English Translator: foxghost @foxghost tumblr/ko-fi (https://ko-fi.com/foxghost)
Beta: meet-me-in-oblivion @meet-me-in-oblivion tumblr
Original by 非天夜翔 Fei Tian Ye Xiang


Penerjemah Indonesia: Me_524
Editor: _yunda


Buku 1, Chapter 5 Part 2

Jochi tenggelam dalam kesunyian. Li Jianhong mendekatkan Duan Ling dalam dekapannya, dia bersandar ke dinding, menutup matanya untuk beristirahat tanpa tertidur, bersiap untuk putaran kedua pelarian mereka saat fajar.

Duan Ling tertidur, lalu begitu dia bangun, dia mendapati dirinya meringkuk di pangkuan Li Jianhong, dan hal pertama yang dia lakukan adalah melihat ke seberang ruangan. Dia melihat Batu yang selama ini terus terjaga. Memikirkan bagaimana mereka akan segera berpisah, dan bagaimana mereka bisa berakhir di penjuru bumi yang berlawanan dan tidak pernah memiliki kesempatan untuk bertemu lagi, Duan Ling merasakan kesedihan mengisi lubuk hatinya.

Batu telah menunggu Duan Ling bangun, dan sekarang setelah dia bangun, Batu memanggil Duan Ling. Lalu dia berjongkok, mengira dirinya bisa merangkak di bawah meja, Duan Ling juga melepaskan dirinya dari pelukan Li Jianhong dan melihat sekeliling di bawah meja, tetapi mereka sudah dewasa – mereka bukan lagi anak-anak seperti di masa lalu dan celah di bawah meja tidak lagi dapat menampung tubuh setengah dewasa mereka.

Batu memiliki belati bersarung tulang di tangannya, dan memegangnya membujur, dia mendorongnya ke arah Duan Ling di bawah meja.

“Untukmu….” kata Batu.

Duan Ling menatapnya dalam diam.

Batu melepaskan belati tersebut dan dengan jentikan jari dia menyelipkan belati bersarung tulang itu ke Duan Ling, mengisyaratkan bahwa dia harus mengambilnya.

Duan Ling bingung harus berbuat apa, itu karena dirinya tidak membawa apa pun yang bisa dia berikan sebagai imbalannya. Bagaimanapun, dia tidak berencana untuk mengucapkan selamat tinggal pada Batu dalam keadaan seperti ini. Batu menatap Duan Ling dengan sungguh-sungguh, dan Duan Ling ragu-ragu untuk waktu yang lama sebelum akhirnya meletakkan tangannya di atas belati, dan mengambilnya.

Jochi tiba-tiba terbangun. Dia meraih kerah Batu dan menyeretnya kembali, memberi tahunya bahwa dia harus duduk diam dan tidak menimbulkan masalah lagi. Pipi Batu menjadi merah padam, berulang kali meronta.

Li Jianhong juga membuka matanya. Duan Ling merasa sangat khawatir dan ingin mengembalikan belati tulang tersebut, tetapi Li Jianhong berkata kepadanya, “Ambil. Itu janji.”

Sinar cahaya fajar menari-nari di paviliun buku. Li Jianhong bangkit. “Ayo pergi.”

Seberkas garis putih seputih perut ikan di tepi langit saat fajar. Di halaman belakang Aula Kemasyhuran, Li Jianhong mengeluarkan gerobak yang digunakan untuk mengantarkan kebutuhan sehari-hari. Dia menyuruh Batu naik lebih dulu, menutupinya dengan jerami, dan memakai topi bambu pada dirinya sendiri. Jochi berhenti di samping gerobak dan terdiam beberapa saat, dan akhirnya ia mengangkat tangan.

Li Jianhong juga mengangkat tangan; keduanya menepukkan kedua telapak tangan mereka tiga kali. Kemudian Jochi naik kereta dalam satu langkah dan merangkak ke tumpukan jerami.

Li Jianhong melompat ke atas gerobak. Menyadari tatapan penasaran Duan Ling, dia menjelaskan, “Kau menepukkan kedua telapak tanganmu untuk membuat sumpah. Itu berarti kau tidak akan pernah menarik kata-katamu.”

“Apa yang kalian berdua sepakati?” Duan Ling bertanya.

Kuda Li Jianhong entah bagaimana sudah menunggu mereka di gang belakang. Dia menambatkannya ke gerobak, mengencangkan cambuk, lalu bersandar ke dalam kemudian dia diam-diam berkata kepada Duan Ling, “Ketika mereka kembali ke wilayah mereka, ayah Batu akan mengerahkan sebagian pasukannya, mendekati Gunung Jiangjun, dan menduduki wilayah Liao. “

“Lalu?” Duan Ling memiliki gagasan samar bahwa Li Jianhong sedang bersiap-siap untuk suatu usaha besar.

“Ayahmu akan menggunakan ini untuk membuat kesepakatan dengan Yelü Dashi.” Li Jianhong berkata dengan acuh tak acuh, “Sepertinya kita perlu sedikit keberuntungan untuk melewati gerbang kota hari ini. Mari kita lihat bagaimana surga berencana memperlakukan kita. “Hup!”

Li Jianhong mendekati gerbang kota dengan gerobak kuda yang penuh dengan jerami. Kendaraan dan kuda memenuhi gerbang segera setelah dibuka di pagi hari; pedagang keliling di luar ingin masuk, orang-orang di dalam ingin keluar sedini mungkin, mereka semua memadati jalan yang begitu padat hingga kedap air. Para penjaga menanyai semua orang dan bahkan memeriksa kargo di setiap kendaraan satu per satu.

“Kita akan menunggu di sini.” Li Jianhong berkata, “Biarkan mereka pergi dulu.”

Dia menghentikan gerobaknya. Li Jianhong menarik topinya rendah ke wajahnya dan menatap penjaga dari kejauhan, mengeluarkan segenggam tembaga di tangannya untuk menghitung mereka satu per satu.

“Apakah kau ingin membeli sarapan?” Duan Ling bertanya.

“Tidak, ini adalah senjata tersembunyi,” jawab Li Jianhong, merentangkan jarinya, lalu dengan gerakan menyambar dia menyembunyikannya di telapak tangannya.

Setelah mendengar itu, Duan Ling menyadari Li Jianhong bermaksud menerobos dengan paksa. Dia berkata dengan gugup, “Mereka pasti akan mengejar kita.”

“Jika kita kehabisan pilihan, ini adalah pilihan terakhir.” Li Jianhong berkata kepada Duan Ling, “Ketika kau melakukan sesuatu, kau harus merencanakan setiap kemungkinan.”

Li Jianhong tampaknya sedang menunggu seseorang – sampai kereta memasuki bidang penglihatannya.

Dia pernah melihat kereta itu sebelumnya; itu didekorasi dengan indah. Itu adalah kereta Viburnum, yang melaju dari jalan utama menuju ke luar kota. Li Jianhong sedikit mengangkat alisnya.

“Apakah itu kereta Viburnum?” Li Jianhong sedikit terkejut.

Duan Ling berkata, “Ya, mereka adalah teman Lang Junxia. Apakah kau mengenal mereka juga, Ayah?”

Li Jianhong berpikir sejenak sebelum berkata, “Viburnum… Baiklah, ini adalah resiko yang layak diambil. Nak, masuklah ke dalam kereta itu dan tunjukkan sesuatu kepada orang yang duduk di dalamnya.”

Duan Ling yang selesai mendengarkan instruksi Li Jianhong, segera melompat dari kereta, dan berlari ke gerbong Viburnum. Li Jianhong menurunkan topinya, menutupi setengah dari wajah tampannya.

Tirai kereta terbuka, membiarkan Duan Ling masuk.

Tetapi orang yang duduk di dalam bukanlah Ding Zhi melainkan seorang wanita muda kelas atas.

“Kau siapa?” Duan Ling berkata dengan hampa.

“Seharusnya aku yang menanyakan itu kepadamu. Kau siapa?” Wanita itu berkata.

Pfft, gadis di sebelah wanita itu mulai tertawa, “Apa yang kau lakukan? Kau datang ke sini tanpa alasan, dan kau bahkan tidak tahu siapa yang duduk di kereta ini?”

Duan Ling ragu sejenak. Mungkin karena dia cantik, dengan fitur yang dipoles halus layaknya batu giok halus, sehingga wanita itu tidak mengusirnya. Dia hanya menatapnya dengan hati-hati, mengamati wajahnya.

“Ayahku menyuruhku untuk datang ke sini untuk menunjukkan sesuatu kepadamu,” kata Duan Ling, dia merasa sedikit tidak nyaman saat dirinya mengeluarkan benang merah dari bawah kerahnya. Dia membuka kantong bordir dan mengeluarkan lengkungan giok putih untuk ditunjukkan padanya.

Wanita itu tiba-tiba terdiam, dan wajahnya berubah pucat pasi; napasnya tertahan, dan hampir terengah-engah dia berkata dengan gemetar, “Apa…apa yang barusan kau katakan? Ayahmu? Apakah kau..”

“Kau hanya bisa melihat, bukan menyentuh.” Duan Ling memperhatikan tangan wanita itu gemetar saat menjangkau ke arahnya, dan dia memutar busur giok ke sana kemari untuk menunjukkan padanya sebelum menyimpannya dengan hati-hati secepat yang dia bisa.

“Nyonya?” Gadis itu bertanya dengan cemas.

“Ayahku ingin bantuanmu dalam sesuatu.” Kemudian Duan Ling dengan sopan mengangkat tangannya ke atas kepalanya dan membungkuk secara resmi kepada wanita itu.

Dia cepat-cepat berkata, “Anda terlalu menyanjung saya, tuan. Anda hanya perlu memanggil saya sebagai Nyonya.”

Dan saat ia selesai berbicara, ia bangkit dari kursinya, merapikan lipatan gaun bersulamnya, dan membungkuk menjawab salamnya.

Tak lama kemudian, kereta Viburnum berangkat lagi. Arahnya berubah, dan gerobak berisi jerami Li Jianhong sekarang mengikuti di belakangnya.

Saat mereka melewati gerbang kota, sebuah tangan ramping dan pucat menjulur dari kereta Viburnum memegang tanda yang mengautentikasi identitasnya.

“Gerobak di belakang kami membantu kami membawa barang.”

Tirai terbuka, memperlihatkan sosok nyonya di dalamnya; ia hanya memberikan pandangan sekilas pada penjaga sebelum mereka mengangguk dan bergerak ke kedua sisi untuk memberi jalan. Li Jianhong mengemudikan gerobak dengan tidak tergesa-gesa di belakang kereta, dan mereka meninggalkan kota tanpa masalah.

Begitu mencapai jalan raya, Duan Ling turun dari gerbong dan berlari menuju Li Jianhong, yang bersandar di dekat telinganya untuk mengajarinya beberapa hal lagi untuk dikatakan, jadi Duan Ling kembali berdiri di depan gerbong. “Ayah saya berkata bahwa beliau sangat berterima kasih atas bantuan Anda. Saat dirinya kembali ke Shangjing, beliau pasti akan datang ke Viburnum untuk minum.”

“Anda sangat diterima.” Nyonya dengan tergesa-gesa membuka tirai dan bergerak untuk turun, tapi Duan Ling menghentikannya, memberitahunya apa yang Li Jianhong ajarkan padanya untuk berkata, “Tidak aman untuk berlama-lama di sini, jadi mari menyelamatkanmu dari masalah lain, Nyonya.”

“Semoga berhasil, Tuan.” Nyonya itu berkata dengan percaya diri, “Surga memberkati Chen yang Agung kita.”

Duan Ling menatapnya dengan heran.


Segala sesuatu di sekitar mereka diwarnai musim semi; burung-burung oriole terbang di atas rerumputan panjang. Dalam petak-petak semak yang bergoyang dan mekar di ujung ladang terbuka, bunga-bunga kapas tampak seperti bintang di bima sakti tak terbatas, melayang melintasi musim yang semarak ini. Tetapi di bawah sinar matahari yang cerah dan indah ini, samar-samar Duan Ling bisa merasakan martabat dan harapan.

“Surga memberkati Chen yang Agung kita,” kata Duan Ling pada dirinya sendiri, seolah-olah kata-kata itu sendiri mengandung keyakinan yang tidak perlu dipertanyakan lagi.

“Ayo keluar,” kata Li Jianhong.

Setelah memaksakan diri sepanjang malam, Batu dan Jochi menjadi lebih dari lelah, dan mereka bersandar di sisi gerobak. Duan Ling kembali ke kursi pengemudi untuk bersandar ke pangkuan Li Jianhong. Dari waktu ke waktu dia melihat ke belakang, tetapi menurutnya Batu tidak berniat untuk berbicara dengannya lagi. Gerobak itu bergoyang-goyang, dan dalam angin musim semi, Duan Ling secara perlahan mulai tertidur.

Saat dia tertidur lelap, dia mendengar suara Batu.

“Jangan bangunkan dia.”

Duan Ling berbalik, dan setengah sadar, dia merasakan seseorang menepuk kepalanya.

Dia tidak tahu berapa lama waktu telah berlalu ketika dia bangun lagi. Kereta berisi jerami telah diparkir di lereng, dan Li Jianhong berbaring di gerobak dengan jerami rumput di mulutnya, dengan lesu menatap langit musim semi yang bercahaya dengan awan putih bersihnya.

Angin musim semi yang lembut membelai pipinya; Duan Ling menguap, meregangkan tubuh, dan perlahan bangun dalam pelukan Li Jianhong. Li Jianhong dengan mesra mengecup keningnya.

“Di mana Batu?” Dengan gemetar, Duan Ling bangun dari istirahatnya.

“Dia pergi.” Li Jianhong menyandarkan tangannya di atas bahu putranya. “Bocah barbar itu ingin kau menjadi ‘anda‘-nya. Itu adalah hal baik untuk kedepannya, oke.”

“Apa itu ‘anda‘?” Tanya Duan Ling

“Berarti kalian hidup dan mati bersama. Untung kita tidak memiliki barang yang bagus untuk diperdagangkan, jika tidak kita akan ditipu.”

Duan Ling merasa sedikit sedih. “Ayah, akankah aku melihat Batu lagi?”

“Segala sesuatu di dunia ini dijalankan oleh seperangkat hukum yang diatur oleh takdir. Setiap pertemuan kebetulan terjadi seperti hembusan angin; orang-orang seperti awan yang kau lihat di atasmu – ada waktu bagi mereka untuk bertemu dan ada waktu bagi mereka untuk berpisah. Mereka datang dan pergi; kau akan mendapatkan lebih banyak teman. Tidak perlu merasa sedih.”

Duan Ling menjawab dengan gumaman setuju. Dia mengerti bagaimana caranya, tetapi mendengar Li Jianhong mengatakan hal itu, dia merasa sedikit lebih baik.

“Apakah kau akan meninggalkanku juga?” Tiba-tiba, Duan Ling merasa lebih buruk.

Li Jianhong tertawa terbahak-bahak. “Sebelum aku menjawabnya, kau harus membayarku dulu.”

Duan Ling menatapnya dengan tatapan kosong. Lalu dia ingat, oh benar…, jadi dirinya hanya bisa bertanya, “Apa yang kau inginkan?”

Li Jianhong melihat Duan Ling dari atas ke bawah, dan tertawa. “Mengapa kau terlihat begitu beringas? Kau berencana untuk membunuh ayah tersayangmu?”

Duan Ling tertawa terbahak-bahak – dia hanya menganggap Li Jianhong terlalu lucu. Segera, Li Jianhong berbicara lagi, “Kemarilah, ambil jerami itu, dan bersihkan telinga ayahmu.”

Jadi Duan Ling mematahkan jerami, membuat Li Jianhong meletakkan kepalanya di pangkuannya, dan mulai membersihkan telinganya dengan penuh perhatian. Mata Li Jianhong terpejam, terlihat seperti sedang tertidur atau sedang memikirkan sesuatu.

“Putraku.”

“Ya.”

“Apa pendapatmu tentang keterampilan ayahmu?”

“Luar biasa,” Duan Ling memujinya dari lubuk hatinya.

“Dengan keterampilan yang luar biasaku, aku dapat hidup sesukaku, jadi tentu saja aku tidak akan meninggalkan putraku — kalau tidak untuk apa mempelajari semua itu?”

Dengan wajah datar sedatar panci, Duan Ling berkata, “Jika kau pergi ke Viburnum untuk minum-minum, kau akan bertemu gadis-gadis, dan begitu kau bertemu perempuan, kau akan menikah lagi, dan jika kau menikah lagi kau akan punya bayi, maka secara alami kau tidak akan menginginkanku lagi.”

Li Jianhong sedikit terkejut. “Nak, apa kau cemburu?”

Duan Ling tertawa; bahkan dia merasa itu sedikit memalukan, tetapi dia tidak terlalu serius tentang itu. Wajar jika Li Jianhong tahu dia tidak serius juga.

Namun dia menjawab pertanyaan ini dengan serius.

“Aku tidak akan.” Li Jianhong berkata sambil berlalu, “Ayah memilikimu. Tidak ada yang akan menggantikanmu selamanya. “

Tangan Duan Ling gemetar, dan Li Jianhong berkata, “Aiyoh, lihat saja.”

Semua emosi rumit yang memenuhi dada Duan Ling lenyap seperti kepulan asap, dan dia membungkuk sekali lagi untuk membersihkan telinga Li Jianhong dengan hati-hati.

“Akhir-akhir ini, apalagi memikirkan harem,” kata Li Jianhong, “bahkan anak-anak kita sendiri harus saling bertarung untuk mendapatkan perhatian, huh.”

Duan Ling tidak tahu harus berkata apa tentang itu. Dia terus diejek oleh ayahnya, tetapi Li Jianhong memberitahunya dengan sungguh-sungguh, “Ayah mengerti. Aku juga sering melawan paman keempatmu demi kebaikan ayah kita. Itu terlalu normal.”

“Paman keempat?” Duan Ling bertanya.

Setelah Duan Ling selesai membersihkan telinganya, Li Jianhong duduk dan terlihat cukup puas; dia melepaskan ikatan kudanya dari kereta, menepuk punggung kudanya, dan berkata kepada Duan Ling, “Karena kita sudah keluar, kita bisa pergi jalan-jalan. Ingin pergi?”

Perhatian Duan Ling sekali lagi teralihkan dan dia bersorak; dia tahu Li Jianhong mengatakan ini karena dia kemungkinan besar ingin pergi bersenang-senang, dan dia segera berlari untuk membiarkan dia membantunya menaiki kudanya. Dia bertanya, “Apakah kita akan menginap?”

“Apapun yang kau suka.”

“Apakah kita akan pergi ke rumah kita di selatan? Apakah rumah lama kita ada di selatan?”

“Ya, tetapi itu bukan milik kita lagi. Apakah kau ingin kembali? Apakah kau tinggal cukup lama di Shangjing hingga merasa gerah?”

Duan Ling duduk di atas kuda dengan lengan Li Jianhong di sekelilingnya, dan mereka bergerak ke selatan dengan cepat. Ini adalah hari musim semi yang indah dan cerah, angin sepoi-sepoi lembut dan manis, dan segala sesuatu di sekitarnya secara musiman kembali hidup. Li Jianhong telah berada di Shangjing selama hampir sebulan. Ini adalah perjalanan jauh pertama mereka.

“Lalu kemana kita akan pergi?”

“Untuk bertemu dengan salah satu teman lama ayah – aku memiliki beberapa pertanyaan untuk dikonsultasikan dengannya.”

“Pertanyaan apa?” Duan Ling menganggapnya cukup menarik.

“Pertanyaan tentang takdir,” jawab Li Jianhong.

Duan Ling diam-diam memikirkan ini.

KONTRIBUTOR

Keiyuki17

tunamayoo

This Post Has One Comment

  1. Yuuta

    Akhrinya Batu sama ayahnya bisa bebas..
    Semoga beneran ketemu lagi n bisa bener2 jadi Anda nya Batu..
    Klo bpk kmu pengen nyari istri lagi pasti udah dilakuin dari lama Duan tpi nyatanya dia lebih milih nyari Ibu kamu kan berarti emng gk pengen nyari yg lain.. lagian pasti gk ada yg lebih cantik dari ibu kamu..

Leave a Reply