• Post category:Embers
  • Reading time:22 mins read

Penerjemah : Keiyuki17
Editor : _yunda


“Karena kamu lebih tampan, jadi aku cemburu.” Sheng Renxing menyeringai pada pihak lain dan bersiul dengan penuh kesenangan.

Xing Ye memasukkan bungkus masker ke dalam sakunya dan mengangkat alis: “Jadi, apa kamu juga akan memukulku?”

“Tentu saja tidak!” Sheng Renxing menggelengkan kepalanya, “Aku tidak picik sepertimu.”

“Ingat saja bahwa kamu harus melakukan lebih dari sekadar melawanku,” jawab Xing Ye, memiringkan kepalanya seperti model, “Kamu juga harus menggambar lingkaran rune sihir untuk melakukan kutukan.”

“…” Sheng Renxing, “Kamu pria yang humoris, kan.”

Xing Ye tidak berbicara. Sebaliknya, dia memberi pihak lain pandangan yang tenang namun menawan, matanya memantulkan sisa-sisa cahaya matahari terbenam.

Seolah-olah dia sedang tertawa.

Tetapi dengan masker yang menghalangi, sulit untuk mengatakannya.

Sheng Renxing terbatuk: “Apa kamu ingin melepas maskernya sekarang?”

Pertanyaan itu masuk akal karena mereka tidak perlu melakukan penyamaran dengan begitu cepat. Apalagi bahannya membuatnya sulit untuk bernapas dan menimbulkan rasa pengap.

Xing Ye menggelengkan kepalanya: “Aku khawatir kamu akan melihat wajahku dan melemparkan tinju karena cemburu.”

“… Pastikan untuk meluangkan waktumu. Aku akan segera menggambar lingkaran untuk mengutukmu!”

Huang Mao dan anggota kelompok lainnya kebetulan melihat pemandangan ini ketika mereka keluar.

Wan Guanxi mengaitkan lengan di leher Jiang Jing dengan ngeri: “Ada apa?! Kenapa ayahku tertawa seperti…” Ketika pengetahuan di kelas akhirnya digunakan, Huang Mao menyesal tidak belajar dengan baik sebelumnya. Berpikir keras, dia berhasil melafalkan, “bunga-bunga yang mekar bergetar!”

Jiang Jing merasa sulit bernapas dan melepaskan tangannya dengan penuh tenaga: “Itu bukan penggunaan idiom yang benar!”1

Berbalik, dia mengeluh kepada Xing Ye: “Xing Ye! Putramu mengatakan bahwa kamu sedang menggoda!”

“Jangan dengarkan dia!” Wan Guanxi meninju Jiang Jing.

Sheng Renxing menoleh untuk melihat mereka, dan kemudian ke arah Xing Ye, yang memang agak menarik perhatian.

Xing Ye melirik ke belakang dan menarik maskernya ke bawah mulutnya: “Ayo, ayo pergi.”

Jalannya masih agak jauh, yang menimbulkan rasa khawatir semakin lama terasa.

Sheng Renxing bertanya: “Apakah kalian berencana menangkapnya di rumahnya atau semacamnya?”

“Tentu saja tidak.” Jiang Jing melihat ke belakang, mengangkat jarinya dan menunjuk ke sebuah toko yang agak jauh. “Ada toko buku bekas di sana, dan Wang Dahai diketahui datang ke sini setiap hari setelah kelas.”

Jadi mereka datang ke sini untuk menghalangi jalannya.

Sheng Renxing agak terkejut; orang-orang ini cukup rinci dalam rencana mereka.

Pintu masuk toko sangat kecil, dan memberikan kesan sempit. Di dalam, buku-buku ditumpuk berantakan di berbagai rak, dan lipatan-lipatan lusuh menunjukkan bahwa itu adalah buku bekas.

Lampunya agak redup, dan kurangnya jendela semakin berkontribusi pada aura suram toko.

Ketika mereka masuk, ruang di dalam menjadi semakin sempit.

Wanita yang duduk di dekat pintu diam-diam melirik mereka dengan takjub, memikirkan apa yang dilakukan orang-orang dengan rambut dicat, tindikan, dan bermasker ini di tempat seperti ini.

Seperti tetesan tinta di air jernih, mereka benar-benar berada tidak pada tempatnya.

Pegawai toko itu diam-diam meremas kursinya ke sudut yang lebih jauh.

Mungkin pengetahuan itu sendiri yang meminta orang lain untuk menunjukkan rasa hormat, atau bahwa memang dari awal tempat itu sudah sangat sunyi, karena tidak ada yang berbicara setelahnya.

Sheng Renxing berjalan ke rak buku dengan acuh tak acuh, seolah-olah dia benar-benar ingin membaca sesuatu.

Pegawai toko memiliki ekspresi ngeri; seolah-olah dia telah melihat hantu.

Sheng Renxing melangkah ke salah satu baris dan mengeluarkan sebuah novel dengan santai.

Ketika memeriksanya, dia bisa melihat lapisan debu menutupi buku yang agak tua ini.

Sheng Renxing baru tahu setelah dia mengambilnya, jadi dia memegangnya sedikit lebih jauh, meraih bagian punggung bukunya dan dengan lembut mengguncangnya.

Debu jatuh ke lantai seperti salju.

Tidak lagi ingin membolak-baliknya, dia meletakkannya kembali ke rak ketika Xing Ye berjalan menatap novel di tangannya.

“Apa yang kamu lihat?”

“Huh?” Sheng Renxing menunduk untuk memeriksanya, hanya untuk menyadari bahwa dia memegang versi asli dari kumpulan puisi Percy Shelley.

—Tidak heran ada begitu banyak debu.

“Bisakah kamu memahaminya?” Xing Ye bertanya dengan suara rendah.

“Kamu memprovokasiku!” Tidak peduli betapa kotornya itu, Sheng Renxing membuka halaman secara acak dan membacakannya:

“The fountains mingle with the river,
And the rivers with the ocean,
The winds of heaven mix forever
With a sweet emotion……”2

Semakin banyak Sheng Renxing melafalkan, semakin dia merasa ada sesuatu yang salah. Mengintip judul puisi itu memberinya jawaban: “Love’s Philosophy.”

“…”

Dia melirik Xing Ye, yang sangat fokus dan mendengarkan dengan tenang.

Jakun Sheng Renxing bergerak naik turun dan kemudian dia melanjutkan membaca.

Suaranya sendiri sudah nyaring dan merdu, tetapi ketika dia sengaja menurunkannya, itu menjadi tenang dan lembut. Bahkan bayangan rambut merah menyala Sheng Renxing tampak melunak saat dia melanjutkan.

Xing Ye ingin menarik pandangannya, tapi Sheng Renxing tiba-tiba mengangkat kepalanya untuk menatapnya, dengan senyum di matanya.

“And the sunlight claps the earth,
And the moonbeams kiss the sea—
What are all these kisses worth?
If thou kiss not me?”3

Tatapan matanya lembut, seolah beriringan bersama dengan bait setiap bait puisi dan itu semua memasuki kornea mata Xing Ye.

Xing Ye menyipitkan mata, menatapnya: “Apa artinya?”

Setelah menggodanya, Sheng Renxing tersenyum puas: “Apa kamu tidak tahu?”

“Kamu menghinaku?”

“Tebak.” Sheng Renxing mengangkat bahunya acuh tak acuh. “Bahasa Inggrisku tidak lebih baik darimu. Setelah kamu memukuli Wang Dahai, kamu selanjutnya bisa datang untuk menemuiku.”

Xing Ye terkesan dengan kemampuan pihak lain untuk menyimpan dendam, dan menunjuknya sambil tersenyum: “Dia tidak bisa menghinaku, tapi kamu bisa.”

“Aku sangat berterima kasih kepadamu,”4 jawab Sheng Renxing sambil tersenyum.

Pada saat ini, pintu didorong terbuka lagi.

Wang Dahai masuk.

Mereka berdua saling melempar pandangan mengerti. Sheng Renxing mengembalikan buku itu, dan kemudian mengikuti Xing Ye lebih jauh ke bagian dalam toko.

Wang Dahai pertama-tama pergi ke pegawai toko untuk mengembalikan beberapa buku.

“Dua ini?”

“Mn.”

“Bukankah ini baru dipinjam dua hari yang lalu? Guru Wang adalah pembaca yang sangat cepat!”

“Aku hanya membaca setiap kali aku punya waktu, dan entah bagaimana aku sudah berada di akhir novel.” Pria itu berkata dengan senyum puas diri, seolah-olah dia bangga dengan kecepatan membacanya.

Sheng Renxing mengingat adegan yang dilihatnya di kantor terakhir kali. Tanpa memperhatikan tugasnya, dia benar-benar punya banyak waktu luang.

Dia berbalik untuk melihat ekspresi Xing Ye, dan melihat bahwa pihak lain sedang menatapnya dan menunjuk ke maskernya.

Sheng Renxing dengan cepat mengenakan maskernya.

Xing Ye tidak puas, dia dengan buru-buru melepas topinya dan meletakkannya di kepala Sheng Renxing, menutupi rambut merahnya.

Topi itu adalah yang diberikan Sheng Renxing padanya sebelumnya, dan Xing Ye secara kebetulan memakainya hari ini.

Sheng Renxing telah meliriknya beberapa kali ketika Xing Ye mengenakannya, tetapi dia tidak berharap itu akan “dikembalikan ke pemilik aslinya” dengan begitu cepat.

Sheng Renxing memikirkan rambutnya yang sangat mencolok dan tidak menolak tawaran itu. Mendorong rambutnya ke belakang dengan satu tangan, dia memposisikan ulang topinya, memperlihatkan dahinya yang mulus.

Setelah merapikannya, dia tiba-tiba teringat pada Wan Guanxi si rambut pirang yang sedang melihat-lihat buku di ujung lain toko.

Xing Ye berbisik: “Dia baik-baik saja.”

“?”

Sheng Renxing memikirkannya, dan akhirnya memahaminya.

Tidak mungkin bagi Wang Dahai untuk tidak tahu siapa Sheng Renxing. Mengenakan masker hanyalah sarana untuk mencegahnya menunjukkan identitasnya pada pandangan pertama.

Di antara mereka semua yang perlu menyembunyikan identitas mereka, seseorang yang perlu paling berhati-hati adalah dirinya sendiri.

Memikirkan hal ini, dia bergembira, merasa cukup bersemangat dengan penuh adrenalin.

Wang Dahai selesai mengobrol, dan karena dia agak akrab dengan tempat ini, dia langsung menuju ke salah satu rak.

Sheng Renxing terkejut bahwa toko ini sebenarnya memiliki novel yang diurutkan ke dalam berbagai kategori.

Segera, dia akan melihat metode gila sang guru.

Wang Dahai berjongkok ke rak terakhir kedua. Bahkan tanpa membaca judul apa pun, dia mengeluarkan tiga buku yang bersebelahan.

Jadi novel dipilih seperti itu.

Sheng Renxing tercengang oleh metode Wang Dahai dalam memilih buku sehingga dia bahkan tidak bereaksi ketika melihat Xing Ye dan yang lainnya berjalan ke arahnya.

Wang Dahai bangkit dengan tiga buku masih di tangannya. Bahkan sebelum dia berhasil meluruskan punggungnya, dia tiba-tiba ditekan ke rak buku dari belakang. Karena ketakutan, dia menarik napas dingin dan berteriak menakutkan.

“Kau…”

Begitu Wang Dahai paham situasinya, dia merasakan sakit yang tajam di kakinya, dan tubuhnya jatuh ke lantai tanpa sadar. Tindakan itu menjatuhkan beberapa buku, yang semuanya langsung jatuh padanya.

Di belakangnya, beberapa tangan menekan punggungnya.

Seseorang menarik tangannya dan menekannya ke lantai. Mengambil sudut salah satu buku yang dia pegang, penyerang membantingnya ke punggung tangannya.

Sekali, dua kali…

Wang Dahai berteriak keras dan berjuang di tempat, tetapi selain teriakannya, tidak ada suara lain yang terdengar.

Itu adalah sebuah putaran penyiksaan diam-diam.

Setelah beberapa lama, orang yang memukulnya akhirnya melepaskan tangannya, tetapi Wang Dahai tidak memiliki kekuatan untuk berjuang lagi.

Penyerang tak dikenal kemudian meletakkan sudut novel di pelipisnya.

Sebelum dia bisa meludahkan kata-kata memohon belas kasihan, Wang Dahai bisa mendengar suara dingin mengumumkan dalam-dalam, “Di sinilah aku akan memukulmu lain kali jika kamu tidak datang ke kelas.”

Wang Dahai bergidik ketakutan, dan pada detik berikutnya, dia tiba-tiba tahu siapa yang ada di belakangnya.

Tangan di belakangnya juga melepaskannya.

Dia berbalik dengan marah dan melihat beberapa anak laki-laki berjalan keluar dari toko buku.

“Xing Ye!” Dia mengertakkan gigi dan mengutuk dengan ganas memikirkan tangisan belas kasihan yang baru saja dia teriakkan.

Ketika pergi, Sheng Renxing melirik meja untuk menyewa buku dan menemukan bahwa tidak ada seorang pun di sana.

Xing Ye bergerak di belakangnya dan menutupi punggungnya saat keluar.

Hanya ada beberapa toko di jalan ini, dan ketika teriakan meledak, semua pintu dan jendela di sekitarnya tertutup rapat.

Pada awalnya, dia bertanya-tanya mengapa dia tidak menutup mulut Wang Dahai. Bukankah akan ada lebih banyak masalah jika itu menarik perhatian orang yang lewat?

Tetapi pada akhirnya, tidak ada pejalan kaki yang menganggur masuk ke toko untuk melihat apa yang sedang terjadi.

Bagaimanapun, mereka tidak peduli dengan orang-orang yang lewat, seolah mereka sudah lama mengira akan menjadi seperti ini.

Melangkah keluar dari toko, kelompok itu dihadapkan dengan matahari yang terbenam, yang mengubah setengah langit menjadi merah dengan sinar serongnya.

Sheng Renxing menyipitkan mata dan mengangkat tangannya untuk menghalangi cahaya matahari, tetapi menabrak pinggiran topinya.

Dia berbalik untuk melihat Xing Ye.

Tanpa topi, Xing Ye dibutakan oleh cahaya dan dia juga mengangkat tangan untuk memblokirnya.

Di tempat terbuka, orang bisa dengan mudah melihat noda darah di tangannya.

Sheng Renxing meraih pinggiran topi untuk melepasnya, dan memakaikannya di kepala pihak lain.

Xing Ye memiringkan tubuhnya ke arah Sheng Renxing tanpa melakukan kontak mata dan dengan hati-hati memposisikannya kembali.

“Ah!” Huang Mao menggeliat malas, “Ayo cari tempat makan?”

Jiang Jing: “Karena Lu-ge yang mentraktir, mari kita serahkan padanya.”

Anak laki-laki lain, Lu Zhaohua, menjawab: “Oke! Ayo cari restoran.” Dia melambaikan tangannya dengan santai dan berjalan ke baris depan kelompok.

Sheng Renxing berhenti, tidak yakin apakah dia ingin pergi atau tidak.

Memperhatikan keragu-raguan pihak lain, Xing Ye meraih tangannya dan berkata: “Ayo, ayo pergi.”

Lu Zhaohua membawa mereka ke restoran hotpot mala.5

Masuk, semua orang memilih bahan yang mereka inginkan dan menyerahkannya kepada bos untuk disiapkan.

Mereka juga memesan beberapa kaleng bir, dan mulai minum bahkan sebelum hidangan tiba.

Setelah beberapa suap, Huang Mao berbicara terlebih dulu: “Coba tebak, apa menurut kalian Wang Dahai akan mengadukan kita ke Lao Li besok?”

Jiang Jing menggelengkan kepalanya: “Ini mungkin akan terjadi lebih cepat.”

Anak laki-laki yang tersisa, Dong Qiu, menjawab: “Aku tidak berpikir itu akan berakhir dengan Direktur Li.”

Dia mendentingkan kalengnya6 dengan Jiang Jing: “Jadi kami mencapai pemahaman diam-diam.”

Lao Li adalah Dekan sekolah kita. Pada siapa dia akan pergi jika bukan dirinya?” Huang Mao juga mengangkat gelasnya dan bersulang.

Lu Zhaohua menyulangkan bir mereka: “Siapa yang tidak tahu bahwa Lao Li bias terhadap kita?”

“Bodoh!” Jiang Jing memarahi Wan Guanxi.

Dong Qiu menyulangkan bir mereka lagi, untuk menunjukkan persetujuannya.

“Persetan!” Huang Mao mengutuk, “Lalu dia akan lari ke siapa?”

Lu Zhaohua menebak: “Kepala sekolah?”

Jiang Jing dan Dong Qiu menyulangkan bir mereka bersama-sama.

“Serius?” Wan Guanxi tidak bisa mempercayainya.

Jiang Jing: “Kamu ingin bertaruh? Lima yuan.”7

Huang Mao memutar matanya, tidak tertipu oleh yang lain: “Xing-ge bagaimana menurutmu?”

Xing Ye bersandar di kursinya: “Biarkan Wang Dahai melakukan apa pun yang dia inginkan.”

Kecuali Sheng Renxing, empat lainnya mengangkat gelas mereka untuk bersulang.

Xing Ye mengangkat birnya asal-asalan, tetapi tidak meminumnya.

“Lalu apa yang akan kalian lakukan?” Sheng Renxing melihat sekeliling ke lingkaran mereka dan bertanya-tanya dengan rasa ingin tahu.

Huang Mao menghabiskan suapan terakhirnya dan membuka kaleng lainnya: “Paling buruk, mereka akan memanggil orang tua kita. Aku sudah siap untuk dipukuli.”

Dia melirik Xing Ye dan kemudian ke Sheng Renxing: “Tapi apa yang kamu lakukan di sini?”

“Karena penasaran, aku datang untuk ikut bersenang-senang,” jawab Sheng Renxing dengan terus terang.

Beberapa orang dikejutkan oleh semangatnya yang tak gentar.

Jiang Jing tersenyum: “Jadi, apa kamu menyukai pengalaman ini?”

Melirik dari ujung matanya, Sheng Renxing melihat sekilas Xing Ye menatapnya, dan dia berpikir: “Ini sangat hidup.”

Kelimanya, termasuk Sheng Renxing, mengangkat gelas mereka bersama-sama untuk bersulang.


Bab Sebelumnya | Bab Selanjutnya

KONTRIBUTOR

HooliganFei

I need caffeine.

Keiyuki17

tunamayoo

yunda_7

memenia guard_

Footnotes

  1. Dia menggunakan chengyu, yang merupakan idiom panjang empat karakter. Yang dia gunakan kira-kira diterjemahkan menjadi “pemandangan indah tanaman mekar yang bergoyang tertiup angin”. Artinya, seorang gadis/pria berpakaian sangat menarik untuk menarik perhatian seseorang dengan cara yang genit.
  2. “Mata air menyatu dengan sungai
    Dan sungai dengan samudera
    Angin dari surga menyatukannya hingga abadi
    Dengan sebuah perasaan manis…”
  3. “Dan sinar mentari memeluk bumi
    Dan sinar bulan mencium lautan
    Apa yang berarti dari ciuman-ciuman itu?
    Jika yang menciummu bukanlah aku?”
  4. Dia meniru para pelayan/pejabat yang berterima kasih kepada Kaisar setelah mereka diberikan hadiah.
  5. Makanan jalanan populer yang terdiri dari tusuk sate yang dimasak dalam kaldu pedas.
  6. Bersulang.
  7. Sekitar 0,77 USD atau Rp. 11.170

This Post Has One Comment

  1. Sansanumanaaaa

    Jangan ditiru ya gaes

Leave a Reply