English Translator: foxghost @foxghost tumblr/ko-fi (https://ko-fi.com/foxghost)
Beta: meet-me-in-oblivion @meet-me-in-oblivion tumblr
Original by 非天夜翔 Fei Tian Ye Xiang


Penerjemah Indonesia: Keiyuki17
Editor: _yunda


Buku 3, Chapter 24 Part 2

“Itu adalah surat rahasia yang ditulis oleh Borjigin Batu dan Ögedei untuk keduanya.” Duan Ling menjawab, menyerahkan kertas-kertas itu kepada Chang Liujun. “Kau bawa mereka. Tunjukkan mereka kepada Kanselir Mu.”

Tapi Chang Liujun tidak mau menerimanya. “Siapa pun yang mendapatkannya harus menyerahkannya”

“Ya.” Wu Du tahu persis apa yang Duan Ling lakukan, dan tanpa sepatah kata pun mengambil kedua kertas ujian itu dan menyimpannya.

“Apa yang akan kita lakukan sekarang?” Chang Liujun melanjutkan. “Kita harus mencari tahu sesuatu, bukan? Jika kanselir agung tahu tentang ini, kita semua akan tamat!”

Wu Du dan Duan Ling sama-sama berpikir wow itu hampir saja. Wajah Duan Ling tidak menunjukkan bahwa ada sesuatu yang tidak biasa, mengerutkan kening saat dia berpikir dalam diam tanpa sepatah kata pun.

Dan sekarang Zheng Yan melompati tangga dalam beberapa langkah, membawa embusan angin saat dia duduk di sebelah mereka bertiga, meletakkan bungkusan kertas minyak di atas meja. Sementara itu, Lang Junxia datang perlahan menaiki tangga.

“Setiap daftar hadiah terakhir ada di sini,” kata Zheng Yan.

Kembalinya Lang Junxia memberi Duan Ling kejutan tanpa sadar, sedangkan Wu Du melotot ketika dia berkata kepada Zheng Yan, “Untuk apa kau menyuruhnya?”

“Dialah yang mencuri barang-barang itu untukku,” kata Zheng Yan. “Itu ada di Istana Timur.”

“Mana sarung pedangnya?” Lang Junxia bertanya.

Angin dingin bertiup. Punggung Duan Ling dipenuhi keringat dingin; dia merasa kedinginan.

Wu Du memberi isyarat agar Lang Junxia mengambilnya. Tatapan Lang Junxia bergerak ke sarung pedang di atas meja, tapi dia tidak duduk. Dia hanya mengulurkan tangan, menyapukan jarinya ke sarung pedang itu untuk menekan tombol yang membuka kompartemen rahasia dengan sekali klik.

Tapi kompartemen rahasia itu ternyata kosong.

Lang Junxia melihatnya tanpa mengatakan apa-apa. Empat pasang mata lain di ruangan itu menatapnya. Chang Liujun tampaknya menyadari sesuatu, dan mata yang terlihat di atas topengnya dipenuhi dengan kecurigaan, pertama-tama melirik Wu Du sebelum perhatiannya kembali ke Duan Ling.

“Aiyoh,” gumam Zheng Yan. “Sekarang kita bermain apa?”

Lang Junxia memberikan senyuman samar, dan mendorong sarung pedang itu kembali ke seberang meja.

“Di mana mereka menahannya?” Zheng Yan berkata kepada Duan Ling.

“Aku… tidak begitu ingat. Bagaimanapun itu tidak mungkin di luar kota. Aku mendengar tawa, dan dari balik kain hitam di atas kepalaku, itu benar-benar cerah, itu…”

Sebuah gagasan tiba-tiba muncul di kepala Duan Ling saat dia mengingat rencana awal Mu Qing untuk malam ini. “Mungkinkah itu Paviliun Karangan Bunga?”

Mereka semua hanya melihat Duan Ling, menunggu dia untuk memutuskan. Lagi pula, dia satu-satunya yang diculik.

“Mari kita periksa Paviliun Karangan Bunga,” kata Duan Ling. “Kita akan dibagi menjadi dua kelompok, satu ke Paviliun Karangan Bunga, dan kelompok lainnya akan menuju ke pelabuhan untuk mengirimkan barang. Saat melakukannya, kalian juga dapat mengikuti Amga. Kau… Wuluohou Mu, kau dan Zheng Yan mengawasi pelabuhan, sementara Wu Du, Chang Liujun dan aku akan pergi mencari Mu Qing. Apakah itu tidak masalah?”

Lang Junxia tersenyum lembut, dan tanpa berkata apa-apa lagi, dia berbalik untuk pergi.

“Sisanya ada di tanganmu,” jawab Zheng Yan, lalu melompati pegangan, dia menghilang ke dalam malam.

Duan Ling hanya menghela napas yang dia tahan begitu Lang Junxia pergi. Dia berbalik untuk melihat Wu Du, tapi Wu Du memberi isyarat dengan sedikit lambaian tangannya untuk memberi tahunya bahwa dia tidak perlu khawatir. Sementara itu, pikiran Chang Liujun telah mengembara sepenuhnya. Mereka bertiga tiba di gang di belakang Paviliun Karangan Bunga; Duan Ling memiringkan kepalanya, mencoba mendengar suara-suara yang datang dari bangunan. Dia memiliki perasaan bahwa tempat ini adalah tempat para penculik itu.

“Ini di sini,” kata Duan Ling. “Ini adalah tempat yang paling mungkin.”

Bagian dalam Paviliun Karangan Bunga penuh dengan pelayan dan wanita muda, dan jika mereka mencoba menyembunyikan seseorang, yang harus mereka lakukan hanyalah menyembunyikannya di tempat tidur dan mereka akan sulit ditemukan.

Wu Du berkata, “Mari kita berpisah dan mencari di kamar demi kamar. Chang Liujun, kau mencari di lantai pertama, kami akan mencari di lantai kedua.”

Selama Amga dan Khatanbaatar tinggal di Jiangzhou, mereka menghabiskan banyak waktu di Paviliun Karangan Bunga untuk melakukan pesta pora. Kalau tidak, apa yang mereka harapkan dilakukan diplomat asing saat mereka berkeliaran di ibukota Han? Bergulat di halaman setiap hari?

Semakin Duan Ling memikirkannya, semakin dia berpikir bahwa dia menebak dengan benar. Setelah mereka menetapkan sinyal apa yang akan digunakan dengan Chang Liujun, Wu Du melingkarkan satu tangan di pinggang Duan Ling dan mendarat di lantai dua dalam beberapa langkah.

“Kita tidak akan menggunakan pintu?!” Duan Ling berbisik.

“Jangan repot-repot. Kita akan menemukannya secepat mungkin, lalu pulang dan tidur. Apakah kau tidak lelah? Kau menulis ujian sepanjang hari.”

Duan Ling hanya bisa menyerah setelah mendengarnya. Wu Du menghilang dalam sekejap, sementara Duan Ling masih menempel di atap, bergerak ke samping dengan hati-hati di sepanjang jendela berusaha untuk tidak mengeluarkan suara. Wu Du hanya bisa kembali dan berkata padanya. “Tidak ada yang akan memperhatikan kebisingan. Ini tidak seperti kita sedang menguping di luar Kantor Sekretariat.”

Ini adalah malam musim semi yang suram; bahkan jika sesekali ada dentingan ubin keramik, setiap tamu akan mengira yang mereka dengar adalah suara kucing. Wu Du membuka jendela dan melihat ke dalam untuk menemukan seorang gadis memainkan qin[i], dan seorang sarjana terpelajar tengah mendengarkannya.

Paviliun Karangan Bunga dulunya adalah rumah bordil terbesar di Xichuan, dan ketika Chen yang Agung memindahkan ibu kotanya, rumah bordil itu juga ikut pindah. Sekarang setelah serangkaian renovasi yang telah dilakukan, itu lebih mewah dari sebelumnya, dengan lebih dari dua puluh kamar pribadi di lantai dua. Duan Ling juga membuka salah satu jendela. Di dalamnya ada seorang pejabat gemuk, berulang kali dan dengan keras mencium seorang anak laki-laki di lengannya.

Duan Ling mau tidak mau menganggapnya menggelikan, dan Wu Du langsung melambai padanya untuk menyuruhnya tidak melihat lagi. Dia membuka jendela sendiri, menunjuk ke jendela lain untuk diperiksa Duan Ling.

Apa yang ada di balik setiap jendela tampak seperti dunianya sendiri, semua lapisan masyarakat berada di dalamnya. Duan Ling bersandar di dekat jendela dan wajahnya langsung memerah — ada seorang pria, yang cantik dan ramping, memeluk seorang pemuda lain, mengangkat salah satu kakinya, dan mereka bersanggama sambil menghadap cermin. Cermin menunjukkan refleksi sempurna dari tempat di mana tubuh mereka terhubung, dan seperti alu batu giok yang menggiling bunga untuk menghasilkan jus, cairan putih memercik ke mana-mana. Pemuda itu jelas sangat menikmati ini; kulit di dadanya sampai ke lehernya terlihat sangat merah, dan dia terdengar terengah-engah.

Duan Ling hampir berteriak kaget, dan dia dengan cepat merunduk di bawah ambang jendela. Dan di sini Wu Du benar-benar berpikir dia mungkin telah menemukan sesuatu dan datang untuk memeriksanya; hanya dengan satu pandangan, wajahnya yang tampan berubah menjadi merah padam dan dia buru-buru menutup jendela, meraih tangan Duan Ling, dan melarikan diri.

Kepala Duan Ling dipenuhi dengan gambaran itu, dan kakinya tersandung, dia hampir tergelincir dari ubin. Wu Du meraih pinggangnya, dan untuk sesaat mereka berdua sedikit malu.

“Hati-hati,” kata Wu Du.

“Um …” Duan Ling memberi dirinya waktu sejenak untuk menenangkan diri, dan ketika dia merasakan benda di celana Wu Du menyenggolnya, dia mundur sedikit, jantungnya berdetak kencang di dalam dadanya.

“Lewat sini.”

“Oh ya.” Wu Du membuka jendela lain dan memberi isyarat agar Duan Ling menunggu di luar.

Seseorang sedang berbaring di tempat tidur, dan Duan Ling mengenali bahwa itu adalah Mu Qing dengan satu pandangan. Siapa lagi yang akan tidur di dalam Paviliun Karangan Bunga pada jam segini? Dia melompat ke dalam setelah Wu Du, dan kemudian menarik selimutnya. Tidak mengherankan, mereka menemukan Khatanbaatar dan Mu Qing berbaring di sana berdampingan.

Mu Qing tidak terluka dan tidur nyenyak. Duan Ling bertanya-tanya apakah itu karena Amga khawatir Wu Du akan membalas dendam padanya, atau memang karena dia pria yang baik sejak awal, sehingga dia entah bagaimana tidak menyiksa Mu Qing.

“Apakah kita akan menyelamatkannya?” Karena mereka tidak menyakiti Mu Qing, Duan Ling memutuskan dia tidak ingin menyulitkan Khatanbaatar lagi.

“Bahkan jika aku ingin menyelamatkannya, aku tidak memiliki penawarnya. Aku sudah memberikannya kepada Zheng Yan.”

Duan Ling menoleh ke jendela dan bersiul untuk memberi isyarat bahwa mereka telah menemukan Mu Qing, memberi tahu Chang Liujun bahwa dia harus datang dan menjemputnya. Chang Liujun berada di kamar mereka dalam hitungan detik, dan ketika dia melihat Mu Qing terbaring diam di sana, dia merasa umurnya berkurang setengahnya karena ketakutan. Dia mencubit titik meridian di atas bibir Mu Qing dalam upaya untuk membangunkannya, dan membawa secangkir teh untuk dituangkan di antara bibirnya.

“Ayo lihat dulu. Ada apa dengannya?” kata Chang Liujun.

Duan Ling berkata, “Dia baik-baik saja — dia hanya pingsan, itu saja.”

Tak lama kemudian, Mu Qing bangun seperti yang mereka kira, dan setelah dia menghela napas dia berkata, “Eh? Chang Liujun?”

Mereka semua menatapnya, terdiam. “Wang Shan? Wu Du?” Mu Qing melihat sekelilingnya. “Di mana kita? Paviliun Karangan Bunga? Apa yang kalian lakukan di sini seawal ini?”

Duan Ling harus memberi pujian padanya; mereka berada dalam keadaan panik hampir sepanjang malam atas namanya, tapi sementara itu Mu Qing sendiri telah menghabiskan seluruh waktu untuk bermimpi.

Kemudian Chang Liujun meminta Wu Du untuk hati-hati memeriksa apakah Mu Qing telah diracuni atau tidak, dan akhirnya mengangkatnya meskipun dia protes karena membawanya pulang.

“Aku bisa berjalan sendiri!” Mu Qing berjuang. “Kenapa kita tidak membeli minuman di sebelah? Tunggu sebentar! Aku masih…”

Wu Du dan Duan Ling meletakkan tangan mereka ke dahi mereka. Chang Liujun sangat marah. “Kami takut setengah mati karenamu!! Dan kau masih berbicara tentang minum! Ayo pulang! Kita akan pulang dan sekaligus mendapat hukuman berdiri!”

“Gunakan pintunya kalau begitu! Kenapa kau melompat dari jendela?” Mu Qing dibawa di bawah lengan Chang Liujun seperti bola, kakinya menendang liar di udara saat dia berjuang.

Duan Ling tidak bisa berhenti tertawa. Dia meletakkan kembali selimut di atas Khatanbaatar dan meninggalkan ruangan bersama Wu Du; apakah Khatanbaatar akan hidup tergantung pada kemampuan Amga.

“Bagaimana hasil ujianmu?” Baru sekarang Wu Du ingin mengobrol santai dengan Duan Ling.

“Tidak masalah.” Duan Ling berkata kepadanya sambil tersenyum, “Tidak ada lagi beban di pundakku.”

Seluruh tahun sekolahnya akhirnya berakhir hari ini, dan jika dia berhasil mengikuti Ujian Istana, dia mungkin akan menjadi pejabat. Jika dia tidak berhasil mengikuti Ujian Istana maka dia hanya perlu mencari cara lain untuk mencari penghasilan.

“Kau menyuruhku berjanji satu hal padamu. Apa itu?” Wu Du bertanya.

Keduanya melangkah keluar dari ruangan menuju lorong yang terang, gemerlap dengan lentera yang bersinar; celoteh riang para wanita di Paviliun Karangan Bunga dan suara musik terdengar di sekitar mereka. Ada sedikit rona merah di pipi Duan Ling, dan mengingat apa yang ada di pikirannya pagi ini, dia tiba-tiba teringat adegan yang dia lihat sebelumnya di balik jendela yang terbuka itu — dan segera tersipu sampai ke tulang selangkanya.

“Tidak—tidak ada. Mari kita pulang.” Duan Ling baru saja akan berbalik, tapi Wu Du memegang tangannya dan menghentikannya.

“Ayo,” Wu Du tersenyum padanya. “Ayo kita minum.”

“Um …” Duan Ling menjilat bibirnya.

Wu Du bahkan belum mulai minum, tapi ada sedikit rona merah di pipinya juga. Dia berbalik untuk melihat pintu di dekatnya. “Seharusnya ada beberapa tempat yang tersisa.”

Di dalam hati Duan Ling, jantungnya berdebar, tapi Wu Du memberi isyarat bahwa dia harus berdiam di sini dan menunggu sementara dia turun untuk menemui penjaga rumah bordil untuk memesan kamar pribadi di lantai dua. Itu tidak bagus, kan? Apakah kita akan… Bagaimana Wu Du tahu apa yang aku pikirkan? 

“Tidak ada ruang tersisa di lantai dua!” Wu Du sudah berbicara dengan penjaga rumah bordil, dan sekarang dia berteriak dari bawah tangga. “Turun ke bawah.”

Duan Ling mengambil langkah cepat menuruni tangga dengan pipi tersipu, dan semua gadis yang menaiki tangga menoleh ke arahnya; salah satu dari mereka bahkan meraih lengan bajunya. Duan Ling mengangkat lengannya sekaligus untuk memblokir mereka, melarikan diri ke bawah dengan sangat malu.

Seorang germo1 datang dan membimbing Duan Ling dan Wu Du ke sebuah ruangan. “Apakah Anda ingin memiliki satu untuk masing-masing dari Anda, Tuan? Atau apa yang Anda inginkan?”

“Kami di sini untuk mendengarkan musik,” kata Wu Du. “Bawalah layar dan letakkan di depan kami. Kami di sini hanya untuk mendengarkan pemain pipa, tidak perlu mengatur hal lain — bawalah beberapa makanan ringan dan semacamnya, kami belum makan malam.”

Duan Ling memikirkan Viburnum di Shangjing, dan sepertinya begitulah yang dilakukan di sana. Jadi germo itu membersihkan dipan yang rendah untuk mereka dan membawakan sebuah layar, memesan makanan untuk menjadi pendamping anggur, dan dia juga tidak memanggil para gadis untuk minum bersama mereka. Duan Ling merasa ini jauh lebih nyaman.

Wu Du mengendus kendi anggur dan berkata kepada germo, “Ambilkan kami kendi yang bersih.”

“Anggur berharga satu tael perak per kendi,” jawab germo. “Tuan, Anda harus membayar di muka untuk kendi anggur baru.”

Wu Du menatap germo tanpa sepatah kata pun.

Duan Ling menarik lengan baju Wu Du; dia menganggap ini sangat lucu. Terintimidasi oleh penampilan Wu Du yang bisa membunuh, germo itu mengambil kendi dan pergi untuk mendapatkan kendi baru, namun dia mengeluh pelan dengan apa yang telah Wu Du lakukan.

“Aku mencoba bersikap baik,” cemooh Wu Du.

Duan Ling tetap diam.

Mereka duduk saling berhadapan satu sama lain; di luar, suara pipa secara perlahan melemah sampai berhenti. Seseorang berteriak “luar biasa” dan yang lain memberi hadiah pada pemainnya. Duan Ling menjulurkan kepalanya dari balik layar, bertanya-tanya seberapa cantik pemain itu. Ketika pemain pipa melihat wajah cantik Duan Ling, dia mengiriminya senyuman yang manis dan kedipan sebelum dia mengambil pipanya dan pergi.

Wu Du melihat dalam diam.

Duan Ling berkata, “Ini pertama kalinya aku duduk di aula utama Paviliun Karangan Bunga. Ini cukup menarik, sebenarnya.”

“Datanglah ke sisi ini. Jangan mengintip dari balik layar seperti itu.”

Duan Ling hanya bisa kembali ke sisi Wu Du, dan duduk bersamanya berdampingan. Segera, kendi anggur segar mereka tiba dan pelayan membawakan mereka beberapa piring berisi kentang goreng dan makanan ringan. Yang Duan Ling miliki hari ini hanyalah nasi dingin saat makan siang, dan dia belum makan sepanjang hari, setelah Wu Du menyuruhnya “makan” barulah dia mulai makan.

Wu Du sendiri tidak makan apa-apa, dan menunggu Duan Ling saat dia makan. Duan Ling bertanya-tanya apa yang terjadi dengan Zheng Yan dan Lang Junxia; mereka harus berdiri di tepi sungai di tengah malam diterpa oleh angin, dan ada juga orang Mongolia yang keracunan tengah tergeletak di lantai dua.

“Mengapa kau tidak makan?” Melihat Wu Du belum menyentuh makanannya, dia mengambil cangkirnya. “Ayo. Aku akan minum untukmu.”

Wu Du hampir tertawa terbahak-bahak; Duan Ling begitu fokus pada makannya, terlihat bahwa dia pasti kelaparan, dia mengambil cangkir anggurnya dan Wu Du juga mengambil miliknya sendiri, lalu Duan Ling hampir tidak meneguk anggur hangatnya sebelum dia makan lagi. Beberapa detik kemudian, ketika dia haus, dia membuka tutup kendi anggur dan mulai minum langsung darinya.

“Apakah kita perlu memeriksa Zheng Yan dan Wuluohou Mu?” Duan Ling akhirnya mengatakan ini setelah dia kenyang dengan makanan dan anggur.

“Biarkan saja mereka. Ingin minum lagi?”

“Tidak lagi.” Duan Ling menghela napas panjang. “Jika aku minum lagi, aku akan mabuk.”

“Jika kau mabuk, aku akan membawamu pulang dengan menggendongmu. Tidak apa-apa. Pada hari ulang tahunmu, aku sudah ingin mengajakmu keluar untuk minum — bagaimanapun kau sudah dewasa sekarang, dan kau sudah menjalani ujian, jadi tentu saja aku akan mengajakmu keluar ke suatu tempat yang menyenangkan.”

Sedikit mabuk karena minuman, Duan Ling bersandar ke lengan Wu Du.

Wu Du merasa sedikit gelisah, dan berbalik ke sisinya, dia mengangkat tangannya dan akhirnya melingkarkannya di sekitar Duan Ling.

“Hei,” kata Duan Ling kepada Wu Du, “Wu Du, ayo naik ke atas.”

“Ke atas?” Wu Du berhenti sejenak untuk berpikir, dan saat menyadari apa yang dikatakan Duan Ling, rona merah muncul di pipinya. “Ti- tidak ada… tidak ada lagi ruang di lantai atas. Kenapa kita tidak, uh, pulang?”

Duan Ling meraih lengan Wu Du dan menarik dirinya lebih dekat untuk bersandar di bahunya, dan pada saat berikutnya dia mengangkat wajahnya untuk menatapnya dengan tatapan mabuk di matanya. Bibirnya terbuka seolah akan mengatakan sesuatu.

Bayangan bergoyang ke sana kemari di luar layar, dengan cahaya yang menyinarinya berpendar menjadi banyak warna, memancarkan cahayanya ke mereka berdua. Pipa mulai dimainkan lagi, dan kali ini penyanyi menyanyikan Perpisahan di Yangguan, Tiga Kali Menahan Diri.2

Di Weicheng, hujan di pagi yang cerah membasahi bumi, dan dedaunan willow di dekat penginapan tampak semakin subur dan hijau…

“Tuan muda, silahkan lewat sini.”

“Sepertinya mereka datang jauh-jauh ke sini,” suara Cai Yan berkata, “Di mana anak dari keluarga Mu itu?”

“Dia seharusnya sudah tiba sekarang,” suara seorang pria menjawabnya. “Silakan duduk, tuan muda.”

Cai Yan dan terpelajar lain muncul di sekitar layar. Duan Ling mabuk, dan Wu Du juga sepenuhnya lengah. Pandangan mata bertemu dan Cai Yan berkata dengan terkejut, “Wu Du?”

Senyum Wu Du memudar; dia bahkan tidak ingat bahwa dia harus bangun dan menyapa Cai Yan secara formal. Tersenyum, Cai Yan duduk di dipan rendah lainnya dan berkata tanpa memedulikan sopan santun Wu Du, “Mu Qing memintaku untuk datang ke sini malam ini, mengatakan dia memiliki teman yang sangat baik yang ingin dia kenalkan padaku. Aku tidak pernah membayangkan bahwa itu akan…”

Cai Yan berhenti di sini, hanya untuk menyadari apa yang terjadi sekarang saat dia bertemu dengan mata Duan Ling.

“… Ini kamu,” gumam Cai Yan, wajahnya berubah pucat pasi dalam sekejap.

“Ini aku.” Duan Ling setengah sadar, duduk bersila, mengambil kendi anggur dan menuangkan secangkir. “Yang Mulia Pangeran, saya minum untuk Anda.”3

Cai Yan dan Duan Ling duduk saling berseberangan antara satu sama lain dengan tenang. Nada pendek yang cerah dari pipa diputar di luar layar, mengiringi pertunjukan tenang pemain pipa wanita. “Minumlah secangkir anggur yang baik sebelum perpisahan kita, Tuan, di barat Yangguan jarang bertemu teman lama…


KONTRIBUTOR

Keiyuki17

tunamayoo

yunda_7

memenia guard_

Footnotes

  1. Mucikari.
  2. Lagu itu sendiri hanya disebut “Yangguan Tiga Kali Menahan Diri”, tapi liriknya didasarkan pada puisi “Melihat putra kedua Yuan saat dia pergi ke luar negeri sebagai duta besar untuk Xiyu”. 
  3. Duan Ling diawal mengatakan ‘aku’ tanpa kesopanan setelah itu dia berganti mengatakan ‘saya’. Saya meminum untuk Anda bisa berarti minum untuk menghormati seseorang atau untuk bersulang dengan seseorang.

This Post Has One Comment

  1. Yuuta

    Pasti senyum lembut lang junxia mirip kyk pas awal2 dia masih sama duan..
    Wah ketemu mereka berdua

Leave a Reply