Penerjemah: Jeffery Liu
Editor: naza_ye


“BUKA PINTU GERBANGNYA!”

“BIARKAN KAMI MASUK!”

Para prajurit tampak bergerak mundur ke arah benteng kota dan mendorong untuk menutup pintu gerbang seberat ribuan ton. Orang-orang pengungsi dari Yong An yang diusir oleh para prajurit di luar tampak bergegas berdatangan ke arah pintu gerbang ibukota kerajaan bak gelombang air hitam, memukul-mukul pintu gerbang itu. Di atas menara tinggi para prajurit meraung, “KEMBALILAH! TINGGALKAN TEMPAT INI! AMBIL BIAYA PERJALANAN MILIKMU DAN PERGI, PERGILAH KE ARAH TIMUR, JANGAN KEMBALI KE TEMPAT INI!”

Namun, para pengungsi dari Yong An sesungguhnya telah membelakangi kampung halaman mereka, melarikan diri dari tanah mereka sendiri, dan bahkan sekarang mereka sudah tiba di satu ibukota terdekat dari tempat asal mereka. Pintu gerbang menuju ke arah ibukota kerajaan telah ditutup dan menghalangi mereka untuk masuk, tetapi jika mereka masih ingin bertahan hidup, mereka harus pergi dari menjauhi benteng kota ini dan berjalan untuk menempuh jarak yang lebih jauh lagi, ke kota-kota lain yang berada di wilayah timur.

Namun bahkan perjalanan mereka untuk sampai di ibukota kerajaan sudah begitu sulit dan berat, melintasi ribuan rintangan, banyak pengungsi yang terluka dan bahkan mati dalam perjalanan mereka, jadi bagaimana mungkin mereka masih memiliki energi yang lebih banyak untuk melanjutkan perjalanan itu? Bahkan jika mereka semua diberikan biaya perjalanan, beberapa bahan makanan dan air, berapa hari lagi mereka bisa bertahan di jalanan?

Setiap ekspresi wajah dari para pengungsi itu tampak pucat, beberapa dari mereka tampak menyeret barang-barang rumah tangga mereka, beberapa lagi tampak tengah menggendong bayi di punggung mereka, beberapa tampak memegang usungan. Mereka saling berpegangan tangan, beberapa tampak berbaring di tanah, tidak bisa bahkan untuk bergerak, dan sementara yang lain tampak duduk. Bidang demi bidang tanah diisi oleh para pengungsi yang masih tetap berada di depan tembok benteng. Beberapa pria yang lebih muda masih memiliki energi untuk mengeluarkan amarah mereka, menggedor pintu sambil berteriak, “KALIAN TIDAK BISA MELAKUKAN INI! KALIAH HANYA AKAN AKAN MEMBUNUH KAMI!”

“KAMI SEMUA JUGA ADALAH RAKYAT KERAJAAN XIAN LE, KALIAN TIDAK BISA MEMBUNUH KAMI SEPERTI INI!”

Salah satu pria berteriak sampai suaranya terdengar serak, “Kalian bisa mengusir kami, tidak masalah jika aku tidak tinggal disini, tapi bisakah kalian setidaknya mengambil istri dan anak-anakku? Maukah kalian?!!”

Mereka seperti gerombolan semut yang merangkak di pohon; gerbang dari benteng kota tetap tidak tergerak.

Xie Lian berdiri di atas menara. Jubah putihnya berkibar tertiup angin, dan dia menyeberangi tembok pembatas untuk mengawasi pemandangan di bawahnya. Di luar ibukota kerajaan, ada begitu banyak kepala yang tak berujung, hitam dan menggeliat, padat dan terjalin erat, sangat mirip kawanan semut yang biasa ia lihat ketika ia bermain di taman kerajaan di masa mudanya.

Saat itu, karena rasa penasarannya, dia melihatnya lebih dekat dan mengulurkan jarinya berniat menusuk mereka secara diam-diam, tetapi dengan segera terdengar suara petugas kerajaan yang berteriak kepadanya, “Yang Mulia! Benda-benda itu kotor, Anda tidak bisa menyentuhnya! Jangan menyentuhnya!” Dan dengan mengangkat pakaiannya, dia berlari dengan begitu tergesa-gesa dan menekan semua semut di bawah kakinya.

Ketika semut-semut itu masih tampak hidup, selain sebuah gerombolan semut yang lebat, tidak banyak yang bisa dilihatnya, dan setelah ditekan dan diinjak menjadi sesuatu yang kurang lebih seperti lumpur, tidak ada yang tersisa untuk dilihat.

Namun di dalam tembok ibukota kerajaan, lampu-lampu tampak memenuhi jutaan rumah disana, suara musik melayang di udara. Dinding benteng yang satu ini memisahkan dua dunia yang sangat berbeda.

Sama sekali tidak peduli akan kenyataan bahwa pengungsi Yong An yang datang kini telah diusir, bahkan mereka yang sudah menetap sekali pun di dalamnya juga diusir. Meskipun kasar, Xie Lian sedikit banyak bisa memahami keputusan ini karena sudah ada lebih banyak gesekan antara pengungsi Yong An dan penduduk ibukota kerajaan dalam beberapa bulan terakhir. Untuk tetap membiarkan orang-orang seperti itu berada di dalam tembok kota, bisa jadi akan timbul kolusi di dalam dan bahkan di luar, yang menyebabkan kekacauan.

Namun, hanya satu hal yang dia rasa masih memiliki ruang untuk negosiasi, dan Xie Lian kemudian berbicara dengan linglung dan tatapan kosong, “Mengapa para wanita dan orang-orang yang sudah begitu tua juga harus diusir? Ada beberapa orang yang bahkan tidak bisa untuk berjalan lebih jauh.”

Feng Xin dan Mu Qing menunggunya di belakang. Mu Qing menjawab, “Jika mereka harus diusir, maka mereka semua harus dikeluarkan. Setiap orang harus diperlakukan sama; tidak boleh ada pilih kasih, jangan sampai orang terpancing hanya karena hal-hal seperti: Kenapa mereka bisa tinggal dan aku tidak?”

“Kamu berpikir begitu banyak.” Feng Xin berkomentar.

Mu Qing berkata dengan datar, “Ada beberapa orang yang sangat baik yang mungkin akan berpikir seperti itu. Selain itu, jika para istri dan anak-anak tetap dibiarkan tinggal, maka para pria juga tidak akan mau pergi terlalu jauh. Mereka akan kembali cepat atau lambat. Menjaga orang-orang di dalam kota juga sekaligus menjaga dan mencegah masalah yang mungkin timbul di masa depan.”

Para pengungsi Yong An itu menolak untuk pergi, jadi para prajurit di menara juga tidak bisa pergi. “Huh! Lakukan sesukamu!”

Karena Raja sudah membuat perintah, apakah mereka pikir hanya duduk di sana dan menjadi gelandangan kemudian berkeliaran akan banyak berpengaruh? Mereka bisa berkeliaran selama satu atau dua hari, atau mungkin sebulan atau dua bulan, atau bahkan satu atau dua tahun?

Para prajurit dan penduduk ibukota kerajaan semua percaya akan hal ini. Beberapa pengungsi Yong An dengan putus asa menerima nasib mereka, dan memutuskan untuk bertaruh atas nasib mereka sendiri dan kemudian memutuskan untuk pergi ke arah timur. Tetapi jumlahnya hanya sedikit. Sebagian besar masih duduk dengan keras kepala di gerbang benteng, berharap ibu kota kerajaan akan membuka pintu mereka kembali, paling tidak memberi mereka tempat untuk beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan. Ketika para pengungsi baru dari Yong An tiba untuk pertama kalinya di Xian Le, meskipun kecewa melihat gerbang kota yang tertutup, ketika mereka melihat begitu banyak kerumunan pengungsi yang masih berjaga di depan gerbang yang tertutup itu, mereka bergabung dengan massa.

Karenanya, setelah beberapa hari, semakin banyak orang yang berkumpul di luar gerbang kota, hampir satu juta orang telah menetap dan membangun tempat penampungan sementara disana, membentuk pemandangan yang mengesankan dan juga aneh. Mereka menggunakan bahan makanan dan air yang diberikan oleh Raja untuk bertahan hidup, tetapi mereka juga hampir mencapai batas kemampuan mereka.

Batas ini dilewati pada hari kelima.

Lima hari terakhir, Xie Lian telah membagi setiap hari yang dijalaninya menjadi tiga: sepertiga waktu dikhususkan untuk para pengikut di Kuil Putra Mahkota, sepertiga waktu lagi untuk mengangkut air dan menciptakan hujan, dan sepertiga waktu yang terakhir untuk merawat warga Yong An di luar tembok kota. Bahkan dengan bantuan dari Feng Xin dan Mu Qing sekali pun, terkadang Xie Lian merasakan beban yang begitu berat dari tanggung jawab itu. Para roh itu memang bersedia melakukannya, namun para tubuh yang terbuat dari daging itu tetaplah lemah. Hari itu, kebetulan ketika ia sedang tidak berjaga di luar tembok kota, di bawah teriknya sinar matahari, tiba-tiba terdengar suara ratapan di luar gerbang.

Ratapan itu datang dari sepasang suami istri yang menggendong anak mereka. Banyak kerumunan orang yang datang untuk melihat, “Ada apa dengan anak itu?” “Apakah dia lapar atau haus?” Dan dengan segera, sebuah teriakan terdengar, “Semua orang datanglah dan berbagilah air yang kalian miliki di tempat ini! Anak ini tidak terlihat terlalu baik!”

Wanita itu terisak ketika dia memberi air kepada anaknya yang berwajah merah, tetapi semua air itu tampak terlempar kembali. Sang ayah berkata, “Aku tidak tahu apa yang terjadi, Dia sakit. Dokter! Kami membutuhkan dokter!”

Sambil menggendong putranya, dia berlari ke arah gerbang dan mulai menggedor pintu, “TOLONG BUKALAH! TOLONG! SESEORANG SEKARAT! PUTRAKU HAMPIR MATI!”

Tentu saja para prajurit di dalam sama sekali tidak berani membuka gerbang. Entah itu seseorang memang benar-benar sekarat, akan tetapi ada ratusan ribu orang pengungsi yang berada di luar. Jika mereka membuka pintu itu, tidak ada yang akan menutup gerbangnya kembali, jadi mereka memutuskan melaporkannya ke petugas yang lebih tinggi. Cuaca begitu panas, dan akibat dari cuaca yang begitu panas itu membuat para prajurit yang berdiri mengawasi tempat itu beberapa hari terakhir mudah sekali tersinggung. Mereka berkata dengan apatis, “Beri dia air dan makanan.” Jadi, mereka memutuskan menggunakan tali, menggantung air dan makanan dan menurunkannya.

“Terima kasih, terima kasih tuan-tuan dan saudara-saudaraku, tetapi kami tidak menginginkan air dan makanan ini. Bisakah kalian membantu kami menemukan dokter?” Pria itu berkata.

Keadaan ini membuat segalanya menjadi sulit. Mereka tidak bisa membiarkannya masuk untuk mencari dokter dan mereka jelas tidak bisa menurunkan dokter ke tembok kota. Siapa yang tahu apa yang akan dilakukan para pengungsi yang kelaparan ini begitu dokter tiba di luar gerbang kota. Dengan demikian, para perwira tinggi itu menjawab, “Lupakan saja. Abaikan mereka, mereka tidak mungkin bisa mati. Jika mereka bertanya lagi, maka beri tahu mereka jika pesan telah dikirim untuk meminta tanggapan dari Raja.”

Raja telah sangat terganggu oleh masalah yang terjadi di Yong An dan dengan mudah emosinya akan cepat tersulut dalam beberapa hari terakhir ini, dan tentu saja tidak ada yang benar-benar berani mengganggunya dengan hal sekecil itu. Para prajurit menanggapi sesuai apa yang diperintahkan kepadanya kepada pria itu, dan pria itu pun tampak merasa lega, berkali-kali berterima kasih dengan begitu banyak kepada mereka, berterima kasih kepada Baginda Raja, dan berlutut untuk kemudian bersujud berkali-kali. Namun, jam demi jam telah berlalu, bayangan hitam di bawah terik matahari telah bergerak dari satu ujung ke ujung yang lain, tetapi dokter yang diminta masih belum muncul juga di hadapan mereka, dan suhu anak di lengan pria itu semakin panas.

Lengan pasangan yang menggendong anak mereka tampak gemetar, dan pria itu berkeringat dingin, bergumam, “Apakah akan ada yang datang? Apakah akan ada yang membuka gerbang?”

Akhirnya, mereka tidak bisa menunggu lebih lama lagi, dan berteriak ke arah menara, “Petugas! Aku meminta maaf, tapi aku ingin bertanya … di mana dokternya?”

Seorang prajurit menjawab, “Kami sedang menunggu tanggapan resmi dari Raja. Tunggulah sebentar.”

Beberapa warga tidak bisa duduk diam lagi: “Para petugas sebelumnya mengatakan hal yang sama empat jam yang lalu, jadi mengapa belum ada dokter yang datang?”

Para prajurit memperhatikan perintah atasan mereka dan mengabaikan mereka setelah memberikan jawaban kepada para pengungsi. Kerumunan di bawah tembok benteng sangat marah, sedih, dan juga tertekan. Mereka mengepung anak itu dan mulai bertanya-tanya dalam keraguan, “Apakah mereka benar-benar menyampaikan pesan kepada Yang Mulia? Mereka tidak membohongi kita, kan?”

Ayah dari anak itu tidak bisa menunggu lebih lama lagi, dan mengeraskan hatinya, mengikat anak itu ke punggungnya dan menoleh ke arah istrinya untuk mengucapkan beberapa kata terakhir. Wanita itu melepaskan mantra perlindungan dari lehernya dan meletakkannya di leher suaminya. Pria itu berlari ke arah tembok kota, dan mulai mencoba dan mengukurnya.

Tembok kota itu halus, dibangun untuk membuat pendakian menjadi sulit dilakukan, dan setelah meraihnya beberapa kali, dia masih tidak bisa memanjat. Para pria pengungsi dari Yong An di belakangnya berteriak, “Biarkan aku membantumu!” Dan mereka mendorongnya ke atas. Kerumunan itu terdiri atas sepuluh orang, menumpuk diri mereka menjadi sebuah piramida manusia, dan membantunya untuk naik lebih tinggi dari dinding itu. Di sana, pria itu berhasil meraih tali yang digunakan untuk menurunkan air dan makanan, dan dia terus memanjat. Di bagian bawah, ratusan ribu pengungsi mengawasinya dengan cemas, tidak berani bersorak untuknya, takut mereka mungkin akan diketahui.

Para prajurit di atas menara telah berjaga-jaga selama berhari-hari dan para pengungsi Yong An tidak memulai suatu keributan apa pun, jadi mereka hanya menatap lemah kepada arloji mereka. Baru setelah pria itu mencapai separuh jalan, mereka menyadari bahwa ada seseorang yang mulai memanjat di dinding itu. Mereka berteriak, “Apa yang kau lakukan?! TIDAK BOLEH ADA YANG MENDAKI TEMBOK INI! PARA PEMANJAT TEMBOK AKAN DIBUNUH TANPA AMPUN! APAKAH KALIAN MENDENGARKU? PARA PEMANJAT TEMBOK AKAN DIBUNUH TANPA AMPUN!”

Di bawah ancaman mereka, pria itu juga balas berteriak, “AKU TIDAK MEMILIKI NIAT APA PUN! AKU HANYA INGIN MEMBAWA ANAKKU KE DOKTER, AKU TIDAK AKAN MELAKUKAN HAL YANG LAIN DARI ITU!” Dia terus menaiki dinding saat dia berteriak. Salah satu perwira atasan yang tampak baru saja selesai makan, ketika Ia mendengar ini dia menjadi begitu marah. Jika orang itu mampu memanjat tembok ini dengan aman dan memberi contoh kepada pengungsi yang lain, bukankah akan ada lebih banyak lagi pengungsi Yong An yang akan melakukan hal yang sama? Dia harus dihentikan! Karena itu, perwira itu kemudian berjalan keluar, dan berteriak ke arah tembok pembatas, “TIDAKKAH HIDUPMU BERHARGA? CEPAT KEMBALILAH TURUN! JIKA TIDAK, TIDAK AKAN ADA MAAF BAGIMU!”

Namun pria itu hampir mencapai puncak dari dinding itu, dia sudah berhasil melewati setengah jalan, dan hanya dengan satu dorongan lagi dia bisa mencapai puncak, jadi tentu saja dia tidak akan berhenti. Perwira atasan itu tidak pernah menghadapi orang lain yang cukup berani mengabaikan perintahnya seperti ini, kata-katanya adalah hukum itu sendiri. Siapa pun yang tidak taat kepada perintahnya, cukup mudah untuk diatasi. Perwira itu kemudian mendekati tembok pembatas, menarik pedangnya dan menebasnya, dan tali itu kemudian terpotong menjadi dua.

Dengan tali yang putus di tangannya, pria itu jatuh dari udara dengan ketinggian itu. Di tengah ribuan jeritan, dia mendarat dengan keras di tanah yang keras di depan gerbang kota.

Itulah saat ketika Xie Lian akhirnya tiba di tempat itu.

Pria itu jatuh dengan punggungnya yang berada di bawah, dan di punggungnya itu masih ada anaknya yang ada dalam gendongannya. WHUMP dan tubuh anak itu ditumbuk dan menghantam tanah menjadi segumpal daging giling, menyemprotkan bunga-bunga darah dari tubuhnya. Leher pria itu patah, matanya tampak melotot, dan di sekeliling lehernya yang bengkok tampak sebuah mantra perlindungan dengan tulisan ‘Xian Le’ tertulis di atasnya, disulam dengan benang emas – itu adalah mantra perlindungan dari Kuil Putra Mahkota.

Sesaat sebelum dia mulai memanjat, pria itu dan istrinya memegang pesona perlindungan di tangan mereka dan diam-diam berdoa untuk berkah Yang Mulia Putra Mahkota, yang merupakan cara Xie Lian mendengar suara mereka dan bergegas ke tempat itu.

Namun demikian, dia bukanlah pahlawan dari legenda yang tertulis dalam buku-buku, dan tidak mungkin muncul tepat sebelum algojo menjatuhkan kapak mereka, untuk menyelamatkan nyawa mereka dari bawah pisau milik algojo. Wanita itu bahkan tidak berani membalik mayat suaminya untuk memeriksa kondisi putranya; dia menutupi wajahnya dan berteriak, dan tanpa melihatnya kembali, wanita itu berlari ke depan dengan marah, dan membenturkan kepalanya ke dinding. CRACK, dan dia jatuh, tubuhnya terkulai lemas.

Tepat di depan mata Xie Lian, dalam sekejap, ada tiga mayat menumpuk di depan gerbang kota ibukota kerajaan!

Dia tidak punya waktu untuk bereaksi sebelum kerumunan di luar gerbang kota bergerak gusar, tidak dapat menahan lagi kemarahan yang sudah terkubur dalam diri mereka dalam-dalam.

Seseorang berteriak, “MATI! TIGA ORANG DARI KELUARGA ITU, SEMUANYA MATI! LIHATLAH, ITU SEMUA ADALAH PERBUATAN YANG DILAKUKAN OLEH PERWIRA TINGGI MILIK YANG MULIA! DIA TIDAK AKAN MENYELAMATKAN KITA, MEREKA HANYA AKAN MENGIRIMKAN KEMATIAN KEPADA KITA!”

“KALIAN TIDAK MEMBIARKAN KAMI MASUK, PUN KALIAN JUGA TIDAK AKAN MEMBIARKAN KAMI KELUAR, APA YANG HARUS KAMI LAKUKAN? TIGA KEHIDUPAN KINI BERLUMURAN DARAH KARENA PERBUATAN KALIAN!”

“KAU BILANG AKAN MEMBUANG SEMUA PENGUNGSI YONG AN DARI IBUKOTA KERAJAAN, TAPI BAGAIMANA MUNGKIN AKU BELUM MELIHAT SATU ORANG PUN ORANG KAYA DARI PENGUNGSI YONG AN YANG JUGA DIBUANG? JADI, MUNGKINKAH HANYA KAMI YANG MISKIN DAN TIDAK BERDAYA YANG BERHAK UNTUK MATI? AKU BISA MELIHAT NIATMU YANG SEBENARNYA!”

“AKU TIDAK BISA TERUS BERTAHAN SEPERTI INI… AKU BENAR-BENAR TIDAK BISA. TAHUN DEMI TAHUN KAMI SUDAH MEMBAYAR PAJAK TAPI SEKARANG KETIKA BENCANA TERJADI, KEMANA SEMUA UANG ITU PERGI?”

“DIBANDING UNTUK MEMBANTU PARA KORBAN BENCANA ALAM INI, MUNGKINKAH SEMUA UANG ITU PERGI KE KANTONG PARA PARASIT DAN UNTUK MEMBANGUN KUIL PUTRAMU? APAKAH HANYA MAKANAN DAN JATAH YANG BEGITU SEDIKIT INI YANG BISA KALIAN BERIKAN UNTUK MEMBUAT MULUT KAMI TETAP TERTUTUP? APA YANG SEBENARNYA SUDAH KAU BERIKAN KEPADA KAMI? RAJA TIDAK BERGUNA! RAJA YANG BEGITU TIDAK KOMPETEN!”

Para prajurit di atas menara meneriaki kerumunan agar mereka berhenti berteriak dan diam, tetapi perwira itu telah melihat hal seperti ini lebih banyak dalam masa hidupnya, dan tidak menganggapnya serius. Namun, situasi yang terjadi dalam kerumunan itu perlahan kehilangan kendali. Ribuan dan ratusan ribu pengungsi mendorong gerbang itu dengan marah, beberapa bahkan menggunakan kepala atau tubuh mereka sendiri untuk mendorongnya dengan menghantamkannya ke permukaan gerbang, dan kali ini, mereka semua bukanlah gerombolan semut yang berada di pohon.

Gerbang benteng tampak bergerak; pada kenyataannya, bahkan seluruh tembok benteng dan menara tampak bergetar!

Sejak Xie Lian lahir, dia tidak pernah menyaksikan situasi seperti ini. Orang-orang yang ditemuinya semuanya begitu baik, penuh kedamaian, kebahagiaan, kepuasan, dan begitu menawan. Wajah-wajah bengkok itu, mereka menangis dan menjerit, memaksanya memasuki dunia yang benar-benar asing, dan dia tidak bisa lagi menahan rasa dingin di tulangnya sendiri. Bahkan ketika dirinya melawan monster dan iblis yang paling mengerikan sekalipun, dia tidak pernah merasakan hal ini. Saat itu, terdengar suara raungan marah dari atas.

Dia memalingkan kepalanya, dan melihat sesosok siluet yang tinggi dan kurus, siluet itu mencekik petugas yang telah memotong tali dan menyebabkan tiga kematian di bawah tembok kota sebelumnya. Terdengar suara CRACK keras dan begitu jelas, dan leher perwira itu hancur.

Kelompok prajurit itu tidak tahu bagaimana pria itu tiba-tiba muncul disana; semua orang tampak kaget dan bingung, dan mereka bergegas maju dengan pedang di tangan mereka untuk mengelilinginya, “SIAPA KAU?!!” “BAGAIMANA KAU BISA ADA DI SINI?!”

Xie Lian segera memperhatikan tangan pria itu: kedua tangan itu berlumuran darah dan daging yang robek. Pria itu memanjat tembok tanpa celah itu dengan menggunakan tangan kosongnya! Ketika sosok itu berbalik, itu adalah Lang Ying!

Lang Ying begitu tenang dan tampak mampu menguasai dirinya bahkan ketika dikelilingi oleh para prajurit itu. Dia memanjat tembok pembatas, melemparkan mayat petugas itu, dan dia melompat, melangkah ke tubuh mayat itu dan menggunakannya sebagai batu loncatan untuk melompat jatuh.

Saat itu ketika dia melompat, dia menatap lurus ke arah Xie Lian, tapi yang dilihatnya bukanlah Xie Lian. Sebagai gantinya, dia melihat ke arahnya untuk menatap istana kerajaan yang berada tepat di pusat ibukota kerajaan.

Sejak hari itu dan seterusnya, seluruh Kerajaan Xian Le jatuh dan dilemparkan ke dalam kekacauan.


Bab Sebelumnya Ι Bab Selanjutnya

KONTRIBUTOR

Jeffery Liu

eijun, cove, qiu, and sal protector

Leave a Reply