English Translator : foxghost @foxghost tumblr/ko-fi (https://ko-fi.com/foxghost)
Beta : meet-me-in-oblivion @meet-me-in-oblivion tumblr
Original by 非天夜翔 Fei Tian Ye Xiang


Penerjemah Indonesia : Keiyuki17
Editor : _yunda


Buku 1, Chapter 7 Part 1

Hari ini hujan sangat deras di Shangjing, dan semua orang yang berjalan di jalanan harus menyeberangi air. Kuda-kuda berlari dengan kencang, membawa percikan air saat mereka melangkah melewati genangan air, saat kilat menyambar dan guntur mengaum. Li Jianhong mengenakan pakaian rakyat jelata yang sama seperti yang selalu dia pakai, celananya digulung di atas sepasang sandal kayu, membawa Duan Ling saat dia berjalan di jalan. Di punggung ayahnya, Duan Ling memegang payung ketika mereka memeriksa daftar peserta ujian yang berhasil yang dipasang di dinding.

Area di depan pemberitahuan itu penuh dengan para pelayan. Mereka berdua adalah satu-satunya yang datang secara pribadi, melihat daftar nama.

“Namaku ada di sana. Yang kedelapan! Yang kedelapan!”

“Yah, tentu saja anakku akan melakukannya dengan cukup baik.”

Duan Ling berteriak yang kedelapan yang kedelapan, sementara Li Jianhong tetap merasa senang saat dia membawanya ke Akademi Biyong. Penjaga gerbang datang. “Pelayan tidak diizinkan masuk. Kami memiliki orang-orang di sini yang dapat menempatkan tuan mudamu.”

“Dia adalah ayahku,” kata Duan Ling pada penjaga gerbang.

Penjaga gerbang melihat Li Jianhong dari atas ke bawah beberapa kali, tapi pada akhirnya dia tidak memiliki pilihan selain membiarkannya masuk.

Mereka hampir sepenuhnya basah kuyup. Murid Akademi Biyong tidak masuk sampai sore hari, jadi Duan Ling mendapatkan plakat namanya, masuk, dan menemukan kamarnya. Begitu hujan mulai reda, Li Jianhong menyuruh putranya menunggu di kamarnya sementara dia pulang untuk mendapatkan semua yang dia butuhkan.

Setelah tempat tidur dirapikan dan selimutnya dilipat, dan dia selesai minum sup jahe untuk mengusir dingin, Duan Ling berkata pada ayahnya, “Kau harus pulang. Tempat ini mungkin seperti Aula Kemasyhuran pada malam hari dan mereka akan menyajikan makan malam.”

Li Jianhong mengangguk. Ada lebih banyak orang di ruangan itu. Dia memakai topi bambu, menyembunyikan sebagian kecil wajahnya saat dia bersandar di luar jendela, berbicara dengan Duan Ling.

“Pastikan kau tahu di mana barang-barangmu, jangan meletakkan barang di sembarang tempat. Sekolah tidak seperti di rumah, dan jika kau salah menempatkan sesuatu, tidak ada yang akan mencarikannya untukmu.”

Duan Ling mengatakan hmm sebagai jawaban. Li Jianhong menambahkan, “Pastikan kau makan tepat waktu tiga kali sehari.”

Semakin banyak anak muda sudah masuk, saling menyapa di luar. Duan Ling bersuara uh huh beberapa kali, dan berjalan menemani Li Jianhong keluar dari pintu belakang, memegang tangannya. Dia bahkan kurang ingin berpisah dengan Li Jianhong daripada bersama dengan Li Jianhong, tetapi dia tahu dia harus menahan air matanya. Jika tidak, begitu dia mulai menangis, Li Jianhong hanya akan mengomelinya lagi.

“Kau harus pulang, Yah. Aku bisa menjaga diriku sendiri.”

Hanya beberapa bulan sejak kedatangan Li Jianhong, tetapi itu membuat Duan Ling hampir lupa bagaimana dia bisa melewati tahun-tahunnya di Aula Kemasyhuran.

“Pergilah.” Li Jianhong berkata, “Jangan mengkhawatirkan aku lagi. Aku akan datang menemuimu ketika aku memiliki waktu.”

Duan Ling memberinya anggukan kecil, lalu tiba-tiba dia berlari ke arahnya, memeluk pinggangnya, dan mengusap wajahnya ke dadanya. Setelah itu Duan Ling melepaskannya dan kabur tanpa berkata apa-apa.

Li Jianhong berdiri di luar pintu, menatap kehampaan dari halaman belakang.

“Jangan merasa bersalah berpisah darinya sekarang,” penjaga gerbang memberi nasehat, “Putra Anda akan belajar dan mendapatkan kehormatan terpelajar, ya? Pulanglah, pulanglah.”

Perlahan, Li Jianhong menghela napas panjang; sandal kayunya menapak trotoar ubin batu besar.

Bermata merah, Duan Ling berlari di sepanjang sisi lain tembok, mengejar Li Jianhong, mengintip dari balik tembok sambil berjalan; hanya setelah ayahnya pergi jauh, dia bersandar ke sudut, menggosok matanya, dan berbalik untuk pergi.

Malam cerah setelah hujan, dengan aroma segar di udara yang tersisa. Duan Ling kembali ke kamarnya tetapi ternyata Cai Wen sedang membereskan tempat tidur lainnya, Cai Yan berdiri di sampingnya, mengawasi.

“Jangan meletakkan barang-barangmu di sembarang tempat,” kata Cai Wen padanya, “ini bukan rumahmu, jika kau salah tempat, tidak ada yang akan membantumu untuk mencarinya.”

Duan Ling tidak bisa menahan tawa, jadi Cai Wen mengangguk padanya. “Kalian berdua menjagalah satu sama lain.”

Duan Ling mendekati Cai Yan dan mereka berdua saling menepuk. Cai Wen meninggalkan beberapa instruksi lagi bersama dengan sedikit uang, dan kemudian dia pergi.

“Kau juga di sini,” kata Cai Yan.

Duan Ling melihat bahwa Cai Yan masuk terlebih dulu dan tahu bahwa dia pasti akan ada di sini, tapi dia tidak pernah membayangkan bahwa mereka akan menjadi teman sekamar. Cai Yan menambahkan, “Helian Bo ada diseberang. Dia memiliki kamar sendiri.”

Jadi Duan Ling berlari untuk menyambut Helian Bo. Helian Bo hanya mengangguk dan berkata pada Duan Ling, “Batu, pergi… pergi.”

Uh huh.” Duan Ling balas mengangguk. “Dia akan baik-baik saja.”

Helian Bo mulai tersenyum. Dia menunjuk dirinya sendiri, lalu dia melakukan gerakan “berjalan” dengan jari-jarinya. Duan Ling mengerti maksudnya dan berkata, “Ayo kita ambil makanan.”

Banyak anak di Akademi Biyong mengenal satu sama lain. Keluarga Han tidak datang; mereka bilang dia kembali ke Zhongjing. Setelah menghabiskan berbulan-bulan berpisah, semua orang tampak seolah-olah mereka memiliki jimat aneh yang ditempelkan pada mereka saat mereka memasuki Akademi Biyong, menyebabkan para pemuda menjadi lebih dewasa dan tenang, menambahkan xiong kehormatan ke nama keluarga yang mereka gunakan untuk saling menyapa. … Dan setiap kali mereka bertemu, mereka juga akan memberi hormat, mengepalkan tangan, dengan anggukan dan senyuman.

Bertemu dengan teman-teman sekolahnya lagi sudah mengurangi kesedihan yang dia rasakan karena berpisah dari ayahnya, tetapi begitu dia selesai makan malam dan kembali berbaring di kamarnya, Duan Ling mulai merasa kesepian lagi, berbolak-balik tidak tenang di tempat tidurnya. Dia merindukan kehangatan tubuh ayahnya, suhu kulitnya yang terpancar melalui kaos dalam yang tipis, dan bisa merasakan naik turunnya napas dan detak jantungnya yang kuat saat kepalanya disangga di lengan ayahnya.

“Nyamuk?” Tanya Cai Yan.

“Tidak.” Duan Ling tidak berani bergerak lagi agar tidak mengganggu tidur Cai Yan. Ini pertama kalinya dia berbagi kamar dengan teman sekolahnya, dan dia berusaha sebaik mungkin untuk berhati-hati, tidak ingin mengganggunya.

“Kangen rumah?” Tanya Cai Yan.

“Tidak mungkin.” Duan Ling menjawab, “Ketika kita berada di Aula Kemasyhuran, bukankah aku juga hidup sendirian?”

Uh huh. Di mana suami pengasuh anak-mu itu? Dia belum kembali?”

“Tidak.” Duan Ling mengingat hal-hal menggelikan yang pernah dia katakan pada Cai Yan dan selalu menganggapnya lucu. “Ayahku di sini, dan dia mengirimnya untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan.”

Cai Yan menoleh dan menatap Duan Ling; cahaya bulan kebetulan menyinari ruangan dan menyinari wajahnya yang cantik. Duan Ling melihat kembali ke Cai Yan saat Cai Yan berkata, “Kami tidak mirip, bukan?”

Duan Ling berkata dengan hampa, “Maaf?”

“Kakakku dan aku. Setiap orang selalu mengatakan itu.”

Tapi Duan Ling tidak memikirkannya — dia hanya memikirkan bagaimana Cai Yan sudah berkembang. Karena Cai Yan mengatakannya, Duan Ling membuat suara setuju.

“Kami tidak memiliki ibu yang sama,” Cai Yan menjelaskan.

“Oh.”

Cai Wen memiliki fitur wajah yang keras dengan alis yang besar dan tebal, tetapi Cai Yan terlihat cukup lembut, dengan aura seorang terpelajar. Dia agak angkuh bagi kebanyakan orang, tetapi dia cenderung menjaga Duan Ling, jika hanya karena Duan Ling tidak terlalu agresif pada awalnya, dan tidak kompetitif sama sekali, sehingga membuat Cai Yan tentu saja merasakan rasa untuk melindungi yang lebih muda dan yang lebih lemah.

Suara yang berasal dari luar, terdengar terputus-putus.

“Apa seseorang memainkan seruling?” Kebingungan, Duan Ling turun dari tempat tidur dan membuka jendela belakang. Aroma bunga musim panas melayang di udara.

Cai Yan duduk dan menatap ke kejauhan. Nada seruling tidak mengalir, seolah-olah seseorang yang baru mulai mempelajari permainan jari mencoba mengingat di mana harus meletakkan jari mereka saat bermain. Dimainkan dengan sangat buruk hingga hampir tidak bisa ditoleransi, dan kadang-kadang nadanya bahkan disertai dengan suara air liur yang menghalangi lubang serulingnya.

Baik Cai Yan dan Duan Ling tidak mengatakan apa pun saat berhadapan.

“Reuni Kebahagiaan?” Duan Ling akhirnya berhasil mengetahui melodinya. “Ini Reuni Kebahagiaan.”

Cai Yan menjatuhkan dahinya ke tangannya, tercengang. “Ini adalah lagu paling mengerikan yang pernah kudengar.”

Sementara pria di luar bermain, Duan Ling menderita saat melewati setiap nada, begitu buruk sehingga dia berharap dia bisa memainkan sisanya untuknya. Namun, pemain seruling itu sepertinya tidak memahami perasaannya sama sekali; nada itu tumbuh semakin antusias, seperti pemain yang senang menghibur dirinya sendiri.

“Siapa ini?” Saat ini Cai Yan pada dasarnya merinding.

Duan Ling tidak mengatakan apa pun. Dia sudah menebak siapa itu, tapi dia tidak bisa menahan kegembiraannya untuk dirinya sendiri — dia benar-benar tidak berani mengatakannya.

“Berhentilah bermain!” Di kamar sebelah, Helian Bo akhirnya tidak tahan lagi dan menggeram ke luar jendela, lalu setelah itu, dia melempar pot bunga di belakang kata-katanya.

“Kau akan membiarkan kami tidur atau apa?!” Cai Yan berteriak.

Seruling akhirnya berhenti dimainkan, tapi Duan Ling tidak menutup jendela itu.

Cai Yan berkata, “Ayo, ayo tidur. Kita harus bangun pagi besok.”

Maka Duan Ling menyelipkan dirinya ke dalam dan diam-diam meringkuk di selimutnya, dan menutup matanya memikirkan Li Jianhong. Dalam mimpinya, sekuntum bunga yang jatuh melayang dengan lembut ke bawah, berputar saat jatuh melalui jendela dan mendarat dengan lembut di dekat bantalnya. Sebuah batu kecil menghantam bingkai jendela, membuat suara pelan, dan jendela menutup dengan sendirinya.


“Tujuan dari pendidikan tinggi adalah untuk meningkatkan bagian terhormat dari karakter seseorang…”

“Mengetahui tujuan akhir memberi seseorang keyakinan yang kuat, memiliki keyakinan yang kuat membuat seseorang kuat dan sabar….”

“Ada akar dan cabang untuk segalanya, awal dan akhir untuk setiap peristiwa; ketika seseorang mengetahui apa yang datang terlebih dulu dan apa yang datang setelahnya, ia akan lebih dekat ke Jalan…”1

Akademi Biyong dikelola oleh empat pejabat. Ketuanya adalah pria paruh baya yang baik dan gemuk yang membuat keputusan akhir tentang segala sesuatu yang terjadi di akademi; dua Direktur Bidang Akademik mengawasi pembelajaran; satu Direktur Hubungan Kemahasiswaan memutuskan setiap permintaan yang dibuat oleh siswa. Para pejabat ini melapor langsung ke Administrasi Selatan, dan itu adalah lembaga tertinggi di Shangjing untuk perawatan para terpelajar.

Ada juga beberapa Guru Besar Lima Karya Klasik yang bertindak sebagai pengajar, serta sejumlah asisten pengajar; semua posisi dari Ketua hingga Asisten Pengajar adalah pejabat peringkat Liao, namun mereka semua adalah Han. Setiap kali siswa bertemu dengan mereka di serambi, mereka harus berhenti dan memberi hormat dengan hormat.

“Uh huh.” Setiap kali ini terjadi, baik Ketua atau Guru Besar akan mengangguk pada siswa, namun nada nasal suara ini sedikit berbeda. Ketika siswa yang mereka temui adalah Han, orang bisa mengatakan bahwa itu terdengar seperti uh huh tapi ketika bertemu dengan seorang Khitan itu akan menjadi mm hmm.2

Kehidupan baru telah dimulai; mereka sudah pergi dari langit yang hitam bumi yang kuning, alam semesta yang luas seluruhnya kacau untuk tujuan dari pendidikan tinggi adalah untuk meningkatkan bagian terhormat dari karakter seseorang, dari mana ada tiga yang berjalan bahu-membahu, seseorang harus bisa menjadi guru saya jika ada daging marmer di dapur dan kuda-kuda yang cukup makan di kandang, tetapi orang-orang terlihat lapar dan ada mayat karena kelaparan di jalanan…3 Matahari musim panas tetap sama, orang-orang yang bersekolah dengannya tetap sama, tapi Duan Ling merasa seolah-olah segala sesuatu di sekitarnya sudah terbalik.

Selain mempelajari buku dan menulis esai, mereka yang menghadiri Akademi Biyong juga harus mempraktikkan enam seni Konfusianisme: upacara, musik, panahan, kereta perang, kaligrafi, dan matematika. Kereta perang sudah lama dihapuskan dan karena itu sudah diubah menjadi menunggang kuda. Setiap hari, Duan Ling harus bangun pagi-pagi sekali dan berkumpul dengan siswa lain di luar tempat latihan untuk berlatih memanah di pagi hari. Mereka tidak lagi mengajari menunggang kuda dan memanah di Chen untuk sebagian besar, tidak seperti di Liao, yang lebih menekankan pada keterampilan bela diri.

Ini adalah hari pertama menunggang kuda dan seorang siswa sudah mematahkan lengannya, kembali sambil meratap. Duan Ling memandang dengan gentar, karena takut dia akan diinjak-injak oleh seekor kuda dan menjadi pai daging. Untungnya, Li Jianhong sudah mengajarinya cara menunggang kuda, dan dengan mengayunkan kakinya dengan sederhana dia sudah bisa duduk dengan aman.

“Cukup bagus!” Pelatih berkata, “Kamu pernah menunggang kuda sebelumnya. Turunlah! Giliranmu!”

Cai Yan naik ke atas kuda, dan kuda itu mengayun-ayunkan dan melemparkannya, meninggalkannya dalam kondisi yang cukup baik. Duan Ling bergegas maju dan mendukungnya di sisinya saat dia berjalan kembali. Tepat pada saat itu, seseorang di luar masuk dan membisikkan sesuatu pada pelatih. Pelatih tampak terkejut sesaat sebelum berjalan pergi untuk menemui Ketua, meninggalkan sekelompok anak muda yang mengobrol di depan serambi dan seekor kuda yang bingung.

“Apa kita sudah selesai?” Para anak muda tidak berhenti menggerutu, otot mereka sakit karena latihan. Semua orang meregangkan lengannya dan tidak sabar untuk segera kembali secepat mungkin untuk berbaring.

Suara yang tumpul dan teredam datang dari jauh, dan sepertinya kuda sedang berlari di jalan di luar.

“Apa yang terjadi?” Tanya Duan Ling.

Cai Yan juga tidak tahu. Segera, Ketua masuk, tampak agak pucat. “Semua kelas dibatalkan untuk sementara pada hari ini. Semuanya, tunggu di kamar kalian, jangan keluar kecuali kami memanggil kalian.”

Para anak muda gempar, tetapi Direktur Urusan Akademik berkata pada mereka, dengan wajah datar, “Apa yang kalian lakukan?”

Mereka segera terdiam lagi. Ketua membungkuk terlebih dulu, dan semua pemuda mengembalikan busur secara bersamaan dan berbaris untuk meninggalkan area itu. Pelajaran hari ini dengan demikian berakhir untuk hari itu. Begitu mereka kembali ke kamar mereka, beberapa siswa melakukan kunjungan ke kamar lain sementara beberapa berdiskusi di antara mereka sendiri. Helian Bo datang menemui Duan Ling, memanggilnya.

“Apa… ada apa?” Helian Bo melihat ke arah Duan Ling, apa kau tahu?

Cai Yan berdiri di halaman sambil mengoleskan handuk basah dan dingin ke wajahnya. “Mungkin pertarungan akan segera dimulai.”

Bahkan sebelum dia selesai berbicara, ledakan teredam lainnya datang dari jauh. Duan Ling terkejut, dan semua siswa berteriak. Duan Ling mengambil lengan baju Helian Bo. “Lewat sini!”

Helian Bo tahu dia bermaksud pergi ke sudut halaman. Dia membungkuk, meletakkan tangannya di lutut, dan Duan Ling melangkah ke punggungnya untuk naik ke dinding. Cai Yan naik ke atas, lalu bersama-sama mereka berdua menarik Helian Bo ke atas tembok. Ketiga anak muda itu memanjat tingkat lain di sepanjang atap asrama, dan dari atap bawah mereka melompat ke atap aula utama. Di sana, di tempat yang lebih tinggi, mereka bisa mendapatkan pemandangan panorama kota.

“Pertarungan dimulai!” Helian Bo berkata, terdengar bersemangat.

“Pertarungan dimulai.” Ada kerutan yang dalam di antara alis Cai Yan. “Orang Mongolia? Mereka sudah bertarung untuk sampai ke tembok?”

Duan Ling melihat dengan tenang, mengingat negosiasi antara ayahnya dan Yelü Dashi. Sepertinya semuanya ada dalam genggaman Li Jianhong, tapi dia bertanya-tanya: di mana dia sekarang?

“Pertarungan sudah dimulai,” kata Duan Ling, merasa rumit.

Banyak batu besar beterbangan ke kota. Patroli penjaga kota menyebar melalui jalan-jalan utama di Shangjing dan gang-gang seperti air di sungai yang bercabang, mengalir ke segala arah, menuju untuk mempertahankan setiap gerbang kota. Duan Ling ingat bahwa kakak laki-laki Cai Yan adalah kapten penjaga dan mencoba untuk menghiburnya. “Kakakmu sangat ahli dalam seni bela diri, dia akan baik-baik saja.”

Cai Yan mengatakan hmm sebagai jawaban, dan memberinya anggukan. Helian Bo juga menyadari bahwa dia terlalu bersemangat, dan dia menepuk bahu Cai Yan untuk menghiburnya.

“Ayo memanjat sedikit lebih tinggi dan melihatnya,” kata Duan Ling, “Aku ingin tahu bagaimana keadaan di gerbang utara.”

Mereka bertiga berlari di sepanjang atap, naik ke paviliun buku. Ada tiga tingkat di paviliun buku, dan mereka duduk di antara pagar, menatap ke kejauhan. Mereka bisa melihat lebih jelas sekarang; ada tanda-tanda pertempuran di sekitar kota, pasukan diatur di gerbang kota, dan cukup banyak prajurit Mongolia berkumpul.

“Apa menurutmu mereka bisa menguasai kota?” Cai Yan bertanya pada Helian Bo.

Heilian Bo menggelengkan kepalanya. Cai Yan bertanya lagi, “Orang-orangmu pernah berperang melawan orang Mongolia. Seberapa bagus mereka?”

Helian Bo tidak mengatakan apa pun, dan pada akhirnya dia menggelengkan kepalanya lagi.

“Mereka pasti bisa mempertahankan kota.” Duan Ling berkata, “Jangan khawatir.”

Cai Yan berkata, “Untung Batu sudah pergi. Kalau tidak, dia pasti akan mati sekarang.”

Mereka bertiga hanya bisa menghela napas, memikirkan masa lalu. Apakah Batu melarikan diri atau tidak, tidak ada hubungan langsung yang nyata dengan apakah Ögedei akan menyerang Shangjing. Jika mereka tidak meninggalkan Shangjing malam itu, kemungkinan besar Jochi dan Batu akan kehilangan nyawa di bawah pedang Yelü Dashi. Duan Ling mau tidak mau – jika dia sendiri menjadi sandera politik, apakah ayahnya akan menghentikan barisan pasukannya di luar kota?

“Siapa di sana?” Di bawah mereka, seorang direktur urusan akademis menggeram keras pada mereka.

Mereka diam-diam memgutuk di dalam hati — mereka sudah ditemukan, dan mereka tiba-tiba panik untuk bersembunyi, tapi Ketua berbicara dengan ramah pada mereka dari halaman, “Gunakan waktu kalian, aku tidak akan menghukum kalian. Pastikan saja kalian tidak jatuh.”

Mereka turun perlahan, lalu Ketua dengan ramah memberi tahu mereka, “Berlututlah di sini, dan tanpa instruksi lebih lanjut, jangan bangun.”

Duan Ling tidak bisa berkata-kata.

Seperempat jam kemudian, Duan Ling, Cai Yan, dan Helian Bo berlutut di halaman. Tangan Ketua tergenggam di belakang punggungnya saat dia mondar-mandir di dekat mereka.

“Bahkan orang biasa pun bertanggung jawab atas kemakmuran negara.” Ketua memberi tahu mereka dengan sungguh-sungguh, “Apa kalian tahu apa yang bisa kalian lakukan untuk negara?”

Tak satu pun dari yang mereka berani menjawab karena takut memdapat pukulan, tapi Akademi Biyong sama sekali tidak seperti Aula Kemasyhuran, dan sangat jarang ada yang dipukuli. Namun Duan Ling lebih suka dipukuli, karena dia benar-benar menganggap Ketua yang tak henti-hentinya mengoceh benar-benar tak tertahankan.

“Tuan Tang.” Seorang penjaga kota datang ke sini.

“Tetaplah di sini dan renungkan tindakan kalian dengan serius.” Ketua Tang berbalik dan pergi.

Begitu Ketua Tang pergi, mereka bertiga berbalik secara bersamaan untuk menatap ke arah dia pergi sampai sosoknya lenyap saat dia berbelok di sudut dekat dinding. Helian Bo buru-buru bangkit dari lantai. “Ayo pergi.”

Duan Ling berkata, “Mari berlutut lebih lama.”

“Ada perang yang sedang terjadi, apa gunanya berlutut?” Cai Yan menarik Duan Ling ke atas. “Ayo pergi.”


Bab Sebelumnya | Bab Selanjutnya

KONTRIBUTOR

yunda_7

memenia guard_

Footnotes

  1. Ini semua dari 大學, atau Pembelajaran yang Hebat.
  2. Bunyi asli yang ditulis dalam pinyin adalah en untuk yang pertama, dan wu untuk yang terakhir, tetapi pada kenyataannya wu terdengar seperti en.
  3. Ini dari Mencius. Sisa dari baris terakhir itu adalah: tetapi orang-orang terlihat lapar dan ada yang mati karena kelaparan di jalanan, kemudian (mereka yang berkuasa) tidak melakukan apa pun selain memerintahkan binatang buas untuk memakannya.

This Post Has One Comment

  1. yuuta

    waktu berpisah sama Lang junxia pas masuk asrama Duan yg ngeliat Lang junxia pergi skrg pas sama ayahnya dia yg lari masuk kedalam lebih dulu walaupun masih ngikutin dari dalam buat liat ayahnya..
    kata2 yg diucapin Cai Wen kenapa mirip bgt sama kata2 yg diucapin Li jianhong wkwkw
    Lang Junxia = suami pengasuh
    ada2 aja sebutannya ya Cai Yan
    seburuk itukah nada sulingnya smpe Helian bo pun emosi pas denger..

Leave a Reply