Penerjemah: Keiyuki
Proofreader: Rusma
Rumah Duka Kota Linan menelepon Zheng Siqi keesokan harinya. Zheng Siqi sedang mempersiapkan slide PPT untuk kelas sore saat itu; topik utamanya adalah novela Life karya Lu Yao. Dalam panggilan tersebut, direktur Rumah Duka tersebut menyampaikan kata-katanya dengan singkat dan padat, menjelaskan masalah tersebut dengan cara yang sederhana namun jelas.
Kolumbarium1Kolumbarium adalah tempat peristirahatan abadi untuk abu jenazah yang dikremasi. Ini adalah ruangan atau bangunan yang memiliki ceruk atau relung-relung khusus untuk menempatkan guci yang berisi abu tersebut. tempat abu jenazah disimpan di Rumah Duka akan menjalani renovasi total pada bulan Mei tahun ini. Abu jenazah yang telah disimpan selama lebih dari lima tahun perlu dipindahkan ke tempat penyimpanan sementara. Abu jenazah istri Anda ada dalam daftar. Kami ingin meminta Anda untuk meluangkan waktu dan datang sesegera mungkin untuk menandatangani salinan dokumen yang diperlukan.
Setelah menutup telepon, Zheng Siqi melepas kacamatanya dan bersandar di kursinya. Dia memutar pena di tangannya beberapa kali, lalu menyipitkan matanya ke jadwal kecil di mejanya. Dari pukul 9.30 pagi hingga pukul dua belas siang, kebetulan dia tidak ada kelas. Dia bisa pergi saat itu.
Sudah lebih dari lima tahun berlalu.
Ketika Li Mihan meninggal, dia masih sangat muda dan itu dianggap sebagai kematian dini. Dia baru saja melahirkan Zheng Yu setahun sebelumnya ketika, dalam acara tamasya kelompok yang diselenggarakan oleh tempat kerjanya, sebuah kecelakaan terjadi. Tanpa tanda atau peringatan apa pun, dia meninggal, sehingga Zheng Siqi tidak punya waktu untuk bereaksi.
Zheng Siqi dan Li Mihan sebenarnya sudah saling mengenal melalui orang-orang di sekitar mereka yang berperan sebagai mak comblang dan mempertemukan mereka.
Paman dari pihak ibu Li Mihan dulunya berada di kelompok penelitian kecil yang sama dengan Zheng Hanweng dan mereka telah bekerja bersama di Museum Linan selama bertahun-tahun. Kedua keluarga saling memgenal dan ingin lebih dekat lagi. Kerabat mereka yang terlibat dalam hal ini mempertemukan mereka dan menyemangati mereka, mendorong mereka untuk berpikir tentang pernikahan setelah hanya beberapa bulan saling mengenal.
Hal itu mirip dengan banyak pernikahan biasa lainnya yang mengikuti alur kejadian yang biasa. Mereka masing-masing mengerjakan pekerjaan mereka sendiri, makan dan hidup bersama, dapat berinteraksi dengan harmonis dan membicarakan berbagai hal bersama dengan suara rendah dan temperamen yang tenang, dan dapat saling berpelukan dan bercinta. Namun, untuk berjalan-jalan santai atau pergi ke supermarket untuk membeli barang-barang saat masih mengenakan pakaian dan sandal rumah, dengan jari-jari saling bertautan, itu memang merupakan hal yang sulit bagi mereka.
Bukannya tidak ada cinta; sebaliknya, tidak ada cukup cinta.
Atau mungkin, itu hanya sesuatu yang mirip dengan cinta.
Ketika Li Mihan meninggal, Zheng Siqi menggendong Zheng Yu dan tampak kehilangan jiwanya, terombang-ambing dalam keadaan linglung tak berdaya selama tiga hari penuh. Kehidupan Li Mihan yang tiba-tiba terputus, keluarganya, hidupnya sendiri, keluarganya sendiri, dan juga—bayi yang digendongnya yang hanya seukuran lengannya—hidup Zheng Yu. Tanggung jawab yang seharusnya dipikulnya tiba-tiba memiliki beban seribu pon, membuatnya tidak yakin posisi apa yang harus diambilnya untuk menanggungnya.
Bagaimana cara melakukannya agar beban itu dapat ditanggung, sehingga tidak menyakitkan.
Seperti meraba batu untuk menyeberangi sungai, dia tersandung selama beberapa tahun. Ketika Zheng Yu masuk sekolah dasar, dia akhirnya bisa lebih tenang dan melalukan segala sesuatunya. Zheng Siqi tidak lagi menganggap remeh kencan dan pernikahan—salah satu alasannya adalah karena dia takut tidak dapat menemukan perasaan mencintai seseorang dalam pernikahan berikutnya, dan dia juga takut menyia-nyiakan hidup orang lain.
Keluarga Li Mihan memiliki pola pikir yang sangat tradisional. Ada sebuah pepatah dari zaman dahulu: Tidak boleh diadakan upacara pemakaman untuk kematian seorang yang masih muda, untuk kematian seorang istri sebelum suaminya, dan untuk kematian seseorang karena meninggal mendadak. Li Mihan memenuhi ketiga syarat tersebut dan orang tuanya bersikeras mengikuti aturan dan adat istiadat ini, menolak untuk mengubah cara-cara lama.
Terlebih lagi, Linan mengalami kekurangan tanah pemakaman yang parah dalam beberapa tahun terakhir dan harga setiap inci tanah hampir setara dengan emas. Banyak pemakaman umum di kota itu sudah penuh sesak. Menemukan pemakaman yang memiliki fengshui yang baik, berlokasi pada jarak yang sesuai dan juga tidak memiliki harga yang sangat tinggi sungguh merupakan hal yang sangat sulit.
Dua tahun yang lalu, Zheng Siyi mengusulkan kepada Zheng Siqi untuk menguburkan Li Mihan di kota tetangga tapi dia tidak setuju. Dia berpikir bahwa ketika Zheng Yu dewasa, terlepas dari apakah gadis itu tahu bahwa Li Mihan adalah ibunya atau tidak, dia ingin membiarkan seorang ibu tinggal di samping anaknya sendiri, sehingga anaknya dapat mengunjunginya dan berbicara dengannya kapan saja.
Bahkan jika kehidupan mereka tidak pernah bersinggungan, bahkan jika mereka secara praktis adalah orang asing, itu masih lebih baik daripada mengubur kepalanya di pasir dan secara paksa menghapus identitasnya yang tidak dapat diubah dari kehidupan Zheng Yu.
Linan telah menyambut kedatangan Yushui2Yushui (雨水) adalah salah satu dari 24 jieqi (节气) atau solar terms dalam kalender tradisional Tiongkok. Secara harfiah berarti “air hujan”., saat hujan mulai turun menurut kalender Tiongkok—dan saat itu memang sedang gerimis.
Zheng Siqi memarkir mobilnya di luar Rumah Duka. Saat turun, dia hampir menendang ember berisi bunga krisan kuning yang baru setengah mekar yang diletakkan di luar etalase toko dan buru-buru meminta maaf kepada bos yang sedang sibuk menutupi uang kertas dengan terpal plastik, melindunginya dari hujan.
Mungkin ada orang yang sedang mengadakan upacara peringatan di Mausoleum. Musik duka samar-samar terdengar, disertai suara rendah dan samar dari sekelompok orang yang menangis dalam kesedihan. Tiba-tiba, sebelum waktunya, hujan turun, yang mengingatkan pada Festival Qingming3Festival Qingming adalah festival Tiongkok untuk menghormati leluhur..
Kolumbarium berada di bagian atas Mausoleum, di sebelah area yang diperuntukkan untuk membakar uang kertas. Mungkin mereka takut tempat itu terbakar — mereka bahkan menggali kolam teratai yang agak besar di depan pintu, airnya jernih dengan ikan-ikan yang berenang di dalamnya. Tidak banyak orang yang berada di sana pada pagi hari. Aula utama kolumbarium itu tenang dan dingin, angin dingin bertiup dari ujung ke ujung.
Direktur yang mengawasi jalannya kolumbarium dengan sangat sopan menuangkan segelas air hangat untuk Zheng Siqi. Dia berbalik untuk mengambil setumpuk dokumen cetak dari sebuah amplop dan meletakkannya di atas meja di depan Zheng Siqi. Hanya perubahan lokasi yang sangat kecil, tapi kantor ingin mengatur masalah hingga ke detail terkecil, seperti mereka mempertimbangkan perasaan orang lain, tapi juga seperti mereka takut harus memikul tanggung jawab apa pun.
“Di sini? Aku hanya perlu menandatanganinya?” Zheng Siqi membacanya dengan saksama dan bertanya, sambil menunjuk bagian kosong di sudut.
Direktur itu tersenyum. “Ya, benar. Silakan tanda tangani namamu di kedua salinan. Kamu akan menyimpan satu salinan dan pusat kami akan menyimpan salinan lainnya.”
Zheng Siqi mengangguk. Dia menerima pena yang diberikan pria itu kepadanya dan dengan cekatan menandatangani namanya. Namun, ujung pena itu agak kasar dan tidak terlalu halus untuk digunakan. Ketika dia selesai menandatangani, dia meninggalkan lubang kecil di kertas.
“Maaf, aku merusak kertasnya.” Zheng Siqi tersenyum meminta maaf.
“Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Tuan, tulisan tanganmu sangat bagus. Apakahmu biasanya mengerjakan pekerjaan kantor?” Direktur itu mengambil formulir itu dan bertanya dengan rasa ingin tahu.
“Terima kasih.” Zheng Siqi menyesap airnya. “Aku seorang guru. Aku selalu perlu menulis, hal-hal seperti menulis di papan tulis atau membuat catatan.”
“Oh, begitu? Apakah kamu seorang guru sekolah menengah atas?”
“Tidak, seorang guru universitas,” Zheng Siqi melanjutkan menjawab.
“Wah, guru universitas! Boleh aku tanya dari universitas mana kamu berasal?”
“Universitas Linan.” Agar pria itu tidak bertanya lebih jauh, Zheng Siqi mengatakan semuanya sekaligus. “Aku mengajar Humaniora di kampus baru.”
Mendengar itu, tatapan Direktur menunjukkan rasa hormat dan kekaguman yang tak tersamarkan. Dipandang seperti itu, Zheng Siqi sejenak ingin tertawa tapi juga merasa cukup tidak berdaya.
Di masa sekarang, ada cukup banyak orang tua yang masih memiliki rasa hormat dan pemujaan terhadap guru dan dokter, tidak seperti yang mereka miliki terhadap kebanyakan orang lain.
Itu memang sesuatu yang baik tapi terlalu banyak hal yang baik juga akan buruk. Zheng Siqi selalu merasa bahwa tidak peduli apa pun pekerjaan seseorang dan apa pun kedudukan mereka di masyarakat, pada akhirnya semuanya sama saja. Apakah seseorang itu bangsawan atau rendahan, pada akhirnya, perlu untuk melihat melalui penampilan luar mereka dan melihat ke dalam esensi batin mereka, bukan identitas mereka yang menentukan superioritas atau inferioritas mereka.
“Ngomong-ngomong, Tuan Zheng.”
Sebelum Zheng Siqi mengucapkan terima kasih dan pergi, Direktur itu memanggilnya untuk menghentikannya.
“Apakah ada hal lain?”
Direktur itu mengerutkan alisnya. “Begini. Rumah Duka kami telah berkembang dalam beberapa tahun terakhir. Awalnya, kami hanya memiliki 50.000 unit penyimpanan; sekarang, kami telah meningkatkan jumlahnya menjadi sekitar 90.000. Namun, mungkin hanya ada sekitar 10.000 unit kosong yang tersisa sekarang, kami sudah mendekati kapasitas penuh. Setiap tahun, hanya sekitar 4.000 unit yang dipindahkan.”
Zheng Siqi mendengarkannya dan membetulkan kacamatanya.
“Kami menyampaikan hal ini kepada semua orang yang datang untuk menandatangani dokumen, jadi bukan hanya kamu saja. Tidak mudah untuk membeli tanah pemakaman di Linan sekarang, kami tahu harganya terlalu tinggi. Saat ini, Rumah Duka kami berharap penduduk kota yang memenuhi syarat dapat pindah sebanyak mungkin jika mereka dapat menemukan sumber daya yang tepat untuk melakukannya. Itu yang terbaik.”
Setelah mengatakan itu, Direktur itu tersenyum sopan dan menyisir rambutnya ke belakang. “Itulah yang ingin aku katakan.”
Zheng Siqi mempertimbangkannya sejenak dan bertanya kepadanya, “Kalau begitu, mengenai lokasi pemakaman, apakah kamu punya saran yang bagus?”
“Ah, tunggu sebentar, aku akan memeriksanya untukmu.” Direktur itu menempelkan kedua telapak tangannya, lalu berbalik untuk menuju komputer di mejanya. Dia mengetik di papan ketik dan mengklik tetikus. “Saat ini, pemakaman umum di kota ini mungkin… mungkin kehabisan tempat.”
Kemudian, dia menyipitkan mata dan mengklik tetikus. “Jika kamu mau, kamu mungkin hanya dapat mempertimbangkan kota atau kota sekunder. Ah, itu termasuk Kota Lu’er saat ini.” Direktur itu menunjuk ke layar. “Beberapa kota di bawah Lu’er saat ini sedang dikembangkan oleh pemerintah, dan itu termasuk tanah yang melimpah di dekat Gunung Lu’er. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah dan pihak swasta telah mulai mengembangkannya. Termasuk Langxi, Mingyuan, semua tempat ini memiliki peluang untuk dihancurkan.”
Direktur itu mengangkat kepalanya. “Kamu dapat meninjau tempat-tempat ini. Harga di pemakaman umum yang baru dibuka relatif normal sebelum spekulasi harga terjadi. Tapi kamu mungkin harus bergantung pada koneksi untuk mendapatkannya. Harap pertimbangkan itu.”
Zheng Siqi melangkah maju beberapa langkah. “Begitukah? Langxi…?”
Sudah bertahun-tahun sejak Qiao Fengtian berjuang memikirkan apa yang harus dimasak keesokan harinya. Dia terbiasa sendirian; pada hari-hari biasa, menyiapkan semangkuk mie, memecahkan telur, dan menambahkan irisan ham saja sudah merupakan usaha. Sekarang karena ada anak yang sedang tumbuh, dia tidak punya pilihan selain mempertimbangkan bahan-bahan dan rasanya dengan hati-hati.
Qiao Fengtian telah mengambil udang yang dibelinya dengan tergesa-gesa di pasar malam dan menyimpannya dalam baskom di wastafel pada malam hari. Melihat mereka melompat-lompat dengan aktif di dalam air, dia takut udang-udang itu akan melompat keluar, jadi sebelum meninggalkan apartemen untuk membuka salon, dia meletakkan baskom baja besar di atas udang-udang itu.
Pada siang hari, dia terburu-buru menjemput Xiao-Wu’zi dan membawanya pulang. Dia mencuci tangannya dan, lupa melepas celemeknya, bergegas keluar dari salon. Du Dong meraih simpul itu dan menariknya kembali. “Hei, apa kamu sudah gila, keponakanmu tidak akan kelaparan dalam waktu sesingkat itu. Bisakah kamu tidak keluar begitu saja dengan berpakaian seperti koki?”
Qiao Fengtian meletakkan tangannya di belakangnya dan melepas celemeknya, melemparkannya ke atas kepala Du Dong yang botak. “Cuci rambutmu.”
“Bawalah payung!”
“Ya, aku punya satu.”
Saat itu sedang hujan sehingga dia tidak bisa meminjam skuter karyawan China Mobile dan tidak punya pilihan selain berjalan kaki ke sana. Karena khawatir Xiao-Wu’zi harus menunggu lama, dia berlari ke sana, menerjang genangan air yang terkumpul di jalan dan membuat ujung celana jinsnya basah.
Dia mengambil payung dari toko secara acak dan tidak melihatnya saat pergi. Itu adalah payung yang ditinggalkan Li Li. Bukan hanya warnanya yang ungu muda, bahkan ada taburan bunga dan renda putih di sekelilingnya. Qiao Fengtian merasa tidak nyaman tidak peduli bagaimana dia memegangnya dan tidak bisa menahan perasaan bahwa orang-orang di sekitarnya semakin berpikir bahwa dia adalah pria banci yang sembrono dan tidak pantas.
Dia berhenti di samping semak pagar, mempertimbangkan apakah dia harus menyimpan payung itu dan berjalan ke sana di tengah hujan. Hanya gerimis, tidak deras. Kemudian, ketika mendongak, dia segera melihat Xiao-Wu’zi memegang tangan seseorang bertubuh pendek dan berjalan ke arahnya. Di trotoar pejalan kaki yang sempit, mereka berdua berbagi payung bermotif kecil yang memiliki sepasang telinga. Ada cukup banyak siswa di samping mereka.
“Xiao-Wu’zi.”
Qiao Fengtian tidak peduli lagi dengan payung itu. Dia berjalan beberapa langkah untuk menghampiri mereka. “Kenapa kamu berjalan pulang sendiri? Bukankah aku sudah menyuruhmu menunggu di gerbang?” Dia menunduk dan melihat sepasang sepatu bot hujan berwarna merah muda di sampingnya. “Siapa ini? Kamu akan mengajaknya pulang begitu saja?”
Qiao Fengtian dengan lembut mengangkat tepi payung bermotif itu dan melihat wajah malu Zheng Yu terlihat di bawahnya.
“Zao’er?”
Bukankah ini putri kesayangan Zheng Siqi? Bayangan pria jangkung itu melintas di benaknya, kacamata tipis dan Volvo berwarna sampanye itu.
Xiao-Wu’zi mengangkat tas sekolahnya, lalu mengulurkan tangan untuk memegang tangan Qiao Fengtian, menatapnya. “Ini teman semejaku.”
Qiao Fengtian berkedip. Setelah jeda, dia berjongkok di depan gadis itu. “Jadi kamu Zheng Yu. Aku terus mendengar ayahmu memanggilmu Zao’er, aku bahkan tidak tahu nama aslimu.”
Jika dia tahu, dia pasti sudah mengetahuinya lebih awal.
“Itu Gege—bukan, itu Paman!” Zheng Yu berdiri berjinjit dan tersenyum menanggapi. Dia mengulurkan tangan untuk menyentuh poni Qiao Fengtian. “Rambut Paman Qiao berbeda dari terakhir kali.”
Qiao Fengtian menundukkan kepalanya, membiarkannya menyentuh sesuka hatinya. “Warnanya sedikit memudar, tidak terlihat sebagus saat pertama kali.”
Xiao-Wu’zi berdiri di samping, memperhatikan dua orang lainnya berinteraksi dengan begitu akrab, dengan ekspresi kebingungan dan ketidakpahaman di wajahnya. “Paman…”
Qiao Fengtian akhirnya teringat sesuatu dan menoleh untuk melihat Xiao-Wu’zi.
“Mengapa kamu mengajaknya pulang?” Kemudian, dia menoleh ke Zheng Yu. “Bukankah ayahmu akan menjemputmu dari sekolah?”
Pikiran dan mata Zheng Yu sepenuhnya tertuju pada rambut Qiao Fengtian. Dia melangkah maju, memutar seikat rambut Zheng Yu di jarinya. “Ayah harus bekerja jadi dia tidak akan menjemputku siang ini. Aku selalu makan di program makan siang sekolah. Aku mau…” Setelah mengatakan ini, dia menundukkan kepalanya lagi. Melihat Zheng Yu semakin dekat, Qiao Fengtian setengah memeluknya.
Dia tergagap malu-malu. “Aku mau…”
“Hmm? Apa yang kamu mau?”
Qiao Fengtian melihat bahwa kuncir rambutnya tidak rata, satu tinggi dan satu rendah, satu tebal dan satu tipis, sama sekali mengabaikan kesimetrisannya. Merasa canggung, dia mengulurkan tangan dan merapikan rambutnya.
“Dia bilang dia ingin datang ke tempat kita untuk makan! Dia tidak mau makan siang sekolah!”
Xiao-Wu’zi melihat bahwa pamannya dan gadis itu begitu dekat satu sama lain dan di dalam hatinya yang agak murah hati dan cemburu, perasaan pahit muncul entah dari mana. Dia merenungkannya sejenak, lalu bergegas berteriak untuk menarik kembali perhatian Qiao Fengtian.
Jadi begitu saja, dia membawa pulang putri seseorang… Apakah itu tidak apa-apa?
Sambil ragu-ragu, Qiao Fengtian menundukkan kepalanya dan melihat ke arah dua manusia kecil berjalan dengan susah payah di bawah payung bundar anak-anak. Agak merepotkan saat mereka berjalan bersama. Yang lebih tinggi memegang payung sesuai aturan. Xiao-Wu’zi juga cukup sopan dan tahu untuk memiringkan payung ke arah Zheng Yu. Meskipun hujan tidak deras, namun itu membasahi bahu kanan Xiao-Wu’zi.
“Sini, pegang dengan kuat.”
Qiao Fengtian meletakkan payung bunga di bahu kirinya dan membungkuk untuk menyelipkan tangannya di bawah ketiak Zheng Yu, mengangkatnya dan menggendongnya. “Zao’er akan berbagi payung dengan Paman, oke?”
Zheng Yu tidak keras kepala dan juga tidak malu dengan orang asing. Dia segera melingkarkan lengannya di leher Qiao Fengtian. “Baiklah!”
“Gadis baik.”
Meskipun dia sendiri tidak akan memiliki anak, Qiao Fengtian sebenarnya sangat menyukai anak-anak yang bersih dan cantik. Wajah-wajah yang cerah, jernih, dan berseri-seri itu dengan mudah membuat seseorang menaruh harapannya untuk hari esok pada tubuh-tubuh yang belum sepenuhnya berkembang. Ada saat-saat ketika dia dapat memahami sedikit kegembiraan dan harapan orang tua, tapi ada juga saat-saat ketika dia merasa bahwa itu di luar jangkauannya.
Mata Zheng Yu berkerut dan ia tertawa sangat manis. “Semua orang juga berkata begitu.”
“Kalau begitu itu membuktikannya”—Qiao Fengtian tertawa bersamanya—“Ayah dan Ibumu mengajarimu dengan sangat baik.”
Dia samar-samar teringat saat dia terpeleset dan jatuh di Jalan Qingyijiang. Dia menabrak Zheng Siqi dan teringat ada seorang wanita yang menemaninya, tinggi, ramping, dan cantik. Wajahnya sama sekali tidak seperti Zheng Yu. Qiao Fengtian tidak tahu apakah dia adalah ibu anak itu. Jika bukan… bukankah itu canggung? Qiao Fengtian tidak bisa menahan pikirannya yang berlari ke arah yang tidak masuk akal.
Zheng Yu memalingkan wajahnya, diam-diam mengaitkan jarinya di sekitar rambut-rambut liar yang cerah dan bersih di belakang telinga Qiao Fengtian, tanpa mengatakan apa pun. Qiao Fengtian menggendongnya lebih tinggi. Tubuhnya sangat lembut.
Dan juga cukup berat.
Xiao-Wu’zi mengikuti di belakang mereka sendirian. Karena takut dia tidak akan mampu mengimbangi, dia memegang ujung kemeja Qiao Fengtian, bibirnya terkatup rapat. Ekspresinya cukup serius, tampak agak tidak senang.
“Jika kamu mau, Paman akan menggendongmu saat kita pulang nanti. Bersikaplah baik.” Qiao Fengtian menepuk kepalanya, menunduk untuk memberinya kedipan mata yang berarti.
“Tidak!” Pikiran Xiao-Wu’zi yang terlalu malu untuk diungkapkan tiba-tiba terungkap dan begitu malu hingga tangannya mencengkeram erat di dalam bajunya. “A-aku tidak berpikir ingin Paman menggendongku…”
“Baiklah, baiklah, kamu sudah besar, Paman tidak akan menggendongmu. Kemarilah, jangan menarik-narik bajuku.”
Xiao-Wu’zi mendongak dan melihat mata Zheng Yu yang tersenyum mengintip dari balik bahu Qiao Fengtian. Saat dia melihatnya dan terkikik, separuh wajahnya langsung memerah.
Ketika mereka sampai di rumah, Zheng Yu bersemangat tapi juga waspada. Tanpa mengganti sepatu, dia hanya berani berdiri di pintu masuk, matanya menatap Qiao Fengtian dan berkedip.
“Aku tidak punya sandal tambahan, kamu tidak perlu mengganti sepatumu.” Qiao Fengtian tersenyum dan memberi isyarat padanya. “Masuk saja.”
Zheng Yu menatap sandal Xiao-Wu’zi dan menggelengkan kepalanya. “Sepatu Zao’er basah. Zao’er tidak bisa masuk. Ayah bilang begitu…”
Hebat. Dia benar-benar mengajari putrinya dengan baik.
Tanpa pilihan lain, Qiao Fengtian melangkah maju beberapa kali dan menggendongnya lagi. Dalam dua langkah, dia memasuki kamar mandi kecil dan mendudukkannya di atas kain pel yang bersih. Dia berkata dari atas kepalanya, “Injak beberapa kali, gunakan lebih banyak kekuatan.”
Zheng Yu dengan patuh mulai melakukan high knee4High knee adalah olahraga kardio intensitas tinggi yang melibatkan gerakan mengangkat lutut ke arah dada secara bergantian., tampak seperti sedang bermain gim.
“Apakah bagian bawah sepatumu sudah bersih sekarang?”
“Mhm!”
“Baiklah, turun dan berjalanlah, tidak perlu takut lagi.” Qiao Fengtian mengulurkan tangan dan mengaitkan kuncirnya, lalu memegang tangannya dan menuntunnya keluar.
Dia meninggalkan anak-anak di ruang tamu untuk bermain sementara dia menyiapkan makan siang. Awalnya dia ingin membuat tumis udang sungai dan cabai hijau tapi takut Zheng Yu tidak bisa makan makanan pedas, dia mengganti cabai hijau dengan kacang kedelai hijau dan juga menambahkan beberapa potongan wortel. Untuk hidangan sayur, dia membuat tumis rebung dengan cepat, pertama-tama merebusnya untuk menghilangkan rasa pahit lalu menambahkan sedikit gula saat menumis untuk mengeluarkan rasa dan juga agar ada rasa manis setelah dimakan. Dia juga memotong tomat yang agak terlalu matang, membuang kulitnya dan membuat sup.
Saat menyendok nasi, dia menduga Zheng Yu menyukai warna merah muda jadi dia sengaja menggunakan mangkuk merah muda dengan pola bunga persik. Sebagian besar barang sehari-harinya datang dalam bentuk satuan, mangkuk kecil ini juga dibeli secara tidak sengaja.
“Apakah setengah mangkuk terlalu banyak?”
Zheng Yu menatap udang sungai di piring dan menggelengkan kepalanya. “Tidak, tidak, tidak terlalu banyak. Zao’er bisa menghabiskan satu mangkuk penuh.”
Sambil menggigit ujung sumpitnya, Xiao-Wu’zi menambahkan, “Dia bilang kalau dia adalah yang paling banyak makan di program makan siang sekolah.”
Zheng Yu menjulurkan bibirnya ke arahnya. “Hebat, bukan?”
Xiao-Wu’zi mengangguk, sederhana dan lugas serta sangat memberi semangat. “Mhm!”
Makan banyak bukanlah hal yang baik, terutama bagi anak perempuan. Qiao Fengtian menyimpan kata-kata itu di dalam hatinya tanpa mengatakannya. Dia mendorong tiga piring keramik bundar ke arah anak-anak. “Makanlah selagi masih panas.”
Di luar jendela, hujan berangsur-angsur menjadi lebih deras, jatuh dengan suara gemericik. Bau tanah basah naik di udara—konon, ada orang-orang yang sangat menyukai bau seperti ini. Namun, seperti halnya gunung yang tidak mungkin tanpa kupu-kupu, manusia juga tidak mungkin tanpa keanehan. Itu bisa dimengerti.
Dua pot dieffenbachia5Dieffenbachia atau blanceng adalah tanaman hias populer yang biasa ditanam di pekarangan. milik Qiao Fengtian menyukai air dan tumbuh lebih baik dengan hujan. Dia bergegas membuka jendela kasa, dengan susah payah mengangkat satu pot besar ke atas unit eksternal pendingin udara. Tetesan air hujan bergulir di daun hijau mengilap dieffenbachia, dengan lembut menyapu lapisan debu.
Qiao Fengtian berbalik dan bersandar di bingkai jendela, mengusap-usap tangannya yang mulai gatal karena radang dingin. Dia melihat kedua anak itu menundukkan kepala, mengambil makanan dan tampak seperti serigala yang rakus.
Xiao-Wu’zi menyendok sedikit egg drop. Ia mengambil sepotong daun bawang yang jatuh di punggung tangannya dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Zheng Yu dengan sabar mengambil setiap butir nasi yang tersisa di dasar mangkuknya hingga bersih, hampir juling karena usahanya. Setelah selesai, dia menjilat bibirnya dan memasukkan kecambah terakhir ke dalam mulutnya.
“Apakah makanannya enak?”
Kedua anak itu menjawab serempak tapi suara Zheng Yu lebih keras.
Qiao Fengtian tersenyum senang.
Saat itu belum waktunya pulang sekolah dan Qiao Fengtian juga tidak terburu-buru. Dia memberi isyarat kepada Zheng Yu dan menunjuk bangku kecil di depannya.
Sebagai seorang veteran yang telah bertahun-tahun mencari uang dibidang kecantikan dan rambut, setelah melihat rambut Zheng Yu begitu lama, rasa gatal di tangannya membuatnya ingin meninju tembok lebih dari sekadar radang dingin.
Betapa tidak berdayanya tangan orang tuanya untuk mengikat rambutnya seperti ini? Apakah tangan yang melakukan ini baru saja tumbuh?
Apakah semua orang terpelajar seperti ini?
“Paman ingin mengikat rambutku?” Zheng Yu duduk di bangku dan mengangkat kepalanya, menatap ujung hidungnya yang terbentuk dengan indah. “Paman tahu caranya?”
“Pamanku adalah seorang penata rambut, dia sangat pandai mengikat rambut.” Xiao-Wu’zi tidak membiarkan siapa pun meragukan Qiao Fengtian. Dia juga duduk di sofa, menopang dagunya dan berbicara dengan nada serius. “Tunggu saja dan lihat. Kamu akan tahu saat semuanya selesai.”
Jelas Zheng Yu mewarisi rambutnya dari Zheng Siqi. Hitam legam dan berkilau, seperti gulungan sutra hitam saat dipegang di tangannya. Rambutnya tidak terlalu panjang, hanya sebahu. Jika dia bisa membiarkannya tumbuh hingga pinggang saat dia dewasa, siapa yang tahu betapa indahnya pemandangan itu.
Qiao Fengtian menggunakan sisir berkantong udara, merek asing. Tidak peduli seberapa buruk rambutnya digosok dan dipegang, rambutnya akan menjadi sangat halus hanya dengan menyisirkannya dengan sisir itu. Ketika sisir itu menyisir rambutnya, terdengar suara gemerisik, membuat Zheng Yu menundukkan lehernya, tak dapat menahan tawanya.
“Ayo, jangan bergerak.” Qiao Fengtian menopang dagunya yang tertekuk dengan tangannya. “Angkat kepalamu.”
Zheng Yu menutup mulutnya. “Mhm, aku tidak akan bergerak.”
Melihat mereka, Xiao-Wu’zi merasa seperti sedang menonton pertunjukan langsung.
Qiao Fengtian juga mengepang rambutnya, tapi dia menurunkan tingginya agar tidak terlalu menyakitkan di kulit kepalanya—mengikat rambut dengan cara sebelumnya untuk waktu yang lama dapat dengan mudah menyebabkan rambut rontok di bagian tersebut dan folikel rambut menjadi bengkak, dan celah di antara helaian rambut juga akan melebar secara bertahap. Ketika dia melonggarkan ikatan rambut, dia menyadari bahwa Zheng Siqi menggunakan ikatan rambut karet tipis untuk Zheng Yu, kencang dan kasar dengan gesekan yang kuat. Tidak mudah untuk melonggarkan atau melepaskannya. Oleh karena itu, Qiao Fengtian menggantinya dengan ikatan rambut beludru yang juga dapat menahan rambut dengan aman.
Gerakan membelai tangan Qiao Fengtian membuat Zheng Yu merasa malas dan nyaman. Dia bersandar dan begitu saja, tertidur dalam pelukannya.
Mungkin rasanya hangat, nyaman, dan lembut, seperti bersandar ke awan.
“Baiklah sudah selesai, ayo kita lihat.” Karena tidak dapat menahan kebiasaan profesionalnya, Qiao Fengtian dengan lembut mengusap tengkuk Zheng Yu seolah-olah sedang menyingkirkan rambut-rambut yang tidak diinginkan.
Di seberang mereka, Xiao-Wu’zi mengangkat cermin ke wajah Zheng Yu.
“Lihat, sudah kubilang, Pamanku mengikat rambut dengan sangat indah. Lihat sendiri, terlihat sangat bagus!”
Qiao Fengtian mengubah belahan rambut Zheng Yu menjadi belahan yang berbeda. Awalnya, belahannya 5:5; namun dia mengubahnya menjadi belahan 3:7. Rambut diikat di ujungnya, lalu dia mengambil seikat dan memilinnya dua kali, sehingga membentuk simpul yang mirip dengan jahitan pada sweter rajutan.
Dengan wajah polos anak kecilnya, Zheng Yu masih bisa dengan pas mengepang rambutnya dengan kuncir satu-tinggi-satu-rendah. Gaya rambut barunya ini terlihat bergaya tanpa menghilangkan pesona kekanak-kanakan, rapi namun sedikit ceria. Zheng Yu sendiri mengulurkan tangan untuk memegang cermin, tidak mau mengalihkan pandangannya.
“Bagus sekali, Paman luar biasa…”
Qiao Fengtian membersihkan rambut-rambut yang berserakan di sisir. “Biasa saja.”
“Benar! Zao’er sangat menyukaimu!”
Perkataannya membuat Qiao Fengtian tercengang. Dia melihat Zheng Yu berdiri dan menoleh, ujung hidungnya memerah. “Hah?”
Zheng Yu melangkah maju dengan tegas dan melemparkan dirinya ke pelukan Qiao Fengtian, melingkarkan lengannya erat di leher pria itu. Qiao Fengtian melingkarkan lengannya di pinggangnya, bingung antara tertawa dan menangis saat dia melihat Xiao-Wu’zi yang tidak mengerti apa yang sedang terjadi. “Hati-hati.”
“Paman Qiao… “
Zheng Yu membenamkan kepalanya di dada Qiao Fengtian, tidak peduli dengan pihak lain, bersandar padanya beberapa saat tanpa berkata apa pun. “Ada apa?”
“Bisakah Zao’er menciummu…” 6udh dpt hati anaknya, tinggal bapaknya
“Huh?” Sekali lagi, tercengang.
Zheng Yu mendongak. Tanpa menunggu jawaban Qiao Fengtian, di bawah tatapan cemburu Xiao-Wu’zi, dia mendekati pipinya, menangkup wajahnya dengan kedua tangannya dan memberinya ciuman keras dan menggelegar. Kemudian, seolah itu belum cukup, dia menciumnya sekali lagi dan juga menempelkan hidungnya di leher Qiao Fengtian yang beraroma sabun, enggan untuk berpisah.
“Zao’er sangat menyukai Paman. Bisakah Zao’er datang lagi besok?”
Memikirkannya, ini adalah pertama kalinya seseorang dengan tulus memberi tahu Qiao Fengtian bahwa mereka menyukainya. Hanya saja orang yang bicara itu adalah anak kecil, begitu kecil sehingga masalah gender dapat diabaikan untuk sementara, begitu kecil sehingga dia mungkin bahkan tidak dapat mengatakan dengan pasti apa arti “suka”.
Namun, hal ini tidak menghentikan telinga Qiao Fengtian dari memerah dan panas.
Mendengarkan suara tetesan air hujan, Qiao Fengtian punya pikiran yang akan memalukan untuk diungkapkan: di mata Zheng Yu, dia menemukan pengakuan dan rasa memiliki yang murni dan tanpa komplikasi, yang praktis membuatnya merasa diliputi oleh rasa sayang.
Sudut mulutnya membeku. Dia mengangguk. “… Te-Tentu.”
Dengan “tanda persetujuan” Qiao Fengtian, selama dua hari berikutnya, Zheng Yu dengan berani dan terbuka mengikuti Xiao-Wu’zi pulang. Menyesal pada dirinya sendiri karena setuju terlalu cepat, Qiao Fengtian bertanya kepada Zheng Yu apakah ayahnya tahu bahwa dia makan di rumah seseorang dan gadis kecil itu hanya mengangguk. Tidak ada yang bisa dia lakukan; dia membawanya pulang dan memasak untuknya.
Di sisi lain, Xiao-Wu’zi harus menderita.
Awalnya, Qiao Fengtian hanya memanjakannya seorang dan dia tidak merasakan apa-apa saat itu. Sekarang, seseorang muncul untuk menyela dan bersaing mendapatkan perhatiannya, selalu berteriak untuk digendong atau cerewet bahwa dia ingin menciumnya. Hal itu membuatnya begitu cemburu sehingga dia juga ingin melemparkan dirinya ke pelukan Qiao Fengtian dan dengan kekanak-kanakan meminta perhatian. Namun, dia hanya menahan keinginan ini, terlalu malu untuk mengatakannya.
Dia mengubah kesedihan dan kemarahannya menjadi motivasi dan akan membenamkan dirinya dalam membaca dan mengerjakan pekerjaan rumah segera setelah dia kembali ke rumah sewaannya di malam hari, tanpa melirik buku komik yang dibawa dari Langxi.
Melihat dia mengerutkan kening dan tampak sangat serius, Qiao Liang menggodanya, Apa ini? Apakah kamu akan mengikuti ujian untuk masuk Universitas Tsinghua atau Beijing? Mengapa tiba-tiba mendapat pencerahan dan bekerja keras?
Xiao-Wu’zi bahkan tidak mendongak. Ujian akhir semester. Aku ingin melakukan yang lebih baik daripada teman semejaku!
Wow, kedengarannya seperti kalian berdua telah menghunus pedang dan siap bertarung.
Qiao Liang tidak bisa menahan diri untuk bertanya lebih lanjut. Hei, bukankah kamu memberi tahu Ayah bahwa kamu cukup menyukainya? Kamu bilang dia cantik dan imut. Sambil tertawa, Qiao Liang mengusap telinga Xiao-Wu’zi.
Pensil Xiao-Wu’zi berhenti dan wajahnya memerah. I-Itu dulu.
Zheng Siqi begitu sibuk sehingga timbul luka pada dinding mulutnya, merah dengan bagian tengah pucat. Sakitnya luar biasa, bahkan minum air pun terasa seperti memasukkan pisau ke dalam mulutnya.
Dia baru saja selesai mengetik draf pertama makalahnya, mengklik Simpan, melepas kacamatanya, dan menggelengkan lehernya, suara retakan tajam itu memicu percikan api di kepalanya, ketika ponsel yang diletakkan di sampingnya mulai berdering. Hal-hal yang membutuhkan perhatiannya seperti banjir, menghantam dadanya tanpa henti.
“Halo?” Zheng Siqi membuka kunci layar dan mengambil kotak tablet Vitamin C yang sudah terbuka.
“Bolehkah aku tahu apakah kamu orang tua Zheng Yu?” tanya seseoramg di ujung telepon.
Zheng Siqi mengeluarkan tablet dari kotak kecil dan melemparkannya ke dalam gelas airnya. Alisnya terangkat. “Ya, aku orang tua Zheng Yu. Ada apa?”
“Ah, begini.” Suara wanita di ujung telepon terdengar tersenyum tapi juga terdengar ragu-ragu dan sedikit gugup. “Aku dari Program Makan Siang Sekolah Hand-in-Hand, pengawas operasi Hand-in-Hand di distrik Linan. Aku meneleponmu untuk memberi tahumu tentang suatu situasi. Putrimu, Zheng Yu…”
Zheng Siqi mengangkat gelasnya tapi tidak meminumnya. Tiba-tiba, dia mengerutkan kening. “Ada apa dengannya? Silakan lanjutkan.”
“Guru yang bertugas mencatat kehadiran di sini memberi tahuku bahwa putrimu… sudah tiga hari tidak makan siang.”