Penerjemah: Jeffery Liu
Editor: naza_ye


“SINGKAPKAN–“

Seiring dengan panggilan yang kuat dan bersemangat, sebuah brokat merah besar jatuh ke tanah. Sorakan meraung dan terdengar meledak dari ribuan kerumunan disana.

Ini adalah patung ilahi emas dari Putra Mahkota. Pedang di satu tangan, bunga di tangan lain, melambangkan ‘Kekuatan untuk mengakhiri dunia tetapi dengan hati selembut bunga’. Wajah patung itu begitu lembut dan indah, alisnya panjang dan elegan, bibirnya tipis dan bersih, dan bibir itu agak melengkung, seolah tersenyum. Ekspresi wajahnya penuh dengan kasih sayang tetapi tidak terlalu berlebihan, garis wajahnya tegas tapi tidak kejam. Itu adalah wajah yang penuh dengan kasih dan begitu tampan.

Ini adalah Kuil Putra Mahkota yang ke-delapan ribu di dalam Kerajaan Xian Le.

Tiga tahun setelah kenaikan Putra Mahkota, ada delapan ribu kuil yang dibangun untuk dan atas nama dirinya. Aura penuh semangat mengikutinya seolah-olah tidak ada satu pun semangat lain yang tidak terlihat dalam sejarah dan kemungkinan tidak akan lagi terjadi hal seperti itu di masa depan; hanya satu dan satu-satunya.

Namun, kuil ke-delapan ribu ini tidak memiliki patung ilahi Putra Mahkota yang paling memiliki aura kemegahan jika dibandingkan dengan patung ilahi di kuil lainnya. Di puncak Gunung TaiCang, puncak di mana Putra Mahkota tinggal di masa mudanya selama pelatihan kini dinamakan ‘Puncak Putra Mahkota’. Di situlah Paviliun Xian Le pertama kali dibangun. Setelah patung ilahi pertama dari Putra Mahkota dipahat, patung itu juga adalah patung pertama di mana Raja secara pribadi meluncurkannya. Patung ilahi Putra Mahkota itu setinggi lima meter, keahliannya begitu melegenda. Patung itu dibangun dari emas murni, padat, benar-benar ‘tubuh emas’ yang tak ternilai.

Di dalam Paviliun Xian Le, para penyembah tak ada habisnya mengunjungi tempat itu, menerobos memasuki ambang pintu. Wadah dupa di depan Paviliun diisi dengan dupa berukuran panjang dan pendek, dan kotak sumbangan disana juga jauh lebih besar daripada kotak sumbangan rata-rata di kuil-kuil lain karena jika kotak itu tidak dibangun cukup besar, kotak itu akan penuh dengan persembahan sebelum hari berakhir dan mereka yang datang setelah itu tidak akan bisa menyumbang. Di halaman kuil terdapat sebuah kolam yang jernih, kolam itu juga tampak diisi dengan koin, berkilauan begitu cerah di dalam air. Banyak kura-kura yang tinggal di kolam tidak berani mengeluarkan kepala mereka dari semua koin yang dibuang oleh para penyembah, banyak yang memantul dari cangkang mereka. Tidak peduli bagaimana petani meminta orang untuk tidak melakukannya, mereka tidak membuahkan hasil. Di dalam dinding merah kuil yang besar itu tampak ditanami pohon plum, ranting-rantingnya diikat dengan pita harapan berwarna merah cerah yang tak terhitung jumlahnya, melukiskan pemandangan yang mengesankan dari warna merah yang mengalir di antara lautan bunga.

Sedangkan untuk bagian dalam kuil, Xie Lian duduk tepat di bawah patung ilahi, mengawasi kerumunan. Tidak ada yang bisa melihatnya, tetapi dia bisa melihat dan mendengar obrolan mereka:

“Kenapa Kuil Putra Mahkota tidak memiliki bantalan untuk bersujud?”

“Ya, bahkan Master Kuil berkata kita tidak bisa bersujud. Kuil sudah dibuka jadi mengapa kita tidak bisa bersujud?”

Yang lain berkata, “Ini pasti pertama kalinya kamu memasuki Paviliun Xian Le. Paviliun Xian Le semuanya memang seperti ini. Aku pernah mendengar setelah Yang Mulia naik, dia mengirim mimpi kepada banyak orang-orang yang telah memberikan donasi membangun kuil suci, kepada Master Kuil, Yang Mulia memberi tahu mereka untuk tidak membuat para penyembahnya bersujud kepadanya. Jadi, tidak ada Kuil Putra Mahkota yang memiliki tempat di mana kamu dapat bersujud.”

Meskipun tidak ada yang bisa melihatnya, Xie Lian masih mengangguk. Namun, beberapa orang lain disana tampak tertawa, “Logika macam apa itu? Bukankah kita seharusnya bersujud di hadapan para dewa? Itu pasti hanya rumor.”

Xie Lian bergumam “eh”, yang lain tampak menambahkan, “Itu benar! Kita harus bersujud! Hanya bersujud yang bisa menunjukkan betapa besar ketulusan kita!”

Jadi, seseorang tampak memimpin kerumunan disana dan bersujud, dan segera setelah itu, sejumlah besar lainnya mengikuti dan bersujud di tanah. Ratusan dan ribuan orang berjejalan di dalam dan di luar aula besar dan mulai bersujud di hadapan patung ilahi, tubuh mereka naik dan turun, bergumam dan berdoa dalam hati untuk berkah. Xie Lian diam-diam bersembunyi, ‘Tidak apa-apa, kita akan bisa menerimanya perlahan.’

Saat berikutnya, gelombang besar suara datang dari sekelilingnya.

“Raih peringkat tinggi! Peringkat tinggi! Tahun ini aku harus mencapai peringkat tinggi! Jika aku mendapatkannya aku akan membalas rasa terima kasihku!”

“Berdoalah untuk jalan yang aman!”

“Gadis yang aku suka menyukai shixiong-ku, tolong buat dia lebih jelek, kumohon, kumohon.”

“Aku tidak akan percaya aku masih tidak bisa melahirkan bocah gemuk sialan!!!”

… Ada berbagai jenis doa yang diucapkan, Xie Lian merasa sakit kepala hanya dengan mendengarnya, dan buru-buru mengucapkan mantra, menghalangi suara-suara yang tak ada habisnya di tempat itu. Telinganya hening untuk sesaat ketika kemudian terdengar sebuah teriakan, seorang pria berpakaian hitam tampak berlari keluar dari belakang paviliun, tangannya menutupi telinganya. Dia meraung, “DOA MACAM APA ITU!!!”

Para penyembah juga tidak dapat merasakan penampilan dan keberadaan pria ini dan melanjutkan bersujud. Xie Lian menghela napas, menepuk pundaknya dan tertawa, “Feng Xin, terima kasih atas kerja kerasmu.”

Paviliun Xian Le selalu penuh semangat, jumlah doa yang dapat didengar Xie Lian setiap hari melebihi ribuan doa. Pada awalnya, dia masih dipenuhi dengan energi yang ditimbulkan oleh posisi barunya, tidak peduli apakah masalah itu besar atau kecil, dia akan bekerja untuk mereka secara pribadi. Setelah beberapa saat, benar-benar ada terlalu banyak doa, jadi dia membagi satu blok dan memberikannya kepada Feng Xin dan Mu Qing. Apa yang ada dan termasuk dalam tugasnya dan apa yang harus diabaikan, setelah menyaring doa-doa itu, mereka berdua akan menyerahkan hal-hal yang lebih penting kembali kepadanya.

Setelah menyaring doa-doa itu, Mu Qing akan melaporkan kembali tanpa pernah mengeluh, tetapi Feng Xin di sisi lain, tidak bisa mengerti mengapa ada begitu banyak orang yang secara membabi buta berdoa atas urusan kecil, bahkan berkah untuk masalah kamar tidur yang harmonis dibawa ke dalam Paviliun Xian Le. Xie Lian adalah dewa bela diri, dewa perang, dan tentu saja tidak bisa mengurus hal-hal seperti itu. Hal ini terus terjadi dan menyinggung pejabat surgawi lainnya juga, menyalahkan mereka karena mengambil hal-hal yang bukan kemampuan mereka untuk mereka atasi, mengambil bakta yang sama sekali bukan urusan mereka, yang bahkan tidak bisa dibantah oleh Xie Lian.

Feng Xin tampak masih menutupi telinganya dengan kedua tangannya, bahkan jika gerakan itu tidak berpengaruh apa-apa. “Yang Mulia, mengapa kamu memiliki begitu banyak penggemar wanita?”

Xie Lian mengguncang lengan bajunya dan tetap duduk di dalam awan dupa, tersenyum, “Apa yang salah dengan memiliki begitu banyak penggemar wanita? Keindahan seperti awan, menyenangkan mata.”

Feng Xin menjatuhkan wajahnya, “Tidak bagus sama sekali. Ini seperti para penyembah wanita yang tidak memiliki doa selain ingin terlihat lebih baik, menikah lebih baik, melahirkan putra yang baik. Tidak ada yang penting, hanya dengan melihat mereka membuat aku sakit kepala!”

Xie Lian menyeringai dan hendak melanjutkan ketika tiba-tiba terdengar keributan di antara kerumunan itu. Keduanya memandang ke luar aula dan mendengar seseorang berbicara dengan suara rendah, “Pangeran Xiao Jing telah datang, ayo pergi dari sini! Pangeran Xiao Jing ada di sini!”

Mendengar seseorang berkata “Pangeran Xiao Jing”, rasanya seperti semua orang mendengar “Iblis”. Semua orang dalam kerumunan itu menjatuhkan wajah mereka dan menyebar seperti burung. Sesaat kemudian, itu seperti angin topan yang bertiup, dan semua penyembah yang ada di aula melarikan diri. Segera setelah itu, seorang pria muda yang mengenakan brokat mewah dan sebuah jubah melewati ambang pintu dengan sombong, sebuah lampu permata kaca di tangannya. Tanpa melihat kedua matanya itu, wajahnya mirip dengan Xie Lian, tetapi melihat matanya, orang akan menganggapnya terlalu sombong. Itu tidak lain adalah Qi Rong.

Qi Rong telah mencapai usia antara tujuh belas atau delapan belas sekarang, wajahnya melebar, wataknya jauh lebih matang, dan memiliki aura bangsawan. Dia masuk melalui pintu-pintu tetapi tidak mengizinkan pelayannya masuk. Dia memegang lampu itu dengan kedua tangannya dan berlutut di lantai aula yang bersih, jubahnya berkibar ke bawah. Dia mengangkat lampu ke dahinya dan bersujud dengan sungguh-sungguh. Keduanya di atas altar berbagi pandangan. Feng Xin memukul bibirnya dan Xie Lian memahami gangguan di matanya.

Tiga tahun lalu ketika Xie Lian pertama kali meninggalkan ibu kota kerajaan untuk melakukan perjalanan keliling dunia, Qi Rong masih dalam tahanan. Setelah kembali, dia belum sempat melihat sepupu kecilnya sebelum dia tidur nyenyak malam itu. Dalam tiga tahun itu, Xie Lian mengirimkan sejumlah mimpi kepada orang tuanya, kepada Kepala Pendeta, dan beberapa orang lainnya. Dia mengirim satu ke Qi Rong sekali, memperingatkan dia untuk bersikap baik kepada orang lain sejak saat itu, untuk menjaga perilakunya tetap terkendali dan tidak menimbulkan masalah. Dengan demikian, Qi Rong telah melakukan yang terbaik untuk membangun kuil di mana-mana, menawarkan sumbangan dan lampu untuk kebaikan.

Meskipun dia bekerja begitu keras, begitu tulus sampai ke tulang, tapi dia masih akan menimbulkan masalah setiap saat, dan itu adalah tugas Feng Xin yang harus membersihkan perbuatannya. Karena ini, Xie Lian bisa mengerti gangguan apa yang dialami oleh Feng Xin.

Di lantai, Qi Rong selesai memberikan penghormatan dan mulai merengek, “Putra Mahkota sepupu, ini adalah lampu ke-lima ratus yang aku tawarkan. Aku adalah seorang adik lelaki yang setia, kapan kamu akan datang menemuiku? Bahkan dalam mimpi pun tidak apa-apa. Paman dan bibi sama-sama merindukanmu, tetapi kamu hanya mengabaikan kami. Begitu tinggi, kuat, dan dingin.”

Dia sama sekali tidak memperhatikan bahwa Feng Xin ada di sana, mengingatkan Xie Lian, “Jangan memperhatikannya. Kaisar Surgawi telah memberitahumu bahwa kecuali itu penting, pejabat surgawi tidak diizinkan untuk memperlihatkan diri secara pribadi di hadapan manusia. Keluarga harus dihindari.”

“Jangan khawatir, aku tahu.” Kata Xie Lian.

Qi Rong bangkit berdiri memegang lampu itu, meraih kuas dan mulai menulis di lampu itu dengan kepalanya diturunkan. Xie Lian dan Feng Xin merasa tidak enak sehingga mereka mendekat untuk melihat apa yang sedang ditulisnya. Melihat bahwa itu adalah sesuatu yang normal seperti ‘Berdoa untuk kemakmuran negara dan iklim yang diberkati’ dan sesuatu semacam itu. Dan dia tidak berdoa untuk meminta beberapa keluarga dipenggal di depan pasar atau semacamnya, keduanya menghela napas. Menatap Qi Rong yang masih menulis dengan sangat hati-hati dan benar, Xie Lian teringat sesuatu.

Ketika Qi Rong pertama kali kembali ke istana bersama ibunya, pernah ada sekelompok bangsawan dan pangeran mendaki Gunung TaiCang untuk berdoa memohon berkah. Ibu Qi Rong adalah seorang yang kembali setelah kawin lari dengan petani rendahan dan tidak berani melihat siapa pun, tetapi dia selalu menginginkan berkah untuk putranya, meminta putranya untuk sekadar menikmati dunia ini, dan berdoa jika putranya jangan sampai menjadi dirinya atau berubah menjadi bukan siapa-siapa, jadi dia memohon Ratu untuk membawa dan mengasuh Qi Rong.

Meskipun kisah itu sudah disimpan cukup baik, tetapi skandal kerajaan berjalan lebih cepat dari panah, dan tidak ada orang di ibukota kerajaan yang tidak tahu apa yang terjadi pada pasangan ibu dan anak itu. Dengan demikian, di sepanjang jalan, banyak putra bangsawan sengaja meninggalkan Qi Rong, tidak mau bermain dengannya atau berbicara dengannya. Xie Lian melihat sebuah ayunan dan kemudian berlari untuk bermain, dan semua anak pada usia yang sama berlari mengejarnya, bergiliran untuk mendorong Putra Mahkota pada ayunan, menganggapnya sebagai tugas terhormat. Ketika Xie Lian diayunkan pada titik tertinggi, ia secara tidak sadar melihat ke bawah dan melihat Qi Rong bersembunyi di balik bayangan ibunya, kepalanya mengintip keluar, mengawasinya dengan iri.

Begitu mereka mencapai Aula Bela Diri yang Besar, orang-orang dewasa, setelah menawarkan lampu, berpindah untuk meminta Kepala Pendeta sebuah ramalan keberuntungan, untuk menguraikan nasib mereka, dan bercakap-cakap di antara mereka sendiri, meninggalkan anak-anak di aula untuk menawarkan lampu kecil atau bermain.

Ini adalah pertama kalinya Qi Rong bertemu dengan Ratu dan tidak tahu dia sudah menawarkan cahaya pada namanya dan ibunya. Dia melihat betapa indah lampu itu dan ingin mempersembahkan satu untuk berkah juga. Dia masih muda dan tidak mengerti banyak, jadi dia bertanya kepada semua orang di sekitar bagaimana menulis kata-kata doa untuk ibunya. Anak-anak dari cabang keluarga Qi Rong sudah sangat begitu membencinya, di bawah pengaruh orang tua mereka, mereka semua berpikir bahwa ibu dan anak itu telah mempermalukan keluarga sehingga mereka dengan sengaja menipunya.

Ketika Xie Lian selesai menulis di lampu dan meletakkan kuas, dia mendengar suara cekikikan berbahaya dari belakang, dan ketika dia memalingkan kepalanya, dia melihat Qi Rong dengan tangannya yang tertutup tinta, memegang lampu seperti sebuah harta yang berharga, wajahnya penuh senyum, dia akan menawarkan cahaya. Namun pada lampu itu, sebuah kata-kata tertulis ‘Berharap Ibuku dan Aku Meninggal Menuju ke Surga, Qi Rong’ yang ditulis dalam coretan-coretan yang begitu buruk.

Xie Lian kemudian memecahkan lampu itu di tempat, begitu geram dan marah.

Dia belum terlalu tua pada saat itu, tetapi semua pemuda dan anak-anak muda dari keturunan garis bangsawan begitu ketakutan, mereka bersujud di tanah, takut berbicara sepatah kata pun. Setelah menahan diri, Xie Lian secara pribadi menulis ulang doa pada sebuah lampu baru untuk Qi Rong, dan tidak ada yang berani memainkan trik apa pun setelah itu. Kemudian ketika mereka menuruni gunung, Xie Lian segera pergi untuk bermain ayunan lagi. Kali ini, Qi Rong muncul dari belakang Ratu dan mendorong ayunan yang diduduki Xie Lian. Dia lebih pendek dari Xie Lian, tapi dia mendorong dengan antusias, masih menatapnya dari bawah, tatapan ini telah berubah menjadi salah satu tatapan penuh pemujaan. Setelah itu, ia berubah menjadi ekor Xie Lian dan selalu mengikutinya kemanapun dia pergi, bergoyang-goyang di belakang ‘Putra Mahkota sepupunya’.

Bisa dikatakan bahwa Qi Rong dulunya agak normal, tetapi entah bagaimana anak itu berubah menjadi lebih dan lebih keluar dari jalur pada setiap harinya. Namun dalam tiga tahun itu, ada terlalu banyak orang dan terlalu banyak hal yang Xie Lian harus tangani, dan dia tidak punya waktu untuk berbicara dengannya atau menanyakan mengenai keadaannya, dan tentu saja tidak tahu apakah Qi Rong telah matang atau berubah menjadi sedikit lebih dewasa.

Sementara dia masih mengenang saat-saat itu, Qi Rong sudah menawarkan cahayanya dan bersiap untuk meninggalkan aula. Tidak terduga, saat dia mundur, dia menabrak seseorang. Qi Rong terhuyung-huyung lalu berbalik, dan mulai mengutuk tanpa melihat siapa orang itu, “APA-APAAN INI? APAKAH KAU BUTA ATAU MATI DI TEMPAT SAMPAI LUPA CARANYA MENYINGKIR DARI JALAN?”

Saat dia membuka mulutnya Xie Lian dan Feng Xin keduanya menutupi wajah mereka, berpikir: ‘Dia belum berubah sama sekali, masih sama!’

Mungkin itu karena dia tinggal bersama ayahnya sampai dia berusia lima tahun, dan tidak bisa tidak dipengaruhi oleh lingkungan pasar yang gaduh dan temperamen keras ayahnya, tetapi bahkan setelah sang ratu dengan sabar mencoba mendidik Qi Rong, saat dia gelisah, dengan kata-kata Kepala Pendeta, dia akan ‘mengungkapkan bentuk aslinya’.

Orang yang menabrak Qi Rong adalah seorang pemuda yang tidak terawat, berumur dua puluh empat atau dua puluh lima tahun, membawa tas sederhana, sandal jerami yang dikenakannya hampir tanpa bingkai dan tidak berdasar, tertutup debu. Namun, meskipun pemuda ini lemah dan pucat, bibirnya kering dan pecah-pecah, bentuknya merosot, wajahnya cerah, kurus tapi tidak lemah, dan matanya bersinar cerah.

“Tempat apa ini?” Tanyanya.

“Ini adalah Paviliun Xian Le, Kuil Putra Mahkota!” Jawab Qi Rong.

Pria itu mulai bergumam, “Kuil Putra Mahkota? Putra Mahkota? Jadi ini istananya?” Dia melihat patung ilahi yang ada di dalam, emas terpantul di wajahnya, dan dia bertanya lagi, “Apakah itu emas?”

Melihat betapa megahnya paviliun itu, ia telah berpikir bahwa kuil itu sebagai istana kerajaan. Seorang penjaga mendekat untuk mengusirnya dan Qi Rong berkata, “Tentu saja itu emas. Kuil Putra Mahkota adalah sebuah kuil, bukan paviliun di istana kekaisaran! Kamu bahkan tidak tahu dari mana Kamu berada, dari mana orang barbar sepertimu berasal?”

“Lalu di mana istananya?” Orang itu bertanya.

Qi Rong menyipitkan matanya, “Mengapa kamu bertanya?”

Pria itu menjawab dengan nada serius, “Aku harus pergi ke istana dan bertemu Raja. Aku memiliki sesuatu untuk dikatakan kepadanya.”

Qi Rong dan para penjaga tertawa terbahak-bahak, ekspresi mereka begitu merendahkan, “Dari mana asal negara orang udik ini? Kamu ingin melakukan apa di istana? Ingin bertemu Raja? Apakah dia seseorang yang bisa kamu lihat dan temui hanya karena kamu mau? Mereka mungkin bahkan tidak akan membiarkanmu melewati gerbang ketika kamu sampai di sana.”

Pria itu tampaknya tidak terpengaruh oleh ejekan mereka, “Aku akan mencoba. Mungkin itu akan berhasil.”

Qi Rong tertawa, “Kalau begitu cobalah!” Lalu dia mengangkat tangannya dan dengan sengaja menunjuk ke arah yang salah.

“Terima kasih.” Kata pria itu, menyesuaikan tasnya, lalu berbalik untuk berjalan keluar dari aula. Ketika dia mencapai jembatan batu, dia tiba-tiba menghentikan langkahnya. Melalui air kolam yang jernih, lapisan demi lapisan koin dapat dilihat tenggelam di bawah.

Pria muda itu tampaknya telah merenungkan sejenak dan detik berikutnya, dia melompati pagar jembatan dan melompat ke kolam.

Dia begitu gesit dan terampil; Begitu berada di kolam, dia membungkuk dan mulai memungut setumpuk koin, memasukkannya ke dalam tas di lengannya. Karena mereka belum pernah melihat orang yang berani merampok persembahan dewa, Xie Lian dan Feng Xin keduanya tertegun. Qi Rong juga terkejut dan segera meletus karena marah, bergegas ke jembatan dan menampar pagar, berteriak, “APA-APAAN INI! APA YANG SEDANG KAU LAKUKAN?! SESEORANG KELUARKAN DIA!!! APA-APAAN KAU INI!!!”

Sejumlah penjaga segera melompat ke dalam air untuk menarik pemuda itu keluar, tetapi tanpa diduga, dia juga cukup terampil, melempar pukulan dan tendangan, tidak membiarkan siapa pun mendekat. Qi Rong melompat-lompat marah, dan tidak ada satu pun kultivator di halaman yang bisa melakukan apa pun. Pria muda itu mengambil tas yang penuh dan berat dengan koin, membawa tasnya lagi dan siap untuk naik ke darat tetapi tanpa sengaja menginjak lumut, kakinya tergelincir, dan jatuh kembali ke air dalam percikan besar. Para penjaga dengan demikian mengambil kesempatan ini untuk menangkapnya, menyeretnya untuk kembali ke daratan. Qi Rong mengangkat kakinya untuk menginjaknya, berteriak, “BERANI-BERANINYA KAU MENCURI UANG INI!”

Ketika Qi Rong hendak mengangkat kakinya, Feng Xin sudah berdiri di sampingnya, menangkap momen yang tepat dan kemudian berusaha menahan serangan Qi Rong, jadi meskipun ini seperti Qi Rong yang tampak seperti menginjak-injak pemuda itu dengan begitu ganas tetapi tendangan itu mendarat dengan begitu ringan. Meskipun Qi Rong tidak bisa melihat satu pun trik yang dimainkan oleh pemuda itu, dia masih merasa bahwa ada sesuatu yang salah, dia seperti merasakan ada sesosok hantu yang menempel di kakinya. Dia mencoba menendang pemuda itu beberapa kali, namun dia masih merasakan perasaan yang sama seperti sebelumnya, hal ini membuatnya merasa agak buruk.

Pria muda itu tampaknya tersedak air di kolam itu dan dia tampak batuk beberapa kali, “Uang itu tergeletak di dalam kolam begitu saja, mengapa aku tidak dapat menggunakannya untuk menyelamatkan seseorang?”

Qi Rong, di sisi lain yang merasa tidak puas dengan tendangannya, akhirnya berhenti karena jengkel, “Menyelamatkan siapa? Siapa kau? Dari mana kau berasal?”

Dia hanya bertanya agar dia bisa menghukum pemuda itu karena telah melakukan kejahatan dan melemparkannya ke penjara, tetapi pemuda itu masih menjawab pertanyaannya dengan jujur, “Namaku Lang Ying, aku dari Yong An. Kami sedang mengalami kekeringan, tidak ada air sedikit pun, tidak ada satu pun tanaman yang tumbuh, dan semua orang kelaparan karena tidak ada pendapatan. Di sini ada begitu banyak air, makanan, dan uang. Kalian bahkan menggunakan emas untuk membangun sebuah patung, melempar koin ke dalam air, jadi mengapa kalian tidak bisa berbagi dengan kami?”

Yong An adalah kota besar di dalam Kerajaan Xian Le. Xie Lian kemudian bangkit, ekspresinya berubah serius, “Feng Xin, kekeringan terjadi di Yong An? Kenapa aku tidak mendengar ini?”

Feng Xin memalingkan kepalanya, “Aku tidak tahu. Aku juga tidak mendengar apa-apa mengenai masalah ini. Mari kita tanya Mu Qing nanti?”


Bab Sebelumnya Ι Bab Selanjutnya

KONTRIBUTOR

Leave a Reply