English Translator: foxghost @foxghost tumblr/ko-fi (https://ko-fi.com/foxghost)
Beta: meet-me-in-oblivion @meet-me-in-oblivion tumblr
Original by 非天夜翔 Fei Tian Ye Xiang


Penerjemah Indonesia: Keiyuki17
Editor: _yunda


Buku 3, Bab 29 Bagian 1

Hutan yang gelap gulita terlihat di segala arah; angin kencang yang bercampur air hujan bertiup. Mereka tidak bisa menghindari hujan di dalam hutan, namun mereka masih bisa menghindari jalur angin dingin. Wu Du membuat kereta menyebar sehingga membentuk lingkaran, lalu memberitahu semua orang untuk masuk ke dalam untuk beristirahat. Sebelum dia sendiri masuk untuk memberi Duan Ling laporan, dia juga menugaskan beberapa orang untuk berjaga-jaga dan berpatroli.

“Kita tidak memiliki pilihan selain tinggal di sini malam ini. Untungnya kita mendengarkan Yan Di.”

“Sudah kubilang jangan pamer.” Duan Ling mengerutkan kening. “Izinkan aku melihatnya.”

“Tidak apa-apa.” Wu Du telah menggunakan kekuatan dengan tidak benar sebelumnya, dan sekarang bahunya memerah semua. Dia melepas jubah luarnya dan menyampirkannya di lengannya, memperlihatkan bahu dan punggungnya yang tegap. Duan Ling mengoleskan tapal pada kulitnya untuk mencegah memar.

“Beri aku ciuman kalau begitu.” Wu Du menoleh dan mencium Duan Ling sebentar. Duan Ling melingkarkan lengannya dari belakang, di atas otot-otot pinggangnya yang beriak, dia menekan ciuman di bahunya yang kuat.

“Kita akan tiba di Hejian besok.” Wu Du berkata, “Tidurlah yang nyenyak malam ini. Jangan lupa untuk makan sup jahe agar kau tidak masuk angin.”

“Tidak akan. Aku tidak serapuh seperti yang kau bayangkan. Tidak seperti akan terjadi sesuatu dalam semalam jadi kau harus tetap di sini. Selain itu, sudah ada seseorang yang berpatroli.”

“Lebih baik aku tetap mengawasi semuanya dengan mata kepalaku sendiri.”

Duan Ling tidak bisa meyakinkannya, jadi dia tidak memiliki pilihan selain membiarkan Wu Du pergi, dan berbaring di kereta sendirian. Pakaian yang dia kenakan basah kuyup, dan dia juga tidak bisa menyalakan api di kereta, jadi yang dapat dirinya lakukan hanyalah melepas jubah luarnya dan berbaring di dipan dengan hanya  mengenakan celana. Dengan mata tertutup, dia masih mempertahankan kesadarannya.

Wu Du kembali di tengah malam dan berbaring di sebelah Duan Ling. Panas tubuhnya segera menghangatkan Duan Ling, keduanya saling membungkus diri dengan erat satu sama lain. Akhirnya, Duan Ling kehilangan kesadaran dan tertidur.

Beberapa jam kemudian, Duan Ling tiba-tiba membuka matanya.

“Apa kau mendengar itu?” Dia bertanya.

“Itu apa?” Wu Du segera bangun, waspada. Mereka berdua tidak mengenakan apa pun di bagian atas, dan kerutan yang dalam muncul diantara alis Wu Du. “Apa yang kau dengar? Sesuatu? Atau apa?”

Ketukan samar tapak kaki kuda yang sepertinya didengar oleh Duan Ling dalam mimpinya hilang begitu dia bangun.

“Jangan menakutiku seperti itu,” kata Wu Du tegang. “Apa yang kau dengar?”

Duan Ling menggelengkan kepalanya, tampak bingung. “Itu pasti mimpi.”

Wu Du memakaikan zirah Harimau Putih pada Duan Ling, dan saat dia akan pergi ke luar untuk berpatroli, Duan Ling meraih tangannya dan berbaring kembali. “Tuanku, santai saja, oke?”

“Aku harus memastikan agar kau aman. Jika sesuatu terjadi padamu, bagaimana aku harus melanjutkan hidup?”

Duan Ling berbaring miring di dipan kereta, matanya tertuju pada Wu Du, ujung jarinya menyapu wajah prianya yang tampan, semakin dia melihatnya semakin dalam pula cintanya. Bahkan dalam mimpi terliarnya, dia tidak pernah berpikir bahwa dia bisa bersama dengan Wu Du, seperti ini — rasanya dia telah menemukan harta terbesar yang secara khusus disiapkan hanya untuknya.

Wu Du menatap wajah Duan Ling, benar-benar terpaku padanya, seolah ada sesuatu yang mengganggunya. Alisnya menyatu lagi sedikit. “Kau harus menanggung begitu banyak hal sepanjang perjalanan ke sana.”

“Aku juga mengalami banyak hal ketika aku masih kecil,” Duan Ling menjawab dengan lembut, “Kau tidak tahu seberapa baik aku mengalaminya akhir-akhir ini…”

Tiba-tiba, Duan Ling mendengar ketukan tapak kaki kuda itu lagi. “Tunggu.” Duan Ling berkata, “Aku baru saja mendengarnya lagi.”

Kali ini Duan Ling mendengarnya dengan sangat jelas, dan dia menyadari itu karena dia berbaring miring dengan telinga berada dibantal di atas sandaran dipan. Dipan kayu dibangun di dalam kereta, dan tepat di bawahnya adalah poros kereta, yang terhubung ke roda, dan roda yang berada di tanah diganjal oleh batu besar.

Dengan demikian, suara-suara dari kejauhan telah melewati bumi dan diam-diam masuk ke telinganya.

“Kemarilah dan dengarkan,” Duan Ling memberi isyarat pada Wu Du.

Wu Du tidak menghabiskan banyak waktu dan langsung menempelkan telinganya ke sandaran dipan sebelum dia berkata, “Ada pasukan berbaris kurang dari lima mil jauhnya, dan itu mendekati kita. Ayo!”

“Mereka belum tentu datang untuk kita!” kata Duan Ling.

Keduanya melompat dari kereta dan membangunkan semua orang sehingga mereka bisa bergerak lebih dalam ke hutan. Tepat sebelum mereka akan pergi, Duan Ling menempelkan telinganya ke tanah dan mendengarkan lebih lama. “Mereka menjauh. Targetnya bukan kita!”

Hujan telah berhenti; malam sepi di sekitar mereka, hanya menyisakan gemuruh di kejauhan.

Duan Ling memiliki firasat bahwa ini sama sekali bukanlah serangan sederhana. Suara ini  kemungkinan bisa saja berasal dari satu sumber — kain dililitkan di sekitar kuku kaki kuda, dan para pasukan ingin melancarkan serangan di tengah malam yang hujan.

Wu Du berkata, “Wang Zheng, pimpin sepuluh orang untuk tetap di sini, pastikan kau bersembunyi dengan baik. Sisanya, siapa pun yang bisa bertarung, ikuti kami!”

Wu Du naik ke punggung Benxiao, lalu mengulurkan tangannya pada Duan Ling. Duan Ling meraihnya dan melompat ke Benxiao juga, duduk dengan aman di belakang Wu Du. Dia mengikatkan busur di punggungnya dan memimpin prajuritnya pergi.

Satu unit pasukan Mongol menyerbu secara seragam menuju Kota Hejian dalam jarak dekat, tersembunyi di kegelapan malam.

“Jangan menarik senjata kalian!” Wu Du mengangkat tangan dan memberi isyarat kepada semua orang untuk turun dari kuda mereka. Dia merobek beberapa helai kain dari jubahnya dan membungkusnya di kuku kaki Benxiao. Semua orang mengikuti jejaknya dan melakukan hal yang sama.

Duan Ling bertanya, “Bagaimana kita bisa melawan mereka?”

Dia hanya pernah melawan Mongolia sekali, dan itu saat dia berada di Altyn-Tagh, melakukan serangan diam-diam ke musuh dengan Li Jianhong.

Wu Du berkata, “Singkatnya, kita belum akan melakukan apa-apa. Kita harus periksa jumlah mereka terlebih dulu.”

“Sepertinya ada seribu orang,” kata Duan Ling.

“Aku sedang membicarakan kita.”

“Dua belas.”

Satu lagi, dan kita akan memiliki Tiga Belas Penunggang Kunyang, pikir Duan Ling; peluang mereka akan jauh lebih baik jika mereka memiliki tiga belas Li Jianhong. Dengan hanya dia, Wu Du, dan ditambah dengan sepuluh kavaleri, bagaimana mereka bisa melawan seribu orang?1 Ini mungkin rekan fiksi dari tiga belas pengendara Yanyun, yang ada dalam novel Dinasti Qing “Dramatisasi Sejarah Sui dan Tang.” Kemungkinan fiksi. Mungkin semacam pasukan khusus militer.

“Tunggu sampai mereka menyebar,” kata Wu Du.

“Bagaimana kau tahu mereka akan menyebar?”

“Aku yakin mereka akan melakukannya. Jika aku tidak salah, mereka akan mencoba mencari jalan ke kota dari empat arah yang berbeda.”

Benar saja, ketika mereka sampai ke dataran di luar Hejian, orang-orang Mongol mulai membagi kekuatan mereka dengan cara yang tampak terkoordinasi.

“Kita akan mengikuti kelompok pasukan yang ada di tengah,” Wu Du berkata, “Ayo!”

Di bawah naungan malam, Wu Du memacu kudanya, membawa Duan Ling dan sepuluh penunggang kuda lainnya menuju kelompok pertama. Target mereka sangat jelas, yaitu komandan batalion musuh, yang bertanggung jawab atas seribu orang. Tidak lama kemudian, musuh mereka melaju ke sisi utara Hejian, sementara Wu Du telah membawa sepuluh prajuritnya ke hutan yang tidak lebat di luar kota.

“Apakah kita tidak akan membuat keributan dan memperingatkan kota?” Duan Ling bertanya.

Wu Du meletakkan jarinya di depan mulutnya, ssst, sebelum dia memerintahkan, “Potong beberapa cabang, siapkan obor dan tancapkan ke tanah.”

Di luar sana sangat sepi. Prajurit Mongolia turun dan memulai persiapan mereka dengan memeriksa peralatan dan melemparkan pengait ke tepi tembok kota.

Garnisun Hejian jarang dijaga, dan bahkan tidak ada penjaga yang berpatroli di puncak menara — siapa yang tahu di mana mereka pergi minum. Satu-satunya saksi dari semua keributan ini adalah beberapa anglo yang berkobar. Wu Du menunggu sampai unit ketiga pasukan Mongol naik sampai tengah tembok sebelum dia memberikan perintah tegas.

“Serang!” Wu Du berkata pelan, “Jangan bersuara!”

Meskipun hanya ada dua belas dari mereka, dengan serangan tiba-tiba dari kegelapan, panah terbang, mereka mampu menguasai momentum dengan mengesankan. Seseorang langsung jatuh ambruk ke tanah; pasukan Mongol tidak pernah mengharapkan akan ada yang menyergap mereka dari belakang. Mereka buru-buru berbalik untuk menemui musuh mereka, melolong sekuat tenaga.

Para penjaga di tembok entah bagaimana masih belum menyadari bahwa mereka sedang diserang!

Di punggung Benxiao, yang juga membawa Duan Ling, Wu Du menyerbu ke dalam formasi musuh dalam sekejap, dan dengan Lieguangjian yang ditarik dari sarungnya, dia menekan lututnya erat-erat di sekitar perut Benxiao dan menebas dengan pukulan backhand. Ke mana pun Lieguangjian menyapu, prajurit akan jatuh dari kuda mereka sebagai jawaban. Wu Du kemudian melingkarkan satu tangan di sekitar Duan Ling dan menyandarkannya ke satu sisi, dan dengan pedangnya memotong liar, darah mengalir, dan seorang prajurit Mongolia berteriak kesakitan saat dia ditebas menjadi dua bagian.

Teriakan nyaring ini segera mengungkapkan posisi mereka, dan anak panah dengan liar terbang ke arah mereka dari segala arah. Bagaimanpun, Benxiao sangat terlatih, ia tiba-tiba berhenti, dan melawan kuda perang yang mencoba menangkap mereka dalam serangan menjepit. Prajurit di atasnya menebaskan pedangnya ke arah Duan Ling.

Duan Ling berseru dalam Bahasa Mongolia, “Jangan pukul aku! Aku salah satu dari kalian! Aku di pihakmu!”

Prajurit Mongol menatapnya dengan kaget, lalu dengan satu ayunan lengan Wu Du, kepala prajurit itu terlepas dari lehernya dan terbang ke udara.

Kuda-kuda Mongolia dari asalnya pendek dan tambun, sama sekali tidak mengesankan, sedangkan Benxiao adalah kuda Wusun yang tinggi dan besar. Ketika menghantam mereka, para kuda itu terbang begitu saja.

Duan Ling dengan cepat meraih panah di belakangnya, dan setiap kali panahnya meninggalkan busurnya, seekor kuda akan meringkik dan jatuh, berguling-guling menjadi bola. Dia menembakkan panah secara berurutan — dengan ahli menggunakan trik kotor menembak kuda sebelum menembak penunggangnya. Segera, ada ringkikan di sekitar dan kuda tumbang di mana-mana.

“Ayo pergi!” Wu Du membalikkan kudanya dan mulai memimpin anak buahnya untuk melarikan diri. Orang-orang Mongolia mengikuti di belakang mereka, dan Duan Ling memasang dan menarik panahnya, bersandar pada kuda. Pandangannya terbalik; dia melepaskan tali busur dan anak panah itu terbang melesat menuju pemimpin yang mengejar mereka, menembaknya jatuh dari atas kudanya.

Semua orang bergegas kembali ke hutan,

“Hitung,” kata Wu Du.

Lima, sepuluh … mereka semua ada di sini.

Duan Ling bertanya, “Apakah ada yang terluka?”

Dua dari kavaleri terluka ringan. “Aku bisa terus bertarung! Silakan berikan perintahmu, Komandan!”

“Yang terluka akan tetap di belakang sebagai pendukung!”

Wu Du berkata, “Nyalakan obor!”

Pengejar mereka berhenti di luar hutan, tidak ada yang berani masuk ke dalam. Tak lama kemudian, semua obor dinyalakan, membuatnya tampak seperti ada seratus orang di hutan. Para prajurit Mongol segera mundur, saling berbisik.

“Serang –!” Wu Du melolong.

Memimpin anak buahnya, Wu Du sekali lagi menyerang pasukan Mongol. Pihak lain langsung panik, berteriak memperingatkan pihaknya saat mereka berbalik dan melarikan diri. Duan Ling berteriak, “Menunduk!”

Wu Du membungkuk, dan Duan Ling menembakkan enam anak panah berturut-turut, semua prajurit yang terkena langsung jatuh dari kuda mereka. Wu Du berteriak, “Mundur!”

Kavaleri mereka mengendalikan kuda mereka dan berbalik lagi.

“Apa-apaan ini?!” Akhirnya, seseorang tidak tahan lagi dan melepaskan makian. “Ini membunuhku! Apakah kau akan membiarkan kami menyerang mereka atau apa?”

“Siapa namamu?’ Wu Du bertanya padanya.

Pihak lain segera terdiam. Wu Du berkata, “Jika aku mendengar ocehan lagi, itu adalah darurat militer bagimu.”

Duan Ling hanya menganggapnya lucu, tetapi alis Wu Du terkunci dengan muram. “Brengsek. Mengapa Hejian tidak bergerak sama sekali?”

Hejian masih diselimuti oleh kegelapan; meskipun mereka telah berjuang untuk waktu yang lama, tidak ada yang keluar dari kota untuk membantu mereka, dan tidak ada yang menembakkan panah untuk melindungi mereka. Dalam rencana awalnya, Wu Du berharap bahwa bahkan jika tidak ada yang meninggalkan kota, setidaknya harus ada pemanah begitu mereka mulai bertarung. Dia tidak pernah membayangkan bahwa penjaga kota akan bertindak seolah-olah mereka semua sudah mati.

Pasukan Mongol tampaknya memilih untuk menunggu dan melihat situasi, dam mereka sama sekali tidak takut. Duan Ling tidak bisa tidak berpikir bahwa unit musuh benar-benar tenang dalam menghadapi bahaya — jika itu adalah unit lain, mereka akan berpikir bahwa penyergapan mereka telah gagal, musuh mereka telah melihat melalui alur mereka, dan bahwa hal terbaik untuk mereka lakukan adalah menyerah dan mundur.

Seseorang dalam formasi Mongol melolongkan sesuatu dan Duan Ling berhasil memahaminya. Mereka berkata, “Hampir tidak ada dari mereka! Ini hanya pengalihan! Bunuh mereka!”

“Mereka datang!” Duan Ling berteriak, “Lari!”

Wu Du berteriak, “Bakar!”

Dalam sekejap, orang-orang Mongol telah menyerbu ke dalam hutan. Bawahan Duan Ling menyebar di antara pepohonan, menarik obor yang telah ditancapkan ke tanah, dan melemparkannya ke puncak pohon, tidak berselang lama terdengar suara derak api dan cabang patah. Dengan hujan yang baru turun, begitu daun-daun menyala, hutan diselimuti awan asap tebal. Wu Du mengeluarkan botol obat dari pakaiannya dan melemparkannya ke pohon.

Dengan ledakan keras, apa pun yang disentuh oleh botol obat itu langsung meledak, menutupi hutan dalam kobaran api yang mengamuk. Asap tebal menggulung, bertiup bersama angin menuju pasukan Mongol yang bergegas masuk ke hutan.

“Lari menuju tembok kota!” Wu Du berteriak.

Akhirnya, seseorang memperhatikan ada pasukan musuh.

Dari atas tembok, seorang prajurit berteriak, “Kami diserang!” Dan segera setelah itu, sebuah gong dibunyikan. Baru pada saat itulah perapian di bagian atas Tembok Kota Hejian menyala satu demi satu dan tiba-tiba, panah terbang ke arah mereka sepadat hujan. Wu Du mengumpat, melolong, “Jangan tembak kami! Sialan, kami di pihakmu!

Para pemanah berhenti menembak dari atas tembok, dan pasukan Mongol bergegas keluar dari hutan dengan wajah bingung. Serangan berulang sebelumnya membuat hampir setengah dari dua ratus prajurit musuh pingsan karena asap beracun di dalam hutan. Dan sekarang, gerbang kota terbuka dan para prajurit kota akhirnya bergegas maju, menyerang.

“Awas!” Jangan sampai mereka menebas orang yang salah, Duan Ling berseru, “Kami ada di pihakmu! Salah satu dari kalian! Pergi melawan orang-orang Mongol di luar sana!”

Wu Du hampir menebas salah satu prajurit pertahanan Hejian dengan tebasan backhand. Duan Ling berkata dengan tergesa-gesa, “Kita tidak perlu bertarung lagi! Ayo mundur ke bawah tembok kota!”

Kavaleri mereka segera keluar dari formasi dan menuju ke tempat persembunyian terpencil di dekat kaki tembok secara teratur, untuk menghindari terciprat minyak mendidih yang mungkin mengalir dari atas. Semakin banyak prajurit muncul, pasukan Mongol mulai melarikan diri. Semua orang Hejian akhirnya bangun; lonceng penjaga dibunyikan di mana-mana, dan gerbang kota lainnya juga menyadari bahwa mereka sedang diserang.

“Siapa di sana?” Seorang kapten divisi Han memanggil mereka dari jauh.

“Pergi lawan mereka! Jangan khawatirkan kami!” Duan Ling menjawab.

Dan kapten itu membawa bawahannya menuju gerbang kota lain untuk memperkuat mereka.

Langit berangsur-angsur cerah, dan asap tebal di dalam hutan perlahan memudar. Hejian mulai mengirim orang untuk memeriksa medan perang. Duan Ling memberi tahu mereka bahwa masih ada cukup banyak pasukan musuh, dan membimbing mereka menuju ke dalam hutan. Mereka semua turun dari kuda dan melihat saat satu persatu tubuh diseret keluar.

Duan Ling memerintahkan, “Seret mereka semua menuju gerbang kota dan tinggalkan mereka di luar. Jika orang-orang Mongol kembali lagi, gantung mayatnya di luar gerbang. Jika ada yang masih hidup, bawa mereka sebagai tawanan.”

“Siapa kalian sebenarnya?” Seorang prajurit menerobos kerumunan untuk bertanya pada mereka. “Apakah kalian semua dari Jiangnan?”

Wu Du menjawab, “Aku adalah Komandan Hejian yang baru diangkat, dan ini adalah Gubernur Komando Hejian.”

Sepertinya tidak ada seorang pun yang tahu bagaimana menangani informasi baru ini, dan mereka buru-buru memberi hormat kepada Wu Du dan Duan Ling. Satu perwira militer dan satu pejabat sipil ini sudah menduduki jabatan tertinggi di Hejian.

Duan Ling berkata, “Kirim beberapa orang ke hutan tepat di bawah tanah longsor. Orang-orangku ada di sana. Bawa mereka semua ke kota dan tempatkan mereka di kantor hakim untuk saat ini. Cari seseorang bernama Lin Yunqi dan ambil sertifikat pengangkatanku darinya.”

Prajurit itu pergi seperti yang diperintahkan, dan Wu Du bertanya, “Siapa yang bertugas tadi malam?”

“Tuanku,” prajurit lain menjawab, “Itu adalah Letnan Qin, orang yang sama yang menanyakan siapa Anda tadi malam. Dia baru saja pergi ke gerbang selatan untuk membersihkan medan perang di sana.”

“Kirim satu unit dan bawa dia kepadaku dengan rantai,” kata Wu Du, “Aku akan menghukumnya karena meninggalkan posnya.”

Prajurit itu tidak berani berbicara. Duan Ling dan Wu Du saling memandang, mengetahui bahwa pasti ada beberapa pilih kasih yang terjadi. Duan Ling berkata kepada Wu Du, “Sebaiknya kau sendiri yang pergi.”

Wu Du mengangguk. “Kau harus menuju ke dalam kota untuk saat ini.”

“Ya.”

Wu Du kemudian menunggangi Benxiao dan meninggalkan wilayah itu.

Duan Ling meminta salah satu anak buahnya untuk menghitung, melihat apakah ada prajurit Mongolia yang masih hidup.

Prajurit itu mengenali salah satu bawahan Duan Ling. “Bukankah kau Sun Ting, dari Ye?”

“Ya,” Sun Ting menjawab, “Aku baru saja datang ke sini untuk mengambil pekerjaan baru dengan kedua tuan ini.”

Prajurit itu tertawa. “Kau baru saja sampai, dan sudah memberikan kontribusi yang sangat besar…”

Semua prajurit Mongolia diseret ke tempat terbuka dan ditempatkan bersama. Duan Ling tiba-tiba mendorong kerumunan ke samping dan bergegas ke arah mereka.

“Batu!” Duan Ling berteriak, melemparkan dirinya ke salah satu mayat, menyeretnya menjauh dari yang lain. Teriakan ini telah memperingatkan para prajurit di sekitar mereka sekaligus. Duan Ling menatap wajah yang sudah dikenalnya, meskipun Batu telah tumbuh dewasa, wajahnya bahkan lebih kasar dari sebelumnya dan tertutup tanah, untuk beberapa alasan Duan Ling masih berhasil mengenalinya dari pandangan pertama..

“Ambilkan aku air!” Duan Ling berkata kepada mereka dengan panik.

Bawahannya tampak terperangah, tetapi mereka tetap membawakannya kantung air. Duan Ling menumpahkan air ke wajah Batu dan Batu membuka matanya.

Duan Ling menghela napas lega, tetapi yang mengejutkannya, Batu menarik leher Duan Ling ke arahnya, lalu melompat berdiri dan membalik posisi. Oh tidak! Duan Ling berpikir. Aku tertipu!

Duan Ling mencoba menyingkirkan Batu, tetapi Batu sudah bersiap untuknya. Ketika sampai pada trik masing-masing, mereka sama akrabnya seperti punggung tangan mereka sendiri, dan Batu segera membaliknya ke samping. Dunia berputar di sekitar Duan Ling, dan pada saat dia kembali berdiri sendiri, lengan Batu terkunci erat di bahunya, belatinya menekan tenggorokan Duan Ling.

“Sepertinya surga ada di pihakku.” Batu berkata dalam Bahasa Han, “Bawakan aku seekor kuda.”

Para prajurit saling menatap dengan cemas, tidak yakin apa yang harus mereka lakukan. Duan Ling berteriak, “‘Tembak dia! Dia tidak akan berani membunuhku!”

“Bawakan dia kuda!” Prajurit tadi langsung berteriak, “Jangan tembak!”

Duan Ling berkata, “Mengapa kau…”

“Dan bagaimana kau tahu aku tidak akan berani membunuhmu?” Batu berbisik, bibirnya bergerak mendekat ke Duan Ling.

Suaranya tidak terdengar seperti dulu lagi, seolah-olah dia telah menjadi orang yang sama sekali berbeda. Dia mengencangkan cengkeramannya di bahu Duan Ling, dan lengannya juga lebih kuat dari sebelumnya; Duan Ling mendapati dirinya tidak mampu bergerak sedikit pun, terikat begitu erat sehingga dia harus mendongak untuk bernapas.

“Jika kau membunuh Anda-mu” Duan Ling mengangkat satu alisnya dan berkata dengan agresif, “Tengri akan mengirimmu ke neraka…”

Batu balas menatapnya dalam diam.

Dia masih terlihat sama seperti delapan tahun lalu dengan fitur yang familier; sinar matahari pagi tumpah ke ruang di antara mereka, jadi mereka setengah dalam cahaya dan setengah tersembunyi dalam kegelapan, hampir seperti mereka kembali ke perpustakaan dari tahun-tahun yang lalu, saat mata mereka bertemu satu sama lain.

Seekor kuda telah dibawa kepadanya. Duan Ling berpikir, prajurit ini pasti berkolusi dengan “Qin” itu; siapa tahu, mungkin mereka mencoba membuatku terbunuh… tetapi dia sudah kehabisan waktu untuk memikirkannya lagi. Batu telah memukul belakang kepalanya, membuatnya langsung kehilangan kesadaran, di mana setelahnya dia ditarik ke atas kuda, dan dibawa melarikan diri menuju dataran.

“Kejar dia!” Sun Ting segera berkata.

Semua orang menaiki kuda mereka, dan pergi untuk mengejar Batu.


KONTRIBUTOR

yunda_7

memenia guard_

Keiyuki17

tunamayoo

This Post Has One Comment

  1. yuuta

    beneran di culik gk tuh duan sama batu..
    bener2 dah Wu Du meleng dikit ayangnya auto hilang..

Leave a Reply