana saat darah dan daging beterbangan di udara. Para pemberontak sudah bersumpah untuk menyerang Luoyang, sementara pasukan Tang mempertaruhkan segalanya untuk mengusir mereka keluar dari kota.
Ini adalah pertama kalinya Hongjun melihat Li Jinglong melangkah ke pertempuran dengan zirah lengkap. Sebelumnya di Dunhuang, bahkan saat mereka berperang melawan raja hantu mayat, dia hanya melihatnya memimpin pasukan dari kejauhan; kali ini, dia duduk tepat di belakangnya di atas kuda, menyaksikan dengan matanya sendiri seperti apa rupa Li Jinglong saat menerobos musuh. Keduanya berlumuran darah, dan dengan tombak di tangannya, Li Jinglong secara paksa mengukir jalan berdarah. Pemberontak yang tak terhitung jumlahnya bergegas ke arahnya. Dan tanpa ampun tebasan mematikan Li Jinglong menjadi akhir dari hidup mereka.
“Kita tidak bisa bertahan lebih lama lagi!” Teriak Ashina Qiong. “Zhangshi!”
“Markuis! Kami akan bertarung sampai mati!” teriak seorang prajurit Tang.
“Bertarung sampai mati—!” teriak semua pasukan Tang.
Li Jinglong balas berteriak, “Bertarung sampai mati! Jika kita mati, kita semua akan mati bersama!”
Hongjun: “…”
Hongjun berbalik untuk melihat, dan menyadari bahwa jumlah pasukan Tang menyusut seiring berlangsungnya pertempuran, sebaliknya pasukan pemberontak masih sebanyak sebelumnya, dan mereka terus berdatangan ke kota tanpa akhir. Para prajurit Tang layaknya ngengat di nyala api; lebih dari seribu orang berperan serta, namun sekarang hanya tersisa beberapa ratus. Saat jumlah mereka turun, mereka juga jatuh lebih cepat.
Ashina Qiong berteriak, “Hongjun! Pukul dia hingga pingsan! Lalu bawa dia pergi dari sini!”
Tanpa menanggapi mereka, Li Jinglong mengeluarkan teriakan keras lainnya saat dia berjuang menyerbu ke dalam formasi perisai infanteri. Para pemberontak sudah mulai mengepung mereka — pertama-tama mereka menyebar dari pintu masuk ke kedua sisi, lalu memanjat ke atas atap dan menembakkan panah ke tengah.
“Kita tidak bisa bertarung seperti ini lagi!” teriak Mo Rigen. “Ayo pergi!”
Kuda yang ditunggangi Li Jinglong tertembak anak panah, membuat kaki depannya melemah saat ia jatuh berlutut. Hongjun buru-buru berguling dari punggung kuda, sembari menyeret Li Jinglong.
Para exorcist masing-masing melompat ke bawah. Kuda perang pasukan Tang dihabisi. Dengan rambut acak-acakan dan tubuh berlumuran darah, mereka berkumpul di satu tempat, masing-masing memegang erat tombak panjang.
Para prajurit infanteri mengepung mereka dari semua sisi, namun tidak bergegas maju untuk menyerang. Sebaliknya, mereka mengangkat perisai, dan kavaleri berkuda muncul di belakang formasi itu, mengangkat tombak mereka sebagai persiapan untuk menyerang. Pemberontak sudah mengambil alih keseluruhan jalan utama, dan dengan sekitar tiga ribu orang, mereka menjebak para exorcist dan sekitar seratus prajurit Tang yang tersisa.
Semuanya terdiam, begitu hening sehingga jarum yang jatuh ke tanah pun bisa terdengar. Dan yang ada hanyalah awan hitam pekat yang mengepul di langit.
Seorang komandan menunggang kudanya ke kota, muncul dari barisan. Dia bertanya, “Siapa yang mempertahankan kota?”
Dengan wajah pucat pasi, Bi Sichen mengikuti di belakang komandan itu.
“Markuis Yadan, Li Jinglong. Lalu siapa kau?” Li Jinglong memiliki pedang di tangannya, dan di sekelilingnya berkumpul para prajurit Tang serta bawahannya di Departemen Eksorsisme.
“Daxi Xun,” komandan itu menjawab dengan angkuh. “Markuis Yadan, menyerahlah. Kau tidak bisa mempertahankan kota ini.”
“Bi Sichen,” Li Jinglong berkata, “kau hidup dari gaji Tang Agung dan memegang posisi pembela Luoyang untuk Tang Agung, namun kau pergi ke luar kota dan menyerah pada musuh. Apakah kau pikir aku tidak bisa membunuhmu sekarang?”
Bi Sichen tidak bisa berhenti gemetar, dan dia bahkan tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Dialah yang memimpin pasukan keluar kota dalam upaya sia-sia untuk melawan para pemberontak, dengan harapan mampu mengalahkan para pemberontak, tapi dia jugalah orang yang ditangkap sebagai tawanan perang setelah dia terkena serangan panah dan jatuh dari kudanya. Kini, para pemberontak membawa Bi Sichen bersama mereka untuk mengepung kota, yang membuat Li Jinglong geram penuh amarah!
“Aku akan menghitung sampai tiga.” Daxi Xun juga seorang jenderal yang menyerah, dan dia telah membelot ke musuh sejak An Lushan mengirim pasukannya ke selatan. Masa jabatannya di keprajuritan jauh lebih lama daripada Li Jinglong, dan dia tidak takut pada anak muda ini. Dia berkata dengan dingin, “Satu”
Saat kata “satu” diucapkan, hampir seratus pasukan Tang melepas helm mereka dan melemparkannya ke tanah, semuanya bergerak bersamaan saat mereka menghunus pedang dan menempatkannya di leher mereka sendiri.
Ini adalah pertama kalinya anggota Departemen Eksorsisme menyaksikan pemandangan yang begitu kejam. Ratusan emosi membengkak di hati Hongjun — Tang Agung ini, di mana ada orang yang menyerah setelah satu pertempuran, yang bahkan lebih rendah dari anjing, namun ada juga orang yang rela menyerahkan nyawa mereka selama mereka memiliki satu pertempuran di mana mereka bisa membayar hutang mereka pada keluarga dan negara!
Li Jinglong terdiam.
“Dua,” lanjut Daxi Xun.
Hongjun berdiri di samping Li Jinglong. Keduanya sedikit membungkuk, dan pada saat itulah Hongjun tiba-tiba merasakan pegangan pisau lempar dijejalkan ke tangannya. Ashina Qiong telah menyerahkan salah satu pisau lemparnya!
“Bunuh dia,” kata Lu Xu pelan. “Terserah kalian berdua sekarang.”
Pisau Lempar Pembunuh Abadi Hongjun dijiwai dengan sihir, jadi dia tidak bisa menggunakannya. Namun, milik Ashina Qiong tidak demikian.
“Kavaleri ibukota dewa Luoyang! Perhatikan perintahku!” Teriak Li Jinglong. “Hari ini, kita mungkin menderita seribu penghinaan, dan puluhan ribu ketidakberdayaan, tapi negara kita berada dalam kesulitan. Ia tidak ingin prajuritnya yang gagah berani menyerahkan hidup mereka, melainkan agar kita terus hidup di keadaan tercela, sehingga kita bisa menebus diri kita suatu hari nanti!”
Semua pasukan Tang terengah-engah. Li Jinglong mengeluarkan Pedang Kebijaksanaan dan menarik napas dalam-dalam.
“Tiga.”
“Mundur.” Bibir Li Jinglong bergerak saat dia mengucapkan kata itu.
Seketika, Hongjun dan Ashina Qiong mengangkat tangan mereka secara bersamaan. Hongjun melempar pisau lemparnya dari sisi depan, di mana pergelangan tangannya sejajar dengan bahunya saat dia merentangkan jarinya ke depan. Gagang pisau terjepit di antara jari-jarinya, dan berputar dua kali saat lepas dari tangannya!1 Buat yang pengen tahu cara lemparnya, bisa nonton ep 1 Tianbao menit ke 18.22-18.24 ya, soalnya dia keren banget disini. Ashina Qiong, sebaliknya, melempar dengan punggung tangannya, bilah pisau terselip di antara telunjuk dan jari tengahnya. Lengannya bergerak ke atas dari pinggangnya, dan dengan kilatan cahaya perak, pisau itu terlepas dari tangannya!
Satu depan dan satu belakang, satu yin dan satu yang; kerjasama keduanya seperti mahakarya keagungan! Pisau lempar yang meninggalkan tangan Hongjun secepat kilat, sementara Ashina Qiong terbang ke depan seperti burung, masing-masing mengarah ke Daxi Xun dan Bi Sichen!
Li Jinglong baru saja memberikan perintah untuk mundur saat kedua jenderal yang telah menyerah itu melihat kilatan cahaya putih di depan mata mereka. Pisau lempar yang mengarah ke Daxi Xun mengiris arterinya, dan dengan shua, darah segar menyembur ke seluruh kepala prajurit disekelilingnya. Pisau lempar yang mengarah ke Bi Sichen menusuk tenggorokannya, menghentikan teriakan ‘serang’, sebelum dia jatuh dari kudanya dan mati seketika!
Ada keributan di antara para prajurit, dan Li Jinglong menggunakan kesempatan ini untuk berteriak, “Terobos formasi mereka!”
Kedua belah pihak tengah menunggu komandan mereka untuk memberikan perintah, namun pihak pemberontak lebih lambat untuk sesaat. Moral para prajurit Tang naik ke puncak, mereka semua berbalik, dan mulai menerjang serta menebas, keluar dari kepungan!
Anggota Departemen Eksorsisme membuka jalan ke depan, merobek pengepungan dengan hampir tanpa usaha. Di bawah komando Li Jinglong, mereka menyerbu ke sebuah gang yang terletak di salah satu ujung jalan utama. Saat itulah ratusan panah musuh datang ke arah mereka, mengumandangkan kengerian akan pertempuran dan pembantaian!
“Lari!” Li Jinglong berteriak. Dia memegang erat pergelangan tangan Hongjun untuk mencegah para pemberontak memisahkan mereka berdua. Sedangkan dengan tangannya yang lain, dia terus menerjang dan menebas musuh. Hongjun melarikan diri dengan terburu-buru, dan karena takut melukai orang-orang di pihak mereka, dia tidak berani mencoba sesuatu dengan gegabah.
“Hidupkan Cahaya Suci Lima Warna!” Li Jinglong berteriak.
“Bukankah katamu aku tidak boleh menggunakannya?” Hongjun bertanya.
“Tidak masalah kalau untuk melarikan diri!” Li Jinglong kembali berteriak.
Cahaya Suci Lima Warna naik dari tanah, membantu memudahkan pelarian mereka. Meski sisa-sisa prajurit telah dikalahkan, mereka sama sekali tidak panik. Mereka mengikuti Li Jinglong melintasi gang kecil, terus berlari meninggalkan musuh dibelakang, dan bergegas menuju timur kota. Sepanjang jalan, masih ada penduduk yang mencoba melarikan diri, serta pasukan pemberontak yang terpencar di berbagai sudut kota. Jadi mereka membantu menyelamatkan para penduduk sembari terus berlari menuju Jembatan Tianjin.
“Ikut aku, ikut aku!” Teriak Li Jinglong.
Namun begitu mereka berlari keluar dari gang-gang kecil, pasukan pemberontak lain yang terpencar menyerbu ke arah mereka. Karena lengah, mereka tidak memiliki pilihan selain menarik senjata, buru-buru memblokir serangan yang datang bertubi ke arah mereka.
Anak panah beterbangan ke sana kemari, dan dengan goyangan Cahaya Suci Lima Warna, Hongjun membantu A-Tai memblokirnya.
“Hai mie hou bi—” teriak A-Tai ke arah Hongjun di tengah kesibukannya, “Hongjun-didi!”
“Di mana belatimu?!” Teriak Hongjun ke arah A-Tai. “Gunakan belatimu!”
“Aku hanya menggunakan sesuatu yang cantik saja!”2Maksudnya, A-Tai menganggap bahwa pedang/senjata selain yang ia gunakan tuh gak mencerminkan keindahan/kecantikan. Makanya dia gak mau kalo harus memakai pedang ataupun belati. A-Tai mengambil langkah, lalu merunduk di belakang Hongjun dan Li Jinglong.
“Kau harus belajar menggunakan senjata!” Teriak Li Jinglong, bahkan dirinya sendiri sudah melakukan banyak hal, dari membunuh musuh hingga melindungi warga.
A-Tai menjawab, “Aku punya seorang ksatria sejak awal! Siapa yang memberitahumu bahwa pendeta tinggi juga harus belajar senjata?”
“Dan di mana ksatriamu itu?” Mo Rigen bertanya.
“Di sini!” A-Tai menarik Ashina Qiong, menggunakan dia sebagai tameng untuk menahan serangan yang datang dari depan. Ashina Qiong tidak memiliki pilihan lain selain mencabut pedangnya yang melengkung dan berteriak, “Hari ini aku akan bertarung denganmu!”
Dengan setiap pisau yang Ashina Qiong lempar, semakin berkuranglah pisau ditangannya. Dua sudah dia gunakan sebelumnya, dan sekarang, karena dia harus menyimpannya untuk menyelamatkan nyawanya sendiri, dia tidak berani menggunakannya dengan sembarang. Dia tidak memiliki pilihan selain menggunakan teknik berguling, yang dibuat khusus untuk memotong kaki kuda. Mo Rigen dan Lu Xu berlari mendekat, tanpa henti menembakkan anak panah di belakangnya. Saat para pemberontak terpencar mundur, Li Jinglong memimpin sekelompok orang, serta warga, melewati jembatan.
Namun begitu mereka berhasil melewati jembatan, sekelompok orang dengan agresif menyerbu ke depan. Mereka adalah para orang tua, anak-anak, dan wanita Luoyang. Di mana tanpa gentar mengayunkan papan cuci, mengangkat penggiling adonan tinggi-tinggi, dan memegang tiang jemuran. Sembari berteriak serempak, menyerbu ke arah Li Jinglong dan yang lainnya. Orang yang memimpin penyerangan memiliki mata yang melotot karena marah, dan dia mengangkat cambuk panjangnya — itu adalah Turandokht.
“Kami ada di pihakmu!” Li Jinglong buru-buru berteriak begitu dia melihat Turandokht.
Turandokht awalnya sedang membeli beberapa makanan rebus di pasar. Ketika melihat para pedagang yang kabur ke Kota Luoyang tengah menjual kain dengan harga murah, dia menghabiskan lebih banyak waktu untuk melihat-lihat berbagai kain dan riasan. Tak disangka, kota itu akan benar-benar jatuh disaat dia masih sibuk berbelanja. Tidak punya pilihan lain, dia mendampingi serta mengawal para orang tua dan anak-anak keluar dari pasar untuk menuju luar kota.
Turandokht maju dan meraih telinga A-Tai, siap memberinya omelan. Dia berteriak, “Kau menyebut ini mempertahankan kota?!”
“Nenek yang terhormat,3Yang asli di sini adalah “bibi agung”, tapi itu tidak memiliki konotasi yang sama… aku salah!” A-Tai buru-buru memohon belas kasihan.
“Itu bukan salahnya…” Li Jinglong buru-buru menambahkan. “Semuanya, ikut aku! Cepat! Mereka akan menyusul sebentar lagi!”
Li Jinglong menyusuri tepi sungai yang mengalir di sepanjang jalan utama dan meluncur ke bawah. “Masuk!”
Tempat itu kebetulan berada di Sepuluh Li dari Sungai Suci yang pernah mereka kunjungi.4Ada di ch 101 ya, kalo lupa. Para exorcist berjaga di luar dasar sungai kuno ini, sementara warga mundur satu demi satu. Setengah shichen kemudian, hampir seribu orang sudah masuk. Li Jinglong meninggalkan beberapa pasukan Tang di depan untuk berjaga, sementara dia, Hongjun, serta yang lainnya menuju ke dalam.
Di tanah yang pernah dipenuhi dengan kemegahan duniawi, kini telah kosong ditinggalkan penghuninya melarikan diri dan hanya menyisakan beberapa lampu minyak redup yang tersebar di dasar sungai yang luas. Tenda orang-orang dari Wilayah Barat telah terhempas ambruk ke tanah, dan peti serta kotak berserakan di mana-mana. Bedak terpencar, menutupi tanah dengan warna putih pucat.
Ketika para warga beserta keluarganya memasuki tempat ini, mereka perlahan-lahan terdiam.
Mereka semua, tanpa terkecuali, apakah mereka berdiri atau duduk, semuanya memperhatikan Li Jinglong.
“Kota Luoyang telah jatuh,” kata Li Jinglong sambil melepas helmnya. “Para kepala keluarga dan tetua yang terhormat, kami belum bisa pergi. Kami harus hidup dan mati bersama kota ini. Sedangkan kalian semua…
“… harus menemukan cara untuk menyelamatkan nyawa kalian sendiri.”
Setelah mengatakan itu, dia melemparkan helmnya ke tanah, di mana itu berdentang keras.
Suara itu tampaknya telah mengungkap semacam batasan, dan suara tangisan langsung menyebar ke seluruh kerumunan, bergema di bawah tanah yang gelap.
Bi Sichen dan Daxi Xun telah membelot kepada musuh. Hampir 20.000 prajurit pemberani Luoyang berubah menjadi jiwa tak berdosa, meninggalkan dendam mereka yang melekat kuat di tanah bercecer darah perjuangan melindungi negeri. Dan kini ibu kota timur di masa lalu itu sudah dimusnahkan oleh api.
Hongjun berjalan keluar dari Sepuluh Li dari Sungai Suci, memandang ke arah langit. Gerimis mulai turun dari langit yang gelap, membawa serta bau darah. Dari suatu tempat terdengar gonggongan anjing liar.
“Kau kembali,” kata Turandokht, berhenti di belakang Hongjun.
“Kami kembali,” kata Hongjun.
“Itu bagus,” kata Turandokht. “Semua orang masih hidup.”
Mata Hongjun memerah, dia berbalik, dan memeluk Turandokht. Saat dulu mereka tinggal di Amber Lanling, meskipun Turandokht seumuran dengan Hongjun, dia seperti kakak perempuan kelompok itu, di mana telah merawat mereka dengan baik hingga ke detail terkecil. Saat Hongjun melihatnya lagi, dia tiba-tiba merasa seolah-olah satu zaman sudah berlalu sejak saat itu.
A-Tai juga datang dan mengusap kepala Hongjun.
Di sisi lain, Li Jinglong menugaskan prajurit Tang yang tersisa, untuk melindungi warga saat mereka melarikan diri keluar dari pintu keluar di ujung lain Sepuluh Li dari Sungai Suci, melalui dasar sungai yang kering.
“Setelah kalian melihat waduk, berbeloklah ke tenggara,” Li Jinglong menjelaskan kepada para prajurit yang berkumpul. “Saat yang pertama keluar, kalian harus berhati-hati. Tempat itu dekat dengan gerbang kota selatan, yang seharusnya belum mereka taklukkan. Cepatlah dan kalian akan berhasil tepat waktu.”
Pasukan Tang semua diam, seolah tidak ada satu pun dari mereka yang mau pergi.
“Pergilah,” kata Li Jinglong. “Ini perintah.”
“Bagaimana denganmu, Tuan?” tanya seorang prajurit Tang.
“Mulai sekarang, ini bukan lagi medan perangmu,” kata Li Jinglong. Dia takut pasukan Tang ini masih akan mempertaruhkan nyawa mereka, jadi dia menambahkan, “Bawa mereka ke Chang’an…” Tapi saat dia sampai di titik ini, dia menyadari bahwa jika mereka menginjakkan kaki di Chang’an, mereka pasti akan dipenggal, sesuai hukum militer, jadi dia mengubah apa yang dia katakan. “… Ke pinggiran Kota Chang’an, dan biarkan warga pergi ke kota, sementara kalian semua tunggu aku di kaki Gunung Li. Ketika saatnya tiba, aku akan memberikan lebih banyak perintah untuk kalian.”
Prajurit tentara Tang bergerak satu demi satu, baik membantu maupun membawa orang-orang secara paksa, karena mereka harus pergi secepat mungkin. Jika tidak, segera setelah kota jatuh di bawah kendali penuh para pemberontak, seluruh Luoyang akan diblokir, dan akan sulit bagi mereka untuk melarikan diri.
Nia: Jujur ya, momen kek gini tuh lebih menyedihkan bagiku.