Penerjemah: Jeffery Liu
Editor: Keiyuki17
“Wu! Wu!“
Tunggangan kuda itu bergelombang. Kedua tangan Chen Xing diikat di belakang punggung dan diikat ke punggung kuda di bagian pinggang. Denting pelat logam bisa didengar; Sima Wei, yang mengenakan baju besi hitam, bergegas keluar dari pegunungan Yin bersama Chen Xing. Mereka melakukan perjalanan di sepanjang rute komersial di luar Tembok Besar dan berbelok ke timur.
Sima Wei sudah menculiknya. Dalam sekejap mata, dia sudah mendesak kudanya dan memacunya sejauh ratusan mil. Mereka bahkan sudah melewati Chi Le Chuan di sepanjang jalan, tapi dia tidak pergi ke utara di sepanjang jalan menuju sungai untuk memasuki Tembok Besar, tapi terus menuju ke timur.
Di siang hari, Sima Wei melempar Chen Xing ke tanah, melonggarkan talinya, lalu memberinya biskuit dendeng dan dengan santai menunjuk ke sungai yang tidak jauh dari sana.
Chen Xing: “….”
“Xiang Shu akan datang dan menyelamatkanku.” Chen Xing melahap biskuit dan menyobek dendeng untuk dimakan karena dia benar-benar kelaparan. Dia memutuskan bahwa “orang bijak tunduk pada keadaan”; karena tidak ada gunanya dia melawan, dia akan memutar otak untuk memikirkan cara-cara memperlambat Sima Wei.
Ketika Sima Wei mengendarai kuda sebelumnya, dia tidak menanggapi apa pun yang dikatakan Chen Xing. Kali ini, dia menjawab dengan suara rendah, “Dia tidak akan. Dia hanya akan mengira kamu pergi sendiri.”
Kata-kata ini mengejutkan Chen Xing tepat di titik sakitnya — sial, bagaimana jika Xiang Shu benar-benar berpikir seperti itu? Dia sudah berbicara tentang pergi sebelum Xiang Shu naik gunung.
Itu sangat mungkin! Sebelum ini, dia juga pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ini berbeda dengan Xiang Shu yang melihat dia diculik dengan matanya sendiri. Xiao Shan sedang tidur, jadi tidak ada yang akan memberi tahu Xiang Shu bahwa dia, Chen Xing, sudah ditangkap. Selama periode ini, Chen Xing selalu percaya bahwa Xiang Shu memiliki tanggung jawabnya sendiri sebagai Chanyu yang Agung, jadi dia selalu menyiratkan bahwa dia akan pergi setiap kali mereka berbicara.
Jika Xiang Shu berpikir bahwa Chen Xing baru saja pergi dengan tenang karena dia tidak ingin mengucapkan selamat tinggal, dia akan kembali ke Karakorum sendiri, dan tidak ada yang akan datang menyelamatkan Chen Xing lagi. Dia harus menemukan cara untuk membebaskan diri dari kesulitan ini sendiri!
Beberapa burung gagak bertengger di atas pohon. Chen Xing mencoba mengaktifkan Cahaya Hatinya beberapa kali, tapi dia tidak merasakan Xiang Shu. Mungkin dia terlalu jauh, atau mungkin… dia hanya bisa menerima kenyataan tak berdaya ini — Xiang Shu tidak datang untuk menyelamatkannya.
Jadi Chen Xing hanya bisa merencanakan perlawanannya sendiri. Dia tidak pernah berhenti bersikap licik di sepanjang jalan, memikirkan tentang bagaimana cara menyelinap sementara bajingan ini tidak memperhatikan. Namun, Sima Wei tidak makan ataupun tidur. Setiap kali mereka berhenti untuk beristirahat demi Chen Xing, mereka akan langsung melanjutkan perjalanan setelah dia selesai beristirahat. Chen Xing tidak bisa menemukan kesempatan untuk melarikan diri sama sekali.
Chen Xing terus berusaha mencari informasi darinya, tapi Sima Wei bungkam dan tidak pernah menanggapinya. Terus seperti ini, mereka melakukan perjalanan dengan kecepatan penuh selama enam hari.
Sima Wei, “Bangunlah, kita akan pindah.”
Chen Xing, “Kau ingin membawaku kemana?!”
Sima Wei tidak menjawab. Chen Xing melanjutkan, “Aku ingin tidur siang. Tubuhku akan menjadi kaku karena menunggang kuda begitu lama, kakiku sakit.”
Jadi Sima Wei hanya bisa membiarkannya tetap di tempatnya, sementara dia bangun sendiri untuk mengamati sekeliling.
Melihat Sima Wei meninggalkan hutan, Chen Xing melihat sekeliling, lalu berbalik dan lari.
“Caw! Caw!” Burung gagak tiba-tiba mengepakkan sayapnya dan terbang ketakutan. Chen Xing bergegas keluar dari hutan dan melakukan adegan kejar-kejaran dengan Sima Wei. Sebelum satu batang dupa habis terbakar, dia ditangkap di gua gunung. Apa yang menunggunya selanjutnya adalah dia dibundel seperti pangsit dan dilemparkan ke kuda sebelum mereka melanjutkan perjalanan ke timur.
Mereka mempercepat perjalanan mereka selama hampir sepuluh hari. Sima Wei selalu bergerak maju di sepanjang Tembok Besar. Setiap kali mereka berhenti, perkemahan sementara mereka pasti selalu dikelilingi burung gagak. Chen Xing berjuang di atas kuda dan berkata, “Tidak bisakah kau membawaku ke tempat di mana ada orang?”
Sima Wei membawa serta Chen Xing bersamanya dan tidak pernah memasuki celah di sepanjang Tembok Besar. Akhirnya, mereka meninggalkan Tembok Besar dan pergi ke utara, lalu memasuki perbatasan Youzhou. Di sepanjang jalan, Chen Xing sudah melihat pasukan Qin dari jauh beberapa kali. Sima Wei memiliki teknik penyembunyian yang sangat baik; dia melewati mereka dan terus menuju tenggara.
Pada saat dia melihat plakat “Zhuojun”, Chen Xing tahu bahwa mereka akan tiba di wilayah Goguryeo jika melanjutkan ke tenggara. Setelah meninggalkan Dataran Tengah, Sima Wei akhirnya melonggarkan pengawasannya terhadap Chen Xing.
“Aku benar-benar tidak akan kabur lagi!” Kata Chen Xing. “Kita hampir sampai di Silla sekarang; aku tidak akan bisa menemukan jalan kembali bahkan jika aku melarikan diri. Lepaskan aku, Sima Wei!”
Sima Wei menjawab, “Upaya tidak boleh dilakukan lebih dari tiga kali.”
Chen Xing mendapatkan apa yang dia inginkan dan akhirnya dilepaskan. Keduanya memasuki salah satu kota terbesar Goguryeo, Pyongyang. Sebagian besar penduduk di sini adalah orang Buyeo, jadi sebagian besar dari mereka bisa memahami bahasa Xianbei. Sima Wei mengganti pakaiannya menjadi satu set pakaian biasa yang dia temukan di suatu tempat dan menyimpan baju besinya di tas jinjingnya. Kemudian dia memakai topi bambu berbentuk kerucut yang menutupi separuh wajahnya.
Ketika orang Buyeo melihat kedua pengelana itu lewat, mereka akan menatapnya dengan rasa ingin tahu. Beberapa dari mereka bahkan bertanya karena penasaran, jadi Chen Xing membalas mereka dalam bahasa Xianbei.
“Untuk apa kalian berdua di sini?” Orang Buyeo itu bertanya. “Apa kalian berasal dari negara Jin?”
Sima Wei bertanya pada Chen Xing, “Apa yang mereka katakan?”
Chen Xing tahu Sima Wei tidak mengerti, jadi dia bisa membuat masalah untuknya seperti yang dia inginkan sekarang.
“Mereka bertanya kemana tujuan kita,” kata Chen Xing.
Sima Wei berkata, “Tanyakan pada mereka di mana kita bisa menemukan perahu.”
Jadi Chen Xing berkata pada penduduk setempat dalam bahasa Xianbei, “Aku diculik oleh orang ini! Aku dibawa jauh jauh ke sini dari Chi Le Chuan!”
Orang-orang di kota mulai berbicara pada satu sama lain dalam kericuhan, dan ada banyak yang mulai mengelilingi mereka. Semuanya mengenakan jubah literati dan topi bambu, berpakaian ala terpelajar Konfusianisme.
Sejak Sosurim dari Goguryeo berkuasa, Akademi Kekaisaran dari Pembelajaran Tertinggi1 didirikan di Pyongyang dengan tujuan untuk membina para terpelajar. Dari Dinasti Han hingga Dinasti Cao Wei dan sampai pada Dinasti Jin, doktrin Konfusianisme di Dataran Tengah selalu dikagumi oleh banyak negara bawahan. Semua kelompok etnis bangga mempelajari bahasa Han dan membaca buku-buku Han. Kelompok terpelajar ini baru saja menyelesaikan pelajaran mereka di Akademi Kekaisaran. Sesuai dengan keutamaan kesopanan di mana seseorang melakukan intervensi saat melihat ketidakadilan, mereka memblokir jalan Sima Wei dan Chen Xing satu demi satu, mengamati kombinasi aneh ini.
Salah satu terpelajar bertanya, “Bagaimana kami bisa menyelamatkanmu? Apa yang bisa kami bantu?”
Sima Wei, “Apa yang mereka katakan?”
Chen Xing melambaikan tangannya pada mereka. Dibandingkan dengan raja iblis kekeringan lainnya, sikap Sima Wei mungkin jauh lebih lembut, tapi Chen Xing tidak tahu apakah dia akan tiba-tiba menjadi gila. Jika dia melakukan pembunuhan besar-besaran di dalam kota, itu hanya akan merugikan orang yang tidak bersalah dan mengorbankan nyawa mereka, jadi dia tidak segera meminta bantuan dan menjelaskan, “Orang ini gila, dia sudah membunuh banyak orang dalam perjalanan. Semuanya, tolong jangan bertindak gegabah.”
Sima Wei, “?”
Semua orang bertanya, “Lalu apa yang harus kita lakukan?”
Setelah berbicara, Chen Xing menyampaikan pada Sima Wei, “Mereka mengatakan bahwa perahu tidak akan berangkat dalam waktu dekat dan meminta kita untuk beristirahat di kota. Kita harus memeriksanya lagi dalam beberapa hari.”
Sima Wei mengamati ekspresi kerumunan, lalu berkata pada Chen Xing, “Jangan berbohong padaku.”
Chen Xing, “Aku tidak berbohong!”
Sima Wei, “Mereka baru saja mengucapkan empat kata, bagaimana itu bisa berubah menjadi rangkaian kalimat yang begitu panjang setelah diterjemahkan?”
Chen Xing, “Seperti itulah bahasa Xianbei! Apa kau tidak kenal orang Xianbei? Kalau kau berpikir aku terlalu bertele-tele, bicara saja sendiri pada mereka. Aku tidak peduli lagi.”
Sima Wei, “Kita akan pergi ke dermaga untuk mencari perahu.”
Chen Xing, “Tunggu tunggu tunggu …”
Chen Xing merenung sebentar, lalu tersenyum tenang ke kerumunan dengan tangan terkepal. “Gege, tolong bantu aku memberi tahu penjaga di kota. Aku akan menipunya untuk istirahat di penginapan dulu. Kalau kalian bertemu seseorang yang menanyakan keberadaaku, beri tahu mereka.”
Sima Wei, “Apa yang kau katakan kali ini?”
Chen Xing, “Aku bertanya pada mereka kapan perahu akan berlayar.”
Sima Wei, “Nada bicaramu jelas-jelas deskriptif, bukan pertanyaan.”
Chen Xing bertanya dalam bahasa Xianbei, “Di mana penginapan di kota ini?”
Seseorang menunjuk ke suatu tempat yang jauh. Chen Xing memberi isyarat pada Sima Wei seolah mengatakan lihat, aku bertanya.
Salah satu sarjana berkata, “Aku akan pergi menemui pengawal Raja sekarang untuk melaporkan situasi secara rinci. Berhati-hatilah.”
Chen Xing dengan cepat mengangguk.
Sima Wei: “?”
Chen Xing, “Mereka mengatakan bahwa kita harus menunggu setidaknya tiga sampai lima hari. Ayo pergi ba.”
Jadi, di bawah pandangan semua orang, Chen Xing berubah dari menjadi tamu menjadi bertindak sebagai pembawa acara dan membawa Sima Wei pergi. Keduanya melewati pasar. Chen Xing diam-diam merasa senang; dia tahu bahwa Sima Wei pasti dipenuhi dengan keraguan sekarang, jadi dia harus memikirkan sesuatu untuk mengalihkan pemikirannya untuk saat ini. Dia menunjuk ke barang-barang di kios dan berkata, “Apa kau ingin membeli pemerah pipi?”
Sima Wei, “???”
Chen Xing berkata, “Mereka sepertinya sedikit meragukanmu, karena wajahmu biru.”
Sima Wei, “…”
“Pakailah pemerah pipi,” kata Chen Xing. “Tutupi sedikit, apa kau punya uang? Ambil uang untuk belanja.” Pada saat yang sama, dia berpikir bahwa jika beberapa penjaga datang untuk menyelamatkannya nanti, dia bisa mengatakan bahwa dia tidak ada hubungannya dengan itu. Bagaimanapun, dia hanya harus mengatakan bahwa kerumunan penonton mengira kulit Sima Wei tampak pucat sehingga mereka melaporkannya pada pihak berwenang, dan semuanya akan baik-baik saja.
Tapi Sima Wei tidak menyangka bahwa dia akan membutuhkan uang di sini dan sekarang tidak punya uang. Chen Xing mendapat sebuah ide. “Baju besimu bisa digadaikan untuk sejumlah uang; helm itu pasti bernilai cukup banyak.”
Sima Wei, “Kau ingin menggadaikan baju besiku?”
Chen Xing, “Apa lagi? Bukankah kita butuh uang untuk naik perahu? Dan kita masih perlu makan dan membeli pakaian juga. Bahkan kalau kau tidak perlu makan, aku masih perlu makan.”
Jadi Sima Wei berhasil ditipu oleh Chen Xing dan menggadaikan helmnya. Keduanya berhasil menemukan tempat tinggal. Chen Xing memperhatikan beberapa burung gagak terbang menjauh dari pintu masuk toko. Dia memiliki sensasi yang mengganggu bahwa dia sudah melihat beberapa burung gagak dalam perjalanan ke sini.
Tapi semua burung gagak di dunia umumnya berbulu hitam dan semuanya tampak hampir sama, jadi dia mungkin salah.
Sambaran petir melintas di langit dan guntur menggelegar. Hujan tiba-tiba mulai turun. Semua orang di sepanjang jalan bergegas agar tidak basah kuyup.
Setelah memasuki penginapan, Chen Xing berhenti memedulikan Sima Wei dan menginstruksikan seorang pelayan untuk menyiapkan air panas untuk mandi. Dia merasa jauh lebih baik setelah berganti pakaian.
“Aku akan membantumu memakainya ba.” Chen Xing memperhatikan Sima Wei dan mulai menerapkan pemerah pipi pada kulitnya untuk menutupi rona kematiannya.
Sima Wei menutup empat jendela di ruangan itu. Chen Xing menepukkan bedak, dan tepat ketika dia akan mendekatinya, Sima Wei meraih pergelangan tangan Chen Xing.
“Pengusir Setan, selamatkan aku.” Sima Wei berkata dengan suara yang sangat lembut.
Chen Xing, “!!!”
Ketika Chen Xing mendengar itu, dia hampir membalik piring pemerah pipi. Tiba-tiba, dia melihat sesuatu. Dia menatap balok besar di ruangan itu dan samar-samar bisa mendengar derai hujan menghantam ubin.
“Shi Hai mengirimkan gagak untuk mengawasi kita sepanjang jalan,” bisik Sima Wei. “Aku harus membawamu ke Istana Huanmo, aku tidak punya pilihan lain.”
Chen Xing, “Kau … kau … Sima Wei?”
Sima Wei melanjutkan, “Singkat cerita, apa kau bisa menggunakan Cahaya Hati untuk mematahkan kendali Shi Hai terhadapku?”
Chen Xing bergumam, “Aku tidak tahu. Kau adalah Pangeran Yin dari Chu ketika kau masih hidup, bukan? Sebentar, kau sudah mati hampir seratus tahun, kenapa kau tidak masuk samsara?”
Guntur lain meledak. Beberapa sinar cahaya putih menembus melalui jendela.
Sima Wei berdiri. Dia berjalan mondar-mandir di dalam ruangan, kebingungan terlihat dalam suaranya.
“Aku tidak tahu lagi siapa aku,” gumam Sima Wei pada dirinya sendiri. “Aku hanya ingat beberapa bagian dari ingatanku dari saat aku masih hidup. Aku memiliki ingatan dari banyak orang, dan sebagian besar fragmen yang aku peroleh dari Sima Wei, tapi aku… aku… aku hanya tahu bahwa aku berbeda dari mereka.”
“Mereka?” Chen Xing bertanya. “Berapa banyak dari Delapan Pangeran yang sudah dihidupkan kembali?”
Sima Lun yang mereka lihat di Kota Chang’an, Sima Yue di Utara, dan termasuk Sima Wei, ini adalah raja iblis kekeringan ketiga yang pernah dilihat Chen Xing.
“Enam,” kata Sima Wei. “Shi Hai ingin menangkapmu dan menggunakan kebencian untuk memperbaiki artefak magis Cahaya Hati milikmu, mengubahnya menjadi mata Array Sepuluh Ribu Roh, untuk dipersembahkan sebagai korban pada Dewa Iblis.”
Chen Xing segera berkata, “Apa itu Array Sepuluh Ribu Roh?”
“Ada tujuh Array Sepuluh Ribu Roh,” kata Sima Wei. “Aku hanya mendengar sedikit dari percakapan mereka. Mereka semua didorong oleh artefak magis yang menyerap kebencian. Saat ketujuh array diaktifkan pada saat yang bersamaan, Dewa Iblis akan hidup kembali. Dia membangunkan kami, Delapan Pangeran untuk menjaga array untuknya.”
Chen Xing terdiam. Sima Wei melanjutkan, “Cermin Yin Yang, Genderang Zheng, semuanya dibuat oleh Shi Hai. Dua sudah jatuh ke tanganmu. Sedangkan untuk Array Sepuluh Ribu Roh, aku hanya tahu satu di Chang’an.”
Chen Xing melompat ke pertanyaan berikutnya. “Bagaimana dengan artefak magis lainnya?”
Sima Wei menggelengkan kepalanya. Terbukti, bahkan dia tidak tahu banyak informasi orang dalam.
Chen Xing bertanya lagi, “Di mana Shi Hai bersembunyi?”
Sima Wei menggelengkan kepalanya perlahan. Chen Xing berkata, “Apa yang bisa aku lakukan untukmu?”
Sima Wei, “Apa kau bisa membunuhnya? Selama kau membunuhnya, aku bisa dibebaskan.”
Chen Xing bahkan tidak tahu yao Shi Hai seperti apa, apalagi memastikan di mana pria itu bersembunyi. Membunuhnya lebih mudah diucapkan daripada dilakukan.
“Shi Hai memintamu untuk membawaku kembali ke Dataran Tengah, jadi bukankah dia mengatur tempat pertemuan?” Chen Xing bertanya lagi.
Sima Wei melihat ke atas ke atap dan menjawab, “Para gagak akan mengawasi pergerakanku setiap saat. Setelah memasuki Dataran Tengah, dia secara alami akan mengirim orang untuk mencari kita.”
Chen Xing mengangkat tangannya, memberi isyarat pada Sima Wei untuk memberinya waktu untuk berpikir. Array Sepuluh Ribu Roh, Shi Hai, Dewa Iblis … artefak magis. Sima Wei melanjutkan, “Sekarang kita masih jauh dari Shi Hai, dan kendalinya atasku sudah melemah oleh jarak. Kau harus menemukan cara untuk membebaskan aku.”
“Lalu bagaimana?” Kata Chen Xing. “Setelah kau bebas, apa yang ingin kau lakukan?”
Sima Wei bergumam, “Aku tidak tahu. Bagaimanapun, aku tidak ingin diperbudak olehnya seperti ini lagi. ”
Chen Xing berkata, “Aku… Aku bisa mencoba, aku hanya takut kalau aku tidak akan bisa melakukannya. Tanpa dukungan Qi spiritual dari langit dan bumi, kekuatan Cahaya Hati terbatas.”
Apa yang dikatakan Sima Wei padanya sudah menembus apa pun yang menurut Chen Xing benar sebelumnya. Dalam sekejap, Chen Xing mengerti semuanya. Tepat setelah itu, dia mendengar burung gagak di atap mengoceh lagi.
“Dia mulai ragu.” Sima Wei bangkit dan membuka jendela. Hujan deras mengguyur tanpa henti dan membasahi ambang jendela, jadi keduanya berhenti bicara. Hujan semakin deras. Tirai air berkilauan terlihat di mana-mana. Chen Xing ingin mendekati ambang jendela untuk melihatnya, tapi Sima Wei membuat isyarat dari tempat yang tidak disentuh cahaya. Burung gagak bertengger tepat di bawah tepi ubin, menatap mereka.
“Lepaskan aku,” kata Chen Xing pada Sima Wei.
Sima Wei tidak menjawab. Dia melirik Chen Xing, kedua matanya tampak keruh. Chen Xing tidak bisa menentukan apa yang dia pikirkan sejenak, tapi di tengah derai hujan deras, dentingan lembut senjata samar-samar terlihat.
Dia menutup kedua matanya, merenungkan hubungan antara semua ini. Tiba-tiba, Cahaya Hati menyala dalam kegelapan.
Sima Wei menatap Chen Xing dengan tenang. Sebuah pikiran muncul di benak Chen Xing: bagaimana kalau melakukannya sekarang? Dia belum pernah mencoba menyuntikkan kekuatan Cahaya Hati ke raja iblis kekeringan, atau bahkan mayat hidup sebelumnya. Apakah dia bisa menghilangkan kebencian di tubuh mereka jika dia melakukan itu? Dan setelah menghilangkannya, apakah cahaya itu akan secara paksa menghancurkan kendali dan koneksi Shi Hai dengan mereka? Atau apakah cahaya itu akan membakar tubuh mereka menjadi abu? Bola cahaya lembut muncul di tangan Chen Xing. Dia mengangkatnya. Sima Wei berbalik dan menghadap Chen Xing. Tangannya meraih senjatanya; sepertinya dia secara tidak sadar takut pada cahaya itu, namun dia melakukan yang terbaik untuk menahan diri agar tidak menyerang Chen Xing.
Chen Xing menarik napas dalam-dalam. Tapi tepat pada saat itu–
Suara keras terdengar — Xiang Shu, bersama dengan pedangnya, menabrak dinding bata dari sebelah dan meluncur masuk!
“Turun!” Xiang Shu berteriak. “Cahaya Hati!”
Burung gagak di luar ruangan mulai mengoceh dengan liar. Sima Wei menghunuskan pedangnya!
Chen Xing menarik Cahaya Hatinya. Saat dia menundukkan kepalanya, pedang Xiang Shu menyapu dari atas punggung Chen Xing, mengarah tepat ke Sima Wei. Sima Wei tidak memakai baju besinya. Pedang menghantam dadanya, dan tulang rusuknya robek dengan bunyi gedebuk teredam. Dia terlempar keluar jendela karena benturan, terbang seperti layang-layang yang talinya dipotong! Kemudian ledakan lain terdengar — dia sudah menghancurkan atap sebuah rumah di luar penginapan, yang runtuh dengan suara gemuruh!
Chen Xing mendongak, tatapannya bertemu dengan Xiang Shu. Xiang Shu mengenakan pakaian berburu dari ujung kepala sampai ujung kaki dan tampak seperti orang biadab. Seluruh tubuhnya basah kuyup, dan kedua matanya benar-benar merah; jelas bahwa dia tidak banyak tidur saat mengejar mereka selama hampir sepuluh hari. Xiang Shu juga tidak pergi ke jendela untuk melihatnya. Dia melingkarkan lengan kirinya di sekitar Chen Xing, mundur selangkah, melompat dari berjongkok dan menabrak atap untuk terbang!
Hujan deras turun, seolah-olah sebuah lubang terbuka di langit. Chen Xing basah kuyup dari ujung kepala sampai ujung kaki. Saat diseret oleh Xiang Shu, kakinya terpeleset. Burung gagak membentangkan sayap mereka dan terbang satu demi satu, tapi gerakan mereka lamban dalam hujan deras ini. Suara busur panah terdengar di sekitar mereka – para prajurit yang dikirim oleh Goguryeo semuanya melindungi Xiang Shu dan Chen Xing saat mereka pergi.
“Kapan kau datang!” Chen Xing berteriak.
“Baru saja!” Xiang Shu balas berteriak. Begitu Chen Xing menoleh, dia melihat sosok abu-abu terbang keluar dari tempat dia jatuh dengan wusss dan mengacungkan pedang panjang – itu adalah Sima Wei yang mengenakan jubah abu-abu. Dimanapun gelombang Qi berlalu, ubin terbalik dan berputar di udara.
Xiang Shu memegangi Chen Xing dan berbalik ke samping, lalu keduanya meluncur turun dari tepi atap. Sepanjang jalan, panah jatuh seperti hujan dan menyapu langit dalam beberapa saat, menghalangi jalan Sima Wei.
“Awasi burung gagak …”
“Apa kau bisa lari?!” Xiang Shu berteriak.
Chen Xing, “Aku bisa! Aku bisa!”
Keduanya benar-benar basah kuyup. Chen Xing diliputi kegembiraan dari lubuk hatinya; kau akhirnya datang! Aku tahu kau akan datang! Ketika dia meraih tangan Xiang Shu, semua kekhawatirannya lenyap tanpa jejak, dan dia hanya berlari bersamanya di tengah hujan.
Xiang Shu berbalik dan melihat ke arah Sima Wei yang mengejar mereka. Pemanah biasa tidak bisa berharap untuk menghentikannya, jadi dia hanya bisa membawanya ke tempat di mana tidak ada banyak orang di sekitarnya.
“Aku tidak bisa lari lagi!” Chen Xing hendak mengembuskan napas terakhirnya. Dia berteriak, “Lari sambil menggendongku ba!”
Xiang Shu: “…”
Sima Wei berteriak keras. Dengan kedua tangan memegang pedangnya, dia tiba-tiba turun dari atas, mengambil jalan pintas saat dia meluncur ke bawah atap di sebuah gang. Tepat setelah itu, prajurit Goguryeo lainnya bergegas dan memblokir pintu masuk gang, berteriak, “Pergi, cepatlah!”
Chen Xing merasa tersentuh. Xiang Shu sudah menyelamatkan orang yang ingin dia selamatkan, jadi dia tidak repot-repot melanjutkan pertarungan. Dia bergegas keluar dari gang kecil dengan Chen Xing di belakangnya, tapi sejumlah besar kavaleri muncul di depan mereka. Tepat ketika Chen Xing memproses keterkejutannya, berpikir bahwa ada lebih banyak musuh yang harus dihadapi, orang yang mengenakan baju besi di depan menunjuk ke kiri, memberi isyarat agar mereka berlari ke arah itu. Kemudian, semua kavaleri mengacungkan senjata mereka, siap untuk mulai menyerang ke dalam gang.
“Bagaimana kau tahu aku ditangkap? Aku pikir kau tidak akan datang!”
“Kau akan menjadi kematianku!” Xiang Shu menyeka air di wajahnya dan meraung marah pada Chen Xing.
Guntur bertepuk tangan dengan ledakan keras. Chen Xing tidak mendengar apa yang baru saja dia katakan dan tersenyum saat dia bertanya pada Xiang Shu, “Apa? Apa katamu?”
Xiang Shu, “Tenggorokanku sakit! Aku tidak sedang berbicara denganmu!”
Mereka berdua bergegas menyeberangi jalan panjang, menghadapi hujan lebat. Tiba-tiba semuanya menjadi kosong, memperlihatkan dermaga datar dengan radius beberapa mil. Sebuah kapal sedang menarik jangkarnya dan membuka layarnya untuk meninggalkan pelabuhan, mencoba berlayar dengan paksa dalam badai ini.
Xiang Shu melihat ke belakang. Chen Xing bertanya lagi, “Siapa itu barusan? Kau kenal dia?”
“Raja Goguryeo.” Xiang Shu dengan santai menjawab. Dia meletakkan pedangnya di punggungnya dan menggendong Chen Xing dengan gaya pengantin—
Sima Wei, dengan jubah basahnya terseret di belakangnya, melompat beberapa kali di gang di luar dermaga. Seperti bom air, percikan cemerlang mengalir di belakangnya dan setiap kali dia melangkah ke dinding bata, dinding itu akan hancur berkeping-keping dengan suara gemuruh yang keras. Dia berakselerasi beberapa kali, mengaduk embusan angin kencang, lalu mengayunkan pedang panjangnya dan menembak ke arah Xiang Shu dan Chen Xing.
Xiang Shu mengambil beberapa langkah sebagai ancang-ancang, dan dengan Chen Xing di pelukannya, dia melangkah ke kotak kayu di dermaga dan menghancurkan kotak itu menjadi beberapa bagian. Dengan satu lompatan, dia terbang menuju kapal yang jaraknya tiga zhang!
Begitu Xiang Shu dan Chen Xing meninggalkan tanah, Sima Wei sudah mengayunkan pedangnya ke bawah dengan kekuatan yang bisa mengguncang langit. Udara di belakangnya meledak, dan ketika dia menghantam tanah, ubin lantai hancur menjadi bubuk! Sementara itu, Chen Xing digendong oleh Xiang Shu di tengah kekacauan yang mengguncang bumi ini, terbang dari dermaga ke kapal besar di laut!
Serangan Sima Wei tidak mengenai mereka. Xiang Shu dan Chen Xing jungkir balik di udara dan jatuh ke dek, lalu meluncur hampir satu zhang. Para tukang perahu di kapal mundur dengan suara menderu-deru, mereka semua menatap mereka berdua dengan takjub.
Chen Xing melihat bintang-bintang dari benturan keras itu. Dia berjuang untuk bangun. Xiang Shu, dengan pedangnya sebagai penyangga, nyaris tidak bisa duduk dan terus terengah-engah. Tetesan air menetes dari seluruh tubuhnya.
Sima Wei melompat ke atap tertinggi di depan dermaga dan menatap mereka berdua yang pergi dengan kapal.
Chen Xing, “Hu … hu …“
Xiang Shu perlahan bangkit. Chen Xing terpeleset di geladak. Dia pergi ke sisi kapal dan menatap Sima Wei, hatinya dipenuhi dengan emosi yang rumit.
“Dia akhirnya berhenti mengejar kita,” Chen Xing terengah-engah.
Para prajurit Goguryeo sudah mengepung rumah itu dalam pengepungan yang ketat. Sima Wei berdiri di atap, pantang menyerah. Dengan tangan kirinya terkunci pada gagang pedangnya, pergelangan tangan kanannya miring secara horizontal, dan badai yang berkumpul melonjak di sekitar tubuhnya. Pilar kebencian melonjak ke langit!
Xiang Shu, “…”
Saat ini, kapal itu hampir 50 langkah dari Sima Wei. Para tukang perahu di kapal mulai memutar panah dan menunjuk ke kejauhan, tapi Sima Wei sama sekali tidak bingung. Kebencian pada pedang itu menyatu menjadi busur berbentuk bulan sabit hitam, dan bersamaan dengan dia menggambar lingkaran dengan pedangnya, kebencian itu mengumpulkan kekuatan yang sangat kuat dan menakutkan. Selama dia mengayunkannya ke bawah, kebencian akan melesat dengan deru dan memotong kapal besar ini menjadi dua!
Kilatan petir lainnya menyala, cahayanya yang menyilaukan menerangi ekspresi ngeri semuaorang baik di dalam maupun di luar dermaga!
Xiang Shu mengangkat pedangnya dan berkata dengan suara yang dalam, “Beri aku semua mana-mu.”
“Tidak tidak tidak!” Chen Xing segera menolak. “Kita akan mati! Jangan main-main seperti itu! Kapal ini akan dihancurkan!”
Selama Sima Wei mengayunkan pedangnya, apakah Xiang Shu bisa menahannya atau tidak, itu satu hal – bahkan jika kapal ini tidak hancur, kapal itu masih akan dijungkirbalikkan oleh gelombang! Chen Xing berteriak dengan panik, “Jangan bertindak sembarangan! Apapun bisa dilakukan, Iuppiter! Selamatkan aku–“
Sima Wei mengangkat pedang panjangnya, dan tepat ketika dia akan melepaskan seranganyang akan menghancurkan langit, sambaran petir melintas di langit.
Boom! Petir bertepuk, sambaran petir menghantam dan terpikat oleh pedang panjang Sima Wei, yang berdiri di tempat yang tinggi. Dalam sekejap, seluruh rumah disambar petir. Tubuh Sima Wei terbakar habis, dan dia jatuh ke belakang. Kebencian yang terkumpul meledak di tempat dan lenyap tanpa jejak.
Chen Xing bergumam, “Ah, itu datang tepat waktu, itu bagus. Bukankah aku memintamu untuk tidak bertindak sembarangan? Sekarang lihat, kau baru saja disambar petir.”
Kemudian dia kehilangan semua kekuatannya, terpeleset dari sisi kapal dan duduk di geladak.
Bab Sebelumnya Ι Bab Selanjutnya
KONTRIBUTOR
Keiyuki17
tunamayoo
Chen Xing bener bener kebalikan Xie Lian kalo soal keberuntungan ANJIR WKWKKWKW
Sima Wey ga kehilangan semua memorinya mungkin gegara pas pembangkitan diganggu sama xs cx sama 1 temennya kmrn.. iya ga si?