• Post category:SAYE
  • Reading time:28 mins read

Penerjemah: Jeffery Liu


Menurut ibunya … Jiang Cheng tiba-tiba merasa sepertinya sebutan itu menjadi sedikit canggung. Jalan pikirannya terputus, dia tidak bisa mengingat apa yang sebenarnya dikatakannya.

Dalam sepuluh tahun terakhir hidupnya, dia hanya tahu bahwa dia memiliki orang tua dan keluarga. Tidak peduli apakah hubungan mereka baik atau buruk, ibunya adalah seorang wanita yang bernama Shen Yi Qing, ayahnya adalah seorang pria bernama Jiang Wei, dan juga ada adik laki-lakinya yang selalu bersikap acuh tak acuh … lalu tiba-tiba sekarang, anggota ini bertambah, Li Bao Guo dan … beberapa nama lain yang telah dia lupakan.

Sulit untuk mengendalikan pikirannya..

Hubungan dengan keluarganya penuh dengan perselisihan, baik itu dengan orang tuanya maupun dengan adik laki-lakinya, setiap mereka bertemu akan selalu terjadi perdebatan. Setelah dipikir lagi, sudah hampir setahun ini dia belum berbicara dengan adiknya, dan ibunya yang biasanya bersikap tenang, belakangan suka kehilangan kesabarannya.

Meskipun situasi seperti itu terus berlanjut sejak dia SMP hingga SMA — bahkan jika dia selalu berpikir untuk tidak pernah pulang ke rumah lagi dan tidak pernah melihat orang tuanya lagi — terutama memikirkan tentang tidak pernah lagi melihat wajah yang tampak terbentuk dari cetakan wajah yang sama dengan orangtua mereka … ketika harapan-harapan seperti ini menjadi sebuah kenyataan di depan matanya sendiri, dia menjadi sedikit terguncang.

Terguncang.

Sangat terguncang.

Sejak saat ibunya berkata, “Ada sesuatu yang harus aku katakan padamu”, diikuti oleh terjadinya perang dingin dan hubungan mereka menjadi hanya sebatas formalitas semata selama beberapa bulan terakhir. Semua yang terjadi terasa seperti mimpi yang tidak dapat dia pahami.

Sepanjang waktu berlalu, dia tidak merasa kesal ataupun menderita karena semua itu.

Yang dia rasakan hanyalah kebingungan.

“Dingin?” Li Bao Guo berbalik dan terbatuk beberapa kali sebelum dia bertanya, “Disini jauh lebih dingin daripada tempat asalmu, ‘kan?”

“En,” jawab Jiang Cheng di balik masker yang menutupi wajahnya.

“Ini akan menjadi hangat begitu kita berada di dalam,” kata Li Bao Guo. Sayangnya, dia kemudian terbatuk cukup keras hingga ludahnya menyembur ke wajah Jiang Cheng. “Aku sudah membersihkan dan mengatur ruangan khusus untukmu.”

“Terima kasih,” jawab Jiang Cheng, sambil menarik masker di wajahnya.

“Tidak perlu berterima kasih.” Li Baoguo terbatuk dan tersenyum kecil ketika dia menepuk punggung Jiang Cheng beberapa kali. “Tidak perlu mengucapkan terima kasih, kita adalah ayah dan anak!”

Jiang Cheng tidak menjawab. Tamparan di punggungnya sangat kuat. Awalnya, dia berniat untuk menarik napas dalam-dalam dan terbatuk, tetapi begitu dia mendengar Li Baoguo terbatuk, dia menjadi lebih ingin batuk. Dengan dua tamparan lagi, dia membungkuk ke tanah dan terbatuk-batuk hingga air matanya hampir keluar.

“Eh, tubuhmu tidak terlalu baik,” Li Baoguo memandangnya. “Kamu harus berolahraga. Ketika aku seusiamu, aku sekuat beruang.”

Sekali lagi, Jiang Cheng menolak menjawabnya. Sebagai gantinya, dia sedikit membungkuk dan menarik lengannya, memberi pria itu jempol. Li Baoguo mulai tertawa, “Olahraga! Aku masih harus bergantung padamu untuk menjagaku nanti!”

Mendengar itu, Jiang Cheng menegakkan punggung dan meliriknya.

“Ayo pergi.” Li Baoguo menampar punggungnya lagi.

“Jangan sentuh aku.” Jiang Cheng mengerutkan keningnya.

“Yo?1” Li Baoguo membeku, matanya membulat, “Apa?”

Jiang Cheng menatap matanya sejenak sebelum dia menarik masker di wajahnya, “Jangan menampar punggungku.”

Rumah Li Baoguo terletak di jalan tua dan sempit dengan toko-toko kecil di setiap sisinya. Mereka tampak berantakan namun penuh dengan sumber daya kehidupan — makanan, pakaian, dan berbagai barang untuk kebutuhan sehari-hari, semua tersedia. Disana juga terlihat gedung-gedung apartemen bertingkat rendah yang terletak di atas toko-toko.

Jiang Cheng mengangkat kepalanya untuk melihat kabel listrik yang saling bersilangan menggantung di atasnya, menghalangi pandangannya untuk melihat dinding gedung di depannya. Warna asli dari dinding luar bangunan itu sudah tidak jelas, entah apakah warna yang suram itu karena cahaya langit di luar, ataukah sejak awal memang sudah seperti itu.

Dia merasa tidak yakin, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa, dia hanya bisa mengikuti Li Baoguo ke sebuah lorong. Mereka berjalan melewati bermacam-macam benda, sayuran dan berhenti di depan sebuah pintu yang berada di bagian paling dalam dari lantai pertama.

“Lingkungan di sini pasti tidak bisa dibandingkan dengan lingkunganmu sebelumnya,” kata Li Baoguo ketika dia membuka pintu. “Tapi apapun milikku adalah milikmu!”

Jiang Cheng tidak mengatakan apa-apa saat dia melirik ke lorong dimana bola lampu telah tertutup oleh jaring laba-laba. Dia benar-benar bisa merasakan bola lampu itu mati lemas karena tidak bisa bernapas.

“Apapun milikku adalah milikmu!” Li Baoguo membuka pintu, berbalik, dan menepuk pundaknya dengan berat. “Apapun milikmu adalah milikku! Itulah hubungan antara seorang ayah dan anak laki-lakinya!”

“Sudah kubilang, jangan sentuh aku.” Kata Jiang Cheng, sedikit kesal.

“Yo,” Li Baoguo berjalan ke kamar dan menyalakan lampu. “Kau benar-benar sangat manja, berbicara dengan orang tua seperti itu. Biarkan aku memberitahumu, aku tidak pernah memanjakan saudara-saudaramu sebelumnya. Jika kamu tumbuh dewasa di rumah selama ini, aku akan memberimu beberapa pukulan … kemarilah, kamu akan tidur di kamar ini … kamar ini sebelumnya milik kakakmu …”

Jiang Cheng tidak mendengarkan lagi apa yang dikatakan Li Baoguo, dia langsung menyeret kopernya ke dalam ruangan. Melihat bahwa apartemen ini hanya terdiri dari dua kamar tidur, hal itu dapat membuat seseorang bertanya-tanya bagaimana keluarga besar sebelumnya dapat hidup di ruang yang begitu kecil.

Kamar yang seharusnya ‘dibersihkan dan diatur’ … mungkin sebenarnya tidak dibersihkan. Tanpa perlu melihatnya ke dalam dan hanya mencium baunya, orang dapat dengan mudah menyimpulkan bahwa partikel debu di udara sudah bercampur dengan aroma sesuatu yang berjamur.

Di dalam kamar, terdapat lemari pakaian tua, meja belajar, dan sebuah ranjang bertingkat dimana di tingkat atasnya diletakkan beberapa barang tidak terpakai yang ditumpuk menggunung. Namun, di tingkat bawah terlihat bersih dengan seprei dan selimut yang baru dicuci.

“Tinggalkan barang-barangmu di sini dan berbenahlah besok,” kata Li Baoguo. “Mari sekarang kita ayah dan anak minum.”

“Minum apa?” Jiang Cheng menatap kosong dan kemudian melihat ponselnya, sudah hampir jam sepuluh.

“Alkohol.” Li Baoguo memandangnya, “Kita belum pernah bertemu selama sepuluh tahun terakhir. Wajar kalau kita harus minum untuk merayakan kesempatan ini!”

“… Tidak,” Jiang Cheng sedikit terdiam, “Aku tidak ingin minum.”

“Kamu tidak mau minum?” Sepasang mata Li Baoguo melebar. Setelah menatapnya selama beberapa detik, matanya akhirnya bergerak lagi, dan sebuah senyum muncul sebagai gantinya, “Jangan bilang kamu belum pernah minum sebelumnya? Kamu sudah SMA … “

“Aku tidak ingin minum,” Jiang Cheng memotongnya. “Aku ingin tidur.”

“Tidur?” Li Baoguo membeku, agak bingung dengan permintaan seperti itu. Namun, dia tidak bertanya lebih jauh dan memilih berbalik untuk pergi sambil mengucapkan beberapa kata dengan suara seraknya. “Tentu, tentu, tentu, kamu bisa tidur, silahkan tidur.”

Jiang Cheng menutup pintu kamarnya dan berdiri selama hampir lima menit sebelum dia berjalan ke arah lemari.

Begitu pintu lemari terbuka, dia tersengat oleh aroma kuat kapur barus yang menyerang penciumannya. Sebuah lemari pakaian dengan dua pintu telah ditata dan diisi penuh oleh selimut, jaket katun tua dan sebuah handuk yang memiliki rumbai-rumbai yang menghiasi tepinya.

Perasaan ini sulit untuk dijelaskan. Jiang Cheng yakin bahwa dia tidak akan merindukan rumah dan anggota keluarga yang Ia tinggalkan beberapa jam yang lalu. Namun, dia benar-benar mulai merindukan kamar lamanya.

Dia mengeluarkan secara acak pakaiannya dari dalam koper dan menggantungnya di lemari, sementara beberapa sisanya disimpan tetap di dalam koper dan kemudian memasukkannya di lemari bagian bawah. Setelah itu, dia mengambil sebotol parfum dan menyemprotkannya ke seluruh bagian dalam lemari sebelum akhirnya dia menutup pintunya dan duduk di samping tempat tidur.

Kemudian ponselnya berbunyi, dia mengambilnya dan melihat bahwa kata ‘ibu’ tampak muncul di layarnya, dia terpaksa menjawab panggilan itu.

“Apa kamu sudah sampai?” Suara ibunya terdengar dari sisi lain.

“En,” jawab Jiang Cheng.

“Kondisinya tidak sebaik rumah di sini,” kata ibu. “Kamu mungkin memerlukan waktu untuk menyesuaikan diri.”

“Tidak perlu.” Kata Jiang Cheng.

Ibu terdiam sejenak, “Xiao Cheng, aku masih berharap kamu tidak merasa …”

“Aku tidak.” Jiang Cheng berkata.

“Dalam sepuluh tahun ini, kami tidak memperlakukanmu dengan tidak adil. Ayahmu dan aku tidak pernah membiarkanmu mengetahui bahwa kamu diadopsi, bukan?” Suara Ibunya menunjukkan sedikit kecanggungan di antara mereka.

“Tapi sekarang aku tahu,” kata Jiang Cheng. “Dan aku bahkan diusir.”

“Jangan lupa, ayahmu berakhir di rumah sakit pada Tahun Baru karena kamu! Dia masih belum keluar dari sana!” Suara ibunya meninggi.

Jiang Cheng tidak menjawab. Dia benar-benar tidak mengerti mengapa ayahnya berada di rumah sakit, bukankah itu karena pneumonia, lalu apa hubungan dengan dirinya.

Dan apa yang dikatakan oleh ibunya kemudian, secara ajaib dia tidak dapat lagi mendengarnya dengan jelas. Ini adalah keahliannya — kalimat apapun yang tidak diingikan telinganya maka secara otomatis tidak akan masuk ke dalam otaknya.

Tuduhan ibunya yang keras dan penuh omong kosong dan percakapan yang menurutnya sama sekali tidak efektif ini, merupakan sesuatu yang mampu menghancurkan sebuah ikatan.

Dia sama sekali tidak ingin mendengarkannya. Dia tidak ingin bertengkar di lingkungan asing ini dan menyebabkan seluruh tubuhnya jatuh dalam ketidaknyamanan.

Ketika telepon berakhir, dia tidak bisa lagi mengingat hal-hal yang mereka bicarakan. Apa kata ibunya, apa yang dia katakan, semua itu sudah dilupakannya.

Aku ingin mandi, Jiang Cheng berdiri dan pergi untuk membuka pintu. Ketika dia melihat ke ruang tamu, tidak ada seorang pun di sana.

Dia berdeham dan batuk beberapa kali, tetapi tetap saja, tidak ada yang menjawab.

“Apa kamu … disana?” Dia berjalan ke ruang tamu, benar-benar tidak tahu bagaimana harus memanggil Li Baoguo.

Ruangan itu benar-benar sangat kecil — berdiri di ruang tamu, seseorang bisa dengan mudah melihat pintu ke kamar tidur, dapur, dan kamar mandi. Li Baoguo tidak ada di kamarnya.

Dia mungkin pergi bermain kartu. Dia adalah tipe orang yang memilih untuk bermain kartu dalam beberapa putaran daripada menjemput seseorang di persimpangan.

“Ayo — mari kita bermain kartu ah — masih ada banyak waktu.” Jiang Cheng bernyanyi sambil mendorong pintu kamar mandi. “Ayo — mari kita mandi ah — masih …”

Tidak ada pemanas air di kamar mandi.

“Bagaimanapun …” dia terus bernyanyi ketika dia berbalik untuk melihat ke dapur yang terhubung ke kamar mandi. Disana tidak ada pemanas air, hanya terdapat pemanas listrik yang terpasang pada keran. “Bagaimanapun …”

Dia tidak bisa bernyanyi lagi. Setelah dia mondar-mandir di ruangan itu beberapa kali untuk memastikan bahwa memang tidak ada pemanas air, dia merasa jantungnya memanas. Tangannya memukul keran. “Brengsek.”

Setelah berkeliaran sepanjang hari, mustahil baginya untuk tidur tanpa mandi terlebih dahulu.

Pada akhirnya, dia tidak punya pilihan selain kembali ke kamarnya dan mengeluarkan barang bawaannya. Dia mengeluarkan sebuah ember lipat dan membawa ember demi ember air ke kamar mandi, sementara itu dia hanya mengenakan celana dalamnya. Bolak-balik, setengah menggosok dan mencuci tubuhnya sendiri, dan akhirnya selesai.

Ketika dia berjalan keluar dari kamar mandi, seekor kecoak berlari melewati kakinya. Dia melompat untuk menghindarinya, hampir membenturkan kepalanya ke pintu.

Ketika Jiang Cheng kembali ke kamarnya dan mematikan lampu dalam upaya memaksakan dirinya untuk tidur, dia memperhatikan bahwa kamar itu tidak memiliki tirai, dan alasan ia tidak dapat melihat pemandangan di luar adalah karena jendelanya sangat kotor.

Dia menarik selimutnya, tetapi karena sedikit ragu, dia menarik ujung selimut untuk menciumnya. Begitu dia memastikan bahwa selimut itu bersih, dia menghela napas lega tetapi sebenarnya, dia bahkan tidak dalam suasana hati untuk menghela napas.

Jiang Cheng menutup matanya selama lebih dari setengah jam, namun, bahkan ketika matanya terasa sakit, dia masih tidak bisa tidur. Tepat ketika dia berpikir untuk merokok, ponselnya berbunyi.

Dia mengambilnya dan melihatnya sekilas, Pan Zhi mengiriminya pesan.

– Brengsek, kau pergi? Apa-apaan semua ini?

Jiang Cheng menyalakan sebatang rokok dan menelepon Pan Zhi, dan ketika dia memegang rokok itu di mulutnya, dia bergerak ke jendela dan berpikir untuk membukanya.

Sayangnya, jendelanya tertutup oleh debu dan karat. Dia disibukkan oleh itu untuk beberapa saat, dan bahkan ketika Pan Zhi sudah menjawab telepon, jendela itu masih tidak bergerak sama sekali.

“Cheng?” Pan Zhi merendahkan suaranya seperti suara seorang pencuri di tempat kerja.

“Brengsek.” Jari Jiang Cheng tertusuk oleh beberapa benda asing yang tidak dikenal. Dia mengerutkan kening dan mengumpat pada dirinya sendiri, akhirnya dia menyerah untuk membuka jendela.

“Apa yang terjadi padamu?” Suara Pan Zhi masih tertahan. “Hari ini, aku mendengar dari Yu Xin bahwa kamu pergi? Bukankah kamu mengatakan akan memberitahuku ketika kamu akan pergi? Aku bahkan sudah membeli setumpuk hadiah untuk mengantar kepergianmu!”

“Kirimkan mereka padaku.” Jiang Cheng mengenakan mantelnya, dan dengan rokok di mulutnya, dia berjalan ke ruang tamu. Ketika dia membuka pintu dan berjalan satu langkah, dia menyadari bahwa dia tidak memiliki kunci tempat ini. Tanpa pilihan lain dia memilih mundur, Jiang Cheng memutuskan untuk membuka jendela di ruang tamu saja.

Suasana hatinya saat ini sama mengerikannya dengan badai angin kencang. Dengan datang satu kesulitan lagi, dia bisa saja akan meletus dengan lagu pertempuran, penuh amarah dan kekesalan.

“Kamu sudah sampai?” Pan Zhi bertanya.

“En.” Jiang Cheng menyandarkan dirinya di ambang jendela dan memandang ke arah jalan yang dipenuhi kegelapan.

“Jadi, bagiamana? Bagaimana dengan ayah kandungmu? ” Pan Zhi bertanya lagi.

“Apa kamu memiliki hal lain untuk dibahas?” Jiang Cheng berkata, “Aku tidak ingin bicara sekarang.”

“Sialan, bukan aku yang melemparmu ke sana,” Pan Zhi mengamuk. “Apa yang membuatmu kesal padaku? Ketika ibumu mengusulkan itu, ‘persetujuan dari orang yang diadopsi harus diperoleh’, kamu bahkan tidak ragu sama sekali, sekarang kamu kesal!”

“Tidak ragu tidak ada hubungannya dengan ketidaknyamanan.” Jiang Cheng menghembuskan seteguk asap.

Jalan yang tidak memiliki jiwa itu tiba-tiba terlihat menghasilkan bayangan manusia yang samar, dengan langkah di atas sebuah skateboard, dia terbang dengan kecepatan yang mengejutkan.

Jiang Cheng terdiam sesaat dan teringat kembali pada gadis kecil bernama Gu Miao. Siapa yang tahu akan ada begitu banyak orang yang bermain skateboard di kota kecil yang kumuh ini.

“Bagaimana kalau aku pergi ke sana?” Pan Zhi tiba-tiba bertanya.

“En?2” Perhatian Jiang Cheng ada di tempat lain.

“Aku bilang aku akan pergi dan mengunjungimu,” Pan Zhi mengatakan kembali. “Masih ada beberapa hari lagi sebelum sekolah dimulai. Aku sekaligus bisa membawa barang-barang yang kubelikan untukmu.”

“Tidak.” Jiang Cheng menolak.

“Jangan keras kepala, kamu tidak memberi tahu orang lain tentang hal ini. Saat ini, kamu hanya memilikiku untuk memberikanmu kehangatan.” Pan Zhi menghela napas, “Biarkan aku pergi dan menghiburmu.”

“Menghibur bagaimana?,” Jiang Cheng mengatakan, “Dengan mulutmu?”

“Brengsek! Sialan kau, Jiang Cheng, Bisakah kau memiliki sedikit rasa malu3, oke?!” Pan Zhi berteriak dari sisi lain.

“Jika kau begitu bersemangat dan bersikeras untuk datang sejauh ini, untuk apa aku malu? Aku harus bekerja sama denganmu.” Jiang Cheng mengelilingi apartemen dengan rokok di tangannya dan menemukan ‘kaleng delapan bubur harta’4 yang telah tertutupi oleh abu rokok. Ketika dia membukanya, bau rokok yang mengendap bertahun-tahun disana hampir membuatnya muntah bahkan sebelum dia sempat melihat dengan jelas apa isi di dalamnya.

Dia melemparkan puntung rokoknya ke dalam dan menutup tutupnya — pada saat itu, dia merasa seperti tidak pernah ingin merokok lagi selama sisa hidupnya.

Lingkungan yang asing dan menyesakkan, ditambah pula dengan “keluarga” yang asing dan menyesakkan.

Jiang Cheng berpikir situasi ini akan membuatnya insomnia, tetapi ketika dia berbaring di ranjang, kesulitan tidur yang ia rasakan sebelumya lenyap seketika. Dia tiba-tiba mendapati dirinya merasa mengantuk, dan bukan hanya mengantuk — itu adalah rasa kantuk disertai dengan rasa lelah yang luar biasa, seolah dia telah begadang selama lebih dari setengah bulan – belajar semalaman untuk ujian.

Sangat tidak terduga.

Setelah memejamkan matanya, dia tidur seolah-olah kehilangan semua kesadarannya.

Sebuah malam tanpa mimpi.

Ketika bangun di pagi hari, hal pertama yang dia rasakan adalah rasa sakit di seluruh tubuhnya, Jiang Cheng hampir berpikir bahwa dia sebenarnya adalah seorang pekerja yang membawa barang-barang berat di dermaga, seolah dia belum menyelesaikan pekerjaan mingguannya.

Dia mengambil ponselnya dan melihat jam di sana. Itu masih cukup pagi, jam masih menunjukkan delapan pagi lewat sedikit.

Dia mengenakan pakaiannya dan berjalan keluar dari kamarnya, dia melihat bahwa segala sesuatu di ruangan itu masih terlihat sama seperti malam sebelumnya, bahkan kamar tidur kosong lainnya masih dalam keadaan yang sama.

Li Baoguo tidak kembali semalam?

Jiang Cheng mengerutkan kening. Setelah selesai mandi, dia merasa sedikit bersalah. Sikapnya tadi malam sedikit kasar — Li Baoguo tidak berniat buruk ketika dia mengajaknya untuk minum karena itu hanya perbedaan kebiasaan, namun dia dengan keras menolak tawarannya. Tidak mungkin Li Baoguo tidak kembali semalam karena itu, bukan?

Dia sedikit ragu ketika dia mengambil ponselnya dan bermaksud untuk menelepon Li Baoguo. Meskipun mereka tidak minum bersama tadi malam, seharusnya tidak ada masalah dengan sarapan bersama di pagi hari.

Ketika dia hendak menekan nomor Li Baoguo, terdengar suara kunci berdenting melewati pintu, dan diikuti dengan suara kunci yang berputar di pintu. Suara itu bertahan selama dua puluh, tiga puluh detik sebelum pintu akhirnya terbuka.

Li Baoguo berjalan masuk, dengan diselimuti aura dingin. Wajahnya gelap dan terlihat sangat kelelahan.

“Kamu sudah bangun?” Suara nyaring Li Baoguo terdengar ketika dia melihat Jiang Cheng, “Kamu bangun cukup pagi, apakah tidurmu nyenyak?”

“…tidak buruk.” Jiang Cheng mencium bau rokok yang menyengat dari tubuh Li Baoguo ketika dia berbicara, yang bercampur dengan aroma busuk yang tak terlukiskan — seperti kursi kereta kulit merah dan hijau yang sudah tua.

“Apa kamu sudah sarapan?” Li Baoguo melepas mantelnya, mengguncangnya, dan baunya semakin menyengat. Ruang tamu yang dari awal tidak terlalu luas itu, sekarang dipenuhi dengan bau aneh.

“Belum,” kata Jiang Cheng. “Bagaimana jika kita …”

“Ada banyak toko yang menjual sarapan di luar, kamu bisa pergi,” kata Li Baoguo. “Aku lelah jadi aku akan tidur siang dulu. Jika aku tidak bangun saat siang nanti, kamu juga bisa makan siang sendiri.”

Jiang Cheng menyaksikannya berjalan memasuki kamar lain, dan melemparkan dirinya ke tempat tidur tanpa melepaskan pakaiannya, kemudian dia menarik selimut. Jiang Cheng tertegun, kemudian bertanya, “Tadi malam … apa yang kamu lakukan?”

“Bermain kartu. Akhir-akhir ini, keberuntunganku benar-benar buruk. Tapi kemarin cukup bagus! Kamu, anakku, telah membawakanku keberuntungan!” Li Baoguo berkata dengan bahagia lalu mulai memejamkan matanya.

Jiang Cheng mengambil sepasang kunci yang diletakkan di atas meja dan berbalik untuk keluar dari pintu. Dia benar-benar terlalu naif karena merasa buruk sebelumnya.

Salju telah berhenti, namun hawa dingin yang menyapu udara terasa menusuk dan menembus hingga tulangnya.

Jalan-jalan di pagi hari terlihat lebih ramai dengan berbagai aktivitas, terdapat orang-orang dan beberapa mobil yang lewat, dan bahkan ada beberapa suara petasan yang terdengar. Namun, ketika matahari mulai bersinar lebih terang, keburukan dan kebusukan yang bersembunyi dalam kegelapan malam mulai terungkap.

Jiang Cheng berkeliaran bolak-balik di jalanan sampai akhirnya dia berjalan ke rumah pangsit. Dia makan beberapa roti isi dan semangkuk puding tahu, tetapi rasa sakit itu masih belum meninggalkan tubuhnya. Sebaliknya, dia merasa lebih tidak nyaman.

Merasakan sepertinya dirinya masuk angin, dia memutuskan untuk membeli sekotak obat dari toko obat terdekat setelah sarapan.

Setelah membeli obat, dia berdiri di sisi jalan dengan perasaan bingung. Haruskah aku kembali?

Gambaran Li Bao Guo yang melemparkan diri ke tempat tidur dengan diselimuti bau aneh itu membuatnya sedikit kesal, dia tidak tau apa yang harus dilakukan jika kembali kesana.

Tidur atau menatap ruang kosong?

Dia berdiri di depan toko obat selama beberapa menit dan memutuskan untuk berjalan berkeliling untuk membiasakan diri dengan tempat ini meskipun dia tidak tahu berapa lama dia akan tinggal disini.

Dia berjalan tanpa tujuan di sepanjang gang menuju jalan utama dan berbelok ke gang kecil lain yang sejajar dengan sebelumnya. Jiang Cheng ingin melihat apakah ada jalan langsung yang bisa membawanya kembali atau tidak.

Di jalan ini, dia melihat sebuah toko musik kecil dan toko es krim yang penuh dengan dekorasi warna merah muda yang ditata dengan indah. Tetapi selain dari dua toko ini, toko-toko lain tidak jauh berbeda dari jalan sebelumnya.

Ketika dia melewati sebuah tempat yang terlihat seperti supermarket kecil tetapi sebenarnya itu hanya sebuah toko yang menjual bermacam-macam barang, dia berhenti dan mendorong pintu terbuka, berniat untuk membeli sebotol air sehingga dia bisa meminum obatnya.

Ketika dia mulai melangkah memasuki toko, udara hangat bercampur dengan aroma musky lemon menghantam wajahnya, dia berhenti di pintu masuk dan merasa ingin berbalik keluar.

Di sana ada empat orang yang berdesakan di area kecil di belakang meja kasir — semua orang duduk dan juga bersandar di kursi.

Ketika dia masuk, orang-orang yang awalnya mengobrol itu, tiba-tiba berhenti dan secara bersamaan memutar kepala mereka untuk menatapnya.

Jiang Cheng memperhatikan keempat orang ini, dari fisik hingga ekspresi wajah mereka, dari pakaian hingga tingkah laku mereka, masing-masing dari mereka tampak memiliki sepatah kata di wajah mereka.

不, 是, 好, 鸟. (Bu, Shi, Hao, Niao)5

Sesaat dia ragu apakah harus berbalik dan pergi atau langsung mengambil sebotol air dari rak terdekat, sudut mata Jiang Cheng mendarat pada tiga orang lain yang berdesakan di depan rak penyimpanan.

Dia memutar kepalanya tetapi tidak melihat orang-orang itu dengan jelas Pertama, dia melihat lantai penuh dengan potongan rambut dan melihat kepala botak mengkilap, diikuti oleh sepasang mata besar.


1 Agustus 2020


Bab Sebelumnya Ι Bab Selanjutnya

KONTRIBUTOR

Jeffery Liu

eijun, cove, qiu, and sal protector

Footnotes

  1. Yo (哟) ― Biasanya dimaksudkan untuk mengekspresikan kejutan kecil; juga bisa di terjemahkan ke ‘oh’.
  2. En? (嗯?) ― Karakter yang sama tetapi digunakan secara berbeda dari respons di tempat seperti ‘ya’, ini lebih seperti “apa” atau “huh?” atau “Mm?” Suatu tindakan mempertanyakan maksud seseorang sebelumnya.
  3. ‘Memiliki sedikit rasa malu’ ― terjemahan langsung sebenarnya “memiliki sedikit wajah” 要点儿脸, artinya orang tersebut harus tahu kapan harus merasa malu atas tindakan mereka dan berkaitan dengan gambar mereka – wajah, yang memegang semua kebanggaan dan kehormatan seseorang.
  4. ‘Kaleng delapan bubur harta’ ― terjemahan langsung dari 八宝粥 – Produk makanan yang sering ditemukan di toko yang dijual dalam kaleng. Biasanya terdiri dari kacang merah, jujubes merah kering, beras ketan, lengkeng, biji teratai, kacang tanah, kastanye, dan millet beras, tetapi tidak selalu terbatas pada ini. Bermacam-macam beras, kacang-kacangan, dan biji-bijian dihitung sebagai “harta karun”.
  5. 不, 是, 好, 鸟 (Bù, shì, hǎo, niǎo – bukan, sekumpulan, orang, baik) ― adalah sejenis bahasa gaul di mana orang biasanya mengatakan, 一 看你就不就什么好鸟 yang pada dasarnya berarti, “mereka terlihat merepotkan”.

Leave a Reply