“Jika kau dilahirkan karena tujuh emosi dan enam nafsu, maka kau ditakdirkan untuk binasa demi tujuh emosi dan enam nafsu juga.”
Penerjemah : Keiyuki17
Editor : _yunda
Perhatian!1 Sebelum membaca chapter ini, aku (Nia atau yunda) mau bilang kalau terjemahan Tianbao berbahasa Indonesia, menggunakan sumber Bahasa Inggris dari chickengege sekaligus menggunakan raw chinanya. Oleh sebab itu, terjemahan kami akan berbeda dengan yang hanya copas google translate. Terimakasih.
Kepala Hongjun berputar, hingga dirinya merasa pusing dan seperti akan muntah. Dia menggelengkan kepalanya dengan kuat, sementara di satu sisi, Li Jinglong mendorong dirinya ke atas, dengan basah kuyup, memanggil, “Hongjun! Hongjun!”
Kepala Hongjun sangat sakit hingga rasanya seperti terbelah, dia melihat gu nao itu mengejar Li Bai ke segala arah, memanggil hampir semua anggur di kolam dan menghempaskannya ke Li Bai. Li Bai, bagaimanapun, tampaknya dipenuhi dengan kekuatan ilahi, dan dia berlari di sepanjang dinding gua.
Tingkat anggur yang dikumpulkan di kolam sudah turun secara signifikan, dan kun besar itu sekarang terdampar. Pisau lempar di tubuhnya masih mengirimkan kejutan berlanjut, dan anggur terus mengalir tanpa henti dari mulutnya, menggenang di dasar kolam yang kosong.
Matanya sedikit terbuka, dan berkedip, sebelum akhirnya dengan tiba-tiba melebarkan matanya.
“Li Jinglong, angkat pedangmu,” suara kun besar bergema di benak Li Jinglong. “Tancapkan pedangmu ke aliran energi vena bumi”
Li Jinglong: “…”
Dengan susah payah, Li Jinglong berjuang untuk berdiri. Hongjun bertanya dengan muram, “Siapa?”
“Hongjun, berbalik dan mulailah merangkak, dan saat kepalamu terbentur, panggil Cahaya Suci Lima Warna.”
Pada saat ini, Hongjun begitu mabuk hingga dia benar-benar tidak sadar, dan secara naluriah melakukan apa yang diperintahkan. Dia berbalik dan mulai merangkak perlahan, dan tidak lama kemudian, kepalanya terbentur, tampaknya dia telah sampai ke dinding gua, dan saat kepalanya berputar karena pusing, dia memanggil Cahaya Suci Lima Warna-nya.
“Saat aku mengatakan ‘bangun’,” dewa kun berkata dengan serius, kilat petir menyambar dari matanya, “Li Jinglong akan menancapkan pedangnya. Saat aku mengatakan ‘tarik’, Hongjun akan memberinya tamparan.”
“Memberi tamparan pada siapa?” Tanya Hongjun dengan mabuk.
“Li Bai, berbalik!” teriak dewa kun. “Tebas dengan pedangmu!”
Li Bai saat ini sedang berlari dengan gu nao mengejar dibelakangnya. Saat dia mendengar teriakan yang menghantam seperti pukulan yang didaratkan di kepalanya, dia langsung tercengang; dia tidak tahu siapa yang berbicara. Tapi saat gu nao menyadari bahwa kun besar telah terbangun, ia segera menoleh, dan ekspresi ngeri muncul di matanya.
Saat itu, Li Bai secara refleks berbalik di udara, berteriak, “Ini glaive!”
Dengan keraguan sesaat, gu nao mengabaikan Li Bai saat ia memanggil semua anggur yang sudah meninggalkan kolam, mencoba mengirimkannya kembali ke posisi semula. Namun, terlambat, Li Bai sudah lebih dulu menebasnya dengan kuat dari belakang, dan glaive itu mengeluarkan lengkungan bercahaya, seolah-olah tengah menelusuri garis bulan purnama di udara —
Seketika, gu nao itu terbelah menjadi dua, dan saat meraung kesakitan, ia berubah menjadi sekumpulan serangga terbang yang bertebaran. Dewa kun kemudian berteriak, “Bangkit!”
Li Jinglong dengan kejam menusukkan pedangnya ke dinding gua, dan Pedang Kebijaksanaan dengan kecepatan tinggi mulai menyerap energi dari vena bumi dengan liar. Li Jinglong yang memegang pedang, mulai bersinar dengan cahaya yang cemerlang. Cahaya Hati melindungi meridian jantungnya, sementara seluruh tubuhnya bersinar dengan cahaya biru terang, seolah-olah dia adalah orang yang terbuat dari cahaya itu.
“Ledakan!” dewa kun meraung. Ia membuka mulutnya saat matanya menembakkan kilat, yang terhubung ke seluruh aliran energi dari vena bumi di dinding gua.
Dalam sekejap mata, di antara teriakan kesakitan Li Jinglong, berton-ton api biru yang tak terhitung jumlahnya menyembur keluar dari tangannya, menjangkau dengan api yang melingkar ke arah gu nao di udara. Gu nao melihat sekeliling dengan liar untuk melarikan diri, dan ribuan serangga gu bergegas menuju dewa kun, namun tembakan kilat petir dari mata dewa kun sudah terhubung dengan kekuatan vena bumi seperti jaring laba-laba. Kedua energi terjalin menjadi jaring petir, mulai mengumpulkan serangga gu dan meledakkannya di udara!
Gu nao itu tidak memiliki tempat untuk melarikan diri, dan ia hanya bisa bergegas menuju ke sudut. Dewa kun mengeluarkan raungan lain. “Hongjun! Mundur!”
Saat Hongjun, yang sudah sangat mabuk hingga kepalanya terus menunduk, mendengar namanya dipanggil, dia langsung tersadar dengan kaget. Dia memanggil Cahaya Suci Lima Warna di tangannya, mengirimkan tamparan ke depan, yang kebetulan bertemu dengan kawanan gu yang menuju ke arahnya. Tepat setelah itu, dia sepertinya merasa seolah-olah tengah menahan sesuatu di tanah.
“Jangan lepaskan! Bakar!”
Itu adalah raungan lain dari dewa kun. Li Jinglong memegang Pedang Kebijaksanaan di satu tangan, menekan tangannya yang lain ke tanah, dan mengirimkan energi nyala api yang mengalir ke arahnya seperti air pasang. Hongjun menahan satu serangga gu, sementara serangga gu lainnya yang tak terhitung jumlahnya berputar-putar di sekitarnya dengan liar. Begitu nyala api vena bumi Li Jinglong datang, itu menyapu seperti badai dan membakar semua serangga gu itu menjadi abu. Dengan ledakan, tanah mulai bergetar.
Kilat petir dari mata dewa kun menghilang, dan Li Jinglong menarik Pedang Kebijaksanaan dengan susah payah. Seluruh tubuhnya menanggung begitu banyak rasa sakit hingga membuatnya merasa lemah, namun dia masih berjalan menuju ke arah Hongjun, menggunakan pedangnya sebagai penopang. Hongjun tersungkur di lantai, mabuk, tapi dia masih memiliki Cahaya Suci Lima Warna di tangannya, menggunakannya untuk menahan dirinya.
“Sudah tidak lagi berbahaya,” kata dewa kun perlahan. “Tanpa kekuatan anak-anak gu, ibu gu saja tidak bisa menyebabkan banyak masalah. Itu hanya perlu disegel dengan mantra.”
Seekor kumbang hitam pekat merangkak keluar dari celah di antara jari-jari Hongjun. Li Jinglong mengeluarkan kotak kayu yang pernah diberikan Qiu Yongsi padanya, menangkap kumbang itu, dan memasukkannya ke dalam kotak.
“Hongjun, bangun.” Li Jinglong meletakkan kotak itu dan menarik Hongjun ke dalam pelukannya.
Hongjun perlahan sadar. Li Jinglong kemudian berbalik menghadap ke dewa kun. Sekitar mereka bergetar tanpa henti, dan gua itu perlahan mulai runtuh.
“Kita harus keluar dari sini secepat mungkin,” kata Li Jinglong. “Hongjun! Mantra pemindahan.”
“Naik ke punggungku,” kata dewa kun dengan serius. “Pisau lempar itu akan berguna di tempat lain.”
Li Jinglong: “Dewa Kun, kau…”
“Kita akan bicara begitu kita keluar!” kata dewa kun. “Cepat sekarang!”
Li Bai adalah orang pertama yang naik ke punggung dewa kun, berkata, “Jadi, kau adalah ‘ikan pemilik laut utara, yang namanya’2 Referensi ke entri pada “kun” di Shanhaijing.… WAH, SELAMATKAN AKU–!”
Begitu Li Jinglong menggendong Hongjun, mereka naik ke atas dewa kun, ia segera bergegas, menghantam atap gua, menyebabkannya runtuh seketika. Li Jinglong dan Li Bai berteriak keras secara bersamaan saat bergegas keluar dari gua bawah tanah. Melewati sungai bawah tanah, bahkan saat air mengalir deras seperti lautan yang marah! Mereka bertiga basah kuyup oleh air dingin itu dan segera tersadar, Hongjun bertanya-tanya, “Apa yang kita lakukan?”
Hongjun mabuk, dan ingatan terakhirnya adalah bahwa dia dan Li Jinglong telah memasuki tempat yang aneh.
Tepat setelah dia menanyakan itu, dewa kun menabrakkan kepalanya ke depan, tubuhnya menyusut pada saat yang bersamaan, secara eksplosif keluar dari lapisan tambang paling bawah, kembali ke dasar gua tempat array darah berada. Pada saat yang sama, ia mengambil wujud manusia.
Ada teriakan keras, dan angin puyuh yang muncul entah dari mana. Dewa kun, Li Bai, Li Jinglong, dan Hongjun, semuanya tersapu ke berbagai sudut gua.
“Aku salah perhitungan,” suara Wan Jue berkata dengan dingin. “Aku tidak pernah berpikir bahwa rencanaku akan menemui akhirnya di tanganmu.”
Yuan Kun tertawa dingin, menjawab dengan suara pelan, “Jika kau dilahirkan karena tujuh emosi dan enam nafsu, maka kau ditakdirkan untuk binasa demi tujuh emosi dan enam nafsu juga.”
Wan Jue berkata dengan dingin, “Lalu kenapa kau tidak mencobanya?”
Hongjun menopang dirinya untuk berdiri, melihat ke arah Wan Jue yang tengah berdiri di atas batu besar, lingkaran emas melingkari lengannya, yang memancarkan qi hitam dalam jumlah tak terbatas!
“Objek busuk!” Suara Yuan Kun semakin dalam dan serak. Namun, objek milik Wan Jue itu mengeluarkan kabut tebal, yang dengan cepat menyelimuti mereka semua.
Hongjun terus terengah-engah, dan dia melirik, melihat Li Jinglong muncul dari kabut. Seluruh tubuhnya terasa seperti terbakar.
“Hongjun! Panggil kembali pisau lemparmu!” Suara Li Jinglong, bagaimanapun, datang dari sisinya. Hongjun tiba-tiba melebarkan matanya, dan dengan jari-jarinya yang melengkung, pisau lempar terakhir yang disematkan ke dinding gua mengendur dengan sendirinya, terbang ke arah Li Jinglong yang sudah tersihir oleh Wan Jue. Tanpa suara, pisau lempar itu tersemat menusuk tengkuknya!
Wan Jue segera berubah menjadi gu nao seputih salju, yang mengeluarkan teriakan liar, menyebar menjadi serangga gu yang tak terhitung jumlahnya, dan meninggalkan Hongjun. Pada saat yang sama, kabut tebal segera mundur menjauh. Di depan Li Bai, Xiang Yu gemetar, berbalik menghadap kabut tebal itu.
Dan di depan Li Jinglong, sosok telanjang Hongjun lainnya menghilang. Dia meraih Pedang Kebijaksanaan dan maju ke depan. Tanpa perlu bagi dewa kun untuk memberitahunya, dia menarik Pedang Kebijaksanaan, menebas langsung ke gerombolan serangga itu. Kekuatan Cahaya Hati berkumpul menjadi api putih, yang membakar semua serangga itu.
“Dapatkan ibu gu biru itu!” Yuan Kun berteriak, sebelum petir keluar dari tangannya saat dia mulai menyerang serangga gu. Hongjun menyatukan empat pisau lemparnya menjadi sebuah glaive dan mengirim satu tebasan ke arahnya.
Saat cahaya memudar, ibu gu segera meledak di udara, retak layaknya sepotong ambar. Serangga gu yang terbang di langit semuanya meledak, berubah menjadi kabut tebal yang kemudian menghilang.
“Hahh… hahh…” Hongjun terengah-engah, dan mulai mencium aroma yang manis. Seluruh tubuhnya mulai bergetar tak terkendali.
“Kau seharusnya tidak membunuhnya,” kata Yuan Kun dingin. “Sekarang kau justru memperlambat kita, ah lupakan saja.”
Xiang Yu bergegas masuk dengan cepat, berlutut dengan satu lutut di tanah, berkata, “Saya memohon kepada dewa kun untuk menyelamatkan nyawa saudara perempuan saya!”
Yuan Kun hanya mengeluarkan hmm dingin, mengatakan “Melepaskan lonceng berarti membutuhkan orang yang mengikatnya terlebih dulu.”3 Mereka yang menyebabkan masalah adalah orang-orang yang harus menyelesaikannya.
Saat senja, Li Jinglong yang terengah-engah, dengan satu tangannya melingkari Hongjun, masuk ke dalam Departemen Eksorsisme Luoyang dengan tersandung-sandung.
“Para dermawan yang terhormat!” Wen Bin buru-buru bangkit untuk membantu mendukung mereka, namun Li Jinglong mendorongnya ke samping dengan posesif.
“Apa yang salah?”
“Bukan urusanmu,” kata Li Jinglong. “Pergi, pergi…”
“Aku tidak tahan lagi,” erang Hongjun, dan dia mengulurkan tangan untuk menggaruk seluruh tubuhnya.
“Dia kenapa….”
Li Jinglong dan Hongjun menuju ke kamar mereka, dan dengan terburu-buru menutup pintunya. Lentera di dalam tidak dinyalakan dan mereka mulai merobek pakaian satu sama lain.
“Ahhh, sakit…. Pelan-pelan!”
“Aku harus mengolesimu terlebih dahulu….”
Setelah beberapa napas berat, ruangan itu akhirnya sunyi. Keduanya saling berpelukan erat, dengan getaran di sekujur tubuhnya, Li Jinglong menyemburkan cairan putihnya yang panas.
Wen Bin mencoba menjulurkan lehernya untuk mengintip, hanya untuk pada akhirnya dia melihat orang lain ada di sana, dengan matanya yang tertutup kain hitam, berjalan masuk dari luar halaman. Dia bertanya dengan rasa ingin tahu, “Apakah itu kau?”
Yuan Kun mengatakan en. Dia masuk ke aula dan duduk tanpa izin.
Wen Bin kebingungan, dan dia bertanya, “Siapa kau?”
Yuan Kun menjawab dengan dingin, “Diam, itu tidak ada hubungannya denganmu.”
Wen Bin: “…”
Tidak lama kemudian, orang lain tiba di luar halaman. Kali ini, ada beberapa pelayan, dan mereka mendorong dua gerobak ke halaman. Suara seorang wanita bertanya pelan, “Wen Bin?”
Wen Bin kaget, dan dia berteriak, “Xiang Yu!”
Xiang Yu menyuruh para pelayannya menurunkan bunga peony dari gerobak, memasukkannya ke dalam pot di halaman. Wen Bin berkata, “Dari mana kau mendapatkan begitu banyak bunga?”
Xiang Yu mengintip Yuan Kun yang duduk di aula untuk meminta izin, sebelum berkata pada Wen Bin, “Yang harus kau lakukan adalah merawat mereka. Ada beberapa pot di sana di mana akar peony telah terpotong, jadi pastikan bahwa kau menjaga mereka dengan baik, jangan biarkan mereka mati.”
“Baiklah,” Wen Bin terkekeh. “Merawat bunga adalah keahlianku.”
“Yang Mulia…” Xiang Yu bertanya pada Yuan Kun dengan gelisah, dirinya berhenti di luar aula.
“Tidak perlu memikirkan Li Bai lagi,” kata Yuan Kun. “Biarkan dia tinggal di Sepuluh Li Sungai Surgawi untuk saat ini.”
“Kalau begitu… dua lainnya.”
“Kau tidak akan bisa menyembuhkan racunnya,” kata Yuan Kun. “Racun yang dikeluarkan Wan Jue sebelum dia mati akan menunda mereka setidaknya selama tiga hari penuh, tapi setelah berlalu, mereka akan baik-baik saja.”
Xiang Yu mengangguk, berkata, “Aku akan pergi membuatkan makanan untuk semua orang.”
Yuan Kun hanya duduk diam di aula. Setelah Wen Bin selesai memindahkan pot bunga, dia menghitung ada seratus delapan pot. Dia kemudian pergi ke halaman belakang untuk membantu Xiang Yu, juga untuk menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Xiang Yu, bagaimanapun, hanya membuat beberapa lelucon untuk membuatnya tertawa, dan membuat pria ini merona malu sehingga dia tidak bertanya lebih jauh.
Ruangan di dalam kamar itu gelap gulita, Hongjun memeluk punggung Li Jinglong yang telanjang, membelainya naik turun, lalu melekatkan bagian bawahnya di sepanjang pinggang prianya yang kuat dan berbisik, “Jam berapa sekarang?”
“Kita baru melakukannya dua kali….” Li Jinglong menjawab dengan asal di kegelapan, “kau lapar?”
“Sedikit..”
“Kalau begitu aku akan memberimu lebih banyak?”
“…..”
Malam itu, Xiang Yu menyalakan lentera dan menata makanan, sebelum bertanya, “Mereka berdua…”
“Tidak perlu memikirkan mereka,” kata Yuan Kun tanpa ekspresi. “Kau hanya perlu menyiapkan bubur besok pagi dan membawakannya ke mereka.”
Xiang Yu tidak tahu apakah dia harus tertawa atau menangis.
Wen Bin bertanya dengan rasa ingin tahu, “Apakah mereka berdua…”
Xiang Yu menegurnya. “Makan makananmu, untuk apa kau menanyakan semua pertanyaan ini?”
Wen Bin diam-diam mengerti apa yang dia maksud.
Di tengah malam, Hongjun tertidur lelap.
Dalam mimpi itu, adegan yang tak terhitung jumlahnya muncul begitu cepat, sebelum dengan cepat pula menghilang begitu saja: ibunya menggendongnya saat dia masih kecil, bernyanyi pelan untuknya; ayahnya memegang tangannya, mengajarinya berjalan… Li Jinglong kecil dengan lengan tersampir di bahunya, mencari jangkrik yang sudah berganti kulit di bawah pohon parasol…
“Aku benar-benar iri padamu, kau sudah pergi ke banyak tempat,” kata Li Jinglong kecil.
“Tapi setiap kali kami pergi ke suatu tempat, Ayah dan Ibu tidak pernah membiarkanku untuk keluar,” jawab Hongjun kecil. “Ke mana pun aku pergi, satu-satunya yang kulihat adalah dinding.”
Li Jinglong kecil berkata, “Di masa depan ba. Suatu hari, saat aku sudah menjadi pemimpin, aku akan mengajakmu bermain, ke setiap tempat di bumi ini yang belum pernah kita kunjungi, dan aku akan membawamu untuk makan makanan enak.”
“Pertama-tama ke mana kita akan pergi?” tanya Hongjun kecil.
Dengan sangat serius, Li Jinglong kecil membiarkan Hongjun kecil untuk memilih terlebih dulu. Meskipun Hongjun kecil sudah pindah berkali-kali, dia tidak pernah mengetahui kemegahan dunia manusia, dan setelah dia memikirkannya, dia akhirnya berkata, “Aku pikir Chang’an cukup bagus.”
“Ayo pergi ke Luoyang!” kata Li Jinglong kecil. “Mereka semua mengatakan bahwa Luoyang adalah ibukota suci, itu adalah cerminan dari surga di bumi ini, dan ada juga Sepuluh Li dari Sungai Surgawi…”
“Kalau begitu ayo kita pergi ke Luoyang!” jawab Hongjun kecil.
Dalam mimpi itu, Hongjun sepertinya mengingat sesuatu. Untuk sesaat, dia seolah-olah berada di dalam mimpi, dan beberapa saat kemudian seolah berada di kenyataan, merasa sulit untuk membedakan antara keduanya.
Dia tidak pernah menyangka, bagaimanapun, bahwa saat Li Jinglong menepati janjinya, Sepuluh Li dari Sungai Surgawi yang mereka datangi sangat berbeda dari yang mereka bayangkan saat mereka masih anak-anak.
Kekuatan Hongjun tak tersisa, dan racun yang dikeluarkan Wan Jue saat meledak perlahan-lahan mulai melemah. Namun, saat dia sedang tidur, dia tidak bisa menahan diri untuk bergeser dengan gelisah, yang mana langsung membangunkan Li Jinglong, di mana penis besarnya masih tertanam dalam di lubangnya. Karena gerakan itu, mereka berdua mulai berbicara, sebelum akhirnya melakukannya lagi dan lagi.
Keesokan paginya, Li Jinglong mengenakan jubah mandi, dengan bagian dadanya yang terbuka saat dia berjalan keluar. Setelah melihat ada sarapan yang diletakkan di luar kamar, dia membawanya masuk dan memakannya bersama Hongjun, sebelum kemudian menghabiskan sisa hari itu dengan pintu kamar mereka tertutup rapat sekali lagi.
Saat malam tiba, Li Jinglong keluar membawa Hongjun. Dia memompa pompa air di halaman belakang dan membasuhnya, sebelum membawanya kembali ke kamar.
Baru pada pagi di hari ketiga, Hongjun akhirnya bersandar di tempat tidur dan rona merah di wajahnya hampir menghilang. Namun, kakinya masih bergetar lemah bahkan saat dirinya masih berada di tempat tidur.
“Aku tidak bisa melanjutkannya lagi, jika kita terus seperti ini, aku akan mati terlebih dulu sebelum kita mengeluarkan racunnya.”
“Sekarang sudah baik-baik saja,” kata Li Jinglong sambil tersenyum. “Apa itu benar-benar melelahkan?”
“Tentu saja.” Hongjun merasa seolah-olah mereka hampir tidak pernah berhenti, dan tubuhnya benar-benar kacau setelah mereka melakukannya beberapa kali. Li Jinglong membersihkannya untuknya, sebelum mereka mendengar suara Wen Bin dan Xiang Yu mengobrol di luar. Li Bai sepertinya sudah kembali. Li Jinglong mencium telinga Hongjun, membantunya mengenakan pakaiannya, dan membawanya keluar.
Di aula utama Departemen Eksorsisme Luoyang, Xiang Yu menyiapkan sarapan, dengan senyum riang tersungging di bibirnya. Li Jinglong masih sedikit malu, dan hanya bisa menelan beberapa teguk air.
Warna wajah Li Bai juga tidak terlihat terlalu baik, dan saat dia duduk, dia mengangguk ke arah mereka semua. Dia juga tidak minta untuk meminum anggur lagi, tapi justru bergabung dengan mereka untuk sarapan.
Hongjun sudah sangat lapar hingga hampir tidak tahan, saat Yuan Kun berkata, “Qing Xiong mengatakan bahwa kau ceroboh, dan ternyata dia memang benar. Jika kau tidak membunuh gu nao itu, maka beberapa hari terakhir ini tidak akan terbuang percuma.”
Li Jinglong menjawab, “Ada juga hal yang berguna dari sesuatu yang sudah hancur. Akan selalu ada faktor yang berubah dalam setiap hal; kita tidak tahu apakah perubahan ini akan baik atau buruk.”
Yuan Kun mengatakan tanpa sadar, dan setelah berpikir dalam-dalam sejenak, dia berkata, “Sekarang saat aku memikirkannya, memang begitu.”
Hongjun: “?”
Hongjun tidak bisa memahami mereka sekali lagi. Dia memiliki banyak pertanyaan dan ingin bertanya, namun Li Jinglong menghentikannya dengan satu tatapan, mengisyaratkan bahwa dia harus makan terlebih dulu, dan membicarakannya nanti.
Xiang Yu mengisi mangkuk Hongjun dengan bubur, menyerahkannya padanya dengan kedua tangan, berkata, “Terima kasih banyak kepada dermawan terhormat kami.”
Hongjun buru-buru melambaikan tangannya, mengatakan “itu tidak masalah”. Setidaknya saat ini, dia tidak benar-benar memahami lika-liku situasi, dan dia bertanya dengan rasa ingin tahu, “Apa kalian berdua sudah lama saling mengenal?”
Xiang Yu berkata pada Wen Bin, “Pergilah ke luar dan beli beberapa tofu yang difermentasi.”
Wen Bin dengan patuh melakukannya. Dia mengambil uang itu dengan senyum di wajahnya, dan pergi.
“Wen Bin dan aku sudah saling mengenal selama empat tahun,” kata Xiang Yu. “Dia adalah seorang tukang kebun di Paviliun Tujuh Li.”
Hanya dengan itulah Hongjun mengerti. Xiang Yu adalah salah satu yao bunga di Gunung Baima, dan lembah Gunung Baima dipenuhi dengan bunga peony.