English Translator: foxghost @foxghost tumblr/ko-fi (https://ko-fi.com/foxghost)
Beta: meet-me-in-oblivion @meet-me-in-oblivion tumblr
Original by 非天夜翔 Fei Tian Ye Xiang
Penerjemah Indonesia: Rusma
Proofreader: Keiyuki17
Buku 4, Bab 41 Bagian 1
Selama beberapa hari terakhir, musim dingin yang benar-benar dingin telah tiba di Huaiyin. Salju tipis mulai turun di atas kota, namun danau belum membeku, dan musim dingin di sini juga tidak seperti di utara, di mana es akan menggantung di seluruh atap pada awal musim dingin. Wu Du membawa Duan Ling melewati jalan itu dengan menunggang kuda. Sesampainya di pasar, mereka menuntun kudanya dengan memegang kendali dan berjalan berdampingan.
Salju mungkin turun sama seperti di utara, namun ada kehangatan khas musim dingin di selatan, dengan bau api unggun di pinggir jalan, kelembapan di udara dari salju yang mencair segera setelah menyentuh tanah tanpa suara. Wu Du membeli beberapa makanan ringan dari pedagang kaki lima, ikan goreng, udang goreng, dan telur puyuh yang diasinkan dengan tusuk sate bambu, memakannya sambil berjalan.
“Apa kau suka di sini?” Wu Du bertanya.
“Ini begitu indah.” Duan Ling berdiri di tepi Danau Wanguang, memandang ke danau saat salju tipis turun di permukaannya, setiap butiran salju mendarat dengan riak samar. Suhunya tidak cukup dingin untuk membekukan, namun airnya tampak lebih kental sehingga kepingan salju akan bertahan lama di air sebelum menghilang ke dalam danau.
“Jika aku bisa tinggal di sini selama tiga tahun,” kata Duan Ling, “hidupku akan lengkap. Tapi aku tidak bisa berhenti memikirkan Ye.”
“Master dan tuanmu berjanji untuk membawamu ke penjuru bumi. Kita berdua harus pergi ke mana pun,” kata Wu Du. “Tapi sekarang setelah aku mengajakmu ke sini, kau sudah rindu rumah.”
Duan Ling baru mengingatnya sekarang — itulah yang dikatakan Wu Du kepadanya ketika mereka berdua mengucapkan sumpah cinta hari itu di pegunungan, di lokasi Aula Harimau Putih. Dia tidak tahu bahwa Wu Du terus mengingat hal itu bahkan setelah sekian lama.
“Ketika aku turun dari Gunung Min saat itu dan pergi ke Jiangzhou, Zheng Yan juga mengundangku ke Huaiyin sebagai tamu. Namun di saat yang sama berita perang terus berdatangan dari utara, jadi aku tidak punya waktu untuk berdiam diri dan menikmati pemandangan. Aku harus bergegas ke dataran tengah untuk menyelamatkan tuanku dan istrinya. Sepuluh tahun yang lalu, berkeliaran sendirian di tepi danau sama sekali tidak menyenangkan. Selama beberapa tahun terakhir, aku telah berpikir untuk membawamu ke sini.”
Mereka dapat mendengar nyanyian dari seberang air saat paviliun terapung1Perahu Huafang (secara harfiah berarti “perahu yang dicat”) sering diterjemahkan sebagai “perahu pesiar”, namun sebenarnya perahu ini hanyalah sebuah tongkang dengan paviliun restoran yang dibangun di atasnya. melintasi danau. Duan Ling menjawab, “Masih banyak tempat yang belum kita kunjungi.”
“Ya,” kata Wu Du sambil berpikir keras. “Aku hanya khawatir begitu kau kembali ke istana, akan lebih sulit untuk menyelinap keluar. Ayo, cari paviliun terapung dan duduk.”
Paviliun terapung seharusnya membawa tamu ke kapal sambil ditambatkan di dermaga, tapi Wu Du hanya mengarahkan pandangannya ke salah satu paviliun sambil berdiri di tengah jembatan sebelum meraih Duan Ling dan melompat ke sana dengan gemerisik kain.
Duan Ling tidak tahu ekspresi seperti apa yang harus dia tunjukkan — begitu mereka mendarat di paviliun terapung, ada orang-orang yang berteriak panik, mengira ada seorang pembunuh yang melompat ke atas kapal. Tetapi kemudian Wu Du melemparkan sebuah batangan perak, yang mendarat di meja dengan bunyi dentang.
“Minuman untuk semua orang,” kata Wu Du. “Masih ada ruangan pribadi yang tersisa?”
“Kau sangat ceroboh.” Duan Ling buru-buru meminta maaf kepada para tamu.
Wu Du sudah menyeretnya ke ruangan pribadi. “Bagaimanapun, itu semua milik keluargamu – perahunya juga. Untuk apa kau bersikap sopan kepada mereka?”
Duan Ling terdiam.
Segera semuanya menjadi tenang kembali di paviliun, dan semuanya damai. Seseorang sedang memainkan qin di bawah mereka di lantai pertama, dan seorang pelayan membawakan mereka anggur hangat dan makanan. Maka Wu Du memeluk Duan Ling dan meminum anggur, bersandar di dipan di belakang layar. Mereka bersandar satu sama lain di bawah selimut, menikmati pemandangan, dan itu sungguh menyenangkan untuk dilakukan.
“Apakah kau ingin aku bernyanyi untukmu, Tuanku?” Duan Ling berkata sambil tersenyum.
Wu Du sedikit mabuk. Dia mengaitkan jarinya di bawah dagu Duan Ling untuk menariknya lebih dekat dan memeluknya seolah-olah dia khawatir seseorang akan membawanya pergi.
“Shan’er, kau sudah dewasa,” kata Wu Du.
Bagian paling lembut dari hati Duan Ling terasa sakit mendengar kata-kata itu. Ketika dia mengingat bagaimana keadaannya ketika Wu Du membawanya pulang bersamanya, segalanya benar-benar telah berubah.
“Kau selalu memperlakukanku seperti anak kecil.” Duan Ling bersandar pada Wu Du, menghadap pusaran salju yang jatuh di atas Danau Wangguang.
Wu Du memeluk Duan Ling dari belakang, bibirnya yang beraroma anggur menggosok-gosok daun telinga Duan Ling, berbisik, “Aku tidak ingin kau tumbuh dewasa. Dengan begitu aku juga tidak akan menjadi tua.”
Duan Ling meraih pergelangan tangan Wu Du dan berbalik sehingga mereka bertatap muka, bersandar ke pelukannya, memiringkan kepalanya untuk mencium bibirnya. Wu Du mengambil seteguk anggur dan menyuapkannya dari mulut ke mulut. Ketika suhu di antara mereka meningkat pesat, paviliun terapung perlahan-lahan mendekat ke tepian. Beberapa tamu turun sementara yang lain naik dari dermaga.
Suara Yao Zheng menjangkau mereka dari luar layar. “Sekarang musim dingin, hampir tidak ada lagi orang yang datang ke paviliun terapung ini.”
“Silakan lewat sini,” kata suara pelayan.
Duan Ling mencoba menjauh, tetapi Wu Du menolak melepaskannya; dengan lengan memeluknya, dia terus menciumnya seolah-olah dia belum merasa cukup.
“Abaikan mereka,” bibir Wu Du bergerak tanpa terasa saat dia berbisik.
Lang Junxia menutup payungnya dan melangkah ke paviliun bersama Yao Zheng. Yao Zheng memandang sekelilingnya dengan santai sebelum berkata, “Di sini baik-baik saja.”
Yao Zheng dan Lang Junxia telah memilih ruangan pribadi di lantai pertama yang menghadap ke danau, dan kebetulan kamar itu berada tepat di bawah Wu Du dan Duan Ling. Lang Junxia menyandarkan satu kakinya di pagar dan mencondongkan tubuh ke arah air, lalu berkata tanpa sadar, “Ini mungkin terakhir kalinya aku datang ke Danau Wanguang.”
Duan Ling dan Wu Du juga bersandar di pagar, mendengarkan percakapan yang terjadi di bawah.
“Apa yang kau katakan?” Yao Zheng berkata, “Paman tidak akan melakukan apa pun padamu.”
Lang Junxia tidak menjawab. Akhirnya, Yao Zheng melanjutkan, “Tetaplah di Huaiyin. Aku akan meminta ayah untuk menjadi perantara atas namamu. Saat kau di sini, tidak ada yang bisa menyakitimu.”
“Aku menghargai kebaikanmu,” suara Lang Junxia terdengar dari bawah. “Tapi aku memiliki urusan yang belum selesai di Jiangzhou. Sudah ditakdirkan bahwa aku harus menghadapinya.”
Suara Yao Zheng menambahkan, “Setelah selesai, tidak bisakah kau kembali ke sini?”
Lang Junxia menjawab, “Setiap langkah setelah kesalahan pertama berada di jalur yang salah. Tidak ada pilihan lain yang bisa aku ambil.”
“Kau tidak melakukan kesalahan apa pun. Menurutku, bukankah sepupuku masih hidup dan sehat? Jika kau tidak…”
“Biarkan saja,” kata Lang Junxia.
Maka Yao Zheng tidak membicarakannya lagi. Namun kemudian dia menambahkan, “Saat kau datang ke Huaiyin empat tahun lalu, berita apa yang kau bawa?”
“Yang Mulia mengirimku kembali ke Xichuan. Dia ingin aku mengetahui apa yang direncanakan Zhao Kui dan Mu Kuangda, dan jika perlu, aku bisa bergabung dengan pihak lain, bersembunyi dan menunggu perintahnya. Dalam sekejap mata, sudah empat tahun.”
“Aku masih ingat ketika kau datang ke Huaiyin empat tahun lalu. Kau baik-baik saja, dan jarimu tidak hilang. Saat aku melihatmu lagi di Xichuan, kau sudah berubah.”
“Aku belum berubah,” kata Lang Junxia, suaranya mantap tanpa riak, “selama bertahun-tahun, apa yang ada di hatiku tetap sama.”
“Maafkan aku,” kata Yao Zheng tiba-tiba.
Ekspresi terperangah muncul di wajah Wu Du di lantai dua seolah dia tidak percaya Yao Zheng akan meminta maaf kepada siapa pun atas kemauannya sendiri. Duan Ling menatapnya dengan tatapan bertanya-tanya di matanya, dan Wu Du menggelengkan kepalanya, memberi tahunya bahwa dia akan memberitahunya nanti.
“Semuanya sudah berlalu,” kata Lang Junxia sambil tersenyum. “Jangan membicarakannya.”
“Jika aku tidak marah padamu hari itu, aku tidak akan…”
“Memang seharusnya begitu,” jawab Lang Junxia. “Apakah kau belum menikah?”
“Menikah, menikah, semua orang mendesakku untuk menikah.” Ekspresi Yao Zheng menjadi gelap dan dia menjadi gusar. “Itu bukan urusanmu!”
Lang Junxia tidak mendesaknya lagi, tetapi Yao Zhen sepertinya tidak tertarik lagi untuk tinggal. Tidak lama kemudian dia bangkit untuk pergi. Lang Junxia pun bangkit dan mengikutinya.
Duan Ling mengintip ke arah mereka. Anehnya, Lang Junxia dan Yao Zheng telah pergi secepat mereka datang. Di tepian, Yao Zheng menaiki kudanya, dan mengabaikan Lang Junxia, berangkat sendiri. Lang Junxia berdiri di pinggir jalan sebentar, tetapi dia tidak menaiki kudanya. Dia memegang kendali dan perlahan berjalan menjauh dari dermaga.
Satu orang, satu kuda; Duan Ling menatap mereka dari tempat duduknya di belakang pagar, dan pemandangan itu membuatnya merasakan kesedihan yang tak terlukiskan.
“Wu Du?”
“Tidak apa.” Wu Du menggelengkan kepalanya, seolah tenggelam dalam ingatannya.
“Apakah Yao Zheng dan Lang Junxia saling kenal?” Duan Ling agak terkejut. Wu Du juga tidak begitu tahu, tetapi dari mendengarkan percakapan mereka, mereka sepertinya pernah bertemu sebelumnya. Mungkin saat itu ayahnya mengirim Lang Junxia ke selatan untuk mencari informasi.
“Ini sudah larut. Ayo kembali,” kata Wu Du.
Keduanya meninggalkan paviliun terapung menuju kediaman Yao. Sepanjang jalan, Duan Ling teringat pada musim semi saat dia berpisah dari Lang Junxia. Ayahnya datang, dan Lang Junxia pergi; segalanya tampak begitu baik, sebuah kesimpulan yang sudah pasti. Dia tidak pernah membayangkan bahwa begitu mereka berpisah, mereka akan menjadi orang asing.
Saat malam tiba, Duan Ling terkejut karena satu-satunya orang yang datang untuk makan malam hanyalah Li Yanqiu.
Dari sudut pandangnya, karena dia sudah bertemu dengan keluarga Yao, tidak masalah apakah mereka menghabiskan lebih banyak waktu bersama atau tidak. Saat makan malam, hanya mereka berdua yang duduk berhadapan, dengan Wu Du berjaga di luar sementara Zheng Yan pergi ke suatu tempat.
Hidangannya tersebar di atas meja, dan Duan Ling mencicipi makanan untuk Li Yanqiu. Li Yanqiu menyesap tehnya dan memberitahunya, “Jangan khawatir tentang semua peraturan itu. Makan saja.”
Duan Ling adalah orang yang mencicipi semua makanan Li Yanqiu untuknya ketika dia tinggal di Ye. Dengan adanya Wu Du, meskipun dia keracunan mungkin tidak akan menimbulkan banyak masalah, tetapi dia tetap bersikeras untuk mencoba setiap hidangan sebelum kembali ke tempat duduknya. “Paman, aku benar-benar harus kembali. Seseorang harus menyelesaikan apa yang dimulainya. Sejak aku datang ke Ye, maka aku harus melakukan pekerjaan dengan baik. Itulah satu-satunya cara agar aku tidak mengecewakan ayahku.”
“Baiklah kalau begitu. Aku tidak akan menghentikanmu. Namun ketika kau kembali ke Ye, kau harus lebih berhati-hati dari sebelumnya.”
Duan Ling menghela nafas lega, dan dia berencana berangkat besok. Lagipula, ada banyak hal yang harus dia lakukan di Jiangzhou, dan Li Yanqiu tidak mungkin tinggal di Huaiyin selamanya. Jika mereka berangkat ke tujuan masing-masing sesegera mungkin, itu akan memberi mereka cukup waktu untuk bersiap.
“Alasan kenapa aku hanya memintamu untuk bergabung denganku makan malam hari ini,” kata Li Yanqiu, setelah berhenti sejenak untuk berpikir, “adalah karena ada beberapa hal yang harus aku jelaskan padamu.”
Duan Ling menyetujuinya. Ini adalah malam sebelum mereka berpisah secara resmi, jadi Li Yanqiu pasti punya instruksi untuknya.
Dan memang benar, hal pertama yang dikatakan Li Yanqiu kepadanya adalah, “Orang yang bersekongkol untuk membunuh ayahmu kemungkinan besar adalah seseorang di Chen Agung.”
Duan Ling terguncang, dan dia tidak bisa berhenti gemetar. Dia bertanya dengan suara bergetar, “Bagaimana kau mengetahuinya?”
“Baik kau maupun aku tidak menyaksikan secara langsung peristiwa-peristiwa pada waktu itu. Kau berada di Shangjing, dan aku di Xichuan. Tapi menurut apa yang Wu Du dan Wuluohou Mu ceritakan padaku, pada dasarnya ceritanya cocok. Wu Du pernah memberitahuku bahwa kau membunuh seseorang di Tongguan dengan kedua tanganmu sendiri yang bernama Helan Jie.”
“Benar!” Duan Ling menggigil tak terkendali, darahnya tampak dingin. Dia tidak bisa makan lagi, dan dengan tangan gemetar dia meletakkan sumpitnya.
Li Yanqiu melanjutkan, “Helan Jie dulunya adalah seorang pembunuh Xiyu, pernah menjadi murid Akademi Pedang Yulin yang diasingkan. Apakah kau ingat musim dingin lalu, ketika sekelompok utusan Mongolia datang untuk merayakan ulang tahunmu? Salah satu dari orang-orang itu bernama Khatanbaatar.”
“Aku ingat.”
“Tuannya adalah Nayantuo. Sebelum meninggal, Nayantuo membuang Helan Jie. Dia tidak lagi memiliki pijakan di Xiyu, dan akhirnya berakhir di Liao. Kemungkinan besar dia mencari suaka di Pemerintahan Selatan. Malam itu, saat ayahmu melakukan operasi ke Shangjing, dia pertama kali diserang oleh para pembunuh tepat sebelum mereka mencapai sebuah lembah. Wu Du mengatakan bahwa dilihat dari keterampilan para pembunuh yang kita temui kemarin, mereka kemungkinan besar berasal dari kelompok yang sama.”
Ini adalah satu hal yang Duan Ling belum dapat pahami meskipun dia telah memikirkannya sampai ke Huaiyin. Jika Mu Kuangda mengirim Chang Liujun untuk membunuh Li Yanqiu, lalu di mana dia menyimpan anak buahnya? Dan di mana mereka bersembunyi?
Dan sekarang, semuanya masuk akal.
Mu Kuangda berkolusi dengan Han Weiyong dari Pemerintahan Selatan! Para pembunuh telah berada di Liao sepanjang waktu, dan saat itu, Helan Jie juga telah mengambil orang-orang yang sama dan membunuh ayahnya!
“Para pembunuh itu…” Duan Ling tertegun.
“Mereka berasal dari Akademi Pedang Yulin. Khatanbaatar mengambil sebagian dari mereka, dan komando atas yang lainnya diambil alih oleh Helan Jie. Wuluohou Mu berkata bahwa dia pernah memberimu untaian manik Buddha. Benarkah itu?”
“Itu ada di Ye.” Duan Ling tidak membawanya kemana-mana.
“Itu akan menjadi tanda pribadi Nayantuo sebelum dia meninggal — manik-manik kayu cendana Yulin. Murid Akademi Pedang Yulin harus memperhatikan perintah siapa pun yang memegang manik-manik. Helan Jie membunuh ayahmu, jadi untuk membalas dendam padanya, Wuluohou Mu memotong tangannya dan mengambil manik-manik Buddha darinya.”
Jadi itu alasan lang junxia kasih manik2 ke duan.. n kenapa lang junxia jadi gabung sama zhao kui n mu kuangda di awal ternyata rencana bpknya duan..