• Post category:Embers
  • Reading time:16 mins read

Penerjemah: Rusma
Proofreader: Keiyuki


Ponsel Sheng Renxing berdering dengan nomor tak dikenal.

“Pengiriman.” Dia memberi tahu Wei Huan dan menjawab panggilan telepon itu sambil berjalan keluar. Pikirannya masih memikirkan ulang seluruh situasi.

Mengetahui bahwa Xing Ye secara proaktif berencana berkolaborasi dengan Wei Huan membuatnya merasa tidak nyaman. Dengan temperamen Xing Ye, masuk akal baginya untuk mengatasi akar masalahnya setelah diancam. Dia tidak terlalu terkejut, tapi hal itu masih membuatnya gelisah.

Itu adalah kecemasan yang tidak dapat dijelaskan, seperti terlalu khawatir terhadap Xing Ye yang bekerja di bawah orang-orang itu.

Saat dia mencapai pintu dan kebisingan di luar berkurang, Sheng Renxing menjawab panggilan.

Tidak ada seorang pun yang berbicara di seberang sana.

Sheng Renxing melihat sekeliling ke pintu tapi tidak melihat kiriman apa pun.

Dia berkata “Halo”.

Sebuah suara berat menjawab, “Ini aku.”

Sheng Renxing membeku.

Sheng Yan: “Kupikir kamu tidak akan menjawab telepon.”

Kesal, nada suara Sheng Renxing dingin: “Aku secara tidak sengaja mengira kamu adalah pengantar makanan. Apakah ada sesuatu yang kamu butuhkan? Jika tidak, aku akan menutupnya.”

Sejak kembali dari Anzhou, mereka tidak berbicara satu sama lain.

Sheng Yan: “Apakah kamu akan pulang saat liburan musim dingin?”

Sheng Renxing: “Tidak. Aku tutup teleponnya.”

“Kamu tidak berada di Xuancheng sekarang?” Nada suara Sheng Yan tetap tidak berubah, meskipun pertanyaannya mengandung nada konfirmasi.

Sheng Renxing menahan amarahnya dan tidak menanyakan pertanyaan “Bagaimana kamu tahu?”, yang sudah jelas.

Dia menjawab dengan tawa yang dipaksakan: “Ya, aku di sini untuk menghadiri pernikahan teman baik ibuku. Kenapa, kamu datang juga? Apakah pengantin wanita mengirimimu undangan?”

Sheng Yan: “Sebenarnya, dia melakukannya, tapi aku sibuk dan tidak bisa datang. Karena kamu di sana, bisakah kamu mengirimkan hadiah atas namaku?”

“Jika kamu ingin mengirim hadiah, datanglah sendiri. Apakah aku pesuruhmu? Apakah kamu bahkan menawarkan untuk membayar layanannya?” Sheng Renxing tidak bisa menahan diri untuk tidak membalas.

Sheng Yan sudah terbiasa dengan caranya berbicara dan mengabaikan sindirannya: “Apakah kamu tidak kembali untuk liburan musim dingin? Perusahaan sedang membuka lowongan, dan aku berencana memberi kamu kesempatan untuk berlatih. Jika kamu tidak kembali, aku akan meminta Liu Heng mencobanya.”

Sheng Renxing mencibir: “Lakukan sesukamu. Bisnismulah yang akan merugi.”

Ada keheningan singkat di ujung sana: “Kamu benar-benar tidak peduli lagi dengan perusahaan ibumu?”

Setelah penyelidikan sebelumnya, Sheng Yan akhirnya mengungkapkan tujuan panggilannya.

“Sekarang kamu tahu itu perusahaan ibuku?!” Sheng Renxing telah mempersiapkan mentalnya untuk panggilan ini begitu dia membuat keputusan, tapi kata-kata Sheng Yan menghancurkan kedamaian mereka yang rapuh, menyebabkan emosinya meledak seketika.

“Apakah kamu tidak menganggapnya sebagai perusahaan ibuku ketika kamu bekerja sama dengan Liu saat itu? Ketika kamu memberikan saham kepada wanita itu, tidakkah kamu menyadari bahwa itu adalah saham yang ditinggalkan ibuku untukku? Beraninya kamu menyebut ibuku!” Pada akhirnya, kata-katanya menjadi gegabah.

Di ujung telepon, terdengar Sheng Yan menarik napas dalam-dalam, sepertinya mencoba mengendalikan emosinya: “Aku sudah berkali-kali memberitahumu bahwa segala sesuatunya tidak seperti yang kamu pikirkan. Berapa kali aku harus menjelaskan?”

“Tidak seperti yang kupikirkan?” Sheng Renxing menyela, “Bukankah kamu membicarakan pernikahan di pemakaman ibuku? Apakah aku yang salah dengar?”

“…”

“Apakah kamu pikir kamu punya alasan dan keluhan sehingga aku harus memahamimu?” Sheng Renxing mencibir, matanya memerah saat dia berusaha menjaga suaranya tetap stabil, “Tidak, aku tidak akan pernah memahamimu. Bahkan jika Liu itu tidak begitu berharga, kamu tidak jauh lebih baik. Jika aku harus mengukir batu nisan untukmu, aku akan pastikan untuk menyertakannya.”

“Jadi, apakah penjualan sahamku mengganggu rencanamu untuk menyatukan kedua keluarga? Apa menurutmu aku akan mundur hanya karena itu perusahaan ibuku? Tidak, aku akan lebih kejam lagi. Aku lebih suka melihat perusahaannya berakhir di tangan orang lain daripada kamu atau Liu yang mengambil alih.”

“Yang kamu jual bukan milikku, itu milikmu sendiri!” Emosi Sheng Yan jarang berfluktuasi, tapi kali ini terjadi, “Aku tidak meneleponmu untuk berdebat tentang siapa yang benar atau salah. Kamu bahkan tidak mengerti apa yang kamu lakukan sekarang. Xiao Xing, kamu melakukan semua ini karena kebencian terhadapku, dan kamu akan menyesalinya di kemudian hari.”

“Aku tahu persis apa yang aku lakukan!” Sheng Renxing berteriak tak terkendali.

Keduanya terdiam di kedua ujung telepon, mencoba untuk tenang.

Setelah beberapa saat, Sheng Renxing berkata dengan lebih tenang: “Apakah kamu belum mengerti?”

“Aku tidak ingin berhubungan lagi denganmu.” Nada suaranya sengau tapi tidak bisa menyembunyikan keteguhan dalam kata-katanya.

“Aku sudah menjual seluruh saham ibuku. Mulai sekarang, perusahaan ini tidak ada hubungannya dengan kita. Apakah tetap menggunakan nama Sheng atau Liu, itu urusanmu.”

“…”

“Kamu pikir aku implusif, nyatanya tidak. Aku sudah memikirkannya sejak lama, sejak kamu setuju untuk menikah dengan Liu.” Sheng Renxing bersandar di dinding, menggenggam ponselnya begitu erat hingga jari-jarinya memutih. “Aku tidak datang ke Xuancheng karena pernikahanmu dengannya; aku sudah mengetahuinya sejak lama.”

Sheng Renxing menyeka matanya dengan satu tangan dan menutupi wajahnya dengan tangan itu: “Aku tidak pernah menyukai apa pun yang aku lakukan sejak aku masih kecil – piano, matematika – aku hanya tidak ingin kamu mengabaikanku.”

Sebelum ibunya meninggal, Sheng Yan adalah seorang ayah yang “tak terkalahkan”, tanpa kekurangan apa pun. Karena Sheng Renxing dapat memahaminya, dia secara sadar meniru ucapan dan perilakunya, melihat Sheng Yan sebagai “seorang dewasa yang ideal”.

“Kamu selalu menjadi panutanku.”

Bahkan setelah hubungan mereka mencapai titik beku, di balik semua kebencian, pemberontakan, dan penghinaan Sheng Renxing, motivasinya masih datang dari ekspektasi Sheng Yan.

Dia membenci Sheng Yan tapi tidak bisa tidak mengaguminya.

“Tapi aku tidak ingin hidup seperti itu lagi. Aku tidak ingin hidup di bawah bayang-bayangmu.”

Sheng Renxing menatap kegelapan di hadapannya, membayangkan Xing Ye diam-diam mengawasinya dari samping.

Dia berkata: “Kamu tidak lagi memiliki pengaruh apa pun terhadapku.”

Setelah bertemu Xing Ye di Xuancheng, dia melihat dunia yang sama sekali berbeda dari dunianya.

Di dunia ini, dia perlahan menemukan dirinya sendiri.

Pada malam hari, Sheng Renxing terbaring di tempat tidur, gelisah dan tidak bisa tidur.

Dia mengirim pesan ke Xing Ye: [Kamu tidur?]

Saat dia mengirimkannya, dia melirik jam – pukul 02.00 pagi. Dia berpikir Xing Ye pasti sudah tertidur.

Setelah menunggu sekitar lima menit, ponselnya tiba-tiba bergetar: [Ada apa?]

Sheng Renxing: [?]

Xing Ye: [?]

Sheng Renxing dengan cepat menelepon: “Kukira kamu sudah tidur.”

Xing Ye: “Lalu kenapa kamu bertanya apakah aku sudah tidur?”

“Apa aku tidak bisa?” Sheng Renxing berbalik di tempat tidur, berbaring tengkurap saat dia berbicara dengan Xing Ye.

Saat dia berbalik, dia melirik ke luar jendela dan tiba-tiba melihat sesuatu yang tidak biasa. Sheng Renxing tertegun sejenak, lalu membuka selimutnya dan berjalan ke jendela setinggi langit-langit, menarik tirai yang tertutup sebagian.

Cahaya dari ruangan mengalir ke luar, dan dia melihat seberkas cahaya putih melayang di depan matanya.

“Sedang turun salju!” Sheng Renxing membuka jendela dan mengulurkan tangan untuk menangkap kepingan salju. “Apakah di Xuancheng turun salju?”

“Tidak,” kata Xing Ye, “Saat ini mendung.”

“Aku akan menunjukkan saljunya kepadamu,” kata Sheng Renxing sambil menekan tombol panggilan video.

Yang mengejutkannya, panggilan itu langsung terputus.

Setelah beberapa saat, Xing Ye menelepon balik: “Ini bukan saat yang tepat untuk melakukan panggilan video.”

“?” Sheng Renxing bersandar di jendela. “Apa kamu di luar?”

Xing Ye: “Ya.”

Sheng Renxing: “Apa yang terjadi?”

Xing Ye terdiam sejenak: “Suasana hatiku sedang tidak bagus.”

“Oh,” Sheng Renxing menjulurkan tubuh bagian atasnya untuk melihat salju yang turun di bawah, serpihan salju yang dingin menyentuh wajahnya. “Suasana hatiku juga sedang buruk. Kenapa kamu harus berbagi ini denganku?”

“Salahku,” kata Xing Ye, “aku tidak mengatur janji denganmu terlebih dahulu.”

Sheng Renxing tertawa sejenak: “Jika ada yang sedang kamu lakukan, tutup saja teleponnya.”

“Tidak apa-apa,” kata Xing Ye, “Aku sedang duduk di Taman Aofeng.”

“Apa yang kamu lakukan di sana?”

“Aku memikirkanmu,” kata Xing Ye, “dan kemudian kamu meneleponku.”

Sheng Renxing terkekeh: “Apakah aku punya kemampuan cenayang atau semacamnya?”

“Ya, luar biasa.”

Di kedua ujung telepon, mereka tetap diam, mendengarkan napas satu sama lain dalam keheningan yang damai.

“Kapan kamu akan kembali?” Sheng Renxing bertanya.

“Aku akan tinggal sedikit lebih lama,” kata Xing Ye, suaranya sedikit sengau karena udara dingin. “Aku tidak ingin kembali.”

“Jangan sampai masuk angin,” kata Sheng Renxing. “Kenapa, ibumu ada di rumah?”

Xing Ye berkata: “Aku ingin pergi ke Nanjing.”

“…”

Percakapan menjadi sunyi di kedua sisi.

“Kalau begitu, kemarilah,” kata Sheng Renxing. “Tempat-tempat yang dikunjungi Wei Huan baru-baru ini cukup bagus. Jika kamu datang, aku akan mengajakmu berkeliling.”

Suara klik korek api terdengar di ujung telepon.

“Dalam beberapa hari,” kata Xing Ye, “ini hampir berakhir.”

Pada malam hari ketiga setelah pernyataan Xing Ye, Wei Huan mengetuk pintunya dan mengatakan kepadanya: “Selesai, ini sudah berakhir.”

“Baiklah, kita akan kembali ke Xuancheng besok pagi,” Wei Huan tampak ceria, “Apakah kamu ingin membeli sesuatu untuk dibawa pulang? Aku bisa mengajakmu berbelanja malam ini.”

“Tidak ada yang aku butuhkan,” kata Sheng Renxing tertegun.

“Ada apa? Kupikir kamu akan bahagia,” Wei Huan memeriksanya. “Tidak ingin kembali ke Xuancheng?”

“Tunggu sebentar,” kata Sheng Renxing sambil melontarkan komentar dari balik bahunya dan berjalan ke tempat tidurnya untuk mengambil ponselnya, lalu menghubungi Xing Ye.

Wei Huan mengikutinya masuk: “Jika kamu tidak ingin kembali, kita bisa menghabiskan beberapa hari lagi di Nanjing.” Dia menarik kursi dan duduk, seolah-olah sedang berada di rumahnya sendiri, “ajaklah juga pacarmu untuk bergabung. Setelah ini, itu bukan urusannya.”

Sheng Renxing duduk di tempat tidur, mendengarkan bunyi bip telepon: “Bukan urusannya setelah itu?”

“Ya,” kata Wei Huan, meregangkan kakinya, dan terdengar suara nyaring dari sepatunya yang beradu dengan lantai, sambil menyilangkan tangan, “Dia sudah selesai.”

“Kamu pasti mendapat banyak manfaat, bukan?” Sheng Renxing memandangnya dari atas ke bawah dengan penuh semangat, “Semuanya berkilau dan halus.”

“Penuh dengan angin musim semi,” Wei Huan tersenyum dengan sedikit ketegasan, “Apakah nilai ujian akhirmu sudah keluar? Aku yakin kali ini nilainya tidak terlalu bagus.”

Sheng Renxing tiba-tiba merasa tidak nyaman mengingat penampilannya di ujian akhir, dan dia memaksakan senyum menghina, tidak melanjutkan pembicaraan.

“Hmm?” Dia mendekatkan ponselnya ke wajahnya, menekan layar.

Wei Huan bertanya: “Ada apa?”

Sheng Renxing menatapnya, tanpa sadar mengerutkan kening, matanya menunjukkan kebingungan: “Xing Ye tidak menjawab.”

Ekspresi Wei Huan tetap tidak berubah: “Coba telepon lagi. Mungkin dia sedang berbicara dengan A-Kun dan tidak mendengar panggilannya.”

“…”

Sheng Renxing mencoba menelepon lagi, tapi tetap tidak ada jawaban.

“Aku akan menelepon A-Kun dan bertanya,” kata Wei Huan sambil mengetuk layar ponselnya.

“Hei, apa kamu sedang tidur?” Wei Huan bertanya sambil mengaktifkan ponsel dalam mode speaker.

Di seberang sana, suara kesal A-Kun terdengar: “Ya, sial, aku kelelahan beberapa hari terakhir ini. Akhirnya selesai dan jika aku tidak tidur sekarang, aku akan mati karena kelelahan! Apapun itu, tunggu sampai aku bangun. Jika tidak, cepatlah atau aku akan segera tertidur.”

“Di mana Xing Ye?” Wei Huan bertanya, “Bukankah dia bersamamu?”

“Mana aku tahu,” A-Kun menguap. “Anak itu tidak peduli dengan kami. Begitu selesai, dia langsung menghilang. Ah, bagus juga dia pergi, sekarang melihatnya saja membuatku merasa tidak nyaman. Anak itu terlalu licik dan kejam, aku takut dia berbalik dan menikamku lagi, hahaha. Kamu sedang mencarinya? Kalau begitu aku… “

Di ujung telepon, Wei Huan dan Sheng Renxing bertukar pandang. Wajah Sheng Renxing menjadi gelap, dan dia menekan tombol panggil lagi.

“Apa kamu yakin semuanya sudah berakhir?” Wei Huan menyela.

“Tentu saja,” kata A-Kun, “Aku hendak menyelesaikan semuanya dan bersikap sopan, agar orang lain tidak berpikir bahwa kami terlalu arogan. Lalu bocah Xing Ye itu, begitu kejam, menghalangi kedua belah pihak. Sangat mengerikan untuk memikirkannya, sungguh menyedihkan.”

Wei Huan terkekeh: “Mengapa tidak menunjukkan sedikit kebaikan?”

Sheng Renxing tiba-tiba berbicara tanpa suara, bertanya pada Wei Huan: “Bagaimana dengan Xing Guangming?”

Wei Huan sedikit mengernyit, tapi suaranya tetap stabil saat dia melanjutkan: “Xing Ye begitu kejam? Tidak menyangka itu akan terjadi. Bagaimana dengan ayahnya? Apakah dia tidak mengampuninya?”

“Xing Guangming?” Suara A-Kun terdengar tersendat, “Entahlah, sepertinya dia menghilang. Mungkin kabur.”

“Yah, aku, A-Kun, mengikuti aturan. Aku sudah bicara dengan Xing Ye, semua utang ayahnya kepadaku sudah dihapus. Mengenai bagaimana dia dan ayahnya menyelesaikan masalah mereka nanti, itu bukan urusanku lagi. Hei, memiliki ayah seperti itu, Xing Ye benar-benar tidak beruntung.”

Dalam insiden ini, Xing Ye tidak memperoleh apa pun dan A-Kun hanya menyelesaikan urusan ayahnya. Pada akhirnya, itu semua tentang pertukaran kepentingan.

Setelah mendapatkan jawabannya, Wei Huan menyampaikan beberapa komentar lagi sebelum mengakhiri panggilan.

“Xing Guangming juga hilang.” Kata Sheng Renxing sambil berdiri. “Aku akan kembali ke Xuancheng.”

“Jangan terburu-buru, aku akan kembali bersamamu,” kata Wei Huan.

Di jalan, Wei Huan mengemudi sementara Sheng Renxing duduk di kursi penumpang, terus menerus menghubungi Xing Ye.

Di lampu lalu lintas, Wei Huan memberinya air, “Jangan terlalu khawatir. Mungkin dia lupa ponselnya atau sedang mabuk.”

Sheng Renxing menyesapnya dan menjawab: “Aku tidak khawatir. Aku hanya merasa bahwa masalah lain belum selesai.”

“Orang-orang itu sudah tidak ada lagi di Xuancheng. Xing Ye akan baik-baik saja,” kata Wei Huan. “Mungkin suasana hatinya sedang buruk dan ingin sendiri.”

“Xing Guangming juga hilang,” kata Sheng Renxing.

“Apakah mereka sedang berbicara dari hati ke hati?” Wei Huan memiringkan kepalanya, menebak-nebak.

Sheng Renxing terdiam beberapa saat sebelum berkata, “Dia memberitahuku beberapa hari yang lalu bahwa masalahnya hampir selesai.”

“Mm-hmm,” jawab Wei Huan sambil melihat ke depan saat dia mengemudi. Akhir-akhir ini turun salju di Nanjing, membuat jalanan menjadi cukup sulit.

Sheng Renxing melanjutkan: “Dan dia bilang dia banyak bermimpi akhir-akhir ini.”

“Apakah kamu ingat mimpi yang kuceritakan padamu sebelum aku pergi?” tanya Xing Ye.

“Malam sebelum kamu pergi, yang kamu ceritakan padaku?”

“Ya,” Xing Ye membenarkan.

“Aku mengalami mimpi itu lagi.”

“Tapi berbeda dari sebelumnya; kamu selalu muncul di akhir mimpi.”

Sheng Renxing tertawa: “Lalu, apakah aku membantumu membuang mayatnya?”

“Tidak,” kata Xing Ye, “Ini berbeda dari yang sebelumnya, kamu muncul di akhir mimpi.”

“Oh,” kata Sheng Renxing, “Kamu merindukanku?”

“Ya, aku merindukanmu,” jawab Xing Ye.

“Apakah mimpinya ada hubungannya dengan Xing Guangming?” Wei Huan bertanya.

Sheng Renxing memandangi salju di luar: “Dia bermimpi membunuh Xing Guangming.”

Tiba-tiba, panggilan telepon tersambung.

Sheng Renxing tertegun sejenak. Di ujung telepon, tidak ada yang berbicara.

Sheng Renxing berbicara lebih dulu: “Kamu dimana?”

“Jalan Yanjiang,” kata Xing Ye, “Di tempatku.”

“Apa kamu sendirian?”

“Mm.”

“Aku akan datang menemuimu.”


KONTRIBUTOR

Rusma

Meowzai

Keiyuki17

tunamayoo

Leave a Reply