English Translator : foxghost @foxghost tumblr/ko-fi (https://ko-fi.com/foxghost)
Beta : meet-me-in-oblivion @meet-me-in-oblivion tumblr
Original by 非天夜翔 Fei Tian Ye Xiang


Penerjemah Indonesia : Me_524
Editor : _yunda


Buku 1, Chapter 2 Part 1

Hari berikutnya matahati bersinar dengan cerahnya, setelah bertarung dengan dinginnya salju, kini arsitektur Shangjing tampak lebih hidup, dengan Viburnum yang mencerminkan surga. Pelayan itu membawakan mereka sarapan. “Nyonya ingin berbicara dengan Anda setelah sarapan, Tuan Lang.”

“Tidak perlu,” jawab Lang Junxia. “Ada beberapa hal yang harus aku lakukan hari ini, dan berlama-lama di sini akan mengganggu semuanya. Tolong beritahukan padanya kalau aku sangat menghargai keramah-tamahannya.”

Setelah pelayan itu pergi, Duan Ling bertanya, “Apa kita akan pergi berbelanja?”

Lang Junxia mengangguk, “Jangan banyak bertanya saat kita berada di luar.”

Duan Ling bergumam setuju. Mengingat kembali apa yang terjadi di malam sebelumnya, Duan Ling berpikir bahwa mungkin dia telah merepotkan Lang Junxia, namun dirinya masih tidak mengerti apa yang sedang Lang Junxia lakukan di kamar sebelah, jadi dia tidak berani dengan sembarangan menanyakannya. Untungnya Lang Junxia sepertinya benar-benar telah melupakannya, kemudian setelah sarapan dia membawa Duan Ling ke gang belakang, ke jalan yang sama ketika mereka datang.

Sebuah kereta telah terparkir di luar; tirai kereta itu digulung naik menampakkan Ding Zhi yang tengah duduk di dalam. “Kalian baru tinggal semalam. Kemana kalian akan pergi? Bukankah kau bilang ketika kau sudah menetap kau tidak akan pergi lagi? Ayo naik.”

Lang Junxia menggenggam tangan Duan Ling dan terlihat ragu-ragu. Tapi kemudian Duan Ling menarik tangannya — dia ingin pergi.

Jadi Lang Junxia menjawab pertanyaan wanita di kereta itu, “Aku tidak ingin merepotkan. Ada beberapa hal yang harus aku lakukan sekarang.”

Ding Zhi tidak memiliki banyak pilihan selain membiarkannya. Lang Junxia membawa Duan Ling menuju jantung kota, Duan Ling langsung dibanjiri ketakjuban ketika melihat semua hal dalam perjalanannya. Shangjing adalah pusat perdagangan untuk seluruh wilayah utara — tiga kota di luar tembok besar dan empat puluh satu suku selain Han, semua menjual barang dagangannya di sini. Terlebih ulang tahun Janda Permaisuri dari Liao yang Agung akan segera datang, jadi para duta dari Chen Selatan datang ke tempat ini untuk mengucapkan selamat padanya. Pasar ini penuh dengan boneka gulali, barang-barang antik, souvenir berbagai harta karun, makanan-makanan lezat yang dikumpulkan dari pegunungan, bahan obat-obatan, hiasan rambut, riasan… serangkaian barang-barang yang mempesona berjejer sejauh mata memandang.

Duan Ling ingin mencicipi semua makanan yang dia lihat, namun satu hal yang paling ingin dia cicipi adalah kue beras goring1 yang dulu pernah sangat dia inginkan di Shangzi. Pertama-tama Lang Junxia membawa Duan Liang ke penjahit untuk mendapatkan dua set pakaian jadi, kemudian dia membawanya ke toko pena dan tinta, untuk membeli apa yang orang-orang sebut sebagai “Empat Harta dalam Belajar.2

“Kau bisa menulis?” Duan Ling bertanya dengan penasaran.

Penjaga toko itu mengeluarkan barang-barangnya satu persatu: batu tinta dari Duanzhou, tinta dari dari Huizhou, kuas dari Huzhou, dan kertas dari Xuanzhou.3

“Ini semua untuk kau gunakan,” Lang Junxia berkata “Kau harus mulai sekolah dan belajar untuk menulis essay, jika tidak itu akan menjadi terlalu terlambat.”

“Anda mempunyai penglihatan yang jeli, Tuan.” Penjaga toko itu tertawa ringan, “Ini adalah barang-barang yang berkualitas, dibawa kemari setahun yang lalu oleh pedagang dari utara. Kertas-kertas ini belum sampai semua, jadi kami memerlukan toko lain untuk membawa kedua belas bendel lainnya untukmu.”

“Liao tidak terlalu memperhatikan tentang hal-hal semacam ini.” Lang Junxia berkata dengan acuh tak acuh, “Kami hanya mencoba untuk mendapat awal yang baik, untuk keberuntungan. Kirimkan semuanya ke Aula Kemasyhuran sebelum besok senja.”

“Itu terlalu mahal.” Duan Ling merasa tidak enak untuk uang yang telah dibelanjakan Lang Junxia; Lang Junxia secara praktis menyerahkan kekayaannya.

Namun Lang Junxia menjawabnya, “Belajarlah yang rajin, kesuksesan dan kekayaan akan mengikuti. Bersekolah dan berkemampuan untuk menulis essay itu tidak ternilai harganya.”

“Apa aku akan pergi ke sekolah?” Tanya Duan Ling.

Bukan tanpa iri, dulu ketika di Runan, Duan Ling kerap melihat anak-anak pulang dari sekolah. Dia tidak pernah membayangkan bahwa suatu hari dirinya akan mendapatkan kesempatan untuk bersekolah juga, dia merasakan kebahagiaan dari lubuk hatinya yang terdalam, dan juga merasa sangat berterima kasih. Dia berhenti sejenak kemudian menatap lekat-lekat ke arah Lang Junxia.

Lang Junxia bertanya, “Ada apa?”

Hati Duan Lian penuh dengan perasaan yang campur aduk, “Bagaimana caraku untuk membayarmu?”

Sorot mata Lang Junxia tampaknya mengisyaratkan bahwa dia menganggap Duan Ling menyedihkan, namun di dalam tatapannya, tampak juga adanya kelembutan, pada akhirnya dia masih mencoba untuk tersenyum dan dengan tulus berkata, “Belajar dan bersekolah adalah hakmu. Kau tidak perlu membayarku. Akan ada banyak orang yang ingin kau bayar kelak.”

Setelah mereka membeli keperluan menulis dan makan berbagai kudapan, Lang Junxia membelikan Duan Ling penghangat tangan dan kantong bersulam. Dia menempatkan Lengkungan Giok Duan Ling di dalam kantong bersulam dan menyuruh Duan Ling menyimpannya di dalam kaos dalamnya.

“Kau tidak boleh menghilangkannya, apapun yang terjadi.” Lang Junxia memberinya perintah tegas, “Pastikan kau selalu mengingatnya.”

Lang Junxia membawanya keluar dari kebisingan pusat kota, berbelok ke sudut gang terpencil. Terdapat bangunan tua dengan dinding putih dan genteng hitam menghadap ke jalan, lapisan salju menumpuk di atap bangunan itu, bagian depannya sederhana dan mengesankan. Pohon cemara yang tertutup salju berdiri di belakang dinding; semakin mendekat mereka bisa mendengar suara anak-anak.

Ketika Duan Ling mendengar suara anak-anak, dia tiba-tiba merasa bersemangat — semenjak dia bersama Lang Junxia, dia belum pernah melihat anak-anak yang seusianya. Kini, dia berperilaku baik sepanjang waktu, sama sekali tidak seperti ketika dia di Runan, dirinya seperti seekor binatang buas yang melompat-lompat dari lumpur dan air sepanjang hari. Dia bertanya-tanya apa yang biasanya dilakukan anak-anak seusianya di Shangjing.

Sambil memegang tangan Duan Ling, Lang Junxia menuntunnya masuk ke dalam. Duan Ling memperhatikan bahwa di dalam halaman, salju telah tersapu dengan rapi. Tiga pemuda, yang semuanya kira-kira sekepala lebih tinggi darinya, berdiri sepuluh langkah jauhnya, masing-masing memegang panah dan melemparkannya ke dalam pot yang ditempatkan tidak jauh dari mereka. Mendengar langkah kaki, para pemuda itu berbalik menatap ke arah Duan Ling. Duan Ling merasa sedikit gugup dan bergerak mendekat ke Lang Junxia.

Lang Junxia tidak berhenti, dia membawa Duan Ling sampai ke ruang tamu bagian dalam. Tampak seorang lelaki tua dengan rambut beruban sedang duduk di sana sambil menikmati tehnya.

“Tunggu di sini sebentar.” Kata Lang Junxia.

Dengan mengenakan baju berwarna nila (biru keunguan), Duan Ling berdiri di bawah kanopi beranda saat Lang Junxia masuk ke dalam sendirian. Percakapan mereka samar-samar terdengar di luar. Pikiran Duan Ling mulai mengembara, lalu dia melihat pemuda lain mendekatinya dari balik pilar, menatap Duan Ling yang berdiri di depan lonceng. Perlahan, jumlah anak yang berkumpul di halaman itu bertambah banyak, semuanya setidaknya berusia delapan atau sembilan tahun, masing-masing memandang Duan Ling dari kejauhan dan berbisik satu sama lain. Seseorang mulai berjalan ingin berbicara dengannya, tetapi seorang pemuda yang paling tinggi di antara yang lainnya menghentikannya.

Dia berdiri di bawah lonceng dan bertanya pada Duan Ling, “Kau siapa?”

Duan Ling menjawab dalam benaknya. Namaku adalah Duan Ling, ayahku adalah Duan Sheng… Namun dia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dia merasakan adanya masalah yang akan datang.

Melihat kalau Duan Ling takut dengan orang asing, pemuda itu mulai tertawa. Meskipun Duan Ling tidak tahu apa yang mereka tertawakan, dia mulai merasa marah.

“Dari mana asalmu?” Seorang pemuda lain yang membawa sebuah tongkat besi yang diketukkan ke tangannya, maju selangkah.

Duan Ling secara naluriah mundur menjauh darinya, tetapi pemuda itu meletakkan tangannya yang bebas di bahu Duan Ling dan dengan sombong menarik Duan Ling padanya. Dia menempelkan tongkat besi itu di bawah dagu Duan Ling untuk membuatnya mendongak dan menggodanya, “Berapa umurmu? “

Duan Ling berkali-kali mencoba kabur, tetapi salah satu lengan pemuda itu melingkari dirinya sehingga dia tidak dapat bergerak sedikitpun. Namun begitu dia berhasil kabur, dia tidak ingin pergi. Karena Lang Junxia menyuruhnya berdiri di sana, dirinya tidak punya pilihan lain selain berdiri di sana.

“Oh.” Pemuda yang satu kepala lebih tinggi dari Duan Ling, yang berpakaian dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan pakaian utara, mulai dari mantel bulu serigala hingga topi ekor rubah. Bagian hitam matanya memiliki sedikit warna biru terang, dan kulitnya kehitaman. Berdiri di depan Duan Ling, dia terlihat seperti anak serigala yang hampir dewasa.

“Apa ini?” Pemuda itu mengulurkan tangannya ke leher Duan Ling menarik kalung benang merah yang diikatkan ke kantong bersulam. Duan Ling kembali menghindar.

“Kemarilah.” Melihat bahwa Duan Ling hanya menghindar dan tidak melawan, dia merasa seperti meninju seikat kapas — sama sekali tidak menyenangkan. Dia menepuk wajah Duan Ling. “Hei… Aku sedang berbicara denganmu. Apa kau bodoh?”

Duan Ling memperhatikan pemuda itu sementara tangannya mengepal dan kilatan menakutkan muncul di matanya. Dia hampir tidak menyadari bahwa di mata pemuda itu ia tidak lebih dari seorang anak kaya biasa, dan yang harus ia lakukan hanyalah memukulnya dengan tongkat agar Duan Ling memohon dan menjerit memanggil ayah dan ibunya. Tapi sebelum dirinya mulai menggunakan tongkat itu, pemuda itu sepertinya berniat menggodanya lebih jauh lagi…

“Apa ini?” Sambil mencondongkan tubuhnya ke telinga Duan Ling, pemuda itu mengulurkan tangan untuk menarik keluar kantong yang tergantung di leher Duan Ling. Dia mencondongkan tubuhnya dan berbisik mengejek, “Apakah orang yang masuk tadi adalah ayahmu? Atau apakah dia kakakmu? Atau mungkin laki-laki yang disiapkan keluargamu untuk menjadi suamimu saat kau besar nanti? Apakah dia di sana sedang bersujud memohon kepada Kepala Sekolah?”

Sekarang anak-anak di belakang mereka semua mulai tertawa. Karena takut kantongnya robek, Duan Ling membiarkan pemuda itu menyeretnya ke sana ke mari, dia dengan gigih melindungi tali merah yang mengikat kantongnya.

Gup—!” Pemuda itu mulai menunjukkan sebuah pertunjukan serius untuk mempermalukannya. “Dasar keledai.”

Anak-anak yang menyaksikannya tertawa terbahak-bahak. Wajah Duan Ling menjadi merah padam.

Sebelum pemuda itu berhasil mengatakan apa-apa lagi, dia melihat kepalan tangan Duan Ling membesar dalam penglihatannya, lalu segera dia merasakan sakit seperti patah tulang di hidungnya. Pukulan itu melemparkannya ke belakang dan dia jatuh ke tanah.

Kemudian terjadilah sebuah pertarungan yang kacau. Pemuda itu mengeluarkan banyak darah dari hidungnya tetapi dia tidak mundur; dia justru bergegas maju dan ingin melemparkan Duan Ling, tetapi Duan Ling turun rendah dan melemparkan bebannya ke pinggang pemuda itu sehingga mereka berdua terbang keluar galeri dan langsung ke taman. Tiba-tiba anak-anak di sekitar mereka mulai bersorak dan berteriak, membentuk lingkaran untuk menyaksikan mereka berdua berkelahi di atas salju.

Duan Ling mendapat pukulan di wajahnya, dan tendangan di dadanya, bintang-bintang bertaburan di depan matanya. Pemuda itu duduk di atasnya sekarang, meninjunya; Leher Duan Ling berlumuran oleh darah pemuda itu, dan ketika dia dipukuli, penglihatannya mulai gelap. Dengan mengerahkan semua kekuatannya, dia tiba-tiba meraih pergelangan kaki pemuda itu, dan dengan kejam membaliknya ke tanah.

Duan Ling kemudian melemparkan dirinya ke pemuda itu seperti anjing gila dan menggigit tangannya. Anak-anak di sekitar mereka langsung gempar. Itu terlihat sangat menyakitkan sehingga pemuda itu melolong kesakitan, dia meraih kerah Duan Ling, dan menempelkan dahinya ke dahi Duan Ling kemudian mengarahkan bagian belakang kepalanya tepat ke lonceng, kemudian terdengar bunyi ledakan yang menggelegar.

Dong...! Lonceng berbunyi, dan Duan Ling jatuh tak berdaya ke tanah, dengungan mengisi mulut, hidung, dan gendang telinganya.


Bab Sebelumnya | Bab Selanjutnya

KONTRIBUTOR

yunda_7

memenia guard_

Footnotes

  1. Ludagun dalam aksara China Sederhana 驴打滚, sedang China Tradisional 驢打滾, disebut juga doumiangau atau kue beras cincang goreng / fried chop rice cake. Adalah kudapan tradisional Manchu di China. Tepung kedelai kuning yang ditaburkan di atas kue ini membuatnya tampak seperti keledai yang berguling-guling di atas roti, yang kemudian dinamai “Lu Da Gun” (keledai gulung).
  2. Empat Harta dalam Belajar / Four Treasures of the Study adalah pena, tinta, kertas, dan batu tinta.
  3. Tempat-tempat ini tidaklah penting. Yang terpenting adalah tiap tempat ini adalah pusat penghasil benda-benda ini. Meraka adalah yang terbaik dari yang terbaik.

This Post Has One Comment

  1. yuuta

    belum juga mulai belajarnya udah pada bergelud saja mereka ini..

Leave a Reply