Di samping bunga persik yang berkibar, seberkas cahaya masuk, dan di bawah pancaran sinarnya yang luar biasa, mimpi-mimpi yang tak terhitung jumlahnya dibangunkan, diperbaiki, dan disembuhkan.


Peringatan Konten: Ekstra ini hanya tersedia dalam volume ke-2 dari versi cetak bahasa mandarin yang disederhanakan. Ekstra ini menceritakan masa kecil Xiang Shu di Chi Le Chuan. Akan ada beberapa spoiler untuk Dinghai Bab 100-an tentang POV Xiang Shu (Aman dibaca setelah bab 103).


“Aku berharap hatinya akan seluas padang rumput Chi Le Chuan dan seluas langit di luar Tembok Besar.”

“Kalau begitu, kita beri nama dia Shulü Kong, ba.”


Hal pertama yang diingat Xiang Shu dalam hidupnya adalah: Ketika dia berusia empat tahun, ibunya membawanya ketika dia secara pribadi mengantarkan seekor kuda ke rumah mereka. Pada saat itu, dia mengerti mengapa itu disebut “kehidupan.”

“Jika ini terus berlanjut, apa akan ada lebih banyak kuda di padang rumput?” Ragu-ragu, Xiang Shu kecil bertanya kepada ibunya.

“Kehidupan baru akan lahir,” kata Xiang Yuyan dengan nada lembut, “kehidupan lama juga akan pergi. Roda kehidupan akan berputar penuh, kehidupan baru tidak akan berhenti muncul.”

“Pergi?” tanya Xiang Shu kecil. “Ibu, pergi kemana?”

Tidak lama kemudian, Xiang Yuyan menggunakan kepergiannya sendiri sebagai jawaban atas pertanyaan putranya. Xiang Shu berada di dalam tenda emas hari itu, membolak-balik gulungan yang ditulis oleh ibunya ketika tiba-tiba, dia mendengar suara sesuatu yang jatuh ke tanah di luar.

“Ibu! Ibu!” Xiang Shu berlari dengan panik.

Peristiwa-peristiwa berikutnya membuatnya tidak siap; dia hanya ingat ayahnya memintanya menunggu di dalam tenda sementara para anggota klan sibuk satu sama lain. Setelah waktu yang lama, dia mengintip dari dalam tenda, dan melihat sekawanan burung gagak menghasilkan suara yang mengguncang seluruh dunia.

Kawanan itu melebarkan sayapnya dan terbang melewati tepi Chi Le Chuan, menuju ujung langit.

Setelah ayahnya kembali ke tenda kerajaan, dia membersihkan sisa darah dari tangannya; dikelilingi oleh para tetua dan pemimpin semua suku. Setelah kepergian ibunya, setiap suku bergegas masuk satu demi satu, ingin mengatur pernikahan baru untuk Raja Tiele.

Keluarga Tiele tidak seperti keluarga Han; mereka tidak memiliki kewajiban untuk mematuhi adat. Bagi mereka, kepergian Xiang Yuyan hanyalah masalah sepele dan tidak penting.

Xiang Shu kecil tidak menangis; hanya karena ayahnya, Shulü Wen1Ayahnya dipanggil Shulü Wen (述律温) dalam novel, tapi entah bagaimana dalam ekstra ini dia dipanggil Shulü Duan (述律端)… Penerjemah tidak tahu alasannya jadi penerjemah akan terus menggunakan Shulü Wen untuk menghindari kebingungan lebih lanjut. juga tidak menangis. Ibunya, ketika dia masih hidup, memintanya untuk belajar dari ayahnya dalam segala hal. Apa pun yang dilakukan ayahnya, Xiang Shu secara alami akan mengikuti.

Kenyataannya, mulai dari suara yang dihasilkan dari luar tenda kerajaan hingga sekarang ketika semuanya telah selesai, waktu hanya berlalu selama setengah hari yang singkat. Xiang Shu masih linglung, dia tidak mengerti apa arti semua ini baginya.

Di tengah kebisingan yang membingungkan, Shulü Wen membersihkan sisa darah yang ditinggalkan oleh pemakaman langit mendiang istrinya dari tangannya, lalu mengucapkan satu kata pada satu waktu, “Jangan. Lanjutkan. Lagi.”

“Pada akhirnya, Pangeran membutuhkan seorang ibu,” kata seorang tetua. “Chanyu yang Agung juga membutuhkan seorang ratu untuk menjalankan dan mengatur segala urusan.”

“Empat lautan dan padang rumput semuanya adalah tanah Chanyu yang Agung, dan semua orang di bawah langit adalah orang-orang Chanyu yang Agung,” kata orang lain. “Chi Le Chuan juga membutuhkan ibu pemimpin …”

“Aku sudah membuat keputusan, kalian tidak perlu mengatakan apa-apa lagi,” kata Shulü Wen. “Ketika dia masih hidup, Ratu selalu berkata, ‘Seumur hidup, pasangan selamanya.’ Meskipun aku hanya menghabiskan beberapa tahun bersamanya, itu sudah berarti ‘seumur hidup’ bagiku, dan Kong’er adalah bukti kami. Mulai sekarang, masalah ini tidak boleh diangkat lagi.”

Setelah hening sejenak di dalam tenda kerajaan, Shulü Wen berkata lagi, “Chi Le Chuan pasti akan memiliki ratu baru-nya. Kong’er juga akan memberi tanggung jawab itu untuk kalian di masa depan.”

Dengan demikian, semua suku di dalam tenda mulai membubarkan diri, hanya menyisakan Xiang Shu dan ayahnya yang duduk dalam kesunyian.

“Ibumu sudah pergi.” Raja Tiele mengelus kepala putranya. “Mulai sekarang, hanya ada kau dan aku. Kong’er, tidurlah ba.”

“Ke mana dia pergi?” tanya Xiang Shu kecil yang berusia empat tahun dengan waspada. “Kapan dia akan kembali?” Dengan tergesa, dia melirik, tapi pada akhirnya, dia hanya bisa melihat ibunya yang tidak lagi sadar sebelum anggota klan menghentikannya untuk melihat Xiang Yuyan lagi.

“Dia pergi ke tempat yang ingin dia tuju; ke tempat yang harus dia tuju,” jawab Raja Tiele. “Angin akan berhenti bertiup dan salju akan mencair. Di tanah di mana bunga persik bermekaran, di situlah kita akan menemukan pelipur lara kita2温柔乡 ‘(rumahku) yang hangat.’ Biasanya digunakan sebagai analogi untuk merujuk pada ‘seseorang yang mampu memenangkan hati seseorang’ atau ‘seseorang yang dapat membuat seseorang merasa nyaman.’. Akan ada hari di mana Ayah juga harus pergi. Roda kehidupan selalu berputar penuh, kehidupan baru tidak akan berhenti muncul; hanya itu yang ada untuk itu.”

Setelah cahaya di dalam tenda kerajaan padam, hari sudah gelap. Pada malam yang gelap itu, Xiang Shu berbaring di tempatnya yang biasa. Sementara itu, di ranjang yang biasa ditiduri ibu dan ayahnya, hanya ada sosok ayahnya.

Ayahnya tinggi dan mengesankan, dan dia adalah orang paling kuat di padang rumput, tapi saat ini, punggungnya tampak sangat kesepian.

Dia mendengar tangisan pelan ayahnya di keheningan malam, merintih keras seperti binatang buas yang tenggorokannya tersumbat.


Sejak hari itu, Xiang Shu tidak banyak bicara.

Dia membaca buku-buku yang ditinggalkan ibunya dalam diam, dan belajar menyikapi ayahnya dalam diam; ini adalah satu-satunya cara yang bisa dia lakukan, meskipun hanya sedikit, untuk terhubung kembali dengan ibunya.

Dia ingat ibunya telah menyebutkan tentang Selatan dan Jiangnan lebih dari satu kali. Jiangnan… bagi orang-orang Chi Le Chuan, adalah tempat yang sangat jauh. Dia masih sangat muda, terlalu muda sehingga dia tidak bisa menunggang kuda atau berjalan untuk melintasi Tembok Besar.

Tapi suatu hari, dia akan pergi ke Selatan untuk melihatnya —— ini seperti janji antara dia dan ibunya.

Dia menyimpan semua pikiran ini di dalam hatinya, dan selama bertahun-tahun, dia terus menjadi pendiam. Setiap hari, ketika ayah dan anak itu berinteraksi, itu seperti pertunjukan bisu di atas panggung.

Klan ingin pergi ke selatan Tembok Besar untuk meminta dokter Han mendiagnosis Xiang Shu, tapi Shulü Wen hanya berkata, “Biarkan dia, beberapa orang tidak suka membuka mulut mereka; lebih banyak berpikir dan lebih sedikit berbicara, memangnya kenapa dengan itu?”

Shulü Wen tahu bahwa tidak ada yang salah dengan putranya; dia hanya diam untuk sesaat karena baru kehilangan ibunya. Dia percaya bahwa putranya perlahan-lahan bisa melupakannya pada akhirnya —— setiap orang pasti pernah mengalami hal semacam ini.

Dia juga tahu bahwa Xiang Shu tidak sepenuhnya menutup mulutnya. Setidaknya, ketika Che Luofeng datang, Shulü Wen melihat putranya berbicara. Saat itu, Xiang Shu membisikkan sesuatu kepada Che Luofeng, tapi ketika Shulü Wen lewat, kedua anak itu berhenti berbicara.

Shulü Wen tidak terlalu menyukai keluarga Rouran. Namun, anak-anak tidak melakukan kesalahan, dan generasi muda tidak boleh menjadi objek permusuhan dari generasi sebelumnya. Meskipun Shulü Wen tidak ingin ikut campur dengan pilihan putranya, dia tetap berharap putranya akan lebih ceria, dan karena itu, dia sengaja memberinya lebih banyak waktu dengan teman-temannya.

Sesekali, Xiang Shu akan mengangkat kepalanya dan melihat ayahnya, tapi tetap saja, dia tidak mau berbicara.

Saat Xiang Shu mulai tumbuh dewasa, Shulü Wen berkata dalam hatinya bahwa dia bisa membaca arti dari tatapan Xiang Shu.

Putraku pada dasarnya adalah orang yang lembut, sama seperti ibunya. Dia tidak seperti orang lain di padang rumput ini. Di balik dirinya yang dingin dan acuh tak acuh, ada hati seluas kubah biru yang meliputi segala sesuatu di dunia ini.

Karena itu, dia berpikir bahwa dia tidak memberinya nama yang salah sejak awal.

Shulü Wen sangat puas dengan putranya.


Pada usia 7 tahun, Xiang Shu mendapatkan kuda pertamanya. Itu adalah pemberian dari Raja Akele.

Shulü Wen mulai mengajarinya cara berkuda dan menembak, serta seni bela diri. Tingkat pemahaman Xiang Shu sangat tinggi sehingga dia bisa menguasai seni bela diri apa pun segera setelah dia diajari. Shulü Wen belum pernah melihat bakat berkuda mengitari seluruh negeri di luar Tembok Besar seperti itu. Mungkinkah dia mewarisinya dari ibunya?

Selama hidupnya, Xiang Yuyan juga seorang seniman bela diri. Meskipun kedatangannya di tanah di luar Tembok Besar tidak dapat dijelaskan dan dia juga telah melupakan sebagian besar hal, dia masih ingat seni bela dirinya. Dalam kurun waktu beberapa tahun, dia telah menyalin sejumlah besar ilustrasi seni bela diri serta karya-karya dari berbagai aliran pemikiran di Dataran Tengah berdasarkan ingatannya. Raja Tiele takut bahwa pengajarannya akan membuang waktu putranya, jadi dia menyuruhnya mempelajari buku-buku yang ditinggalkan oleh ibunya sendiri.

Tidak lama kemudian, Xiang Shu berhasil menangkap rubah salju dan menembak jatuh angsa liar di angkasa. Kalian tahu, bahkan Shulü Wen harus menghabiskan tidak kurang dari enam tahun untuk sampai ke titik ini.

Hingga suatu malam.

Xiang Shu yang berusia tujuh tahun diam-diam terbangun. Dia mengambil busur dan anak panah, memakai sepatu bot berburunya, mengenakan mantel bulunya, dan keluar dengan membawa seekor kuda —— dia telah membungkus kuku kuda itu dengan kain sejak lama.

Dalam beberapa hari, Festival Penutupan Musim Gugur akan berlangsung. Xiang Shu harus menyelesaikan rencananya hari ini. Pada saat Festival Penutupan Musim Gugur, Chi Le Chuan akan mengadakan perayaan besar. Tidak diragukan lagi, ayahnya tidak akan bisa lepas dari tanggung jawabnya sekarang; dia juga tidak bisa menghentikannya.

Jia!” Xiang Shu berkata dengan suara lembut. Dia telah menyusun rencana ini selama tidak kurang dari tiga tahun.

Che Luofeng menunggu di belakang pohon dan begitu dia melihat Xiang Shu, dia dengan gugup menunjukkan dirinya.

“Apa kau sudah membawa barangnya?” tanya Xiang Shu dengan suara kecil.

Che Luofeng memberi Xiang Shu sebuah dompet berisi beberapa batangan emas berat. Xiang Shu mengikatnya ke punggung kuda, lalu mengangguk ke Che Luofeng.

“Apa kau benar-benar sudah memikirkannya?” Che Luofeng menaiki kudanya sendiri dan berkata kepada Shulü Kong, “Aku akan mengantarmu pergi.”

“Jangan mengantarku terlalu jauh.” Xiang Shu yang berusia tujuh tahun masih anak-anak; kecemasan, kegembiraan, berbagai jenis emosi yang dimilikinya campur aduk saat ini di dalam dirinya. Dalam kegelapan, suaranya sedikit bergetar, “Kau masih harus kembali.”

Che Luofeng berkata, “Kau mau kemana?”

“Dataran Tengah, Jiangnan,” kata Xiang Shu kecil sambil memacu pelan kudanya. Tempat legendaris itu tampak seperti tanah suci dalam mimpinya. “Angin akan berhenti bertiup dan salju akan mencair. Di negeri tempat bunga persik bermekaran, di sanalah kita akan menemukan pelipur lara kita.”

Bibir Che Luofeng bergerak tapi dia tidak berbicara.

Ekspresi Xiang Shu Kecil serius dan tenang, seolah-olah dia hendak pergi berziarah. Seolah-olah, selama dia bisa menyeberangi Tembok Besar, dia akan melihat bunga persik menari tertiup angin dan memenuhi seluruh langit, serta kebun buah persik dan teras di semua tempat, sementara ibunya, dengan senyuman lembut yang terpancar di wajahnya, berdiri di tepi sungai, menunggunya.

“Enam hari dengan kuda dari sini,” kata Xiang Shu, “disanalah Tembok Besar. Setelah melintasi Tembok Besar, kau akan bisa pergi ke Dataran Tengah. Setelah tiba di Dataran Tengah, kau bisa pergi jauh ke selatan untuk sampai ke Jiangnan. Lihat.”

Xiang Shu mengeluarkan gulungan peta yang terbuat dari kulit domba, dan meminjam cahaya bulan yang terang dan jauh, dia melihatnya dengan cermat bersama Che Luofeng.

“Apa kau bahkan akan kembali?” tanya Che Luofeng.

Xiang Shu tidak menjawab. Setelah beberapa saat, tatapannya pergi ke kejauhan sebelum kembali ke Che Luofeng. Meniru kata-kata dari buku itu, dia memberi tahu Che Luofeng, “Di masa depan, kita akan bertemu lagi.”

“Jia!” Dia memacu kudanya untuk mempercepat, menghilang ketika dia mencapai tepi padang rumput yang luas.

Che Luofeng tetap tinggal di atas kudanya untuk waktu yang lama, menatap kosong. Setelah itu, dia mengubah arah kudanya dan kembali ke Chi Le Chuan.


Xiang Shu meninggalkan Chi Le Chuan dengan membawa beberapa persediaan dan uang. Cuaca semakin dingin mendekati Festival Penutupan Musim Gugur, hanya saja, kekuatan besar yang melanda Utara sudah ada di belakangnya. Sepanjang jalan, dia berhenti di hutan maple merah, membuat api, beristirahat sebentar, lalu melanjutkan perjalanannya sekali lagi. Tidak peduli siang atau malam, selama dia memiliki kekuatan, dia akan maju menuju tembok yang terlihat mirip dengan naga raksasa, membentang ke seluruh dunia selama ribuan tahun.

Tembok Besar mengelilingi dunia yang berbeda; dunia itu seperti utopia3桃花源 ‘Negeri Bunga Persik.’ Ini adalah negeri dongeng yang penuh kedamaian dan kemakmuran., tempat di mana orang-orang di luar pengepungannya tidak akan pernah bisa berjuang untuk selamanya. Dengan berlalunya hari dia melarikan diri, dia semakin dekat dan lebih dekat ke tanah impiannya.

Saat Tembok Besar muncul di cakrawala, Xiang Shu hampir tidak bisa mengendalikan kegembiraan di dalam hatinya.

Gemetar, dia turun dan melihat ke dinding yang megah dengan linglung. Berliku ribuan mil, persis seperti yang digambarkan ibunya: kekal.

Xiang Shu hampir menangis. Dia gemetar dan bergerak maju beberapa langkah, berlutut di tanah.

“Tembok Besar,” katanya pada dirinya sendiri.

Dia berlutut dan membuat gerakan berlutut sampai ke tanah dengan sukarela ke arah Selatan. Sama seperti berlutut ke arah Chi Le Chuan, ke arah Carosha yang legendaris di Utara, atau ke arah sungai besar di antara langit dan bumi, gerakan ini untuk menunjukkan rasa hormatnya. Mengangkat kepalanya, dia menyentuh bagian atas dahi dan dadanya dengan jarinya, lalu dia membalikkan tangannya sehingga telapak tangannya rata ke atas. Rangkaian gerakan ini adalah ritual kesopanan Tiele yang berarti “Aku mempersembahkan segalanya yang aku miliki.”

Dia hanya berdiri di sana dan melihat untuk waktu yang sangat lama. Embusan angin menderu di tengah dataran yang luas, dan pada saat ini, di hadapan peninggalan sejarah abadi ini, dia benar-benar merasakan kerinduan yang langka. Meskipun, saat ini, dia masih belum mengerti dengan jelas tentang perasaan apa ini, insting menghentikannya dan membuatnya sulit untuk bergerak lebih dekat.

Dia seperti seorang pengelana yang kesepian, dan pada saat ini, dia adalah satu-satunya orang di dunia ini.

Tapi tiba-tiba, sebuah suara terdengar.

“Jangan pergi ke sana,” suara Shulü Wen terdengar, “kau tidak akan menemukan apa yang kau inginkan.”

Xiang Shu berbalik dan menemukan bahwa sosok ayahnya yang kesepian berdiri tidak jauh darinya. Ayahnya meninggalkan Chi Le Chuan dan mengejarnya tanpa henti. Pada akhirnya, dia menghentikan putranya, yang hatinya memberontak seperti kuda yang sulit dijinakkan, tepat sebelum dia memasuki Tembok Besar.

Raja Tiele, setelah mengetahui rencananya dan Che Luofeng, mengesampingkan hiruk-pikuk Festival Penutupan Musim Gugur dan segera mengejarnya.

“Ibumu sudah meninggal,” suara berat Shulü Wen terdengar sekali lagi, “orang-orang tidak ingin hatimu hancur, jadi mereka memberitahumu kalau dia kembali ke Selatan untuk mencari pengobatan.”

“Aku tahu,” jawab Xiang Shu dengan tenang, “Aku tahu semuanya.”

Raja Tiele diam-diam menatap putranya, lalu berkata sedikit demi sedikit, “Lalu, untuk alasan apa kau masih ingin pergi ke Selatan?”

Xiang Shu membuang muka, menghindari tatapan ayahnya.

“Aku tidak tahu,” jawab Xiang Shu.

“Pikirkan lagi sebelum pergi,” kata Shulü Wen. “Apa kau ingin aku menemanimu memanjat Tembok Besar dan melihat-lihat?”

Xiang Shu tidak menjawab, dan Shulü Wen juga tidak memarahi putranya atas tindakannya yang benar-benar membuang ayahnya dan orang-orang Chi Le Chuan di belakangnya.

Xiang Shu tidak tahu mengapa, tapi dia sedikit takut.

Shulü Wen berkata, “Biarkan mimpi tetap berada di dalam mimpi, ba. Kong’er, tunggulah sampai hari kau bisa mewujudkan impianmu, dan kemudian, bukalah sekali lagi.”

Xiang Shu berdiri dengan keras kepala, tidak bergerak.

Shulü Wen berkata lagi, “Tentu saja, kau juga bisa menyeberang sekarang. Hari ini mungkin apa yang selalu dikatakan orang-orang Han sebagai ‘Kehendak Surga’. Ayah tahu bahwa begitu kau pergi, kau tidak akan mungkin kembali lagi. Kau harus memikirkan ini baik-baik.”

Xiang Shu masih tidak menjawab.

“Ayah tidak akan meninggalkan Chi Le Chuan,” kata Shulü Wen pada akhirnya, “tapi Ayah juga tidak akan menghentikanmu.”

Xiang Shu melihat ke arah ayahnya. Pelipis Shulü Wen telah ternoda oleh angin dan embun beku. Akhirnya, Xiang Shu membalikkan kudanya dan memutuskan untuk mengikuti ayahnya, pulang ke rumah. Sebelum pergi, seolah tidak mau berpisah, dia menoleh dan melirik kembali ke arah Tembok Besar.

“Apa ayah pernah melewati Tembok Besar?” kata Xiang Shu.

“En,” jawab Shulü Wen.

Xiang Shu bertanya, “Seperti apa di sana?”

Shulü Wen menjawab, “Aku tidak bisa mengatakannya. Kau harus melihatnya dengan kedua matamu sendiri di masa depan. Kau pasti akan pergi ke sana suatu hari nanti, tapi tidak sekarang.”

Tiba-tiba, Xiang Shu bertanya, “Apa kau pernah ke Jiangnan?”

“Belum,” kata Shulü Wen dengan suara tenang. “Aku Chanyu yang Agung, aku tidak bisa meninggalkan orang-orangku terlalu lama.”

Xiang Shu sekali lagi menoleh ke belakang dan melihat Tembok Besar berangsur-angsur menghilang di batas punggungan gunung. Saat dia masih melihat ke belakang, Shulü Wen sudah berteriak “Jia!” untuk memacu kudanya pergi, dan Xiang Shu hanya bisa menyusul ayahnya. Mereka berdua bergegas kembali ke Chi Le Chuan.

Pada Festival Penutupan Musim Gugur itu, Che Luofeng dan Xiang Shu harus menanggung hukuman. Setelah acara tersebut, mereka berdua bersumpah dan menjadi Anda.


Pada usia 12, reputasi Xiang Shu sebagai jenius seni bela diri telah menyebar ke seluruh padang rumput. Dia bisa menembak jatuh benda terbang tercepat yang berada di antara langit dan bumi, bisa mengejar raja kuda yang bergerak seperti angin, dan beberapa orang bahkan mengatakan bahwa dia bisa menembak jatuh naga di langit.

Ketika dia berusia 14 tahun, beberapa bandit Xianbei menyerbu wilayah mereka dan membantai tiga pasukan Gaoche. Xiang Shu mengikuti ayahnya ke pertempuran, dan dari seratus langkah jauhnya, dia menembak mati pemimpin bandit, peristiwa itu semakin meningkatkan ketenarannya.

Dia bukan lagi pemuda sejak saat itu; dia telah menjadi pria yang tinggi dan kuat. Dia mengenakan baju besi kulit Tiele dan hanya mengenakan cermin pelindung jantung4护心镜 adalah cermin perunggu yang tertanam di beberapa baju besi kuno untuk melindungi jantung dari panah., membiarkan dada dan perut bagian bawahnya terbuka. Tapi, dia masih sangat jarang berbicara, di luar ketika dia menghadapi klan dan Anda-nya, dia memasang sikap yang sangat bijaksana dan serius.

Hari itu ketika bandit lain muncul, dia mengambil pedang dongeng Gaoche dari tangan ayahnya, lalu menyerbu jauh ke dalam pegunungan sendirian dengan kudanya. Saat senja, tubuhnya yang berlumuran darah musuh, perlahan berjalan keluar dari ngarai, menggunakan beberapa daun pohon untuk menyeka noda darah pada pedangnya.

Perang ini telah membuat Shulü Kong terkenal, tapi Shulü Wen juga menderita luka-luka karena perang ini.

Dia mulai belajar dari ayahnya bagaimana menangani perselisihan semua suku. Dia menjadi pengganti Chanyu yang Agung dan memegang segel emas; segala sesuatu di bawah langit mendengarkan dan mematuhi perintahnya.

Pada usia ke-15, Xiang Shu memimpin perwira dan prajurit dari tiga suku: Tiele, Rouran, dan Xiongnu, ke beberapa ekspedisi.

Pada usia 16 tahun, Xiang Shu akhirnya memukul mundur Xianbei untuk terakhir kalinya, membuat pengaruh Chi Le Chuan menyebar ke utara Tembok Besar sampai ujung dunia.


Empat lautan dan padang rumput semuanya adalah tanah Chanyu yang Agung, dan semua orang di bawah langit adalah orang-orang Chanyu yang Agung. Ketika Fu Jian datang ke Chi Le Chuan, dia menyatakan niat baik terhadap Chanyu yang Agung dan usahanya yang luar biasa, untuk diberikan Penghargaan Emas Gulungan Ungu.

Namun, Xiang Shu tidak memberinya Gulungan Ungu, karena, setelah beberapa diskusi di antara suku-suku, pendapat mereka secara mengejutkan mencapai kata sepakat: Dataran Tengah tidak seperti Dataran Tengah sebelumnya. Suatu hari, langit biru Chi Le Chuan akan menutupi area selatan Tembok Besar dan menyatukan daratan yang luas, termasuk Qin dan Jin.

Pada saat itu, Shulü Wen sudah kehabisan waktu. Fu Jian memiliki ambisi yang membara, dan jika dia mendapatkan dekrit, akan lebih sulit untuk membuatnya tetap sejalan.

Tidak lama kemudian, Shulü Wen meninggal, dan Xiang Shu mengambil alih posisi Chanyu yang Agung. Xiang Shu dihadapkan pada pertengkaran tanpa akhir yang sama seperti sebelumnya: para tetua dari semua suku ingin dia menikah. Tiba-tiba, dia mengerti bagaimana perasaan ayahnya saat itu.

“Guwang akan pergi sebentar,” kata Xiang Shu tiba-tiba.

Seketika, ada keheningan di seluruh tenda kerajaan; semua orang saling memandang dengan heran.

“Kemana?” Che Luofeng bertanya, masih bingung, “Anda, kau baru saja menduduki posisi Chanyu yang Agung!”

“Shi Mokun untuk sementara akan mengambil alih tugas Chanyu yang Agung dan akan memegang segel emas,” kata Xiang Shu. “Aku akan melacak keberadaan dokter Han yang dimaksud. Hanya itu, sekarang bubar.”


Malam itu juga, Xiang Shu meninggalkan Chi Le Chuan dengan kudanya, seperti sepuluh tahun yang lalu. Kali ini, dia menoleh dan melihat pegunungan Chi Le yang membentang selamanya ke kejauhan.

“Kau pergi lagi.” Sosok Che Luofeng muncul dari bawah pohon.

Xiang Shu memandang Che Luofeng. Sudah sepuluh tahun sejak hari itu, dan banyak hal telah terjadi.

“Kali ini, apa kau akan kembali?” kata Che Luofeng.

“Aku tidak tahu,” jawab Xiang Shu.

Che Luofeng berkata, “Kau pergi bukan karena dokter itu atau karena kematian ayahmu; kau hanya ingin pergi ke Selatan. Aku selalu tahu, sama seperti ayahmu, kau ingin mencari istri seorang Han.”

Xiang Shu tidak menjawab, dan Che Luofeng berkata lagi, “Apa tidak cukup tinggal di sini? Beberapa tahun kemudian, ketika saatnya tiba, kita bisa pergi bersama.”

“Tidak,” kata Xiang Shu. “Beberapa tahun ini, aku selalu merasa bahwa di sisi lain Tembok Besar, di tempat di mana bunga persik bermekaran, ada seseorang yang menungguku. Firasat ini semakin lama semakin dekat denganku sekarang, dan aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi.”

Che Luofeng berkata, “Dari masa kanak-kanak hingga dewasa, kau tidak pernah melupakannya selama ini.”

Xiang Shu menekan kedua sisi kuda dan berteriak, “Jia!”

Dibandingkan dengan suaranya dari sepuluh tahun yang lalu yang bergetar karena rasa gugup dan kegembiraan, sekarang berbeda; semuanya telah terbalik. Suaranya menjadi dewasa dan tegas. Ladang murbei telah berubah menjadi lautan biru beberapa kali5桑田沧海 idiom yang berarti ‘waktu akan memberi perubahan pada dunia’.; kali ini, dia seolah mengerti bahwa takdirnya telah datang dan membimbingnya ke masa depannya, dan masa depan telah menunggunya selama ini.

Tak lama kemudian, dia telah menjadi titik hitam kecil di tengah badai di dataran luas itu.

Tapi hanya enam hari kemudian, ketika dia memanjat Tembok Besar dan melihat sendiri tanah impiannya untuk pertama kalinya, dia bingung, dan bahkan sedikit tidak dapat menerimanya. Pada saat yang sama, dia juga akhirnya mengerti mengapa ayahnya memintanya untuk tidak melangkah lebih jauh.

Itu karena di dalam Tembok Besar, kecuali gunung yang tetap menjadi gunung, dan pohon yang tetap menjadi pohon, pemandangannya, jika dibandingkan dengan pemandangan Chi Le Chuan, sangat berbeda. Apa yang dulunya merupakan sisi yang luar biasa dan tak terjangkau, sekarang berada di bawah kakinya. Di sebelah selatan Tembok Besar, hanya ada tanah tak terbatas, angin kencang yang tidak pernah berhenti, serta badai salju di puncak bukit yang datang bersamaan dengan musim gugur.

Angkuh dan jauh, sunyi dan tidak dikenal.

Dia duduk di Tembok Besar sepanjang malam, mendengarkan suara serigala yang datang dari tempat yang jauh. Menatap ke kejauhan menuju tepi selatan cakrawala, Xiang Shu tidak tahu bagaimana perasaannya untuk sesaat.

Ketika dia melihat kembali ke tempat asalnya, Chi Le Chuan benar-benar menghilang.

“Apa ini Selatan?” gumam Xiang Shu.

Saat fajar, dia memimpin kudanya dan menginjakkan kaki ke Dataran Tengah. Apa yang dilihatnya hanyalah desa-desa yang terbakar dan mayat hangus orang-orang yang ditinggalkan setelah penjarahan, serta langit hitam keabu-abuan.

Tidak ada bunga persik, tidak ada paviliun air, tidak ada atap hitam, dan tidak ada dinding putih.

Akhirnya, dia bertemu dengan orang-orang ibunya. Dia mencoba berkomunikasi dengan mereka, tapi mereka bahkan lebih tidak beradab dan tidak masuk akal daripada orang-orang Chi Le Chuan. Xiang Shu membunuh banyak orang dan akhirnya dipenjara, dan akhirnya, dia dibawa ke Xiangyang.

Di dalam penjara tanpa cahaya, angin telah berhenti bertiup, tapi kepingan salju yang terbang dari lubang palka belum mencair.

Dia duduk di sudut selnya, menyaksikan bulan sabit berubah menjadi bulan purnama, dan bulan purnama menjadi bulan sabit lagi. Waktu bergerak sangat lambat, dan pada akhirnya, surga yang dipenuhi dengan bunga persik hancur dan dia ditinggalkan dengan jurang penuh darah dan kesengsaraan.

Dari awal hingga akhir, dia menolak untuk menerima bahwa segalanya hanyalah kebohongan indah yang diceritakan ibunya ketika dia masih hidup.

Sampai akhirnya dia melepaskan semua ide itu dan menyadari bahwa angan-angannya adalah lelucon bodoh.

Tapi dia tidak pernah takut mati.

Karena, seperti yang dikatakan ayahnya, Roda kehidupan berputar penuh, kehidupan baru tidak akan berhenti muncul; hanya itu yang ada untuk itu.

Di tengah kegelapan dan kesepian, dia merasakan bunga persik terbang melewatinya; seperti kenyamanan kecil terakhir yang ditinggalkan oleh mereka yang telah pergi.

Namun, saat dia memutuskan untuk menyerah, di luar pintu penjara, terdengar suara tabrakan, suara langkah kaki, serta suara orang asing.

Di samping bunga persik yang berkibar, seberkas cahaya masuk, dan di bawah pancaran sinarnya yang luar biasa, mimpi-mimpi yang tak terhitung jumlahnya dibangunkan, diperbaiki, dan disembuhkan.

“Buka pintunya,” kata Chen Xing.


—— Ekstra: Pemuda Tidak Mengenal Rasa Kesedihan · Berakhir ——


Catatan Penerjemah: Judul ekstra ini berasal dari “Budak Jelek”, sebuah puisi karya Xin Qiji, yang ditulis selama Dinasti Song Selatan.


KONTRIBUTOR

Rusma

Meowzai

Keiyuki17

tunamayoo

Leave a Reply