English Translator: foxghost @foxghost tumblr/ko-fi (https://ko-fi.com/foxghost)
Beta: meet-me-in-oblivion @meet-me-in-oblivion tumblr
Original by 非天夜翔 Fei Tian Ye Xiang
Penerjemah Indonesia: Rusma
Editor: _yunda
Buku 3, Chapter 23 Part 4
Jauh di dalam gang, Wu Du mengambil daftar hadiah terakhir dari Penjaga Bayangan, dan memeriksanya dengan daftar nama yang diberikan Chang Liujun kepadanya. Secara keseluruhan, ada tujuh pejabat.
“Pekerjaanmu sudah selesai,” kata Wu Du, membubarkan semua orang dan menyuruh kusir untuk membawa kereta itu. Hari semakin larut, dan dia tetap berdiri di gang, menunggu.
Langkah kaki mendekat, tapi itu bukan orang yang dia harapkan. Orang lain yang justru muncul di hadapannya — itu adalah Amga. Mereka berdiri berhadapan satu sama lain di kejauhan.
“Wu Du.”
“Amga.” Wu Du mengangkat alis. “Prajurit nomor satu Yuan.”
Tatapan Wu Du menyapu Amga, berhenti pada pedang yang ada di sisinya. “Pedangmu terlihat bagus, tapi kemampuan bertarungmu agak rata-rata. Aku sudah bermaksud mengatakan itu sejak kita bertemu beberapa hari yang lalu.”
“Ayo, tunjukkan. Berapa banyak yang kau inginkan? Sebutkan hargamu.”
“Kau menjadi paranoid. Minggir. Aku tidak merasa ingin membunuh seorang diplomat asing di sini.”
“Kalau begitu… Maaf sebelumnya.”
Setelah mengucapkan kata-kata itu, Amga menarik senjatanya tanpa membuang napas lagi pada Wu Du. Tapi Wu Du sama sekali tidak menarik senjatanya; dia hanya menyingkir, menjentikkan ibu jarinya ke gagang pedangnya untuk mengeluarkan Lieguangjian sepersekian inci dari sarungnya.
Saat mereka melewati satu sama lain, pedang Amga berkedip dengan cahaya dingin, dan mereka masing-masing berbalik; dengan satu dorongan pedangnya yang nyaris tidak dia keluarkan, Wu Du memblokir pedang Amga. Ada bunyi dentang antar logam, tapi tak satu pun dari senjata mereka terbuat dari bahan biasa, jadi tak satu pun dari mereka bisa dengan mudah mengalahkan yang lain.
Karenanya Wu Du terhalang untuk meninggalkan gang, dan Amga menahannya di sana cukup lama, tapi begitu dia menyadari bahwa keterampilan Wu Du tidak boleh diremehkan, dia mundur dan menenangkan napasnya, mengamati setiap gerakan Wu Du dengan hati-hati, tidak berani membuat gerakan gegabah lainnya.
Tiba-tiba, seseorang muncul dari belakangnya dengan berjalan sambil tersandung, tertawa sembari berkata, “Hei!”
Kejutan ini bukanlah bahan tertawaan bagi Amga — dia tidak pernah berharap ada orang yang begitu dekat dengannya tanpa suara. Itu adalah Zheng Yan, seketika Amga menebas dengan pedangnya. Zheng Yan mengambil langkah goyah menghindarinya.
Wu Du terlihat tidak bisa berkata-kata.
“Apa yang kau lakukan di sini, Tuan Amga?” Zheng Yan bertanya.
Begitu dia melihatnya, Amga menyadari bahwa keduanya telah mengatur pertemuan di sini sebelumnya. “Berhenti membuang-buang waktu dan kembalikan barang-barang itu!”
“Barang apa?” Zheng Yan menukik ke kanan dan ke kiri, terhuyung-huyung untuk menghindari Amga dengan gerakan Tinju Mabuk. Saat pedang Amga akan memotongnya, Zheng Yan menepis pedang itu dengan tangannya yang mengenakan sarung tangan, sarung tangannya entah bagaimana kebal terhadap ujung yang tajam, dan kemudian melemparkan Amga ke luar dengan menggunakan momentum perlawanannya.
Meskipun tidak ada yang melihat, Wu Du masih harus sadar siapa dia, dan dirinya tidak bisa melawan Amga dengan Zheng Yan, dua lawan satu. Yang bisa dia lakukan hanyalah berdiri di sana sebagai dukungan emosional.
Zheng Yan bahkan tidak repot-repot menghunuskan pedangnya, dia tersandung dan terhuyung-huyung, bermain-main master mabuk dengan Amga. Amga belum pernah melihat gerakan seperti ini sebelumnya, dan menyadari bahwa dirinya tidak mampu menghadapi Zheng Yan.
“Aneh,” kata Zheng Yan. “Kenapa kau tiba-tiba begitu pandai berbicara Bahasa Han, Tuanku?”
Amga kehilangan kata-kata. Berulang kali dipermalukan oleh seorang pembunuh mabuk dan hampir terkena tinju mabuk ini beberapa kali, Amga menjadi marah; pukulan dan tendangan Zheng Yan penuh dengan gerakan pura-pura yang membuat Amga terpana.
Namun reputasinya sebagai petarung nomor satu Yuan tidak sepenuhnya salah. Amga tahu bahwa jika dia terus gegabah, dia mungkin akan kalah; dia mulai mengamati sikap Zheng Yan dengan hati-hati, dan beralih dari serangan ke pertahanan, dengan tipuan tebasan pedangnya di depannya sekali sebelum dia berhenti memburu Zheng Yan.
Segera setelah dia melihat Amga mengubah strateginya, Wu Du menyadari bahwa Amga telah berhenti meremehkan mereka, dan dia segera bergerak; Lieguangjian meninggalkan sarungnya, dan memanfaatkan celah yang ditinggalkan Zheng Yan saat dia mundur, pedang Wu Du melesat ke pinggang Amga. Serangan diam-diam membuat Amga benar-benar lengah, dan sarung pedang yang tergantung di pinggangnya terlepas dan jatuh ke cengkeraman mantap Wu Du. Ekspresi Amga menjadi gelap sekaligus dan dia menangkis Wu Du dengan satu tebasan backhand.
Ketika Wu Du bergerak, Zheng Yan menarik tinjunya kembali ke samping. Pedang Amga menebas dengan liar, dan saat dia menyerang sekali lagi, Wu Du membungkuk untuk menghindarinya. Melangkah dan melompat dari dinding, dia jungkir balik melewati kepala Amga, dan saat di udara dia mencoba menangkap pedang Amga dengan sarungnya. Pedang di tangan Amga hampir diseret oleh Wu Du, dan dia mundur dengan tergesa-gesa.
Amga masih ragu, tidak mau pergi begitu saja. Wu Du melemparkan sarung pedang ke atas dan ke bawah. “Panggil aku kakek dan aku akan mengembalikannya padamu.”
Amga melolong sekuat tenaga dan menyerang Wu Du, tetapi kemudian beberapa orang muncul — kali ini, Zirah Hitam Jiangzhou, mereka sedang berpatroli mengelilingi kota.
“Siapa di sana yang terlibat dalam pertempuran ilegal di kota?!” Kaptennya mengaum.
Konsekuensi tertangkap oleh militer tidak terpikirkan, dan Amga, tidak berani tinggal dan melawan lebih lama, melarikan diri dengan cepat melalui gang-gang. Wu Du dan Zheng Yan masing-masing berdiri di gang tanpa sepatah kata pun.
“Pengawal Kekaisaran Istana Timur, pelayan putra mahkota, Zheng Yan,” kata Zheng Yan.
“Tuan Zheng, ada larangan keras untuk berkelahi di jalan-jalan Jiangzhou. Tolong letakkan senjatamu dan ikut kami.”
“Apakah kau bahkan tahu siapa aku?” Zheng Yan memiringkan kepalanya untuk menilai penjaga yang duduk di atas kuda. “Aku harus ‘meletakkan senjataku’?”
Wu Du mengulurkan tangan untuk memberi tahu dia bahwa mereka harus berhenti membuang-buang waktu. Dia memiliki surat tulisan tangan kaisar yang memungkinkan dia bertindak atas kebijakannya sendiri, meninggalkan penjaga yang tidak memiliki pilihan lain selain mundur.
“Kelompok itu benar-benar angkuh.” Zheng Yan berkata, “Benar-benar di luar kendali.”
Zirah Hitam selalu lancang, tapi ini tidak seperti mereka bisa berbuat apa-apa. Bahkan Wu Du diinterogasi dalam perjalanannya ke istana, dan Xie You adalah orang yang sulit untuk dipecahkan — tidak ada yang bisa melakukan apa pun terhadap Zirah Hitam.
“Amga cukup terampil.” Wu Du berkata, “Dia mungkin sulit dihadapi dalam pertarungan satu lawan satu.”
“Mana barangnya?”
Wu Du menyerahkan daftar hadiah kepada Zheng Yan. “Aku sudah menghabiskan terlalu banyak waktu di sini. Kau ambil daftar hadiahnya, aku akan simpan daftar namanya. Mari kita bicara lain kali. Aku pergi!”
Duan Ling menunggu dan terus menunggu, tapi dia tidak kunjung melihat Wu Du. Apakah sesuatu terjadi padanya, pikirnya, tapi dia ada di Jiangzhou, jadi apa yang bisa terjadi padanya?
Semua orang sudah pergi, namun Mu Qing masih berdiri di sampingnya. Pikiran Duan Ling mengembara saat hari semakin gelap; awal musim semi masih dingin sehingga dia tidak bisa membiarkan Mu Qing menunggu bersamanya, jadi pada akhirnya dia hanya bisa berkata, “Ayo kita pulang sekarang.”
Chang Liujun belum datang untuk menjemput mereka, dan orang yang datang untuk menjemput mereka adalah pelayan dari kediaman Mu. Mereka akhirnya pulang. Mu Qing berkata, “Ayahku bilang kita akan makan malam bersama malam ini. Wu Du mungkin sudah menunggu kita.”
“Aku akan mengganti pakaianku terlebih dahulu sebelum menuju ke sana.”
“Aku akan menunggumu.” Menyelesaikan ujian ibu kota adalah beban yang sangat berat di dada Mu Qing, dan dia sangat senang Duan Ling berada di samping dirinya. “Ayo pergi ke suatu tempat yang menyenangkan bersama setelah makan malam. Chang Lijun memesan tempat untuk kita di Paviliun Karangan Bunga malam ini.”
Duan Ling terdiam; perutnya sendiri dipenuhi oleh kekhawatiran, dan melihat Mu Qing begitu bahagia tanpa peduli apa pun di dunia membuatnya benar-benar iri. Ketika dia memikirkan bagaimana sekolahnya sendiri sudah berakhir dan selesai, dia mendapati dirinya secara mengejutkan terinfeksi oleh suasana hati Mu Qing yang bersemangat. Tapi fakta bahwa Wu Du masih belum kembali adalah pembunuh suasana hati yang nyata.
Sementara Duan Ling masuk ke dalam untuk berganti pakaian, Mu Qing melihat sekeliling rumah. Ini pertama kalinya dia melihat sekeliling rumah Wu Du dan Duan Ling dengan baik. Dia sangat ingin tahu, dan dia membuka laci Wu Du, menemukan bahwa lacinya penuh dengan komponen obat.
Duan Ling sedang mencari pakaian, dan ketika Mu Qing mendengar suara, dia berbalik untuk meliriknya. “Apakah kau dan Wu Du tinggal di tempat yang sama?”
“Ya.”
“Apakah kau tidur bersama dengannya juga?”
“Ya.” Di dalam kepalanya, Duan Ling bertanya-tanya apakah Wu Du akan pergi ke Paviliun Karangan Bunga bersama mereka, dan apakah mereka harus minum bersama malam ini. Dan begitu mereka minum, dia bisa mengirim semua pelayan keluar, hanya menyisakan Wu Du dan dirinya sendiri di ruangan. Tiba-tiba, dia bertanya-tanya apakah Mu Qing telah menyadari sesuatu dan memiliki pikiran untuk membawa mereka berdua ke sana, seketika wajahnya menjadi merah karena pemikiran itu.
Di luar sudah gelap gulita. Seorang pria bertopeng melompati dinding halaman, menatap ke dalam rumah dengan lentera menyala.
Di bawah cahaya lentera, Mu Qing membuka laci lemari obat, melihat barang-barang di dalamnya.
Tiba-tiba, sebuah laso terbang ke arahnya, melingkari leher Mu Qing. Sebelum Mu Qing bisa mengeluarkan suara, dia sudah ditarik begitu keras sehingga dia terbang keluar dari ruangan — laci yang dia lihat jatuh ke lantai, bahan obat tumpah ke mana-mana.
Duan Ling sedang mengikat ikat pinggangnya; mendengar suara itu, dia berbalik untuk melihat, dan pemandangan itu memberinya ketakutan yang mengerikan. Dia dengan cepat berlari keluar dari sisi ruangan, mengambil pisau kecil di atas meja yang mereka gunakan untuk memotong bahan obat, dan memotong tali menjadi dua. Mu Qing jatuh ke lantai. Pria bertopeng itu menyerang Duan Ling. Duan Ling melemparkan pisaunya dan pisau itu terbang ke arah pria bertopeng itu.
Pria bertopeng itu menoleh untuk menghindari pisau, dan Duan Ling berputar untuk berlari ke lemari obat, tapi pria bertopeng itu menyerangnya dengan pedang, jadi Duan Ling berguling-guling di lantai untuk menyingkir. Laci dengan bubuk racun di dalamnya terlalu jauh, jadi yang bisa dia lakukan hanyalah melompat ke atas meja dan melompat lebih tinggi untuk mengambil busur yang tergantung di dinding. Mengambil panah di pinggang, dia menembakkan satu panah ke belakang. Pria bertopeng itu mundur dari rumah dengan lompatan.
“Siapa di sana!?” Duan Ling memanggil dengan suara tegas.
Sebuah pedang menusuknya dari belakang tanpa peringatan, mengenai bahu Duan Ling, tetapi pedang itu tidak menembus pakaiannya karena pedang itu terhalang oleh Zirah Harimau Putih, yang mengejutkan lawannya. Begitu Duan Ling berbalik untuk melihat, sebuah telapak tangan menebas lehernya, dan dia jatuh ke lantai tak sadarkan diri.
“Apa yang akan kita lakukan?” Pria bertopeng di pelataran depan berkata kepada pria bertopeng yang baru saja melompat masuk melalui jendela. “Ada dua dari mereka?”
“Kita akan membawa mereka berdua.” Pria bertopeng yang datang kemudian menjawab.
Salah satu dari mereka melepaskan laso dari leher Mu Qing sehingga tidak mencekiknya sampai mati, sementara yang lain meraih Duan Ling dan melemparkannya ke atas bahunya. Keduanya kemudian lari keluar dari rumah Wu Du.
Saat genting begini malah gk ada yg jagain duan sama sekali..