Penerjemah: San
Proofreader: Keiyuki, Rusma
Peng Jiahui tak pernah menyangka bahwa plot di cerita kriminal akan menimpa putranya sendiri.
Sebelumnya, saat mendengar ada orang gila berkeliaran, Peng Jiahui bahkan tak terlalu memikirkannya, juga tak merasa perlu menelepon anaknya untuk sekadar memperingatkan.
Dalam hatinya, dia yakin orang itu akan segera tertangkap. Mana mungkin kebetulan seperti itu terjadi.
— Tapi, justru itulah yang terjadi.
Di hari kejadian, Peng Xingwang dibawa kembali ke rumah, Peng Jiahui yang memandikannya, mengeringkan rambutnya, dan menenangkannya hingga tertidur. Sepanjang proses itu, Peng Xingwang sangat patuh, tidak menimbulkan masalah sama sekali.
Padahal, anak ini dulu tak seperti ini.
Peng Jiahui tahu betul hal-hal buruk yang pernah dia lakukan dulu.
Saat pekerjaannya tidak berjalan lancar, dia setiap hari merendahkan diri di kantor seperti “cucu” (rendahan). Lalu, sepulang ke rumah, dia melampiaskannya pada anaknya, bahkan tanpa alasan kadang menendangnya tiba-tiba.
Saat itu, Peng Xingwang kurus dan selalu tampak takut, tak berani menatap langsung, apalagi berbicara dengan percaya diri seperti sekarang.
Ketika memandikan anaknya, Peng Jiahui merasa seperti sedang bermimpi.
Bagaimana mungkin seorang anak tak menyimpan dendam?
Apakah dia tidak membencinya?
Bukankah seharusnya anak ini membencinya karena telah membuat ibunya pergi, membencinya karena dulu sering memukul dan memarahinya, atau karena hingga kini menitipkannya di rumah saudara?
Hampir tak ada dendam dalam diri Peng Xingwang.
Setiap kali Peng Jiahui sadar sepenuhnya, dia secara naluriah berjaga-jaga, takut anaknya akan membalas segala yang pernah dilakukannya.
Namun dari dulu sampai sekarang, hal itu tak pernah terjadi.
Peng Xingwang tampak seperti telah melupakan semua hal buruk di masa lalu, menjalani hari-harinya dengan bahagia.
Peng Jiahui bahkan pernah membicarakan hal ini dengan Jiang Wang.
Dia merasa seolah memiliki kecenderungan menyiksa diri, merasa tak pantas mendapatkan kasih sayang dari anaknya.
“Menurutmu, kenapa Xingwang tidak membenciku?”
Jiang Wang hanya menatapnya setelah mengisap setengah batang rokok.
“Kamu sendiri tahu jawabannya.”
Jiang Wang pun tak mengerti anak seperti itu.
Seolah-olah hati anak ini terbuat dari kaca anti peluru, meski dihujani telur busuk dan tomat busuk, itu cukup dilap hingga bersih dan tetap bening seperti kristal.
“Ayah, saat aku melihat orang gila itu, aku berpikir, betapa sedihnya ayah jika terjadi sesuatu padaku.”
Peng Xingwang berkata sambil menggosok busa di tangannya, “Untung saja guru Ji tangkas, melempar beberapa bola dan membuat orang itu linglung!”
Peng Jiahui hanya menjawab canggung sambil membilas tubuh anaknya dengan shower.
Guan Hong menghabiskan waktu cukup lama di balkon mengisap rokok sebelum akhirnya pergi tanpa sepatah kata.
Keesokan harinya, setelah mengantar Xingwang ke rumah sakit, Peng Jiahui mengundang pacarnya ke rumah dan bahkan menyiapkan sekotak kue sebagai hadiah.
Pada malam saat menidurkan anaknya, dia memikirkan banyak hal.
“Hong Hong, aku tak ingin menahanmu.”
“Ada beberapa hal yang tak cocok di antara kita, jadi mari kita berpisah dengan baik.”
Guan Hong tak menerima hadiahnya, sambil menatapnya marah, “Ulangi sekali lagi?”
Peng Jiahui bingung dengan apa yang dipikirkan wanita ini. “Bukankah kamu mengatakan…”
“Kamu baru saja mendekatiku beberapa hari, dan sekarang ingin putus?” Guan Hong tampak merasa terhina, amarahnya kembali muncul, “Oke, baiklah, aku lihat gadis di bagian personalia bermarga Lin itu selalu menempel padamu, pasti kamu tertarik padanya, ya? Sekarang kamu menggunakan putramu untuk menyudutkanku?”
Peng Jiahui terlihat bingung, “Lin atau Wang, siapa? Aku benar-benar mengatakan ini demi anakku, bukankah kamu yang mengatakan sejak awal, kalau ada dia, maka kamu memilih pergi?”
“Omong kosong apa ini?” Guan Hong tertawa sinis, seolah mendengar lelucon besar, “Demi putramu?”
“Jika memang demi putramu, kemana saja kamu beberapa tahun ini? Kenapa baru ingat sekarang?”
“Jika kamu tidak mau mengurusnya sendiri, tidak juga menyerahkan pada mantan istrimu, malah menitipkan pada dua orang homoseksual. Kamu tidak takut anakmu jadi homoseksual juga?!”
Pikiran Peng Jiahui kosong, tangannya tergelincir, kue di tangannya jatuh dan hancur di lantai.
“Apa… apa maksudmu?!”
Dia marah, “Temanku bukan orang seperti itu, guru Ji pun tak seperti itu! Berhentilah mengoceh! Apa kamu mempunyai bukti?”
“Bukti? Masih perlu bukti?” Guan Hong menyindir, “Sama persis seperti mantan pacarku, setiap kali kami bertemu dia pasti menempel erat pada pria lain. Apa kamu pernah melihat beberapa pria yang selalu menempel dengan mesra pada pria lain?”
Sebelum dia menyelesaikan kata-katanya, Peng Jiahui yang kesal melayangkan tamparan keras!
“Plak!”
“Kamu… kamu berani menamparku?!” Guan Hong berteriak tajam, “Peng Jiahui, kamu sudah gila?!”
“Kamu takut tetangga-tetangga tidak tahu, ‘kan?” Dia membentuk tangan seperti corong di mulutnya, bersiap berteriak, “Jiang Wang itu adalah seorang… “
Peng Jiahui langsung menamparnya lagi.
“Diam!”
Dia sudah lama tidak main tangan pada siapa pun, dan kini tubuhnya gemetar saat berbicara.
“Dengar, wanita gila! Berhenti membicarakan orang di belakang!”
“Walaupun Jiang Wang sebenarnya adalah seorang perempuan yang menyamar, seorang banci, itu bukan urusanmu untuk ikut campur!”
“Kamu ingin memberitahu ke tetangga, ‘kan?” Peng Jiahui langsung membuka pintu lebar-lebar, bahkan pintu kasa pun dia biarkan terbuka, tidak memberi Guan Hong kesempatan untuk bereaksi. “Kalau kamu berani bicara, aku juga berani membuka mulut. Aku akan mengatakan jika kamu ketahuan tidur dengan empat-lima orang sekaligus, dan Jiang Wang sendiri yang melihatnya. Kita lihat siapa yang dipercaya tetangga!”
Guan Hong gemetar, tidak menyangka Peng Jiahui bisa membela temannya sekeras ini.
Dia sadar kalau dia sudah keterlaluan, dan terkejut melihat sisi garang pria ini.
Sebelum Guan Hong sempat berkata apa pun untuk menenangkan keadaan, Peng Jiahui berteriak keras, “Pergi dari sini!”
Mantan pacarnya itu kabur dengan panik, sementara pria paruh baya itu duduk perlahan, gerakannya agak limbung.
“Hatchi!”
“Masuk angin?”
“Tidak juga, akhir-akhir ini aku tidak terkena udara dingin.” Jiang Wang mengusap hidungnya, tidak tahu kalau ayahnya baru saja membelanya dengan sebutan yang tidak biasa, “Apa mungkin aku sedang dihujat wartawan di luar sana?”
Dia seharusnya hanya dirawat selama dua hari, tapi perusahaan properti malah memanggil psikolog untuk mendampinginya dan anak itu selama beberapa hari, sehingga dia tidak perlu pergi ke pengadilan dengan emosinya yang meluap-luap dan malah minta ganti rugi besar-besaran. Mereka juga menyediakan kamar VIP dengan perawatan ekstra, semacam taktik diplomatis.
Seolah khawatir pelayanan mereka kurang baik, setiap hari mereka mengganti karangan bunga ucapan di pintu dan dekat tempat tidur. Tiga kali sehari ada buah segar yang dipotong, empat lauk dan satu sup. Setelah mendengar bahwa Bos Jiang punya sedikit masalah batu ginjal, mereka bahkan memindahkan dispenser air ke kamar VIP.
Ji Linqiu secara rutin mampir menemaninya sebentar, sambil mengurus urusan dengan konsultan dan membantu berbicara dengan para guru tentang kontrak mereka.
Pintu diketuk beberapa kali, Jiang Wang yang sedang sibuk memperbaiki dokumen di laptopnya berkata singkat, “Masuk.”
Peng Jiahui masuk membawa sup, dan juga sekantong buah untuknya.
“Aku kira sekretaris,” Jiang Wang tersenyum sambil menyapa, “Maaf, aku sedang sibuk dan agak linglung.”
Peng Jiahui tampak sedikit ragu, dia mengangguk dengan agak canggung, dan dengan sopan bertanya tentang kondisi kesehatan Jiang Wang.
Jiang Wang merasa ada yang tidak beres, dan dia menduga ayah kandungnya mungkin datang untuk meminjam uang.
Kabarnya, perusahaan mesin itu sedang mencari investor baru untuk ekspansi, mungkin ayahnya ingin menjadi salah satu pemegang saham.
… Bukan tidak mungkin dia akan meminjamkannya, tapi tergantung uang itu akan dipakai untuk apa.
Melihat sikap ramah dan santai dari Jiang Wang, Peng Jiahui makin merasa sulit mengutarakan niatnya, jadi dia hanya bisa menyendokkan semangkuk besar sup untuk temannya.
“Otot dan tulangku tidak ada yang patah, minum sup tulang tak perlu segitunya,” Jiang Wang tertawa, mengucapkan kalimat itu dengan ringan, lalu menghabiskan semangkuk sup dalam sekali teguk.
Untung saja Xingwang sedang sekolah, kalau tidak, pasti dia akan berebut sup dengannya.
Jiang Wang berpikir, menyadari bahwa dirinya memang tak punya banyak ambisi.
Meskipun saat kecil dia pernah dipukuli dan dimarahi berkali-kali, begitu sup dihidangkan, tetap saja dia tidak bisa menolak untuk meminumnya.
Ah, begitulah manusia.
Peng Jiahui duduk di samping dan mengobrol ringan, berpikir lebih baik tidak perlu untuk menanyakan lagi, terlebih, kalau pun benar mereka berpacaran, memangnya itu akan membahayakan Xingxing?
Jiang Wang menunggu beberapa saat hingga mulai merasa tak sabar. Bukankah ini hanya persoalan meminjam uang, seharusnya bisa bicara langsung dan menjelaskan dengan baik.
“Sebenarnya, kalau ada yang ingin kamu katakan, katakan saja, kita sudah lama saling mengenal, tidak perlu takut,” katanya santai, “Jangan terlalu banyak beban pikiran, apa yang perlu ditakutkan?”
Peng Jiahui terdiam beberapa detik, bertanya-tanya apakah dia sudah ketahuan.
Dengan resah, ayah kandungnya duduk gelisah selama beberapa waktu, dan akhirnya berkata, “Aku merasa agak canggung mengatakan ini.”
“Apa yang perlu dicemaskan?” Jiang Wang mengangkat alis, “Siapa yang belum pernah mengalami situasi seperti ini?”
… Apa?
Peng Jiahui terdiam beberapa saat, lalu berkata, “Aku putus dengan Hong Hong.”
“Ini terlalu cepat,” Jiang Wang mulai mengira ayahnya ingin meminjam uang karena sesuatu terjadi, “Apakah dia mengalami masalah atau kamu yang mengalami masalah?”
“Aku tidak ada masalah apa-apa,” Peng Jiahui buru-buru menggelengkan kepala, “Ini soal anak itu, tak ada hal lain.”
“Dia tidak suka anak kecil, juga tidak ingin melihat Xingwang di rumah. Meski sebelumnya aku memang merasa dia cantik… tapi kecantikan saja tidak cukup.”
Peng Jiahui menghela napas, bergumam, “Aku juga berpikir apakah harus menikah lagi, tapi bagaimanapun, Xingxing tetap anakku, mana mungkin aku bisa meninggalkannya begitu saja.”
Tiba-tiba, Jiang Wang merasa senang, “Begitu maksudmu.”
“Sebenarnya Xingxing pernah datang kepadaku dan mengatakan bahwa kalian ingin dia pindah sekolah.”
Peng Jiahui menunduk, rasa percaya dirinya kembali berkurang.
“Aku juga berharap dia bisa pergi ke kota provinsi dan melihat dunia yang lebih luas, tapi…”
“Tapi kenapa?”
“Jangan tertawakan aku,” Peng Jiahui menunduk sambil menggenggam jemarinya, “Aku takut jika dia pergi ke kota provinsi, tetangga-tetangga akan menuduhku mengabaikan anakku.”
“Namun, kalau aku menahannya demi menjaga harga diri, bukankah itu berarti aku menghalangi kesempatannya bersekolah di sekolah yang bagus?”
Jiang Wang mendengarkan dengan sabar.
Ia sadar bahwa dirinya sangat suka mendengarkan Peng Jiahui bicara soal Xingxing.
Setiap kali Peng Jiahui berpikir bagaimana caranya membahagiakan Xingxing, setiap kali dia membeli sesuatu untuk anak itu atau mengajaknya pergi, Jiang Wang selalu merasa senang selama beberapa hari.
Lagipula, bocah itu adalah dirinya, jika dihitung-hitung, ayahnya yang berusia tiga puluhan itu berusaha menebus kesalahan untuk dirinya sendiri.
“Jadi setelah dipikir-pikir, aku memutuskan untuk mendengarkan pendapat kalian soal ini. Kalau ada yang berbicara buruk, aku akan menjelaskan. Bukankah sudah sering aku dihujat seperti ini?”
Peng Jiahui menarik napas panjang, seakan menurunkan harga dirinya, lalu menatap Jiang Wang, “Teman, sebelum bertemu denganmu, aku menjalani kehidupan yang membingungkan, hanya menjalani hari demi hari.”
“Aku sangat berterima kasih karena telah bertemu denganmu, mengikuti saran-saranmu, dan perlahan berjalan hingga seperti sekarang. Aku punya penghasilan tetap, bisa membawa anak itu bermain kemana saja. Sungguh.”
Jiang Wang mendengarnya, wajahnya terasa panas, tak menyangka bahwa ayahnya tiba-tiba begitu tulus, dia terbatuk-batuk, bingung harus menjawab apa.
Peng Jiahui langsung bertanya, “Apakah kamu sedang flu?”
“Mungkin,” Jiang Wang terus terbatuk, berusaha mengusir perasaan kikuk itu, “Akhir-akhir ini aku juga sering bersin.”
Setelah sampai di titik ini, beban di hati Peng Jiahui banyak berkurang.
Dia tertawa canggung dan bercanda, “Saat putus, Hong Hong berkata hal-hal yang tidak masuk akal, bahkan mengatakan bahwa kamu berpacaran dengan guru Ji.”
Jiang Wang tiba-tiba merasa cemas, refleks berusaha menahan semua ekspresi wajahnya.
“Apa maksudmu?”
Jiang Wang hidup di dunianya sendiri untuk waktu yang lama.
Orang yang hidup tanpa hambatan biasanya akan begitu. Seolah semua aturan dan norma dibuat sesuai untuknya, semuanya wajar.
Dia menyukai Ji Linqiu, itu dianggap wajar. Dia juga terus mendekati Ji Linqiu, tanpa perlu berpikir panjang.
Namun, saat Peng Jiahui menyebut soal ini, Jiang Wang tiba-tiba melihat segalanya dari sudut pandang penduduk kota kecil.
Homoseksual? Itu dianggap kelainan.
Pikirannya langsung melesat jauh, membayangkan kemungkinan mereka akan dikucilkan oleh seluruh kota hingga kemungkinan kehilangan anak itu, bahkan bagaimana sikap keluarga jika mereka tahu.
Peng Jiahui juga sadar bahwa pertanyaannya terlalu lancang, sampai dia menggeser kursi ke dinding dengan canggung dan tersenyum, “Jangan marah, wanita itu hanya mengatakan omong kosong, mungkin dia sedang mengonsumsi obat.”
Jiang Wang berusaha keras merenungkan apa yang membuatnya ketahuan, seakan dia sedang berjuang memadamkan api yang bisa menghancurkan orang yang dicintainya.
Apa dia dan Ji Linqiu terlalu dekat di depan Hong Hong? Apakah dia melihat mereka berciuman saat hujan? Atau mendengar sesuatu dari orang lain?
Setelah beberapa lama, Jiang Wang dengan suara serak berpura-pura santai bertanya, “Hong Hong yang bilang? Kenapa tiba-tiba mengatakan itu?”
Peng Jiahui duduk tegak, menyadari bahwa Jiang Wang tidak langsung membantah, wajahnya mulai berkeringat.
“Kamu… benar-benar…”
Jiang Wang menatapnya, pikirannya berpikir apakah orang ini membawa alat perekam.
Dan dia merasa ironis karena berpikir demikian.
“Iya. Cepat atau lambat aku akan memberitahumu, dan aku tidak bermaksud menyembunyikannya.” Dia menggenggam erat mangkuk termos pemberian ayahnya, menunduk dan menyeruput sup yang sudah habis, menunggu reaksi ayahnya.
Seperti anak kecil yang menunggu untuk dimarahi.
Peng Jiahui terdiam lama, menggosok-gosokkan tangannya, berdiri dan duduk kembali.
“Berikan mangkukmu padaku.”
Pria paruh baya itu mengambil mangkuk itu dan menyendok sup tulang yang kental, menuangkan sup dengan hati-hati agar tidak tumpah.
“Sudah kosong, tidak ada yang bisa diminum lagi.”
Jiang Wang refleks menerima mangkuk itu dan kembali menyeruputnya.
Si anak kecil di dalam dirinya tidak menerima tamparan, dan dia merasa bingung.
“Aku sama sekali tak menduganya, maafkan aku. Beberapa hari lalu aku bahkan menawarkan guru Ji untuk kuperkenalkan pada seseorang,” ujar Peng Jiahui dengan canggung, “Sebenarnya, aku tidak terlalu paham soal kalian… yah, orang bilang hubungan seperti itu begitu rentan terhadap AIDS, sebaiknya kalian tetap… berhati-hati.”
Jiang Wang terdiam, “Aku bahkan tak tahu bagaimana pria dan pria melakukannya. Kami hanya berpegangan tangan, bagaimana mungkin terkena AIDS?”
Peng Jiahui juga tercengang, “Kamu tidak tahu?”
Dia kelihatan bingung dan heran, “Kamu yakin hubungan kalian benar-benar… begitu?”
Mungkinkah kalian semua salah paham?
“Iya,” Jiang Wang mengangguk sambil minum sup, “Sebelum bertemu Guru Ji, aku tidak pernah menyukai siapa pun, dan tidak ada yang menarik bagiku.”
Peng Jiahui mengangguk kikuk, juga tidak menyangka temannya bisa terlibat dengan guru bahasa Inggris anaknya sendiri, lalu terbatuk dengan canggung, “Kalian berdua kelihatannya hidup baik-baik saja, seharusnya tidak akan ada masalah.”
“Ketika Guan Hong mengatakan padaku, aku sampai menampar dia dua kali, karena dia marah dan ingin menyebarkan gosip ke mana-mana.”
Peng Jiahui, yang tidak yakin apakah temannya ini punya latar belakang gangster Hongkong atau tidak, buru-buru menjelaskan, “Aku sudah mengancamnya, kalau dia berani bicara sembarangan, aku bisa aja mengatakan bahwa dia ketahuan tidur dengan tiga-empat orang sekaligus, dia langsung kabur ketakutan. Tidak usah khawatir, tidak akan ada masalah.”
Jiang Wang tertawa terbahak-bahak, merasa ini solusi yang luar biasa, meski ironis membahas soal hubungan asmara dengan ayahnya sendiri.
Sudah dianggap seperti ayah sendiri, jadi tidak ada yang terlalu aneh, terima saja kenyataan.
Sungguh mengatasi sihir dengan sihir.
Jiang Wang merasa masih bisa mengontrol emosinya, jadi dia mulai menggigit daging yang menempel di tulang di dalam sup sambil mendengarkan Peng Jiahui bercerita lagi.
“Ini juga tidak mudah bagi kalian. Aku yakin selama ini kalian pasti sangat berhati-hati, karena gosip di luar sana bisa sangat menyakitkan. Kamu harus melindungi Guru Ji.”
“Kamu tidak merasa terganggu?”
“Aku?” Peng Jiahui menggaruk kepala, “Aku sendiri sudah pernah dianggap tidak normal oleh orang lain, jadi aku paham bagaimana rasanya.”
Jiang Wang kira-kira bisa mengerti.
Ayahnya pernah jadi pemabuk yang dibenci para tetangga, wajar kalau dia bisa memahami perasaan orang yang dianggap aneh.
“—Kamu tahu, ‘kan, aku bisa memasak? Ketika baru menikah dan hubunganku dengan Wenjuan masih baik, aku sering pergi berbelanja bahan, memasak sup, melayani istri dan anak. Tapi selalu saja dibicarakan di belakang, katanya aku tidak normal.” Peng Jiahui mengusap kepalanya dan berkata, “Sampai sekarang pun, setiap kali aku memasak atau membuat sup, tetangga masih suka menyindir.”
“Wah, kamu memasak lagi, ya? Sungguh rajin!” Dia menirukan nada bicara orang-orang itu, lalu tertawa pasrah, “Siapa di antara kita yang benar-benar bisa hidup santai? Melakukan apa saja pasti ada saja yang dibicarakan. Benar-benar aneh.”
Jiang Wang sebelumnya tidak tahu soal ini, karena dia sendiri tidak pernah memasak. Tapi memang benar, kota kecil ini mempunyai tradisi yang konservatif. Pria yang suka masak dan mengasuh anak malah dianggap lemah, sementara minum dan bertindak kasar dianggap biasa.
Apa yang dianggap keren di kota besar bisa jadi omongan di tempat seperti ini.
“Setelah aku mendengar apa yang dikatakan Guan Hong, aku memikirkannya untuk waktu yang lama, tidak yakin apakah keputusan mengirim Xingwang ke kalian itu tepat atau tidak.”
Peng Jiahui menunduk, suaranya menjadi tenang.
“Sepertinya aku ini orang yang egois.”
“Walaupun aku tahu kamu dan Guru Ji bersama, reaksi pertamaku adalah tetap ingin mengirim Xingwang ke kota besar, agar dia dapat belajar dan tinggal di tempat yang bagus, tidak seperti ayahnya yang susah payah di kota kecil.”
“Aku ingin dia bisa kuliah di Beijing atau Shanghai, atau kalau bisa ke luar negeri. Intinya, menjalankan hidup yang lancar.”
“Maaf, aku bahkan tidak tahu lagi apa yang aku bicarakan.”
Dia cepat-cepat menatap Jiang Wang, tampak agak malu dan sungkan.
“Selama kalian baik pada Xingwang, itu udah cukup untukku.”
Sejak pindah kerja dan naik jabatan, Peng Jiahui berusaha keras mempertahankan harga diri di depan Jiang Wang, mencoba berdiri tegak sambil bercerita.
Dia suka menyebut berapa banyak uang yang dia hasilkan atau rencananya membeli rumah baru, seolah-olah dengan begitu dia juga adalah orang yang berhasil, layak bersahabat dengan Jiang yang terkenal di kota.
Tapi ini pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir Peng Jiahui menurunkan dirinya sampai begini.
Seolah semua yang sudah dia bangun menjadi berantakan lagi, dan dia menunjukkan sisi lemahnya di hadapan Jiang Wang.
Jiang Wang meletakkan tulang di tangannya. Saat itu dia merasa hidungnya mulai berair.
“Hei, apa yang sedang kamu bicarakan?” Dia mencoba mengubah suasana, berpura-pura tidak sabar, “Memalukan sekali bersikap sopan seperti itu.”
“Jika Xingwang menyukai seorang anak perempuan, dia tidak akan terpengaruh. Dia sangat pintar.” Jiang Wang sengaja membahas yang tidak berani ditanyakan oleh Peng Jiahui, menopang dahinya sambil berkata, “Dia masih kecil, tapi sudah tahu cara mengambil hadiah kecil dari toko buku untuk menyenangkan hati orang lain, bahkan mengajak mereka menonton film bersama. Kamu tidak perlu berpikir berlebihan.”
“Aku dan Guru Ji juga memahami situasi, tidak akan bertingkah macam-macam di depan anak itu.”
“Hal-hal ini… sebenarnya sejak awal aku sudah berencana untuk membicarakannya denganmu. Juga berencana untuk berbicara dengan ibunya Xingwang jika ada kesempatan. Tidak ada niat untuk menyembunyikannya.”
Peng Jiahui mengangguk, melihat Jiang Wang sudah selesai makan, dia pun bangkit untuk merapikan, lalu berkata, “Tapi jika nanti Xingwang harus berangkat, aku tetap akan bilang kepadanya, jika dia merasa tidak nyaman di sana, dia bisa menelepon kapan saja, dan aku siap menjemputnya.”
“Itu bukan karena aku tidak mempercayai kalian.”
“Tidak apa-apa, katakan saja,” Jiang Wang memperhatikan dia merapikan dan bersiap pergi. Tiba-tiba berkata, “Sebenarnya kamu… sekarang lebih menyayangi Xingwang daripada sebelumnya.”
“Benarkah?” Peng Jiahui tersenyum, sambil mengelap kotak makan yang sudah bersih.
“Aku kadang berpikir, jika hidup kita saja berantakan, apakah kita masih bisa menyayangi orang lain?” Dia menatap Jiang Wang dengan raut lega, “Hanya jika pekerjaan berjalan lancar, tinggal di tempat yang nyaman, dan berpakaian hangat, barulah ada tenaga untuk merawat orang lain. Bukankah begitu?”
Jiang Wang menatapnya lama, lalu mengangguk.
Dia tiba-tiba tersadar, mungkin dulu Wenjuan dan Peng Jiahui hanya kurang kesempatan.
Di tahun-tahun awal pernikahan mereka, mereka mengalami masa sulit ketika pabrik milik negara mulai melakukan PHK besar-besaran. Orang tua mereka semuanya petani, tidak ada yang bisa memberi saran bagaimana cara bertahan.
Jika kesempatan itu datang tepat waktu, mungkin mereka tidak akan bercerai, dan Jiang Wang juga tidak harus menjalani hidupnya yang penuh perjuangan seperti sekarang.
Pikiran ini membuat Jiang Wang segera mengurus kepulangan dari rumah sakit malam itu juga, pulang ke rumah dengan tertatih-tatih.
Ji Linqiu sedang menemani Xingwang belajar, agak terkejut saat melihatnya pulang.
“Ayahmu tadi datang,” Jiang Wang mengelus kepala anak itu, “Dia masih ingin kamu bersekolah di ibu kota provinsi. Dia juga bilang semoga kamu bisa kuliah di Beijing atau Shanghai, atau bahkan ke luar negeri.”
“Jika ada yang tidak nyaman di sana, kamu bisa meneleponnya kapan saja dan meminta ayahmu menjemputmu pulang.”
Xingwang sempat bengong, lalu bersorak senang.
“Yay!!”
Selama dua hari terakhir di sekolah, anak itu sudah seperti pahlawan dari film, dikelilingi teman-teman yang meminta tanda tangan. Buku kenangan juga sudah penuh dengan tulisan, ada yang bahkan membuat akun QQ khusus agar bisa tetap berhubungan.
Meski agak sedih karena harus berpisah, dia akan menjalani petualangan baru di kota lain ketika musim gugur tiba, siapa tahu akan lebih seru!
“Oh iya, ada satu hal lagi,” Jiang Wang berpikir sejenak, lalu berbisik, “Ayahmu sudah putus dengan Bibi Guan, dia tidak akan datang lagi.”
Xingwang terdiam, khawatir dia mungkin melakukan kesalahan.
Jiang Wang mencubit pipinya, tidak sadar bahwa dia sudah tersenyum sejak tiba di rumah.
“Ayahmu bilang, dia benar-benar sangat menyayangimu.”
“Dia hanya ingin kamu selalu bahagia.”