English Translator: foxghost @foxghost tumblr/ko-fi (https://ko-fi.com/foxghost)
Beta: meet-me-in-oblivion @meet-me-in-oblivion tumblr
Original by 非天夜翔 Fei Tian Ye Xiang


Penerjemah Indonesia: Rusma
Editor: _yunda


Buku 3, Chapter 25 Part 2

Duan Ling dibangunkan oleh suara hujan keesokan harinya, dan menyadari bahwa dia harus mencuci celananya lagi, karena sudah sangat lengket. Tadi malam mereka berpelukan terlalu erat, dan dia tidak memegang kendali penuh atas dirinya sendiri. Ketika dia membuka matanya lagi, dia melihat Wu Du bergerak ke seluruh ruangan dengan ember untuk menampung air yang menetes secara berirama dari langit-langit, Duan Ling segera bangun, dengan mata masih mengantuk.  Rumah pertama mereka juga seperti ini, kenangnya — bocor setiap kali hujan.

Wu Du tampak agak tidak peduli tentang hal itu, dan sekarang Duan Ling dapat melihat bahwa Wu Du benar-benar terbiasa dengan situasi tersebut.

Di pegunungan, saat hujan turun dengan deras; pertama air di dalam sungai-sungai membludak, airnya mengalir deras memenuhi ngarai kecil di belakang rumah-rumah, lalu mengaliri halaman ke aula depan, mengalir seperti air terjun di setiap tepi pelataran ke ngarai bermil-mil di bawah. Pemandangannya tampak luar biasa.

Jadi Wu Du berdiri di air setinggi mata kaki untuk menyalakan semua lentera, yang sebenarnya terlihat cukup bagus.

“Mari kita kembali dalam beberapa hari lagi,” kata Wu Du. “Bunga persik di pegunungan sudah layu sekarang, dan rumahnya juga bocor.”

“Cukup menyenangkan berada di sini.”

Mereka berdiri di halaman melihat ke luar, tetapi di sana mereka menyadari bahwa hujan benar-benar terlalu deras — Wu Du khawatir banjir akan datang. Bangunan tempat mereka berada telah rusak selama bertahun-tahun, dan jika air berlumpur mulai masuk, kekuatan manusia tidak akan berdaya untuk melawannya.  Setelah dia membicarakan ini dengan Duan Ling, mereka memutuskan turun dari gunung untuk saat ini. Jika tidak, mereka mungkin berada dalam banyak masalah jika terjadi bencana.

Duan Ling mengunjungi Harimau Putih sekali lagi, dan sadar bahwa dia tidak akan sering kembali, dia bersumpah untuk membawanya kembali ke ibu kota dan menjadikannya penjaga kekaisaran setelah dia memulihkan wilayah mereka yang hilang; dia akan menempa alasnya dari emas murni, memasang dua batu permata berharga untuk matanya, dan membangun sebuah kuil untuk menyimpan unsur-unsurnya tetap terjaga.

Duan Ling masih menggumamkan doa tetapi Wu Du tidak berani menunda lagi. Dia menempatkan Duan Ling di punggungnya dan menuruni gunung secepat mungkin.

Air sungai telah meningkat tajam dalam semalam hampir sepuluh kaki; air yang keruh dengan lumpur mengalir ke arah mereka dari segala arah, menggerakkan garis air di lambung perahu sedemikian rupa sehingga Wu Du hampir tidak bisa mencapai dasar sungai dengan galah, saat mereka dengan cepat kembali ke tepi sungai lagi.

“Haruskah kita mencari tempat untuk berteduh dari hujan?” Duan Ling berteriak mencoba mengatasi masalah.

“Tidak apa-apa!” Wu Du berdiri di belakang untuk mengayuhkan galah perahu di tengah hujan. “Tuanmu sangat pandai mengemudikan perahu!”

Wu Du biasa datang dan pergi dari pegunungan hanya dengan membawa sampan. Dalam hal berenang, dia bisa bersaing dengan Zheng Yan, berlayar di tengah banjir bandang dengan satu tangannya diikat ke belakang. Perahu mereka menjauh dari jeram yang tak terhitung jumlahnya dengan tikungan tajam melalui jalur berliku di dalam air saat mereka bergerak mengikuti arus.

Di wilayah timur Sungai Yangtze, musim hujan telah tiba. Suatu malam, hujan deras diikuti oleh hujan gerimis turun terus menerus, dan selama berhari-hari pakaian mereka tidak kering. Mereka memanaskan pakaian di dekat perapian di kabin, telanjang sampai ke pinggang. Setelah berhari-hari di jalan, Duan Ling mulai merindukan rumah, dan itu membuatnya berpikir bahwa dia benar-benar orang yang kontradiktif.

“Aku ingin tahu bagaimana penilaian pada kertas ujian akan berjalan,” kata Duan Ling.

Wu Du telah menghabiskan hampir seluruh waktunya dengan pakaian basah sejak hujan mulai turun, dan sekarang dia membuka jubah polosnya, mengeringkannya di atas perapian, dan kerutan yang dalam muncul di antara alisnya. “Aku hanya khawatir Anjing Cai itu mungkin melakukan sesuatu.”

Duan Ling tersenyum. “Apa yang bisa dia lakukan?”

“Jika dia mencuri kertas ujianmu sehingga kau tidak dapat menemukannya, apa yang akan kita lakukan?”

Duan Ling hampir tertawa karenanya.  “Dia mungkin tidak bisa sebodoh itu. Jika kertas ujian hilang tanpa alasan yang jelas, bukankah Kanselir Mu akan menanyakannya? Tak satu pun dari kami yang bodoh, kau tahu — mereka yang gagal lulus ujian selalu memiliki hak untuk memeriksa lembaran kertas mereka.”

Wu Du menjawabnya dengan hmm, tetapi kerutan kecil di antara alisnya tetap ada.

“Dan selain itu, jika dia benar-benar akan mencurinya, kita tidak bisa berbuat apa-apa tentang hal itu. Kita juga tidak bisa berjaga-jaga di sebelah pejabat penilaian sekarang, bukan?”

Itu benar, kalau dipikir-pikir, jadi Wu Du tidak mengatakan apa-apa lagi.  Hujan berangsur-angsur mereda, tetapi air di sungai tetap setinggi sebelumnya. Ketika sungai mulai terbuka dan melebar di depan mereka, Wu Du tidak ingin mengambil risiko bepergian dengan perahu lagi dan setelah setibanya di tepi, mereka meninggalkan perahu lalu menyewa kereta untuk membawa mereka kembali ke Jiangzhou.

Pada akhir dari perjalanan ini, hati Duan Ling telah terpaku pada alam terbuka, dunia luar yang tak terbatas dengan pemandangannya yang megah, tetapi dalam perjalanan kembali dia mendapati dirinya mengabaikan kerajaan yang agung dan luar biasa ini; yang ingin dia lakukan hanyalah memeluk Wu Du di kereta dan berbicara dengannya. Meski sebenarnya tidak ada yang mereka bicarakan, hanya saja terasa berbeda dari perjalanan mereka saat keluar kota sebelumnya. Jika dia tidak melakukan apa-apa selain berbaring pada Wu Du dan tidak membicarakan apa pun secara khusus, tanpa sadar dia meremas daun telinganya dari waktu ke waktu, dia merasa itu menyenangkan.

Dan Wu Du bahkan lebih baik dari sebelumnya; dia tidak lagi dikelilingi oleh aura permusuhan yang selalu menyertainya saat mereka pertama kali bertemu. Dia seperti harimau yang menjaga aura kematiannya, selalu mengikuti apa pun yang dikatakan Duan Ling, seperti lilin yang diletakkan di tangannya, tidak pernah bentrok dengannya.

Dengan demikian hari-hari berlalu dan kasih sayang mereka satu sama lain semakin dalam. Mengingat bahwa mereka masih memiliki sekitar lima, enam hari untuk diri mereka sendiri, dan bahwa ketika mereka nantinya tiba di rumah juga akan menghabiskan setiap hari di sisi satu sama lain, Duan Ling berpikir itu adalah sesuatu yang sangat layak untuk dinanti-nantikan.


Jiangzhou menyambut musim hujan pertama di tahun baru, dan saat mereka tiba di gerbang kota, Duan Ling hampir tidak mengenali pelabuhan — setengahnya berada di bawah air, sementara Zirah Hitam semuanya tertutup jas hujan dari anyaman terburu-buru saat mereka mengarahkan rakyat jelata ke tempat yang lebih tinggi.

Banjir datang lebih awal dari tahun sebelumnya, dan kedatangannya yang tiba-tiba telah menimbulkan kekalutan dalam rencana pemerintah. Mereka baru saja memindahkan ibu kota dan akhirnya berhasil menetap dengan banyak kesulitan, sehingga Jiangzhou bahkan lebih padat dari sebelumnya.  Tuan tanah yang dulunya kaya dari rumah-rumah mewah di Xichuan telah menetap di dataran rendah di kota setelah relokasi, dan sekarang hampir setengah dari rumah yang mereka miliki telah terendam banjir, penuh sesal oleh hujan yang tak henti-hentinya.

Kuda-kuda berlarian mondar-mandir dari pusat kota untuk melaporkan keadaan banjir di wilayah sekitarnya hingga wilayah timur Yangtze, dan hampir setengah dari kertas ujian yang dinilai Akademi Kekaisaran telah basah, terendam hingga menjadi pasta.

“Yang Mulia—”

Li Yanqiu sedang berkumpul dengan para pejabatnya. Kebaktian pagi hari ini telah berlanjut hingga siang hari dan mereka masih belum bisa istirahat untuk makan siang. Pejabat senior yang lebih tua telah diberikan hak untuk duduk, sementara kaisar duduk di atas takhta dan putra mahkota duduk di dekatnya, mendengarkan. Di sebelah kiri kaisar adalah Mu Kuangda, tiga pejabat senior Sekretariat, Su Fa dari Kementerian Pendapatan, Zhao Xueli dari Kementerian Pekerjaan, serta beberapa asisten menteri. Di sebelah kiri adalah sekelompok perwira militer dengan Xie You memimpin mereka.

“Dengan keadaan seperti itu,” kata Li Yanqiu, “dan wilayah Jiangnan dilanda banjir di musim semi, alokasi gandum dan ransum harus dipindahkan ke tanggal yang lebih awal. Sepertinya hujan ini tidak akan berhenti dalam waktu dekat. Selesaikan, kalau begitu.  Siapa lagi yang punya sesuatu untuk disampaikan?”

Pertemuan sudah berlangsung sepanjang pagi, dan semua pejabat pengadilan kelelahan. Mu Kuangda telah menuntut agar keluarga kaya di kota, serta klan lokal utama Jiangzhou, Jiangnan, Runan, Huizhou serta Huaiyin mengumpulkan gandum sebanyak yang mereka bisa untuk dikirim ke Jiangzhou sebagai persiapan untuk bantuan bencana di musim gugur. Lagi pula, hujan tahun ini datang dengan hebatnya sehingga menunda penaburan musim semi, dan bibit padi baru semuanya tenggelam di sawah mereka, jadi tidak diragukan lagi bahwa panen musim panas akan terpengaruh. Pengadilan kekaisaran akan mengurangi beban pajak, sementara pemilik tanah akan menggunakan uang mereka untuk meminimalkan efek merugikan dari bencana alam ini. Dengan begitu, bahkan makanan diproduksi lebih sedikit di musim gugur, itu tidak akan menimbulkan pengungsi berkeliaran di seluruh negeri yang mengarah ke pemberontakan bersenjata.

Bagaimanapun, Chen yang Agung telah membebani wilayah Xichuan dan Jiangzhou selama sembilan tahun terakhir berturut-turut, dipungut pajak tujuh dari sepuluh, dan mereka sudah di ambang kehancuran ekonomi. Harus menghadapi bencana alam di atas itu membuat mereka sulit untuk tetap optimis.

Sementara itu, Menteri Pendapatan Su Fa dan sastrawan Jiangzhou yang baru berpikir bahwa Mu Kuangda telah menghancurkan Xichuan sebelumnya; meninggalkan jalanan dengan dipenuhi mayat karena kelaparan dan penduduknya yang melarat, jadi dia tidak mungkin dibiarkan untuk menghancurkan Jiangzhou juga.

Dengan demikian, pertemuan pagi telah meledak dalam serangkaian perdebatan sengit, tetapi Mu Kuangda bertindak seolah-olah tidak ada yang mengganggunya. Dia hanya berdalih dengan yang lain tanpa membiarkan apa pun yang mereka katakan merubah pikirannya.

“Saya memiliki peringatan untuk dipersembahkan,” dan sekarang Su Fa menambahkan.

Li Yanqiu sudah berencana untuk membubarkan majelis untuk hari itu dan membiarkan keputusan mereka tetap seperti apa adanya, tetapi sekarang setelah Su Fa berbicara lagi, setiap pejabat, militer dan sipil, dengan jelas mengatakan “dasar bajingan” dengan raut wajah mereka, dan Xie You hampir menarik senjatanya. Prajurit Jiangzhou dengan klan Su dan Lin selalu berselisih dan sekarang Su Fa berbicara demi keuntungan bersama dari kelas pemilik tanah, jadi sikapnya menunjukkan bahwa dia berbicara di atas mereka semua.

“Hadirkan.” Li Yanqiu sangat sabar, dan dia secara mental siap untuk melanjutkan ini dengan Su Fa sampai akhir.


Begitu Duan Ling dan Wu Du memasuki kota, kereta mereka melaju melewati air sedalam setengah roda, di kiri dan kanan jalan para penduduk tengah memindahkan barang-barang mereka ke lantai dua, dengan panci dan wajan mengambang di jalanan.  Duan Ling belum pernah melihat banjir sebelumnya, dan dia merasa cukup penasaran dengan situasi ini.

Bahkan di kediaman Mu, air telah membanjiri separuh bangunan. Mereka menemukan Chang Liujun di luar, menyaksikan para pelayan memindahkan barang-barang Mu Qing ke tempat yang lebih tinggi.

“Ke mana kalian pergi?” Chang Liujun bertanya kepada Wu Du saat dia melihatnya, terdengar tidak senang.

Wu Du menjawab dengan pertanyaan, “Kita kebanjiran?”

Duan Ling berseru, “Ah!” dan bergegas untuk merapikan tempat mereka.

“Wang Shan sedang berlibur. Kanselir Mu sendiri yang mengizinkannya. Apa hubungannya denganmu?”

“Kanselir Mu mengizinkan liburan untuk Wang Shan, bukan mengizinkanmu ikut berlibur.” Chang Liujun berkata dengan dingin, “Istana memanggilmu. Mereka sudah memanggilmu empat kali. Jika kau masih tidak mau pergi, tanggung sendiri konsekuensinya.”

“Siapa yang memanggilku?”

“Yang Mulia.”


KONTRIBUTOR

Keiyuki17

tunamayoo

Rusma

Meowzai

yunda_7

memenia guard_

This Post Has One Comment

  1. yuuta

    cai yan bakar kertas ujian duan eh banjir juga hancurin semua kertas ujian anak2 lain..

Leave a Reply