Penerjemah : Keiyuki17
Editor : _yunda
Pada pagi hari pertama tahun baru, Jian Songyi dibangunkan oleh Bo Huai.
Jian Songyi merasa ini adalah pertanda baik.
Jadi dia mengalungkan lengannya ke leher Bo Huai dan menciumnya penuh kasih.
“Selamat tahun baru, pacar.”
Bo Huai menatapnya, mengeluarkan amplop merah dan tersenyum: “Uang Tahun Baru dari pacarmu.”
Amplop merah itu terlihat cukup tebal.
Jian Songyi menerimanya dengan puas, mencubitnya, dan merasa bahwa itu tidak benar. Dia mengangkat alisnya dengan waspada: “Bo Huai, jangan membuat masalah di tahun baru.”
Bo Huai merasa ada yang salah dengan citranya di hati Jian Songyi. Dia tersenyum tak berdaya dan berkata, “Apa aku seburuk itu? Buka dan lihatlah apakah itu hal yang baik.”
Jian Songyi meragukan amplop itu, saat dia membukanya, kain merah yang terlipat rapi jatuh.
Jian Songyi merasa bahwa kain merah itu tampak familier, saat dia membukanya, sebaris kata tertulis di kain merah itu.
— Aku ingin bersamamu sepanjang waktu.
Tulisan tangannya adalah tulisan tangan yang familier, dan kain merahnya juga merupakan kain merah yang familier baginya.
Pada hari kematian Paman Wen Zhimian, saat mereka berdua bolos kelas dan pergi ke Gunung Ling’an,1 Ada di ch 32. Jian Songyi yang tidak tahan lagi dengan seorang gadis kecil yang terus mengikuti mereka, akhirnya menghabiskan 50 yuan untuk membeli dua kain harapan.
Hari itu, dia mencurahkan seluruh energinya pada prehnit dan tidak terlalu peduli dengan kain merah tersebut. Bo Huai sendiri juga berkata bahwa dia membuang kain merahnya, jadinya dia mempercayainya begitu saja.
Tapi ternyata dia berbohong.
Jian Songyi berkata dengan tegas “Bo Huai, lihat, kamu berbohong lagi padaku!”
Sebegitu galaknya dia hampir tidak ada penawarnya lagi.
Bo Huai tidak ingin membahas hal ini. Lalu dengan cepat, dia membuka selimut dan mengangkatnya dari tempat tidurnya: “Hal-hal lama tidak masuk hitungan. Cepat bangun, kita akan pergi ke Gunung Ling’an.”
Jian Songyi terbiasa berbaring di tempat tidur untuk sementara waktu. Tubuh dan mentalnya masih enggan meninggalkan kehangatan tempat tidurnya. Dia berjuang untuk menarik kembali selimutnya: “Ini baru jam enam lebih. Kenapa kita pergi ke Gunung Ling’an?”
Bo Huai membujuk dengan sabar, “Ikat kain merah ini ke pohon harapan, buat permintaan, dan kemudian pergi menemui papaku.”
Jian Songyi langsung bangun dengan patuh.
Itu benar, dia sudah menculik Bo Huai, jadi dia harus melaporkannya ke Paman Zhimian.
Mereka berdua kemudian bergiliran memberi salam Tahun Baru pada orang tua mereka. Kecuali Bo Han yang pergi pagi-pagi sekali, para tetua lainnya masing-masing mengirim amplop merah dengan lima digit angka, yang akhirnya berakhir masuk ke rekening Jian Songyi semua.2Jian Songyi be like, uangmu uangku, uangku ya uangku! Haha.
Setelah mendapatkan banyak uang, mereka berangkat ke Gunung Ling’an.
Dari musim gugur, ke musim dingin, dan kembali ke musim semi lagi.
Pohon tua di Kuil Dajue di Gunung Ling’an, yang sudah tumbuh selama bertahun-tahun, daunnya berguguran, rantingnya gundul dan bertunas lagi, disetiap cabangnya ribuan kain merah terikat erat, penuh akan harapan para manusia.
Memohon kasih dari Sang Budha.
Mereka berdua menginjak batu yang tinggi di tebing bersama-sama, di puncak pohon, dan mengikat kain merah.
Angin dingin di awal musim semi bertiup dan menari di udara.
Jian Songyi mengangkat kepalanya dan menghela napas, memandangi kabut putih yang mengepul di udara dan tersenyum: “Bo Huai, menurutmu kenapa kita begitu percaya pada takhayul?”
Bo Huai meraih tangannya dan berjalan perlahan menuruni gunung: “Itu bukan takhayul, itu harapan. Selama orang memiliki harapan, mereka bisa hidup lebih baik.”
Tidak peduli apa, sepertinya selama Bo Huai mengatakannya, Jian Songyi merasa itu masuk akal.
Dia bertanya dengan acuh tak acuh, “Apa harapanmu?”
“Kamu.”
“Sesederhana itu?”
“Ya.”
Jian Songyi tersenyum: “Kalau begitu aku akan serakah. Harapanku adalah kita bisa bersama seumur hidup kita, sehat, kaya dan bahkan lebih tampan.”
“Agak serakah, tapi papaku harus memberkati kita. Terakhir kali aku memintanya memberkatiku untuk mengejarmu, dia setuju. Nanti kamu bisa mengatakan sesuatu yang baik dan membujuknya. Mungkin begitu dia bahagia, dia akan memenuhi keserakahanmu itu.”
“Jangan khawatir, aku lebih manis darimu sejak aku masih kecil.”
Jian Songyi mengatakan yang sebenarnya. Saat dia masih kecil, dia tidak memiliki temperamen tiran sekolah. Dia sangat manis dan imut. Karena itu, semua orang terbiasa dengannya sejak kecil, dan Wen Zhimian selalu mengajari Bo Huai untuk merawatnya.
Dengan cara ini, Wen Zhimian seharusnya bahagia karena mereka bersama.
Mungkin karena harapan, saat mereka berjalan ke pemakaman di pagi hari, mereka jauh lebih sentimental dibanding saat mereka datang terakhir kali.
Jian Songyi sudah menyiapkan banyak kata untuk meyakinkan Wen Zhimian, tapi saat dia melihat sosok di depan makam, semuanya menghilang seperti asap di udara yang tipis.
Di depan makam seikat Eustoma putih segar yang mekar, tertutup embun pagi.
Pria yang berdiri di depan makam itu memiliki lapisan es tipis di ujung rambut dan bahunya.
Tidak tahu sudah berapa lama dia berdiri.
Punggungnya yang tinggi terlihat suram.
Keduanya berhenti secara bersamaan.
Terjadi keheningan singkat.
Jian Songyi berkata dengan suara yang lembut, “Pergilah ke sana dan mengobrol dengannya. Aku akan menunggumu di sini. Bagaimanapun, ini makam paman Zhimian. Jangan bertengkar dengannya.”
Orang yang paling suka bertengkar membujuk orang lain untuk tidak bertengkar.
Bo Huai membantu Jian Songyi untuk mengenakan syalnya dan tersenyum: “Oke, aku akan mendengarkan pacarku.”
Di pagi hari, pemakaman masih terlalu sepi, di akhir musim dingin dan awal musim semi, tidak ada serangga atau burung yang bersemangat memainkan lagu mereka.
Percakapan antara ayah dan putra dari keluarga Bo jatuh ke telinga Jian Songyi secara tidak sengaja.
Dia tidak tahu apakah itu khayalannya atau bukan. Dia bahkan berpikir bahwa suara Bo Han hari ini sebenarnya sangatlah lembut.
“Kamu membawa Xiaoyi untuk melihat papamu?”
“Ya.”
“Apa kamu sudah mengatakan padanya bahwa kamu akan pergi setelah tahun baru?”
“Aku sudah bilang.”
“Apakah kamu yakin ingin belajar kedokteran?”
“Ya.”
Bo Han tidak berbicara lagi.
Keheningan jatuh di pemakaman.
Setelah waktu yang lama, Bo Huai perlahan berkata, “Kenapa kamu tidak ingin aku belajar kedokteran?”
Bo Han tidak menjawab.
“Apakah kamu begitu takut karena memikirkan papa? Takut bahwa kamu tidak akan peduli padaku selama bertahun-tahun, dan akan merasa dikecualikan saat aku belajar kedokteran?”
Bo Han masih tidak menjawab.
“Apa menurutmu apa yang kamu lakukan itu hebat dan menarik? Apa kamu pikir papa bisa bahagia jika seperti ini?”
“Dia sudah pergi.” Suara Bo Han terdengar rasional dan tenang. “Dia sudah pergi, jadi dia tidak akan merasa bahagia atau tidak bahagia. Semua ini tidak ada artinya.”
Pada saat itu, Jian Songyi tiba-tiba mengerti apa yang dimaksud Bo Huai saat dia berkata “orang bisa hidup lebih baik jika mereka memiliki harapan”.
Jika tidak ada harapan, ia mungkin akan menjadi seperti Bo Han.
Ingin mencintai, tapi tidak ada tempat untuk mencintai.
Ada keheningan panjang lainnya.
Ini seperti rekonsiliasi dalam kesedihan yang sunyi.
Bo Han berkata dengan lemah, “Kamu lebih beruntung dariku. Kamu akan hidup lebih baik dariku.”
Kali ini, Bo Huai tidak berdebat dengan ayahnya, tapi dengan kepastian dan kelembutan seperti orang dewasa dia berkata: “Aku tahu.”
“Tapi pernahkah kamu berpikir bahwa jika kamu belajar kedokteran, akan sulit untuk mempertahankan hidupnya yang kaya sekarang.” Suara Bo Han juga lembut, seperti seorang ayah yang biasa mengobrol dengan putranya di rumah.
Jian Songyi mendengarkan dan berharap bisa segera membantah. Dia tidak membutuhkan Bo Huai untuk mendapatkan uang demi menghidupi keluarganya.
Namun, sebelum dia bergegas ke sana, Bo Huai berkata dengan lemah, “Aku berencana akan mempelajari ke arah penelitian obat medis Omega, bukan studi klinis.”
“Yah.” Bo Han mengangguk. “Ini adalah industri yang paling menjanjikan dalam beberapa tahun terakhir, dan kebijakan nasional juga mendukungnya. Jika kamu lulus dan membuka perusahaan riset farmasimu sendiri, itu sangat bagus.”
“Ya.”
“Tapi seharusnya tidak karena itu.”
“Yah, dia sombong, ceroboh, dan malas, jadi aku harus mencari cara.”
“Sepertinya kamu masih ingat apa yang aku ajarkan padamu saat kamu masih kecil.”
“Ya.”
“Aku tidak bisa melakukannya, tapi aku harap kamu bisa melakukannya.”
“Aku akan.”
“Bawa dia pulang. Aku ingin menemani papamu lagi.”
Bo Huai terdiam untuk waktu yang lama dan akhirnya mengangguk: “Oke.”
Dalam perjalanan pulang, Jian Songyi bertanya kepada Bo Huai, “Kupikir kamu akan menyuruhnya pergi, tapi justru kamu yang pergi sendiri.”
Bo Huai meraih tangannya dan melihat ke kejauhan dengan nada samar: “Dia sudah memiliki rambut putih padahal dia baru berusia 42 tahun.”
Salju musim semi terakhir turun di Kota Nan pada hari saat Bo Huai pergi.
Jian Songyi, yang selalu paling membenci musim dingin, tiba-tiba menemukan bahwa dia tergila-gila dengan aroma salju.
Dia tidak ingin Bo Huai melihat keengganannya, jadi dia menutupi setengah wajahnya dengan syal, berdiri di depan pintu keberangkatan, berpura-pura tenang, dan berkata dengan lemah, “Kamu bisa pergi dengan tenang. Kamu bisa belajar dengan tenang di Kota Bei, tanpa perlu mengkhawatirkanku. Aku tidak akan terlalu impulsif, aku akan berhati-hati, dan aku akan mencoba untuk tidak malas. Aku akan melindungi diriku sendiri, jadi kamu juga harus melakukannya.”
Bo Huai menurunkan matanya, memandang tupai kecilnya yang semakin tumbuh dewasa dan tersenyum: “Kamu adalah Omega yang kuat, bahkan seorang Alpha sepertiku dipukul dan dilkalahkan, jadi aku tidak takut kamu akan diganggu.”
“Aku curiga kamu menuduhku melakukan kekerasan dalam rumah tangga dalam bentuk terselubung.”
“Tidak, aku sangat menikmatinya. Aku bahkan terkadang berpikir kamu bisa lebih kejam.”
“Saat ini, kamu masih saja berbicara kotor!” Meskipun Jian Songyi sudah terbiasa dengan kata-kata Bo Huai dan kelakuannya yang tidak manusiawi, dia masih berkulit tipis dan mudah memerah. Dia menendangnya dan berkata, “Aku memiliki sesuatu yang serius yang ingin kukatakan padamu.”
“Katakan saja, aku akan mendengarkan.”
“Aku tidak ingin direkomendasikan.”
Bo Huai tidak terkejut dengan apa yang dikatakan Jian Songyi, dia hanya ingin tahu: “Kenapa?”
“Aku sudah mendapat kualifikasi yang direkomendasikan dalam kompetisi fisika, jadi aku mengirimnya untuk ditinjau. Tapi aku hanya bisa pergi ke Departemen Fisika Huaqing.”
“Apakah kamu tidak menyukainya?”
“Aku tidak suka. Aku hanya berpikir soal fisika itu menyenangkan untuk dilakukan, dan aku tidak ingin belajar fisika sepanjang hidupku. Apalagi menurutku temperamenku tidak cocok untuk berdiam diri dan mengerjakan tugas akademik.” Jian Songyi menyembunyikan dagunya di syalnya, “jadi aku tidak mau mempelajarinya.”
Bo Huai bertanya dengan suara hangat, “Apa yang ingin kamu pelajari?”
“Mempelajari keuangan, mendapatkan uang, dan mendukungmu.”
Bo Huai terkejut dengan jawaban ini. Dia tercengang dan memikirkan sesuatu. Kemudian dia tidak bisa menahan tawa dan berkata, “Apakah kamu mendengar pembicaraanku dengan Bo Han pada hari itu? Jadi kamu khawatir pacarmu tidak akan bisa menghasilkan uang di masa depan dan tidak dapat mendukung tuan muda Jian?”
Meskipun Jian Songyi tidak berpikir bahwa Bo Huai tidak akan bisa menghasilkan uang, yang sebenarnya dia pikirkan adalah penelitian ilmiah akan menghabiskan uang dan mengharuskan bekerja keras, jadi dia harus mencari uang sendiri agar Bo Huai bisa melakukan penelitian ilmiahnya dengan tenang.
Bo Huai tertawa, sekaligus tertusuk.
Jian Songyi malu: “Apa yang kamu tertawakan? Jangan tertawa! Aku hanya ingin mendukungmu, kenapa? Apakah kamu masih penganut Alpha yang utama dan berpikir kamu tidak bisa didukung olehku?!”
“Dukung saja, dukung.” Bo Huai membawa Jian Songyi ke dalam pelukannya dan mengusap kepalanya. Suaranya masih penuh dengan tawa, “Kenapa kamu begitu imut.”
“Kamu masih tertawa!”
“Tidak tertawa, sungguh tidak tertawa.”
Saat Bo Huai benar-benar berhenti tertawa, Jian Songyi yang berada dipelukannya, bergumam, “Aku orang biasa. Sejak aku masih kecil aku merasa sangat sederhana untuk melakukan semuanya, jadi aku tidak memiliki impian khusus. Sekarang impianku adalah kita bisa selalu bersama, jadi impianmu juga impianku. Aku harus menjaga impianmu.”
“Kalau begitu, bukankah aku harus makan makanan lunak ini selama sisa hidupku?”
“Suka, suka. Aku pikir itu enak setelah memakannya selama dua bulan.”
“Kamu tak tahu malu!”
“Tapi kalau kamu tidak mengambil rekomendasinya, kita tidak akan bisa bertemu sampai Juni. Jika kamu mengambilnya, kita bisa bertemu pada bulan April.”
“…”
Jian Songyi ragu-ragu, ekspresinya serius , seolah dia sedang berpikir hal paling penting demi keselamatan dunia.
Bo Huai merasa Jian Songyi sangat imut sehingga dia tidak bisa menahan tawanya lagi: “Impian pacarku tampaknya sedikit rapuh. Dia sebelumnya bisa mengalahkan waktu dua bulan itu, sepertinya pacarku sangat menyukaiku.”
Baru pada saat itu Jian Songyi menyadari bahwa Bo Huai menggoda dirinya lagi. Namun, semua yang dia katakan adalah kebenaran. Dia tiba-tiba menjadi marah dan meninjunya.
Bo Huai menerima pukulan itu, lalu dengan lembut menciumnya dan berkata sambil tersenyum, “Seperti yang diharapkan dari seorang pengantin kecil yang dibesarkan dengan tiga kotak susu stroberi sehari saat aku masih kecil, manis sekali.”
“Siapa pengantin kecilmu! Bo Huai, perhatikan kata-katamu! Sekarang kamu masuklah!”
Bo Huai mendapat pukulan lagi, dan kemudian menciumnya: “Oke, aku akan melangkah masuk, jadi sugar daddyku juga harus belajar keras, menulis langkah dengan baik dan mencoba mendukungku selama aku pergi.”
Jian Songyi mendengus dingin dan berniat untuk memberikan pukulan, tapi siaran bandara mulai mendesaknya untuk naik ke pesawat, dan kemudian pukulan itu berubah menjadi pelukan erat.
Bo Huai mengusap-usap kepalanya: “Aku benar-benar pergi.”
“Ya.”
“Aku tidak di sini, jadi kamu harus baik-baik saja dan sarapan dengan baik. Ingatlah untuk mengambil air hangat setiap keluar dari kelas. Jangan minum es atau kedinginan.”
“Ya.”
“Jika ada Alpha lain yang mengejarmu abaikan saja. Tentu saja, Omega juga.”
“Kamu masih berbicara tentang aku! Aku belum menyelesaikan denganmu, berapa banyak hutang bunga persik yang kamu sebabkan di sekolah menengah di Kota Bei!”
“Mereka semua tahu nama pacarku adalah Jian Songyi. Zhu Gong memiliki mulut yang lebih ember daripada Xu Jiaxing.”
“…”
Bo Huai tersenyum: “Kenapa telingamu memerah lagi? Apa kamu malu?”
“Aku tidak. Kamu cepatlah pergi. Kamu sungguh sangat menyebalkan dan cerewet.”
Jian Songyi mendorong Bo Huai.
Bo Huai berbalik untuk pergi.
Jian Songyi menghentikannya lagi: “Tunggu!”
Bo Huai berbalik.
Jian Songyi mengeluarkan buku sketsa, menyerahkannya pada Bo Huai, dan mengerutkan bibirnya: “Aku sudah memperbaikinya. Semua bagian yang kotor sudah kubersihkan, dan yang berserakan sudah kuikat kembali. Beberapa di antaranya tidak bisa aku perbaiki, jadi aku akan menggambar ulang sendiri. Aku tidak bisa menulis kaligrafi, jadi aku berlatih untuk waktu yang lama, tapi hasilnya masih tidak terlalu bagus. Aku akan mencoba untuk berlatih lebih banyak di masa depan. Kamu bisa puas dengan itu sekarang.”
Jeda sejenak.
“Paman Zhimian dan aku akan selalu ada di sana, jadi jangan berpikir kamu sendirian. Lebih banyaklah tertawa, perbanyak teman saat kamu kembali ke Kota Bei, jadilah lebih hidup, pergi makan malam, bermain basket, dan berkumpul bersama teman-teman saat kamu senggang. Tapi kamu jangan main mata! Awas saja. Aku sudah menambahkan wechat Zhu Gong, dan aku akan memeriksa postingan juga. Aku akan memberi tahumu, aku pelit, imut, cemburuan, dan tidak masuk akal, jika aku menemukanmu bermain-main dengan seseorang, aku akan membunuhmu di Kota Bei. Sungguh, jadi kamu pasti merindukanku…”
Jian Songyi mengatakan sesuatu yang ganas, tapi matanya memerah, suaranya tegang dan serak, dan dia tidak bisa mengucapkan kata-kata berikutnya.
Bo Huai menundukkan kepalanya dan menciumnya dalam-dalam, dengan semua keengganan dan kehilangan yang tidak diketahui tentang perpisahan.
Baru setelah keduanya selesai berciuman, sudut mata mereka menjadi merah, dan kemudian Bo Huai membuka mulutnya dengan suara serak.
“Bagus, tunggu aku kembali, pada saat aku kembali nanti, aku tidak akan pergi lagi.”